Kerajaan Binamu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Binamu adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Kabupaten Jeneponto pada awal abad ke-17. Masyarakat di Kerajaaan Binamu berasal dari Suku Makassar. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan kecil yang pada awalnya memihak Kerajaan Gowa dan kemudian beralih memihak Kerajaan Bone.[1] Kerajaan Binamu berkuasa di wilayah Kabupaten Jeneponto bagian timur.[2] Masyarakatnya bekerja sebagai petani padi dan nelayan.[3] Kerajaan Binamu membagi pemerintahannya menjadi kelompok palili dan wanua.[4] Kerajaan ini menjadi kerajaan adat pada awal abad ke-20.[5]

Pendirian[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Binamu awalnya adalah wilayah-wilayah kekuasaan kecil yang disebut Kareang dengan penguasa bergelar Kare. Kareang-kareang yaitu Kareang Layu di Layu, Kareang Kalomporo di Tana Toa, Kareang Tina’ro di Tina’ro, Kareang Balang di Balang, Kareang Manjangloe di Manjangloe, Kareang Ballarompo di Ballarompo, dan Kareang Tolo di Tolo. Wilayah-wilayah ini kemudian menjadi bawahan dari Kerajaan Gowa. Pada tahun 1600 M, semua wilayah ini bersatu menjadi sebuah negeri yang disebut Turatea dan melepaskan diri dari kekuasaan raja Kerajaan Gowa. Pemerintahan di negeri Turatea diatur ulang, sehingga berdirilah kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kabupaten Jeneponto dengan wilayah dan raja pertamanya merupakan para Kare yang menguasai wilayah Kareang. Kerajaan Binamu akhirnya dibentuk oleh Kareang Layu.[6]

Wilayah kekuasaan[sunting | sunting sumber]

Wilayah Kerajaan Binamu awalnya hanya berada di lembah Tamanroya yang berpusat di Layu. Wilayahnya kemudian meluas hingga mencakup dua sungai besar yaitu Sungai Jeneponto dan Sungai Tamanroya. Wilayah ini dipimpin oleh para penguasa yang disebut To’do’ Appaka’. Wilayahnya terdiri dari Bangkala Loe, Layu, Batujala, dan Lentu’. Keempat penguasa ini kemudian bersatu dan mengadakan musyawarah untuk memilih raja yang bergelar Tumanurung.[7] Kerajaan Binamu kemudian berkuasa di wilayah Kabupaten Jeneponto bagian timur. Wilayahnya merupakan lembah yang subur.[2] Wilayah Kerajaan Binamu semakin meluas setelah Bontorappo bergabung ke dalam kekuasannya.[6]

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Binamu membagi pemerintahan menjadi kelompok palili dan wanua. Palili merupakan wilayah yang diperintah oleh bawahan raja, sedangkan wanua diperintah secara langsung oleh raja. Wilayah palili yaitu Sidenre, Balang, Balang Toa, Sapanang, Cinnong, dan Tonrokassi. Wilayah wanua meliputi Ujung Loé, Kalumpang, Palajau, Bulo-Bulo, Pattallasang, Jombé, Paitana, Togo-togo, Bontorappo, Pao,, Tino, Tonra, Rumbia, dan Tolo’.[4] Pada awal abad ke-20, Kerajaan Binamu menjadi kerajaan adat yang dipimpin oleh raja ke-17 yang bernama Sanre Daeng Nyikko (1900-1911). Setelahnya Kerajaan Binamu dipimpin oleh Langke Daeng Lagu (1911-1921), I Lompo Daeng Gassing (1921-1923), Maggau Daeng Sanggu (1923-1929), dan Haji Mattewakkang Daeng Radja (1929 -1946).[5]

Kehidupan masyarakat[sunting | sunting sumber]

Wilayah Kerajaan Binamu berada di antara Sungai Jeneponto di sebelah timur dan Sungai Tamanroya di sebelah barat. Wilayah bagian selatan dari Kerajaan Binamu merupakan perbukitan dengan tanah yang kurang subur. Di wilayah dengan dataran rendah, masyarakat bekerja sebagai petani padi. Sedangkan di wilayah pesisir pantai, masyarakat bekerja sebagai nelayan.[3]

Politik[sunting | sunting sumber]

Para raja dari Kerajaan Binamu memiliki kekuasaan yang dipengaruhi oleh Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kerajaan Sanrobone, dan Kerajaan Marusu. Kerajaan Binamu juga mempengaruhi kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Jeneponto, yaitu Kerajaan Garassi, Kerajaan Sapanang,dan Kerajaan Kalimporo. Selain itu, Kerajaan Binamu juga menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Bangkala.[8] Setelah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo kehilangan pengaruh kekuasaan akibat kekalahan dalam Perang Makassar pada tahun 1667, Kerajaan Binamu bersekutu dengan Kerajaan Bone. Kerajaan Binamu juga mulai memiliki pengaruh kekuassan di wilayah Kerajaan Bangkala.[3]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ilyas et al. 2018, hlm. 39–40.
  2. ^ a b Nasruddin et al. 2016, hlm. 321.
  3. ^ a b c Hadrawi 2017, hlm. 127.
  4. ^ a b Hadrawi 2017, hlm. 128.
  5. ^ a b Ilyas et al. 2018, hlm. 40.
  6. ^ a b Nasruddin et al. 2016, hlm. 401.
  7. ^ Nasruddin et al. 2016, hlm. 323.
  8. ^ Hadrawi 2017, hlm. 118.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]