Kesehatan hewan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sapi yang diberi penanda telinga dengan kode QR yang berisi informasi kesehatan, termasuk status vaksinasinya

Di Indonesia, kesehatan hewan merupakan aspek yang dijaga oleh berbagai kalangan karena hewan memiliki peran penting dalam perekonomian, sosial budaya masyarakat, serta keseimbangan ekosistem. Hewan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup banyak orang, mulai dari sumber pangan seperti daging dan susu hingga menjadi rekan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kesehatan populasi hewan di Indonesia merupakan hal yang penting bagi kesejahteraan hewan itu sendiri, keberlanjutan industri yang mengandalkan mereka, dan pelestarian keanekaragaman hayati.

Pemerintah Indonesia, dokter hewan, dan orang-orang yang bidang pekerjaannya melibatkan hewan mengatasi masalah-masalah kesehatan hewan dan memastikan ketersediaan dan keamanan pangan asal hewan. Salah satu masalah utama yang mengancam kesehatan hewan adalah penyakit hewan lintas batas, yang pencegahan, pengendalian, dan penanggulangannya diatur oleh pemerintah. Sementara itu, industri kesehatan hewan seperti penyediaan jasa dokter hewan serta vaksin dan obat hewan telah menjangkau berbagai daerah di Indonesia.

Pengaturan[sunting | sunting sumber]

Penyakit hewan[sunting | sunting sumber]

Pemerintah telah menerbitkan banyak produk hukum yang mengatur kesehatan hewan. Salah satu pengaturan dasarnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 41 Tahun 2014.[1][2] Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut di antaranya adalah sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) dan penetapan penyakit hewan menular strategis (PHMS), yaitu penyakit-penyakit hewan yang diproritaskan untuk ditangani dan ditanggulangi. Menteri Pertanian telah menetapkan 18 jenis PHMS yang terdiri atas 22 penyakit yang telah ada di Indonesia dan tiga penyakit yang belum ada di Indonesia.[3] Sejak tahun 2013, data temuan kasus penyakit hewan di Indonesia dihimpun dalam sistem elektronik yang disebut iSIKHNAS.[4]

Dalam hal penyakit hewan lintas batas, pemerintah menetapkan sejumlah penyakit hewan yang dicegah untuk masuk, tersebar, dan keluar dari wilayah negara Indonesia. Penyakit-penyakit ini dibagi menjadi dua, yaitu hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) pada hewan terestrial serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) pada hewan akuatik.[5] Saat ini terdapat 121 penyakit yang ditetapkan sebagai HPHK oleh Menteri Pertanian,[6] dan 37 penyakit yang ditetapkan sebagai HPIK oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.[7] Selain HPIK, pada tahun 2021 Menteri Kelautan dan Perikanan juga menetapkan 15 penyakit ikan yang berpotensi menjadi wabah penyakit ikan.[8]

Zoonosis dan penyakit infeksius baru[sunting | sunting sumber]

Sebagian penyakit hewan merupakan zoonosis, yaitu penyakit pada hewan yang dapat menular ke manusia. Pada tahun 2019, flu burung, rabies, antraks, bruselosis, leptospirosis, ensefalitis Jepang, tuberkulosis sapi, salmonelosis, skistosomiasis, demam Q, kampilobakteriosis, trikinosis, paratuberkulosis, toksoplasmosis, dan taeniasis/sistiserkosis ditetapkan sebagai 15 zoonosis prioritas di Indonesia.[9] Setelah itu, dalam rangka menerapkan konsep satu kesehatan di Indonesia, pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit infeksius baru dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sejak tahun 2022.[10]

Status dan situasi penyakit hewan[sunting | sunting sumber]

Gambaran umum kesehatan hewan secara nasional dapat dilihat melalui pemetaan penyakit. Berdasarkan statusnya terhadap penyakit hewan tertentu, suatu daerah dapat dikategorikan sebagai daerah bebas, daerah terduga, daerah tertular, dan daerah wabah.[11] Pada milenium ketiga, terdapat empat penyakit hewan lintas batas yang masuk ke Indonesia, yaitu flu burung patogenisitas tinggi (tahun 2003), demam babi Afrika (2019), serta penyakit kulit berbenjol dan penyakit mulut dan kuku (2022).[12]

Antraks[sunting | sunting sumber]

Peta status dan situasi antraks di Indonesia.
  Provinsi dengan laporan kasus dalam 20 tahun terakhir.
  Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 2003.
  Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 1980-an.
  Provinsi yang dinyatakan bebas antraks.

Kejadian antraks telah dilaporkan sejak masa penjajahan ketika Indonesia masih dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar penyakit akibat infeksi Bacillus anthracis ini ditemukan pada sapi dan kambing, kecuali wabah antraks pada babi tahun 1983 di Paniai, Irian Jaya,[13] dan wabah antraks pada burung unta tahun 1999 di Purwakarta, Jawa Barat.[14]

Spora B. anthracis mampu bertahan selama puluhan tahun di tanah sehingga daerah yang pernah melaporkan kasus penyakit ini digolongkan sebagai daerah endemik dan kasus antraks dapat muncul sewaktu-waktu di daerah-daerah tersebut. Menurut Kementerian Pertanian pada 2016, terdapat 14 provinsi yang dinyatakan sebagai daerah endemis antraks, yaitu Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.[15] Sementara itu, Provinsi Papua ditetapkan sebagai zona bebas antraks pada tahun 2003.[16]

Bruselosis[sunting | sunting sumber]

Peta provinsi dan pulau dengan status bebas bruselosis pada sapi (warna hijau) di Indonesia.

Bruselosis merupakan sebutan untuk infeksi bakteri dalam genus Brucella. Bakteri ini dapat menginfeksi manusia dan berbagai hewan. Namun, spesies penting yang diwaspadai untuk hewan adalah B. abortus, B. melitensis, dan B. suis, yang masing-masing memiliki kecenderungan untuk menginfeksi sapi/kerbau, kambing, dan babi. Berbagai pulau dan provinsi telah dibebaskan dari bruselosis pada sapi dan kerbau melalui program vaksinasi, pengujian laboratorium bagi hewan yang akan ditransportasikan, dan pemotongan bagi hewan positif. Seluruh provinsi di Pulau Kalimantan dan hampir semua provinsi di Pulau Sumatra (kecuali Aceh) telah dinyatakan bebas dari bruselosis pada sapi. Penyakit ini juga telah dieliminasi di Provinsi Banten, Pulau Madura, dan Pulau Sumba.[17]

Demam babi Afrika[sunting | sunting sumber]

Peta provinsi dengan temuan ASF (warna merah) di Indonesia

Demam babi Afrika (ASF) mulai merebak di benua Asia pada tahun 2018 dan memasuki Asia Tenggara pada tahun 2019. Indonesia melaporkan kasus penyakit ini pada 12 Desember 2019 pada situs web Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).[18] Wabah ASF pertama kali terjadi di Sumatera Utara yang menewaskan 28.136 ekor babi di 16 kabupaten/kota. Sumber infeksi belum dapat disimpulkan, tetapi penilaian risiko yang cepat menunjukkan bahwa transportasi babi hidup dari daerah lain dan kontaminasi virus dari pengurus hewan, kendaraan, dan pakan berperan dalam infeksi ini.[19] Pada awal tahun 2020, kematian babi secara massal akibat ASF juga terjadi di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.[20][21] Per tahun 2022, penyakit ini telah dilaporkan di 18 provinsi di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, serta Kepulauan Nusa Tenggara.[22][23][24] Pada tahun 2023, ASF menyebar ke dua provinsi lagi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.[25]

Flu burung[sunting | sunting sumber]

Peta provinsi berstatus bebas flu burung pada unggas (warna hijau) di Indonesia

Flu burung pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 2003 yang bermula dari wabah kematian unggas pada peternakan ayam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Dalam rentang waktu empat tahun, yaitu sekitar Desember 2003 hingga Desember 2007, wabah flu burung mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian unggas di seluruh Indonesia, baik akibat penyakit maupun pemusnahan.[26] Penyakit ini dapat dikendalikan dengan melibatkan organisasi internasional, seperti FAO.[27] Beberapa provinsi lalu ditetapkan sebagai zona bebas dari flu burung pada unggas. Maluku[28] dan Maluku Utara[29] mendapatkan status bebas pada tahun 2016, sedangkan Provinsi Papua pada tahun 2017.[30] Selain itu, sejak tahun 2008 pemerintah juga menerbitkan sertifikat kompartemen bebas flu burung bagi unit usaha peternakan unggas,[31][32] misalnya pada perusahaan pembibitan dan penetasan ayam.[33]

Penyakit kulit berbenjol[sunting | sunting sumber]

Peta daerah dengan temuan LSD (warna merah) di Indonesia

Pada awal 2022, penyakit kulit berbenjol (LSD) yang disebabkan oleh infeksi Lumpy skin disease virus masuk ke Indonesia. Penyakit pada sapi ini pertama kali ditemukan di Provinsi Riau sehingga Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian yang menetapkan provinsi ini sebagai daerah LSD pada tanggal 2 Maret 2022.[34] Pada hari yang sama, pemerintah juga melaporkan kasus penyakit ini ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Dalam laporan ini disebutkan bahwa kejadian penyakit telah ada sejak 7 Februari 2022 di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan, dan Siak. Sebanyak 174 sapi dinyatakan menderita LSD dan dua sapi mengalami kematian. Diagnosis penyakit ditegakkan melalui reaksi berantai polimerase oleh Balai Veteriner Bukittinggi.[35] Pada tahun 2023, penyakit ini telah tercatat di 12 provinsi, termasuk beberapa provinsi di Pulau Jawa.[36][37]

Penyakit mulut dan kuku[sunting | sunting sumber]

Peta situasi PMK di Indonesia per 31 Desember 2022.
  Provinsi dengan kasus aktif
  Provinsi dengan nol kasus aktif (tidak ada laporan selama minimum 14 hari)
  Provinsi tanpa laporan kasus

Penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit hewan menular yang dicirikan oleh luka di bagian mulut dan kuku, terutama pada hewan berkuku belah, seperti sapi, kambing, dan babi. Indonesia sempat membebaskan diri dari PMK pada tahun 1986 yang kemudian diakui secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) pada tahun 1990.[38] Namun, pada tahun 2022, kasus PMK kembali dilaporkan dan menyebar kembali ke berbagai wilayah di Indonesia.

Pada akhir bulan April dan awal Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto di Provinsi Jawa Timur serta di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.[39][40] Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain. Pemerintah lantas membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (Satgas PMK) yang ketua tim pelaksananya adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).[41] Per bulan Desember 2022, PMK telah tercatat di 27 provinsi di Indonesia.[42][43]

Rabies[sunting | sunting sumber]

Peta daerah berstatus bebas rabies (warna hijau) di Indonesia

Rabies merupakan salah satu penyakit pada hewan dan manusia yang hampir selalu bersifat mematikan. Penyakit ini telah dikendalikan sejak masa penjajahan Belanda.[44] Kasus gigitan hewan penular rabies pada manusia (GHPR) dan kasus kematian akibat rabies dicatat setiap tahun oleh Kementerian Kesehatan. Sementara itu, pencatatan kasus pada hewan dan program eliminasi penyakit ini di suatu daerah melalui vaksinasi dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Per tahun 2020, sejumlah daerah telah dinyatakan bebas dari rabies, di antaranya Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Papua, serta berbagai pulau seperti Pulau Tarakan, Nunukan, dan Sebatik di Provinsi Kalimantan Utara, serta sejumlah pulau di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.[45] Hari Rabies Sedunia, sebuah kampanye global pada tanggal 30 September setiap tahun, biasanya diselenggarakan oleh dokter hewan dan organisasi profesinya, instansi pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi, komunitas pencinta hewan, maupun organisasi nonprofit. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan lebih dari satu juta dosis vaksin rabies untuk memastikan Indonesia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030.[46]

Tenaga kesehatan hewan[sunting | sunting sumber]

Orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan hewan (disebut juga jasa medik veteriner) secara profesional disebut sebagai tenaga kesehatan hewan. Mereka terdiri atas dokter hewan, sarjana kedokteran hewan, dan paramedis hewan, yang masing-masing memiliki kompetensi dan kewenangan yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formalnya. Selain menyelesaikan pendidikan formal, tenaga kesehatan hewan juga diwajibkan untuk memperoleh izin praktik sebelum membuka layanan. Terdapat empat jenis izin praktik untuk sarjana kedokteran hewan dan paramedis hewan, yaitu pelayanan kesehatan hewan, pelayanan inseminator, pelayanan pemeriksaan kebuntingan, dan pelayanan teknik reproduksi. Dalam memberikan pelayanan, sarjana kedokteran hewan dan paramedis hewan berada di bawah penyeliaan dokter hewan.[47]

Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuat tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Hal ini mendorong Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia untuk melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).[48] Akan tetapi, MK menolak gugatan uji materiil tersebut.[49]

Dokter hewan[sunting | sunting sumber]

Dua orang dokter hewan sedang memeriksa kucing

Jumlah dokter hewan di Indonesia berkisar dari 15 ribu[50] hingga 20 ribu orang.[51] Sementara itu, menurut data Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), tercatat 11.821 dokter hewan pada tahun 2022.[52] Seorang dokter hewan dapat memberikan jasa diagnosis dan prognosis penyakit hewan; tindakan terapeutik yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; serta konsultasi dan pendidikan klien atau masyarakat.[47] Pemeriksaan umum, vaksinasi, perawatan, bantuan persalinan, pengobatan, dan pembedahan (termasuk pemandulan) merupakan tindakan medis yang ditawarkan oleh penyedia layanan kesehatan hewan.

Kompetensi[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2009, Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan PDHI menetapkan standar kompetensi dokter hewan Indonesia, yaitu

  1. memiliki wawasan etika veteriner dan pemahaman terhadap hakikat sumpah dan kode etik profesi serta acuan dasar profesi kedokteran hewan;
  2. memiliki wawasan di bidang sistem kesehatan hewan nasional dan legislasi veteriner;
  3. memiliki keterampilan melakukan tindakan medis yang lege-artis;
  4. memiliki keterampilan dalam menangani sejumlah penyakit pada hewan besar, hewan kecil, unggas, hewan eksotik, satwa liar, satwa akuatik, dan hewan laboratorium;
  5. memiliki keterampilan dalam melakukan: (a) diagnosis klinis, laboratoris, patologis, dan epidemiologis penyakit hewan; (b) penyusunan nutrisi untuk kesehatan dan gangguan medis; (c) pemeriksaan prakematian dan pascakematian; (d) pemeriksaan kebuntingan, penanganan gangguan reproduksi, dan aplikasi teknologi reproduksi; (e) pengawasan keamanan dan mutu produk hewan; (f) pengawasan dan pengendalian mutu obat hewan dan bahan-bahan biologis, termasuk pemakaian dan peredarannya; (g) pengukuran dan penyeliaan kesejahteraan hewan;
  6. memiliki keterampilan dalam komunikasi profesional;
  7. memiliki kemampuan manajemen pengendalian dan penanggulangan penyakit strategis dan zoonosis, keamanan hayati, serta pengendalian lingkungan;
  8. memiliki kemampuan dalam ”transaksi terapeutik”, melakukan anamnesis, rekam medis, persetujuan tindakan medis, penulisan resep, surat keterangan dokter, dan edukasi klien; serta
  9. memiliki dasar-dasar pengetahuan analisis risiko, analisis ekonomi veteriner, dan jiwa kewirausahaan.[53]

Dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 96 unit kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Menurut SKKNI ini, tujuan utama penyelenggaraan kesehatan hewan adalah meningkatkan status kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Tujuan utama ini dibagi menjadi tujuh fungsi kunci: (1) pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan; (2) penjaminan kesehatan masyarakat veteriner dan lingkungan; (3) pelayanan kesehatan hewan; (4) pengembangan dan penjaminan farmasi veteriner dan dietetik veteriner; (5) penyelenggaraan kesejahteraan hewan; (6) manajemen penyelenggaraan kesehatan hewan; dan (7) pengembangan riset veteriner. Fungsi-fungsi kunci tersebut kemudian dibagi lebih lanjut menjadi 26 fungsi utama dan 96 fungsi dasar (unit kompetensi).[54]

Dokter hewan berwenang[sunting | sunting sumber]

Dokter hewan berwenang merupakan istilah dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang merujuk pada dokter hewan pemerintah yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan kesehatan hewan dalam ruang lingkup tertentu yang ditetapkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib memiliki dokter hewan berwenang. Ada dua syarat yang perlu dipenuhi oleh seseorang untuk dapat ditetapkan sebagai dokter hewan berwenang: (1) merupakan dokter hewan yang berstatus pegawai negeri sipil; dan (2) bertugas dalam penyelenggaraan kesehatan hewan paling singkat dua tahun.[55] Dalam memberikan pelayanan, dokter hewan berwenang dapat menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dan surat keterangan status reproduksi (SKSR).[47][56]

Otoritas veteriner[sunting | sunting sumber]

Otoritas veteriner merupakan kelembagaan pemerintah yang bertanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Di Indonesia, otoritas veteriner diatur dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner.[57] Secara spesifik, otoritas veteriner bertugas menyiapkan perumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Otoritas veteriner dipimpin oleh pejabat otoritas veteriner (POV). Terdapat beberapa jenis POV, yaitu POV nasional, POV kementerian, POV provinsi, dan POV kabupaten/kota. Mereka berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan.[55] Sertifikat veteriner (SV) merupakan dokumen yang diterbitkan oleh POV sebagai jaminan tertulis bahwa hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya telah memenuhi persyaratan untuk keperluan lalu lintas antarwilayah atau antarkawasan.[58] Wabah PMK yang terjadi pada tahun 2022 mendorong sejumlah pemerintah daerah menetapkan POV untuk menangani penyakit ini.[59][60]

Fasilitas kesehatan hewan[sunting | sunting sumber]

Pusat kesehatan hewan di Kota Makassar

Tenaga kesehatan hewan dapat memberikan layanannya di sebuah fasilitas kesehatan hewan atau dengan ambulatori. Pada layanan ambulatori, tenaga kesehatan hewan mengunjungi lokasi klien dan pasiennya. Hal ini dilakukan, misalnya, karena hewan tidak memungkinkan untuk dibawa ke unit fasilitas kesehatan hewan atau karena pelayanan akan berlangsung lebih efektif dan efisien jika dilakukan di tempat pasien. Di sisi lain, unit pelayanan kesehatan hewan dapat dikelompokkan menjadi praktik dokter hewan mandiri, klinik hewan, pusat kesehatan hewan, dan rumah sakit hewan.[47] Sementara itu, dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha 2020 di Online Single Submission (OSS) dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, izin berusaha untuk aktivitas kesehatan hewan terdiri atas ambulatori, klinik hewan, dan rumah sakit hewan.[61]

Praktik dokter hewan mandiri[sunting | sunting sumber]

Praktik dokter hewan mandiri merupakan suatu jasa medik veteriner berizin yang dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang dokter hewan. Layanan yang diberikan oleh praktik ini mencakup diangosis, terapi, vaksinasi, dan pembedahan minor.[47]

Pusat kesehatan hewan[sunting | sunting sumber]

Pusat kesehatan hewan (puskeswan) merupakan unit pelayanan kesehatan hewan yang dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan biasanya terdapat di tingkat kecamatan atau di tempat yang padat ternak.[62] Pada awalnya, puskeswan didirikan untuk mendekatkan pelayanan pengobatan dan reproduksi terhadap hewan ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Namun, saat ini, puskeswan juga dapat melayani hewan kesayangan dan melakukan operasi dengan biaya yang besarnya ditentukan oleh peraturan daerah.[63] Selain pelayanan kesehatan hewan, puskeswan juga memiliki fungsi di bidang kesehatan masyarakat veteriner, epidemiologi, serta kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah penyakit hewan.[62][64]

Klinik hewan[sunting | sunting sumber]

Klinik hewan merupakan unit usaha jasa medik veteriner yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti ruang administrasi, ruang tunggu, ruang praktik, ruang rawat inap, dan ruang operasi.[47] Klinik hewan sering kali menjadi tempat praktik beberapa dokter hewan sehingga disebut sebagai praktik dokter hewan bersama. Di dalamnya tersedia perangkat diagnosis yang lebih lengkap seperti uji darah, pencitraan medis seperti radiografi dan ultrasonografi, serta peralatan untuk pembedahan mayor. Sebagai praktik dokter hewan bersama, suatu klinik memiliki dokter hewan penanggung jawab yang mengelola manajemen bisnis dan medisnya. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan terutama dipengaruhi oleh reliabilitas dan jaminan kepastian yang diberikan oleh klinik hewan.[65]

Rumah sakit hewan[sunting | sunting sumber]

Rumah sakit hewan (RSH) merupakan tempat pelayanan jasa medik veteriner rujukan akhir yang memiliki fasilitas poliklinik, unit gawat darurat, laboratorium, rawat inap, isolasi, perawatan intensif, apotek, hingga instalasi pengolahan limbah. Suatu RSH biasanya memiliki dokter hewan penanggung jawab di setiap departemennya. Sebagai sebuah unit jasa medik veteriner, RSH dapat menarik biaya atas pelayanan yang ditentukan oleh manajemennya. Terdapat beberapa tipe RSH, seperti RSH pendidikan yang dikelola oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dokter hewan, RSH daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi, dan RSH swasta.[66][67]

Obat hewan[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, berdasarkan sediaannya, obat hewan dikelompokkan menjadi empat, yaitu sediaan biologik (contoh: vaksin, serum, antiserum, dan bahan diagnostik), sediaan farmasetik (contoh: vitamin, hormon, enzim, antibiotik dan kemoterapetik lainnya, antihistamin, antipiretik, anestetik, dsb), premiks (contoh: imbuhan pakan dan pelengkap pakan), serta sediaan obat alami.[68] Berbagai obat hewan yang digunakan di Indonesia diawasi oleh pemerintah pusat, yaitu Kementerian Pertanian, serta pemerintah daerah.[69]

Sejak tahun 2017, Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan sejumlah obat hewan, seperti antibiotik dan hormon sintetis, untuk dijadikan imbuhan pakan bagi ternak yang akan dikonsumsi manusia. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah residu obat dalam tubuh hewan, mencegah gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsi ternak tersebut, dan untuk mengurangi risiko resistansi antibiotik.[70][71] Industri perunggasan yang sebelumnya banyak menggunakan antibiotik sebagai promotor pertumbuhan kemudian didorong untuk menggunakan produk-produk alternatif seperti enzim, probiotik, prebiotik, sinbiotik, fitobiotik, minyak asiri, dan asam organik.[72][73] Meskipun demikian, masih banyak obat hewan keras seperti antibiotik yang bebas diperjualbelikan di toko luring dan toko daring.[74][75]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Pemerintah Indonesia (2009), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5015, Jakarta: Sekretariat Negara 
  2. ^ Pemerintah Indonesia (2014), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5619, Jakarta: Sekretariat Negara 
  3. ^ Kementerian Pertanian RI (2023), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 121/Kpts/PK.230/M/03/2023 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, Jakarta: Kementerian Pertanian RI 
  4. ^ "Indonesia's National Animal Health and Production Information System". Ausvet. Diakses tanggal 12 Februari 2023. 
  5. ^ Pemerintah Indonesia (2019), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Lembaran Negara RI Tahun 2019 Nomor 200, Tambahan Lembaran RI Negara Nomor 6411, Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara 
  6. ^ Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2009), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa (PDF), Berita Negara RI Tahun 2009 Nomor 307, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  7. ^ Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2018), Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2018 tentang Penetapan Jenis-Jenis Penyakit Ikan Karantina, Golongan, dan Media Pembawa (PDF), Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia 
  8. ^ Kementerian Kelautan dan Perikanan (2021), Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Jenis Penyakit Ikan yang Berpotensi Menjadi Wabah Penyakit Ikan (PDF), Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan 
  9. ^ Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2019), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 237/KPTS/PK.400/M/3/2019 tentang Penetapan Zoonosis Prioritas, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  10. ^ Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (2022), Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru (PDF), Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia 
  11. ^ Pemerintah Indonesia (2014), Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5543, Jakarta: Sekretariat Negara, Pasal 20 
  12. ^ Muhiddin, Siti Nurul Muslimah; Utami, Wulandari (2022). "Penyakit Hewan Lintas Batas di Indonesia: 2002–2022". Buletin Diagnosa Veteriner. 
  13. ^ "Di Paniai Lewat Babi". Tempo. 3 September 1983. Diakses tanggal 19 Januari 2023. 
  14. ^ Hardjoutomo, S.; Poerwadikarta, M.B.; Barkah, K. (2002). "Kejadian Antraks pada Burung Unta di Purwakarta, Jawa Barat, Indonesia" (PDF). Wartazoa. 12 (3): 114–120. 
  15. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2016). Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Anthrax (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 5. 
  16. ^ Kementerian Pertanian (2003), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/PD.640/7/2003 tentang Pernyataan Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Anthrax, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  17. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 67–70. 
  18. ^ "FAO ASF situation update - African Swine Fever (ASF) - FAO Emergency Prevention System for Animal Health (EMPRES-AH)". FAO. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  19. ^ "Full report: African swine fever, Indonesia". OIE. 17 Desember 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-18. Diakses tanggal 18 Desember 2019. 
  20. ^ "Cegah Perluasan ASF, Kementan Minta Pengawasan Lalu Lintas Babi Diperketat". Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 27 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-08. Diakses tanggal 8 Juni 2020. 
  21. ^ "Kementan Jelaskan Penanganan Kasus Kematian Babi Di NTT". Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 28 Februari 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-08. Diakses tanggal 8 Juni 2020. 
  22. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2020: African Swine Fever". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 29 Januari 2022. 
  23. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2021: African Swine Fever". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 29 Januari 2022. 
  24. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2022: African Swine Fever". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 29 Januari 2022. 
  25. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2023: African Swine Fever". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 3 Mei 2023. 
  26. ^ Sedyaningsih, Endang R.; Isfandari, Siti; Soendoro, Triono; Supari, Siti Fadilah (2008). "Towards mutual trust, transparency and equity in virus sharing mechanism: the avian influenza case of Indonesia". Annals of the Academy of Medicine, Singapore. 37 (6): 482–488. ISSN 0304-4602. PMID 18618060. 
  27. ^ "FAO Apresiasi Kinerja Kementan dalam Usaha Pengendalian Flu Burung". Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 29 Mei 2019. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  28. ^ Pemerintah Republik Indonesia (31 Mei 2016). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 362/Kpts/PK.320/5/2016 tentang Provinsi Maluku Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  29. ^ Pemerintah Republik Indonesia (29 Januari 2016). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 87/Kpts/PK.320/1/2016 tentang Provinsi Maluku Utara Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  30. ^ Pemerintah Republik Indonesia (26 September 2017). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 600/Kpts/PK.320/9/2017 tentang Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Avian Influenza pada Unggas (PDF). Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-12-02. Diakses tanggal 2023-01-13. 
  31. ^ "Kementan Sertifikasi Kompartemen Bebas Flu Burung". Republika Online. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 4 November 2021. 
  32. ^ Pemerintah Republik Indonesia (30 Mei 2018). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28/Permentan/OT.140/5/2008 tentang Pedoman Penataan Kompartemen dan Penataan Zona Usaha Perunggasan. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 
  33. ^ "Kementan Sertifikasi Kompartemen Bebas Flu Burung". Republika. 25 Maret 2021. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  34. ^ Kementerian Pertanian RI (2022), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 242/Kpts/PK.320/M/3/2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumpy Skin Disease) di Provinsi Riau, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  35. ^ "Immediate notification: Lumpy skin disease virus (Inf. with), Indonesia". OIE WAHIS. 2 Maret 2022. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  36. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2022: Lumpy Skin Disease". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 28 Januari 2022. 
  37. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2023: Lumpy Skin Disease". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 3 Mei 2022. 
  38. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2022), Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri Penyakit Mulut dan Kuku (edisi ke-3.1), Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia., hlm. 1 
  39. ^ "Kronologi Penyebaran Wabah PMK di Jawa Timur, 1.247 Ternak Sapi Terinfeksi". Kumparan. 6 Mei 2022. Diakses tanggal 6 Mei 2022. 
  40. ^ "Sebanyak 1.881 Ekor Sapi di Aceh Tamiang Terjangkit PMK". Antara News. 10 Mei 2022. Diakses tanggal 28 Desember 2022. 
  41. ^ Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (24 Juni 2022), Keputusan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Nomor 2 Tahun 2022 tentang Susunan Keanggotaan dan Struktur Organisasi Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku, Jakarta: Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional 
  42. ^ "Siaga PMK". Crisis Center PMK, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Diakses tanggal 30 Desember 2022. 
  43. ^ "Situasi Penyakit Hewan Nasional 2022: Penyakit Mulut dan Kuku". ISIKHNAS Validasi. Diakses tanggal 30 Desember 2022. 
  44. ^ Hanggoro, H.T. (11 Oktober 2018). "KTP dan Pajak Anjing". Historia. Diakses tanggal 13 Januari 2023. 
  45. ^ Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 31–33. 
  46. ^ "Kementan Targetkan Indonesia Bebas Rabies pada 2030". Republika. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  47. ^ a b c d e f Kementerian Pertanian (2019), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03 Tahun 2019 tentang Pelayanan Jasa Medik Veteriner (PDF), Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  48. ^ "Merasa Dirugikan, Perhimpunan Dokter Hewan Gugat UU Ciptaker ke MK". Detik. 7 Januari 2022. Diakses tanggal 30 Januari 2023. 
  49. ^ "MK Tolak Gugatan Uji Materiil UU Cipta Kerja dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia". Kontan. 25 Januari 2022. Diakses tanggal 30 Januari 2023. 
  50. ^ "Indonesia Kekurangan 55 ribu Dokter Hewan". Kumparan. 28 Januari 2022. Diakses tanggal 8 April 2022. 
  51. ^ "Jumlah Dokter Hewan di Indonesia Tak Sampai Setengah dari yang Dibutuhkan". Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. 5 Oktober 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-20. Diakses tanggal 8 April 2022. 
  52. ^ Munawaroh, M.; Naipospos, T.S.P. (4 April 2023), Pentingnya "Veterinary Statutory Body" bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokteran Hewan di Indonesia, Seminar Nasional "Peranan Veterinary Statutory Body (VSB) bagi Penguatan Sistem Kesehatan Hewan Nasional, Semarang 
  53. ^ Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (2009), Ketetapan Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Nomor 01-01/MP2KH/PDHI/V/2009 tentang Standar Kompetensi Dokter Hewan Indonesia, Jakarta: Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, hlm. 5–6 
  54. ^ Kementerian Ketenagakerjaan (2014), Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 394 Tahun 2014 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori Jasa Profesional, Ilmiah dan Teknis Golongan Pokok Jasa Kesehatan Hewan Bidang Penyelenggaraan Kesehatan Hewan (PDF), Jakarta: Kementerian Ketenagakerjaan 
  55. ^ a b Kementerian Pertanian (2019), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pejabat Otoritas Veteriner dan Dokter Hewan Berwenang (PDF), Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  56. ^ "Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR)". Indoagropedia Kementerian Pertanian. Diakses tanggal 28 Januari 2023. 
  57. ^ Pemerintah Indonesia (2017), Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner, Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6019, Jakarta: Sekretariat Negara 
  58. ^ Kementerian Pertanian (24 Januari 2023), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya di dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kementerian Pertanian 
  59. ^ "Perlunya Peran Pejabat Otoritas Veteriner Sebagai Amanat PP 03/2017". Agro Indonesia. 6 Juni 2022. Diakses tanggal 28 Januari 2023. 
  60. ^ "Surat Pembaca: Pejabat Otoritas Veteriner". Kompas. 21 Juli 2022. Diakses tanggal 28 Januari 2023. 
  61. ^ "KBLI 2020: Aktivitas Kesehatan Hewan". OSS: Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Diakses tanggal 10 Februari 2023. 
  62. ^ a b "Kegiatan Puskeswan". Tabloid Sinar Tani. 11 Maret 2014. Diakses tanggal 27 Januari 2023. 
  63. ^ "UPT Puskeswan". Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Pemerintah Kota Batam. Diakses tanggal 27 Januari 2023. 
  64. ^ Kementerian Pertanian (2007), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/9/2007 tentang Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  65. ^ Sadewo, Eri; Siregar, Farli Humala; Sukirna, Iwan; Adisusanto, Juda; Fauzan, Nova (2021). "Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan pada Klinik Hewan di Indonesia". Muhammadiyah Riau Accounting and Business Journal. 2 (2): 193–200. doi:10.37859/mrabj.v2i2.2331. ISSN 2715-632X. 
  66. ^ "Hewan Peliharaan Sakit? Ini Dia Rumah Sakit Hewan di Jogja Terlengkap". Tribun Jogja. 31 Oktober 2017. Diakses tanggal 27 Januari 2023. 
  67. ^ "Rumah Sakit Hewan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur". Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Diakses tanggal 30 Januari 2023. 
  68. ^ Kementerian Pertanian (2017), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  69. ^ Kementerian Pertanian (2021), Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021 tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia 
  70. ^ "Pemerintah Larang Penggunaan Antibiotik Untuk Pakan". Swadaya Online. 21 November 2017. Diakses tanggal 1 Januari 2024. 
  71. ^ "Ini Alasan Pemerintah Larang Penggunaan AGP". Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. 25 Januari 2018. Diakses tanggal 1 Januari 2024. 
  72. ^ "Kementan Larang Penggunakan AGP pada Ternak". Jurnas. 8 Juni 2018. Diakses tanggal 1 Januari 2024. 
  73. ^ Widodo, Eko; Natsir, Muhammad Halim; Sjofjan, Osfar (2019). Aditif Pakan Unggas Pengganti Antibiotik: Respons terhadap Larangan Antibiotik Pemerintah Indonesia. Malang: UB Press. ISBN 9786024326869. 
  74. ^ Bimantara, J. Galuh; Ramadhan, Fajar; Diveranta, Aditya; Khaerudin (16 Juli 2021). "Antibiotik Ternak Beredar Bebas Tanpa Pengawasan". Kompas. Diakses tanggal 1 Januari 2024. 
  75. ^ Fari, Irawati (17 November 2021). "Dinamika Industri Obat Hewan Indonesia". Poultry Indonesia. Diakses tanggal 1 Januari 2024.