Konfusianisme di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Konfusianisme di Indonesia pertama kali didirikan pada tahun 1955, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, adalah organisasi keagamaan untuk mempromosikan perkembangan ajaran Konghucu. Konfusius yang di Indonesia disebut Konghucu, dalam ejaan bahasa China yaitu Kong Fuzi atau Kongzi yang mempunyai nama asli Kong Qiu lahir di negeri Lu.[1] Di Indonesia, kedatangan Agama Konghucu diperkirakan telah terjadi sejak akhir jaman pra sejarah. Terbukti dengan ditemukannya benda-benda pra sejarah seperti kapak sepatu yang terdapat di Indo Cina dan Indonesia. Penemuan ini membuktikan telah terjadinya hubungan antara kerajaan-kerajaan yang terdapat di daratan Tiongkok dengan Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui Indo Cina. Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia membawa serta tradisi, norma-norma tata kehidupan, dan sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhur mereka. Dimanapun orang Cina bertempat tinggal, pedoman maupun landasan kehidupan sosiokulturalnya selalu berpatokan pada ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh ahli pikir Cina. Ajaran-ajaran yang banyak memberikan pengaruh pada pandangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang-orang Cina tersebut adalah Bhudisme, Konghucu dan Taoisme. Ajaran Konghucu pengaruhnya sangat besar terhadap orang-orang Cina. Ajaran Konghucu menciptakan rasa kesatuan keluarga dimanapun mereka berada.[2]

Agama Konghucu masuk Indonesia diperkirakan sejak zaman akhir prasejarah, hingga sekarang mayoritas penganut agama Konghucu adalah etnis Tionghoa. Sejarah etnis Tionghoa dan agama Konghucu di tanah air ini sempat mengalami masa-masa sulit karena kebijakan rezim Orde Baru yang represif terhadap umat agama Konghucu.[3]

Paham Konfusianisme menitikberatkan pada keharmonisan antara satu individu dengan individu yang lainnya untuk hidup saling mengasihi untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Selain itu, Konfusianisme juga mengajarkan untuk menjaga keseimbangan hubungan antara sesama manusia dan mengajarkan kita untuk bisa menjaga hubungan yang baik dengan langit, dimana kita dituntut untuk selalu mengingat kebaikan dari nenek moyang kita. Inti dari paham pemikiran Konfusianisme tertuang di dalam beberapa buku kuno, baik yang ditulis sendiri oleh Konfusius sendiri maupun oleh murid-muridnya.[4] Konfusius adalah guru dan agamawan paling terkenal dalam sejarah kebudayaan Cina. Ajaran Konfusius dalam menerapkan semangat wirausaha berpedoman pada nilai Ren (ren 仁 kemanusiaan), Guanxi (guanxi 关系 hubungan), Li (li 礼 kesopanan), Yong (yong 勇 keberanian), Zhi (zhi 智 kebijaksanaan), Xin (xinshi 信实 dapat dipercaya), dan Zhong (zhong 忠 kesetiaan).[5]

Pandangan dasar Konfusianisme adalah bahwa kehidupan yang tertib, damai dan bahagia merupakan impian setiap orang. Dalam kerangka itu, penguasa menjadi salah satu faktor kunci terwujud atau tidaknya cita-cita tersebut. Apabila penguasanya berkarakter lalim, maka masyarakatnya akan mengalami tekanan dan penderitaan. Jika penguasanya baik, penuh kebajikan memperhatikan dan bahkan mengutamakan kepentingan rakyat, maka masyarakat akan hidup dengan penuh kesejahteraan dan ketenteraman yang merupakan bagian penting dari perwujudan keharmonisan semesta.[6]

Konfusianisme bertujuan untuk mendidik dan menekankan agar manusia dapat melayani negara dan masyarakat. Untuk memahami ajaran Konfusius tersebut perlu dipahami Kitab Daxue (Ajaran Agung) yang berisi ajaran mengenai etika seperti etika dalam keluarga, masyarakat, dan bernegara. Ajaran Agung merupakan inti dari dari Ajaran Konfusius untuk mendidik dan membangun manusia mencapai prestasi. Untuk mencapai pengetahuan tertinggi penguasa, pemimpin, dan orang terpelajar harus menciptakan keteraturan dalam wilayah masing-masing. Konfusianisme telah ditolak oleh para intelektual pada awal abad ke-20 dengan jatuhnya sistem kekaisaran Cina. Hilangnya kepercayaan pada kekaisaran diikuti juga oleh hilangnya kepercayaan atas ide moral Konfusianisme. Mulai dari Pemerintahan Cina Republik dan Republik Rakyat Cina, kemudian Konfusianisme telah kehilangan kredibilitasnya.[7]

Dalam peta keagamaan khususnya di Indonesia, ada kecenderungan masyarakat yang mengidentifikasi Konfusianisme hanya kepada filsafat Konfusius. Konfusianisme harus dipahami baik sebagai agama maupun filsafat. Menurut Thomas Hosuck Kang, Konfusianisme adalah ajaran berlandaskan humanisme, sebuah filsafat atau sikap yang menyangkut keberadaan manusia, prestasi dan perhatiannya yang lebih kepada keberadaan abstrak dan masalah-masalah teologi. Secara umum, dikatakan bahwa Konfusianisme adalah kebudayaan yang berlaku di zona kebudayaan yang terdiri dari China, Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Vietnam.[8]

Keberadaan umat beragama Konghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Konghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Asruchin 2019, hlm. 78.
  2. ^ Aprilia dan Murtiningsih 2017, hlm. 18-19.
  3. ^ Rosidi 2015, hlm. 166.
  4. ^ Arifin 2013, hlm. 60.
  5. ^ Afriza dan Srigustini 2018, hlm. 29.
  6. ^ Purwanta 2004, hlm. 89.
  7. ^ Hartati 2016, hlm. 174-175.
  8. ^ Rozie 2012, hlm. 178-179.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Hartati, D. (2016). "Konfusianisme dalam Kebudayaan Cina Modern". Jurnal Kajian Budaya. 2 (2): 174–179. ISSN 2503-0868. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-20. Diakses tanggal 2021-01-26. 
  2. Arifin, Y. Y. (2013). "Lima Sikap Moral dalam Paham Konfusianisme dan Penerapannya di Kehidupan Sehari-hari". Jurnal Bahasa dan Budaya China. 4 (2): 59–68. ISSN 2615-6423. 
  3. Rozie, F. (2012). "Negeri Sejahtera Ala Konfusianisme Melalui Self Cultivation". Kalam. 6 (1): 177–196. ISSN 2540-7759. 
  4. Afriza E. F., &, Srigustini A. (2018). "Aktualisasi Ajaran Konfusius yang Diadaptasikan sebagai Sumber Pembelajaran Pendidikan Karakter Kewirausahaan". Jurnal Edunomic. 6 (1): 28–35. ISSN 2541-562X. 
  5. Asruchin, M. (2019-02-25). "Konfusianisme: Sumber Peradaban China" (PDF). UAI - PROGRAM STUDI BAHASA MANDARIN DAN KEBUDAYAAN TIONGKOK. ISBN 978-602-51169-6-4. Diakses tanggal 2021-01-26. 
  6. Purwanta, H. (2004). "Seri Artikel Filsafat Cina: Konfusianisme" (PDF). SPSS. 18 (2): 81–94. ISSN 0215-8809. 
  7. Rosidi, A. (2015). "Aktualisasi Ajaran Konfusianisme dalam Membangun Nasionalisme Etnis Tionghoa (Perspektif Etnis Tionghoa Surakarta)". Jurnal SMaRT. 1 (2): 165–175. ISSN 2460-6294. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-02. Diakses tanggal 2021-01-26. 
  8. Aprilia, S., &, Murtiningsih, M. (2017). "Eksistensi Agama Khonghucu di Indonesia". Jurnal Studi Agama. 1 (1): 15–40. ISSN 2655-9439. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]