Kebebasan informasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebebasan informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh hukum internasional dalam mendapatkan informasi dengan bebas,[1] yang mencakup bukan hanya dalam teks dan gambar saja tetapi juga pada sarana berekspresi itu sendiri,[2] terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi. Hak akses informasi dari internet dan media massa seperti televisi, radio, surat kabar, buku, dan lain sebagainya, juga merupakan nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu, kebebasan memperoleh informasi bagi masyarakat dapat menjadi dasar dalam meningkatan partisipasi dari masyarakat itu sendiri, mengingat ketersediaan informasi yang memadai dapat mendorong masyarakat untuk lebih mampu berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan secara efektif dan berarti.

Era informasi dianggap sebagai tahap pencapaian dan perkembangan sejarah manusia yang paling mutakhir setelah berakhrnya fase industri.[3] Sistem demokrasi di sinilah berperan dalam mendistribusikan kekuasaan ke berbagai personel dan lembaga untuk memproses informasi dan pengambilan keputusan.[4] Hal inilah yang menyebabkan pengembangan teknologi, khususnya komunikasi digital berbasis internet, ke depan perlu dipikirkan agar informasi-informasi yang diproduksi oleh semua pihak, seperti warga, lembaga non-pemerintah, swasta, dan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[5] Pihak-pihak tersebut merefleksikan sektor-sektor pengaturan publik, seperti politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, termasuk di dalamnya media massa.[6]

Prinsip[sunting | sunting sumber]

Kebebasan informasi memiliki beberapa prinsip yang berlaku secara universal yaitu pembebasan batas akses maksimum, ketiadaan alasan tertentu, kesederhanaan mekanisme, keutuhan dan kebenaran informasi, proaktif, dan perlindungan iktikad baik terhadap pejabat. Prinsip pembebasan batas akses maksimum menyatakan bahwa semua informasi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Pengecualian atas akses terhadap suatu informasi hanya dapat dilakukan jika pengungkapan informasi tersebut akan merugikan kepentingan publik dengan dampak yang lebih luas dibandingkan jika disembunyikan. Pemberian pengecualian tetap bersifat terbatas dan tidak berlaku secara permanen. Prinsip ketiadaan alasan bermakna bahwa setiap orang dapat mengakses informasi tanpa harus meneyertakan alasan kebutuhan akan informasi tersebut. Kondisi ini didasari oleh pernyataan bahwa setiap orang memilik hak untuk memperoleh informasi. Tidak diberikannya alasan secara rinci bermaksud untuk menghilangkan penilaian subjektif yang informasinya dapat disalahgunakan. Prinsip kesederhanaan mekanisme berkaitan dengan konteks waktu yang dimiliki oleh suatu informasi dalam menentukan nilai dan daya gunanya. Beberapa jenis informasi hanya dapat berguna dalam waktu singkat. Penyebabnya adalah informasi tersebut dapat digantikan oleh informasi yang lebih baru. Di sisi lain, penyelesaian sengketa terhadap suatu informasi juga memerlukan kesederhanaan. Prinsip keutuhan dan kebenaran informasi berarti bahwa peminta informasi memiliki hak untuk memperoleh informasi yang utuh dan benar. Informasi yang bersifat idak benar dan tidak utuh dapat menyesatkan pikiran peminta informasi. Sementara proaktif berarti informasi yang perlu diketahui memiliki beban kewajiban untuk disampaikan. Sedangkan perlindungan iktikad baik pejabat bermakna bahwa undang-undang memiliki jaminan untuk pejabat yang beriktikad baik dalam memberikan informasi kepada masyarakat.[7]

Pengakuan hak[sunting | sunting sumber]

Kebebasan dalam mengakses dan memperoleh informasi mempengaruhi peluang untuk pengadaan kebebasan berekpresi di bidang sosial dan politik.[8] Hak atas kebebasan informasi kemudian menjadi bagian dari hak atas kebebasan berekpsresi. Pemilik hak ini adalah lembaga-lembaga yang berkepentingan di sektor publik. Kedudukan hak atas kebebasan informasi sebagai bagian dari hak atas kebebasan berekspresi dinyatakan dalam Resolusi ke-59 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pasal 19 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Kedua pernyataan ini mengakui bahwa mencari, menerima dan menyebarkan informasi merupakan salah satu dasar bagi kebebasan berekspresi. Konsekuensi yang diberikan oleh kedua pernyataan tersebut juga menjadikan pengakuan hak atas kebebasan informasi diterima pada berbagai instrumen hak asasi manusia yang lainnya.[9]

Kemiripan pengakuan hak terhadap Pasal 19 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia antara lain pada Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Dalam pasal ini, kebebasan memperoleh informasi seringkali memiliki pengertian yang sejalan dan mirip dengan kebebasan berekspresi. Pasal ini menyatakan bahwa kebebasan menyatakan pendapat merupakan bagian dari kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun. Kebebasan ini diberikan tanpa memperhatikan jenis media yang digunakan. Media dapat berupa lisan maupun tulisan. Jenis media juga dapat dalam bentuk media cetak atau seni. Pemilihan media disesuaikan dengan keinginan pihak yang memperoleh kebebasan informasi. Selain sejalan dengan Pasal 19 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga sejalan dengan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia Perbara.[10] Hingga November 2009, sebanyak 85 negara telah memiliki undang-undang tentang kebebasan informasi.[11]

Majelis Eropa[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1981, negara anggota Majelis Eropa mengadopsi rekomendasi tentang akses informasi yang dimiliki pemerintah. Pernyataan di dalam rekomendasi ini bahwa hak untuk memperoleh informasi dari lembaga-lembaga publik dimiliki oleh setiap individu yang berada dalam yurisdiksi negara anggota Majelis Eropa. Hak ini berlaku pula untuk dokumen-dokumen resmi yang dimiliki oleh lembaga publik. Pemberian hak berlaku tanpa mempertanyakan asal-usul kebangsaan dari individu sehingga diskriminasi dihilangkan.[12]

Laporan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa[sunting | sunting sumber]

Dalam Laporan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa 1998 dinyatakan bahwa hak untuk memperoleh informasi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan informasi diakui sebagai hak dasar oleh negara anggota Organisasi Negara-Negara Amerika. Hak ini diberikan kepada tiap individu untuk memperoleh informasi dari lembaga publik. Selanjutnya, pada Laporan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa 1999, negara anggota Organisasi Negara-Negara Amerika juga menyatakan bahwa hak untuk memperoleh informasi merupakan landasan bagi representasi demokrasi oleh pemerintah dalam penagmbilan keputusan terhadap permasalahan publik. Hak ini diberikan kepada setiap individu yang melakukan delegasi administrasi kepada perwakilannya untuk menyelesaikan permasalahan publik. Pajak yang disetorkan kepada pemerintah dijadikan sebagai alat pembiayaan untuk penyampaian informasi publik tersebut.[13]

Perkembangan global[sunting | sunting sumber]

Asia[sunting | sunting sumber]

Kebebasan informasi di Asia mulai dituntut oleh masyarakat di beberapa negara sejak tahun 2000. Tuntutan ini dipengaruhi oleh kondisi Krisis finansial Asia 1997. Negara-negara yang memiliki dorongan yang kuat dari masyarakatnya untuk memberikan kebebasan informasi khususnya informasi publik antara lain Indonesia, Jepang dan Thailand. Di masing-masing negara ini terbentuk koalisi yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menuntut adanya kebebasan informasi publik. Masyarakat khususnya di Jepang dan di Indonesia memulai tuntutan pengesahan undang-undang kebebasan informasi mulai di tingkat daerah, lalu ke tingkat nasional.[14]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Marwandianto; Nasution, Hilmi Ardani (April 2020). "Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Koridor Penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP". Jurnal HAM. 11 (1): 2. 
  2. ^ Puddephatt, Andrew, (2005), Freedom of Expression, The essentials of Human Rights, Hodder Arnold, pp.128.
  3. ^ Sujoko, Anang (2020). Media dan Dinamika Demokrasi. Jakarta: Prenada Media. hlm. 4. ISBN 9786232185937. 
  4. ^ Tamara, Nasir (2021). Demokrasi di Era Digital. Jakarta: Pustaka Obor. hlm. 373. ISBN 9786233210928. 
  5. ^ Gunawan, Budi (2021). Demokrasi di Era Post Truth. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. xii–xiii. ISBN 9786024813116. 
  6. ^ Syahputra, Iswandi (2013). Rezim Media (Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 2. ISBN 9789792293470. 
  7. ^ Sastro, dkk. 2010, hlm. 14-15.
  8. ^ Djafar, W., dan Aswidah, R. (2013). Abidin, Z., dan Djafar, W., ed. Intimidasi dan Kebebasan: Ragam, Corak dan Masalah Kebebasan Berekspresi di Lima Propinsi Periode 2011-2012 (PDF). Jakarta Selatan: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. hlm. 126. ISBN 978-979-8981-44-9. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-07. Diakses tanggal 2021-12-07. 
  9. ^ Tim ELSAM 2013, hlm. 20.
  10. ^ Aqsa, A., dan Tim LBH Pers (2020). Rifai, Bahtiar, ed. Panduan Advokasi Hukum Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Atas Informasi. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Pers. hlm. 8–9. ISBN 978-602-51237-4-0. 
  11. ^ Sastro, dkk. 2010, hlm. 13.
  12. ^ Tim ELSAM 2013, hlm. 20-21.
  13. ^ Tim ELSAM 2013, hlm. 21-22.
  14. ^ Fadhal, S., dkk. (2020). Nurudin, Santoso, D. H., dan Junaedi, F., ed. Media, Komunikasi dan Informasi di Masa Pandemi Covid-19 (PDF). MBridge Press. hlm. 77. ISBN 978-623-6615-05-8. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]