Korupsi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Korupsi politik)

Peta yang menggambarkan Corruption Perceptions Index di dunia pada tahun 2022; skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat korupsi yang lebih rendah.
  100 – 90
  89 – 80
  79 – 70
  69 – 60
  59 – 50
  49 – 40
  39 – 30
  29 – 20
  19 – 10
  9 – 0
  Tidak ada data

Korupsi adalah suatu bentuk ketidakjujuran atau tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi yang dipercayakan dalam suatu jabatan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan yang haram atau penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi seseorang. Korupsi dapat melibatkan banyak kegiatan yang meliputi penyuapan, penjualan pengaruh dan penggelapan dan mungkin juga melibatkan praktik yang legal di banyak negara.[1] Korupsi politik terjadi ketika pejabat atau pegawai pemerintah lainnya bertindak dengan kapasitas resmi untuk keuntungan pribadi. Korupsi paling umum terjadi di kleptokrasi, oligarki, negara-narkoba, dan negara bagian mafia.[2]

Korupsi dan kejahatan adalah kejadian sosiologis endemik yang muncul dengan frekuensi reguler di hampir semua negara pada skala global dalam berbagai tingkat dan proporsi. Data terbaru menunjukkan korupsi sedang meningkat.[3] Setiap negara mengalokasikan sumber daya domestik untuk pengendalian dan pengaturan korupsi dan pencegahan kejahatan. Strategi-strategi yang dilakukan dalam rangka melawan korupsi seringkali dirangkum dalam istilah anti-korupsi.[4] Selain itu, prakarsa global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 16 juga memiliki target sasaran yang diharapkan dapat secara substansial mengurangi korupsi dalam segala bentuknya .[5]

Sudut pandang hukum Tindakan Pidana Korupsi

  1. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
  2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Penyuapan (Pasal5, Pasal 6, dan Pasal 11)
  4. Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10)
  5. Pemerasan dalam Jabatan (Pasal 12)
  6. Berkaitan dengan Pemborongan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah (Pasal 7)
  7. Gratifikasi (Pasal 12B dan Pasal 12C)[6][7][8].

Tindak pidana korupsi secara garis besar

  1. Perbuatan melawan hukum;
  2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
  5. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
  6. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
  7. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
  8. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
  9. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
  10. Saksi yang membuka identitas pelapor;[9].
  11. Perencanaan kegiatan yang menggunakan anggaran sektor public kebijakan pemerintah tentang anggaran belanja proses tahapannya tidak Profesional terutama dalam pengadaan barang/jasa dan lain sebagainya[10].

Bagian dari tindak pidana korupsi

  1. Kerugian keuangan negara,
  2. Pemberi dan Penerima Suap pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah[11]
  3. Perbuatan curang
  4. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa,
  5. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
  6. Penggelapan dalam jabatan,
  7. Pemerasan dalam jabatan,
  8. Pungutan liar (pungli),
  9. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
  10. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Pemilihan Umum partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain[9][12][13].

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

Persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha dan pemerintahan) terhadap tingkat korupsi di suatu negara, tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pemenang pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui proses tender Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek, Keuangan dan Perbankan, Minyak dan Gas Bumi, BUMN dan BUMD, Pengelolaan APBN dan APBD, Lembaga Manajemen Aset Negara dan Aset Daerah, Pertambangan, Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum Daerah[12][14][15]. Pendukung munculnya korupsi adalah sebagai berikut:

  1. Konsentrasi kekuasaan dalam pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada masyarakat.
  2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  4. Proyek yang melibatkan uang rakyat (masyarakat) dalam jumlah besar.
  5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  6. Lemahnya ketertiban hukum.
  7. Lemahnya profesi hakim.
  8. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan Media massa.
  9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
  10. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye[16][17][18].
  11. Unsur DPRD meminta jatah Proyek dan/atau menerima dan memberi uang Suap[19]
  12. Politik biaya tinggi,
  13. Sistem pemilu dan Pilkada bermasalah,
  14. Proses kandidasi yang transaksional,
  15. Partai Politik
prakmatis, tidak ideologis dan Korupsi,
  1. Sikap pasif masyarakat terhadap korupsi,
  2. Politisi Tidak Bermoral[20]
  3. Para politisi tidak Ber-Akhlak[21]

Menurut pasal 5 UU No 20 Tahun 2001

Terpidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus limapuluh juta rupiah) setiap orang yang:

  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya[9].

Menurut pasal 6 UU No 20 Tahun 2001

  • Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau:
  2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili seperti, korupsi dengan iman yang mantab.
  3. Disiplin adalah sebuah keyakinan akan yang seharusnya, bukan tentang membenarkan yang bisa namun disiplin ialah membiasakan yang benar, berkomitmen dengan apa yang sudah disepakati dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.
  4. Amanah adalah sipat yang dapat dipercaya, hal ini menjadi sangat penting karena memiliki jabatan yang di pegangnya, sipat amanah ini dapat menjadi pandu bagi seseorang untuk tetap menjaga kepercayaan negara dan masyarakat terhadap apa yang ia kerjakan.
  5. Kerjasama, sikap ini muncul bukan dalam satu malam menang, namun sederhananya orang yang lebih mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan terasa lebih ringan dan dapat di selesaikan secara efektif dan efisien[9].

Menurut Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001

  • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan nya dan yang berlawanan dengan kewajiban atas tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Yang dinilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  • Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)[9].

Panduan Para Hakim Menjatuhkan Hukuman Terpidana Korupsi

Peraturan Mahkamah Agung (MA) keterkaitan dengan hukuman pidana untuk pelaku korupsi disebut koruptor atau koruptif tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, yang menjadi panduan para hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara terdakwa kasus korupsi[22]. Diundangkan sejak 24 Juli 2020, regulasi ini mengatur secara spesifik sebagai pedoman bagi hakim agar praktik disparitas terhadap pelaku korupsi di Indonesia, pengkategorian hukuman koruptif berdasarkan jumlah uang yang di ambil (Pasal 6) dan tingkat kesalahan (Pasal 7)[22]. Pidana Hukuman berdasarkan Undang-undang Tipikor Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang yang secara melawab hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat (4) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp tak terbatas"[23].

Undang-undang Tipikor Pasal 3 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalak gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp tak terbatas"[23].

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor juga dapat menimbulkan ketakutan dan khawatir terhadap jabatan pemerintahan, dalam mengambil keputusan "Bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," selama ini hingga dalam praktiknya seringkali disalahgunakan oleh aparat ... ... "Untuk menjangkau banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan dan keputusan diskresi yang menimbulkan bersipat mendesak dapat di pergunakan landasannya Undang-undang Tipikor Pasal 3 dan Pasal 2"[23].

  • Dikategorikan tentang kerugian keuangan Negara, terdakwa korupsi dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor, Perma ini dibagi lima kategori yaitu :
  1. Paling terpaling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp. 100 miliar
  2. Berat yaitu kerugian negara Rp. 25 miliar-Rp. 100 miliar
  3. Sedang yaitu kerugian negara Rp. 1 miliar-Rp. 25 miliar
  4. Ringan yaitu kerugian negara Rp. 200 juta-Rp. 1 miliar
  5. Paling ringan yaitu kurang dari Rp. 200 juta[22].
  • Tingkat kesalahan hukuman yang dijatuhkan dampak, dan keuntungan bagi pelaku korupsi, tiga jenis kesalahan yaitu:
  1. Kesalahan tinggi, Dampak tinggi dan Keuntungan Terdakwa Tinggi
  2. Kesalahan sedang, Dampak sedang dan Keuntungan terdakwa sedang
  3. Kesalahan rendah, Dampak rendah dan Keuntungan Terdakwa rendah[22].
  • Pidana Hukuman berdasarkan Perma 1/2020 yaitu:
  1. Penjara Seumur Hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun: terdakwa korupsi Rp. 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  2. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  3. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan ringan terdakwa ringan
  4. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  5. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  6. Penjara 8-10 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp. 1 miliar-Rp 25 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan, dan keuntungan terdakwa ringan[22][24][24].

Dampak negatif

Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dituduh telah mencuci miliaran dolar terkait dengan Skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Ia dinyatakan bersalah pada Juli 2020.

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan Negara, Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan Ekonomi Negara, menurunnya inventasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan, Korupsi juga dapat merugikan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu Negara[25].

Bahaya Dampak Korupsi

Korupsi yang berdampak pada perekonomian menyumbang banyak untuk meningkatkan kemiskinan masyarakat di seluruh negara, kemiskinan absolut, dampak korupsi terhadap ketimpangan munculnya kemiskinan relatif[26].

Korupsi sebuah kejahatan yang luar biasa karena memiliki dampak yang masif dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain merugikan negara korupsi juga menyengsarakan masyarakat, membuat masyarakat bodoh hingga kelaparan sampai ... karena mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, masyarakat dibuat bertambah miskin, terbatas fasilitas pendidikan dan kesehatan, kebutuhan ekonomi masyarakat semakin mendesak dan berbagai pembangunan terhambat, belum lagi dari sisi Adat dan budaya, korupsi menggerus kearifan lokal dan menggantikannya dengan tabiat yang buruk akibat Oknum penimbun harta dengan cara korupsi dengan menghalalkan segala cara bahkan dengan membunuh dirinya sendiripun dilakukan asalkan bisa untuk korupsi sipat seperti ini tidak akan bisa berubah karena telah melekat di diri orang tersebut terkecuali ...[26]. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Seseorang pelaku korupsi di Indonesia juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korupsi. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi di Indonesia, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), tetapi lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachusetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara Afrika Sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Saiful Mujani). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari Barclays Center pada masa depan.

Produktivitas pada setiap industri dan produksi akan menurun karena dapak dari korupsi ini. Produktivitas dari perusahaan-perusahaan akan terhambat dan tidak bisa berkembang lebih maju lagi. Hal ini dapat mengakibatkan pengurangan jumlah karyawan atau PHK, lalu banyaknya pengangguran yang menyebabkan angka kemiskinan meningkat[27].

Menurunnya pendapatan negara dari pajak APBN dibiayai oleh pajak sebesar 70%. Pajak penghasilan PPN dan PPh 11.5% jenis pajak yang paling banyak untuk pendapatan negara[27].

Meningkatnya hutang negara, Korupsi tentunya akan memperburuk keuangan negara. Selain sebelumnya negara memang sudah punya hutang dengan negara lain, dengan adanya korupsi hutang tersenut akan semakin bertambah. Para maling uang masyarakat ia tidak sadar diri yang dia lakukan memperburuk keadaan negara. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya, dan juga orang-orang terdekatnya[27].

Menurunnya pertumbuhan ekonomi dan investasi, dengan adanya tindak korupsi di suatu negara akan menyebabkan para investor dari luar negeri tidak percaya lagi dengan kepastian hukum dalam tindak korupsi untuk menanamkan modal di bidang industri suatu negara. Kondisi seperti ini mempersulit pembangunan ekonomi[27].

Rendahnya kualitas realisasi pengadaan barang dan jasa, tidak layak digunakan untuk publik[27].

Menambah beban dalam teransaksi ekonomi, adanya suap, pungli, penyelewengan dana dalam sebuah perekonomian membuat biaya teransaksi membesar yang mengakibatkan tidak efisien dalam perekonomian[27].

Tindakan korupsi ini menyebabkan perpindahan sumber daya untuk publik ke tangan pelaku. Hal ini membuat uang pembelanjaan pemerintah menjadi berkurang.[28]

Korupsi politikus merugikan masyarakat

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, tetapi merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti menjanjikan dan memberikan Hadiah, penyogokan, pemerasan, campuran tangan kepentingan, Lampiran pertanggung jawaban perjalanan dinas pemerintah seperti tiket pesawat darat serta bill hotel yang tidak terdaftar pada perusahaan terkait dan juga penipuan[29].

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan[29][30].

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan[29].

Duabelas negara yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:

Menurut survei persepsi korupsi, tigabelas negara yang paling korup adalah:

Namun, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)[29].

Sumbangan kampanye dan "uang haram"

Di arena politik, sangat tidahlah sulit untuk membuktikan korupsi, tetapi tidak lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip ketidak benaran menyangkut politisi[32][33].

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Korupsi sebagai alat politik

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi

Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.[34][35]

Lihat pula

Referensi

Khusus
Umum
  1. ^ "Report" (PDF). siteresources.worldbank.org. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 May 2015. Diakses tanggal 25 September 2012. 
  2. ^ Bima, Muhammad Faisal; dkk (2024). Muhammad Rizki, Fauzi, ed. Kisah Politik Di Tanah Indonesia. Banten: Literasi Insan Cita Publishing. hlm. 110. 
  3. ^ "Insights | WJP Rule of Law Index 2022". worldjusticeproject.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-02-08. 
  4. ^ Lehtinen, Jere; Locatelli, Giorgio; Sainati, Tristano; Artto, Karlos; Evans, Barbara (2022-05-01). "The grand challenge: Effective anti-corruption measures in projects". Internasional Journal of Project (dalam bahasa Inggris). 40 (4): 347–361. doi:10.1016/j.ijproman.2022.04. 003 Periksa nilai |doi= (bantuan). ISSN 0263-7863. 
  5. ^ Doss, Eric. "Sustainable Development Goal 16". United Nations and the Rule of Law (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09 -25. 
  6. ^ https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama spak
  8. ^ https://media.neliti.com/media/publications/220789-peran-hakim-dalam-penerapan-pasal-2-unda.pdf
  9. ^ a b c d e https://lsc.bphn.go.id/uploads/919381_leaflet_6.pdf
  10. ^ http://spi-blu.uinjkt.ac.id/?p=348
  11. ^ https://www.bphn.go.id/data/documents/bidang_pidana_suap.pdf
  12. ^ a b https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf
  13. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-30. Diakses tanggal 2022-07-18. 
  14. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/234
  15. ^ https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/TIPIKOR_0.pdf
  16. ^ https://text-id.123dok.com/document/oy81xwjwz-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi.html
  17. ^ https://pengayaan.com/8-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi-kolusi-dan-nepotisme/
  18. ^ https://bdkbandung.kemenag.go.id/tatarpasundan/jurnal/index.php/tp/article/viewFile/84/115
  19. ^ https://www.viva.co.id/berita/nasional/1223994-kpk-ungkap-184-anggota-dprd-terjerat-korupsi
  20. ^ https://wow.tribunnews.com/2018/09/05/analis-politik-lipi-sebut-6-faktor-dprd-korupsi-massal-gaji-kecil-hingga-keterbukaan-masyarakat
  21. ^ https://fin.co.id/read/6173/faizal-assegaf-sentil-gus-baha-tidak-berakhlak-dan-tak-beradab
  22. ^ a b c d e https://indonesiabaik.id/infografis/jerat-hukuman-baru-bagi-koruptor
  23. ^ a b c "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-26. 
  24. ^ a b https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
  25. ^ https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/infografis/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia
  26. ^ a b https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220520-kenali-bahayanya-dampak-korupsi-di-berbagai-bidang-ini
  27. ^ a b c d e f Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama lite
  28. ^ Listiani, Anis (2021). 15 Materi Dasar Pendidikan Anti Korupsi. Guepedia. hlm. 38. 
  29. ^ a b c d e https://katadata.co.id/safrezi/berita/6200ce92c52fb/daftar-25-negara-korupsi-terbesar-di-dunia-tahun-2021
  30. ^ a b https://www.idxchannel.com/economics/siapa-saja-negara-yang-tak-pernah-korupsi-simak-di-sini-yuk#:~:text=Selandia%20Baru%20merupakan%20negara%20pertama,pertama%20dengan%20jumlah%20skor%2088.&text=Selandia%20Baru%20konsisten%20berada%20di,korupsi%20selama%209%20tahun%20terakhir.
  31. ^ https://nasional.tempo.co/read/1501686/5-buron-kasus-korupsi-ada-yang-kabur-selama-28-tahun
  32. ^ https://www.bawaslu.go.id/id/press-release/masa-tenang-pengawas-pemilu-tangkap-tangan-25-kasus-politik-uang
  33. ^ https://bawaslu.go.id/sites/default/files/press_release/Rilis%20Dugaan%20Politik%20Uang.pdf
  34. ^ https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/22/090000269/dampak-korupsi-dan-hukumannya?page=all
  35. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf

Pranala luar