Kasus dugaan korupsi Soeharto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ibu Tien (kiri) sedang menghitung uang pada acara pengumpulan dana "Gotong Royong" untuk bantuan kemanusiaan disaksikan oleh Mbak Tutut (tengah) dan Presiden Soeharto (kanan) (1986)

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999

Uang negara Rp400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi gagal. Selain itu, dua anak lainnya yakni Bambang Trihatmodjo juga menguasai lahan ribuan hektare melalui PT Bukit Jonggol Asri dan PT Bimantara di wilayah Jonggol, Bogor seperti di desa Singajaya, Sukamaju, Pabuaran, Selawangi, Sukadamai, Sukarasa dan Sukawangi yang di bebaskan oleh Pemprov Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Sementara Putri Bungsu Soeharto, Siti Hutami Endang Adiningsih menguasai lahan sekitar 2000 hektare yang tersebar disekitar Cileungsi seperti Klapanunggal, Setusari, Bojong, serta di Jonggol seperti Singasari, dan Cibodas. Soeharto dituduh oleh sebagian orang seperti Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina dan Mobotu Sese Seko, mantan Presiden Zaire. Estimasi jumlah nominal yang dituduhkan dikorupsi oleh Soeharto berkisar di $15 miliar sampai $35 miliar.[1] Namun, hal ini akhirnya digugat oleh Presiden Soeharto dan Majalah Time kalah dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1 Triliun.[2] Meskipun akhirnya ganti rugi ini dibatalkan dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung.

Catatan dana Yayasan Supersemar yang diselewengkan[sunting | sunting sumber]

  • Bank Duta, US$420juta.[3]
    • Diberikan pada 22 September 1990 sebesar US$125juta.
    • Diberikan pada 25 September 1990 sebesar US$19,59juta.
    • Diberikan pada 26 September 1990 sebesar US$275,04juta.
  • PT Sempati Air, Rp.13 miliar.[3]
    • Diberikan pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998.
  • PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti, 150 miliar.[3]
    • Diberikan pada 13 November 1995.
  • PT Kahold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep.[3]
    • Hutan tanaman industri 12 miliar.
    • Diberikan pada Desember 1982 hingga Mei Mei 1993.
  • Kelompok Usaha Kosgoro, 10 miliar.[3]
    • Diberikan pada 28 Desember 1993.

Surat Keputusan Penghentian Penuntutan[sunting | sunting sumber]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.[4]

12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan walaupun sampai saat ini negara tidak dapat membuktikan dasar-dasar pencabutan SKP3 dengan bukti bukti baru.[5][6]

Garis waktu kasus dugaan korupsi H.M Soeharto[sunting | sunting sumber]

1974[sunting | sunting sumber]

1976[sunting | sunting sumber]

  • Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.[10]

1998[sunting | sunting sumber]

  • 1 September 1998
    • Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.
  • 6 September 1998
    • Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.
  • 9 September 1998
    • Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstra ketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.
  • 11 September 1998
    • Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.
  • 15 September 1998
  • 21 September 1998
    • Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.
  • 25 September 1998
    • Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
  • 29 September 1998
    • Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.
  • 13 Oktober 1998
    • Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia.
  • 22 Oktober 1998
    • Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
  • 22 Oktober 1998 Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Suharto.[8]
  • 28 Oktober 1998: Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.
  • 21 November 1998
    • Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.
  • 22 November 1998
    • Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
  • 2 Desember 1998
    • Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.
  • 5 Desember 1998
    • Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
  • 7 Desember 1998
  • 9 Desember 1998
    • Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
    • Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
  • 28 Desember 1998
    • Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).
  • 30 Desember 1998
    • Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

1999[sunting | sunting sumber]

  • 12 Januari 1999
    • Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.
  • 4 Februari 1999
  • 9 Februari 1999
    • Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
    • Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.
  • 11 Maret 1999
    • Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.
  • 13 Maret 1999
    • Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
  • 16 Maret 1999
  • 26 Mei 1999
    • JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.
  • 27 Mei 1999
    • Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .
  • 28 Mei 1999
    • Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
  • 30 Mei 1999
    • Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
  • 11 Juni 1999
    • Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
  • 9 Juli 1999
  • 19 Juli 1999
  • 11 Oktober 1999
    • Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.[8]
  • 6 Desember 1999
    • Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.
  • 6 Desember 1999
    • Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.
  • 29 Desember 1999
    • Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3.

2000[sunting | sunting sumber]

  • 14 Februari 2000
    • Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tetapi tidak hadir dengan alasan sakit.
  • 16 Februari 2000
    • Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.
  • 31 Maret 2000
    • Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.
  • 3 April 2000
    • Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.
  • 13 April 2000
    • Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
  • 29 Mei 2000
    • Soeharto dikenakan tahanan rumah.
  • 7 Juli 2000
    • Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.
  • 14 Juli 2000
    • Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung.
  • 15 Juli 2000
    • Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.
  • 3 Agustus 2000
    • Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.
  • 8 Agustus 2000
    • Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.
  • 22 Agustus 2000
    • Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.
  • 23 Agustus 2000
    • PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.
  • 31 Agustus 2000
    • Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.
  • 14 September 2000
    • Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.
  • 23 September 2000
    • Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan saraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.
  • 28 September 2000
    • Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.

2006[sunting | sunting sumber]

2007[sunting | sunting sumber]

  • 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pak Harto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan senilai US$420 juta dan Rp. 185 miliar ditambah ganti rugi immateriil RP. 10 triliun.[12]
  • 9 Agustus 2007, sidang perdata kasus Soeharto kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun.
  • 30 Agustus 2007, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia. Pihak Time diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun dan meminta maaf kepada publik.
  • 10 September 2007, Proses mediasi antara kedua belah pihak dinyataan gagal.[12]
  • 24 September 2007, Sidang perdana perkara Supersemar di PN Jaksel. Jaksa pengacara negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) sebesar US$420 juta, Rp. 185 miliar, dan Rp 10 triliun (ganti rugi immateriil).[12]

2008[sunting | sunting sumber]

  • 4 Januari 2008 Soeharto kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
  • 8 Januari 2008, Dua pengurus Yayasan Supersemar memberikan kesaksian di PN Jaksel. Mereka menyatakan tak rela negara mengggugat Yayasan.[12]
  • 26 Februari 2008, Lima anak Soeharto kecuali Hutomo Mandala Putra resmi menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.[12]
  • 27 Januari 2008, Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu,[13] dalam usia 87 setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
  • 27 Maret 2008, PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar bersalah karena menyalahkan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan 46 miliar pengacara Yayasan Supersemar Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan mengajukan banding.[12]
  • 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.[10][12]
  • 2 April 2008, Yayasan mengajukan banding.[12]
  • 17 September 2008, Berkas banding diterima panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.[12]

2009[sunting | sunting sumber]

  • 19 Februari 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara memberi pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.[10][12]

2010[sunting | sunting sumber]

  • 28 Oktober 2010, Vonis ini lalu dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178 (sebelumnya tertulis USD 420 ribu, demikian sebagai ralat). Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904. Duduk dalam majelis kasasi yang diketok pada 28 Oktober 2010 ini yaitu hakim agung Dr Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.[8][10]

2013[sunting | sunting sumber]

  • September 2013, Kesalahan ketik ini lalu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi. Alhasil, jaksa lalu mengakukan peninjauan kembali pada September 2013. Ternyata, di saat yang bersamaan, Yayasan Supersemar juga ikut melakukan (PK).[10]

2015[sunting | sunting sumber]

  • 8 Juli 2015, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial hakim agung Suwardi dengan anggota majelis Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memvonis Yayasan Supersemar, diketok pada 8 Juli 2015.[10]
  • 10 Agustus 2015, Proses hukum selanjutnya dari MA melansir berita dalam web resminya, "Mengabulkan PK I (Negara Republik Indonesia), menolak PK II (Yayasan Supersemar)." Berdasarkan kurs hari ini, Senin (10/8), maka yayasan harus memberikan ganti rugi ke negara Rp 4.309.200.000.000 plus Rp 139 miliar sehingga totalnya menjadi Rp 4,448 triliun.[10]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ S, Jeremy; brook (2016-07-20). "10 Most Corrupt World Leaders of Recent History". Integritas 360 (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-16. Diakses tanggal 2019-06-16. 
  2. ^ Haryanti, Rosiana (2019-08-31). Sartika, Resa Eka Ayu, ed. "Hari Ini dalam Sejarah: Majalah Time Didenda Rp 1 Triliun karena Berita Soeharto Inc". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 16 Desember 2019. 
  3. ^ a b c d e Fajrian (Kamis, 13 Agustus 2015 16.06 WIB). "Catatan Dana Yayasan Supersemar Soeharto yang Diselewengkan". CNN Indonesia. CNN Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2015. 
  4. ^ Widjaja, Ismoko (2008-01-15). "Kasus Hukum Pak Harto Tak Tersentuh Sejak Reformasi". Okezone.com. Diakses tanggal 2020-01-20. 
  5. ^ Kompas.com. Kompas.com. Kompas.com http://www.kompas.com/utama/news/0606/12/115237.htm.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  6. ^ PN Jaksel: SKP3 Soeharto Tak Sah, Tuntutan Dilanjutkan - Detiknews.com, Senin, 12/06/2006
  7. ^ "Profil Yayasan Supersemar" (PDF). supersemar.or.id. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-09-22. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  8. ^ a b c d e Tempochannel.com. "Hikayat Kasus Soeharto dan Yayasan Supersemar". Tempochannel.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. 
  9. ^ Tempointeraktif.com (Senin, 31 Mei 2004). "Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto". Tempointeraktif.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-01-12. Diakses tanggal Senin, 31 Mei 2004. 
  10. ^ a b c d e f g Saputra, Andi (Selasa 11 Aug 2015, 18:01 WIB). "Babak Baru, Keluarga Mantan Presiden Soeharto Dihukum Rp 4,4 Triliun". detikcom. Diakses tanggal 10 Agustus 2015. 
  11. ^ www.detiknews.com (Selasa, 15/01/2008). "4 Presiden & 8 Jaksa Agung Gagal Buktikan Soeharto Korupsi". www.detiknews.com. Diakses tanggal Selasa, 15/01/2008. 
  12. ^ a b c d e f g h i j Gracivia, Laudy (Selasa, 11 Agustus 2015 18.16 WIB). "Jalan Berliku Perkara Yayasan Soeharto". CNN Indonesia. CNN Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2015. 
  13. ^ "Pak Harto Wafat Pukul 13.10 WIB". detik.com. 2008-01-27. Diakses tanggal 2009-02-05.