Kesultanan Tidore

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Tidore

كسولتانن تيدور
Kie Ma-Kolano
1081–1815
Bendera Kesultanan Tidore
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Ibu kotaTidore
Bahasa yang umum digunakanTidore
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sultan, Kie Ma-Kolano 
• 1081
Kolano Syahjati (Muhammad Naqil)
• 1947-1967
Sultan Zainal Abidin Syah
• 2012-Sekarang
Sultan Husain Syah
Sejarah 
• Pertama oleh Raden Mas lV
1081
• Dikuasai
1815
Digantikan oleh
Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Lukisan Sultan Saifuddin dari Tidore (bertahta 1657-1689).

Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Awal Perkembangan Kesultanan Tidore[sunting | sunting sumber]

Wilayah vasal/kerajaan bawahan dari Kesultanan Tidore di Semenanjung Bomberai dan Doberai, Papua bagian barat.

Kesultanan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.[2]

Aspek Kehidupan[sunting | sunting sumber]

Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugal, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, dan sebagian Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Sultan Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku.

Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial[sunting | sunting sumber]

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugal melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah kitab suci Al-Qur’an.

Kesultanan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Kemunduran Kesultanan Tidore[sunting | sunting sumber]

Putra Sultan Tidore bersama seorang controleur dan seorang warga Belanda (sekitar tahun 1900).[3]

Kemunduran Kesultanan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kesultanan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (Spanyol dan Portugis) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu Domba oleh Portugal dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugal dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

Daftar Raja dan Sultan Tidore[sunting | sunting sumber]

Istana Kesultanan Tidore (Kadato Kie) di Tidore.
Singgasana Sultan dan Permaisuri Tidore
Presiden Joko Widodo mendapat plakat setelah menerima anugerah gelar adat dari Sultan Husein Syah di Istana Kesultanan Tidore, 8 Mei 2015[4].
  1. Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq
  2. Kolano Bosamawange
  3. Kolano Syuhud alias Subu
  4. Kolano Balibunga
  5. Kolano Duko adoya
  6. Kolano Kie Matiti
  7. Kolano Seli
  8. Kolano Matagena
  9. 1334-1372: Kolano Nuruddin
  10. 1372-1405: Kolano Hasan Syah
  11. 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
  12. 1512-1526: Sultan Al Mansur
  13. 1526-1535: Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
  14. 1535-1569: Sultan Kiyai Mansur
  15. 1569-1586: Sultan Iskandar Sani
  16. 1586-1600: Sultan Gapi Baguna
  17. 1600-1626: Sultan Mole Majimo alias Zainuddin
  18. 1626-1631: Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah; memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Biji Negara di Toloa
  19. 1631-1642: Sultan Gorontalo alias Saiduddin
  20. 1642-1653: Sultan Saidi
  21. 1653-1657: Sultan Mole Maginyau alias Malikiddin
  22. 1657-1674: Sultan Saifuddin alias Jou Kota; memindahkan pemerintahan dan mendirikan Kadato (Istana) Salero di Limau Timore (Soasiu)
  23. 1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
  24. 1705-1708: Sultan Abdul Fadhlil Mansur
  25. 1708-1728: Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia
  26. 1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan
  27. 1757-1779: Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin
  28. 1780-1783: Sultan Patra Alam
  29. 1784-1797: Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar
  30. 1797-1805: Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku
  31. 1805-1810: Sultan Zainal Abidin
  32. 1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
  33. 1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah; pembangunan Kadato (Istana) Kie
  34. 1856-1892: Sultan Achmad Syaifuddin Alting
  35. 1892-1894: Sultan Achmad Fatahuddin Alting
  36. 1894-1906: Sultan Achmad Kawiyuddin Alting alias Shah Juan; setelah wafat, terjadi konflik internal (Kadato Kie dihancurkan) hingga vakumnya kekuasaan
  37. 1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah; diikuti vakumnya kekuasaan
  38. 1999-2012: Sultan Djafar Syah; pembangunan kembali Kadato Kie
  39. 2012-sekarang: Sultan Husain Syah

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]