Kriminologi biososial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kriminologi biososial adalah bidang interdisipliner yang bertujuan menjelaskan kejahatan dan perilaku antisosial dengan menggali baik faktor biologis maupun faktor lingkungan. Kriminologi kontemporer didominasi oleh teorisosiologis sedangkan kriminologi biososial juga mengakui potensi kontribusi bidang seperti genetika, neuropsikologi, dan psikologi evolusioner.[1]

Pendekatan[sunting | sunting sumber]

Lingkungan[sunting | sunting sumber]

Lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ekspresi genetik. Lingkungan yang kurang beruntung meningkatkan ekspresi gen antisosial, menekan aksi gen prososial, dan mencegah realisasi dari potensi genetik.[1]

Gen dan lingkungan yang bekerja sama (berinteraksi) dibutuhkan untuk memproduksi perilaku antisosial yang signifikan sementara tidak keduanya cukup kuat untuk memproduksinya secara mandiri. Maksudnya, anak dengan risiko genetik perilaku antisosial yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang positif tidak menampilkan perilaku antisosial; anak yang tidak memiliki risiko genetik tidak menjadi antisosial dalam lingkungan keluarga yang merugikan.[1]

Genetika[sunting | sunting sumber]

Salah satu pendekatan untuk mempelajari peran genetika untuk kejahatan adalah menghitung koefisien heritabilitas, yang menggambarkan proporsi varians yang disebabkan oleh efek genetik yang diaktualisasikan untuk beberapa sifat dalam populasi tertentu dalam lingkungan tertentu pada waktu tertentu. Koefisien heritabilitas untuk perilaku antisosial diperkirakan antara 0,40 dan 0.58.[1]

Metodologi yang sering digunakan dalam kriminologi biososial (dari studi kembar) dikritik karena memproduksi perkiraan heritabilitas yang meningkat[2] meskipun kriminolog biososial mempertahankan bahwa kritik ini tidak berdasar.[3] Peneliti peradilan pidana Brian Boutwell dan J. C. Barnes berpendapat bahwa banyak penelitian sosiologis yang tidak mengontrol warisan genetik faktor risiko menyesatkan atau memiliki hasil yang tidak dapat diandalkan.[4]

Neurofisiologi[sunting | sunting sumber]

Pendekatan lain adalah menguji hubungan antara neurofisiologi dan kriminalitas. Salah satu contoh adalah tingkat neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin dikaitkan dengan perilaku kriminal. Contoh yang lain adalah studi pencitraan syaraf memberikan bukti kuat bahwa baik struktur maupun fungsi otak terlibat dalam perilaku kriminal. Sistem limbik menciptakan emosi seperti kemarahan dan kecemburuan yang pada akhirnya dapat menyebabkan perilaku kriminal. Korteks prefrontal terlibat dalam menunda kepuasan dan kontrol impuls serta mengatur impuls dari sistem limbik. Jika keseimbangan ini bergeser mendukung sistem limbik, perilaku kriminal terpengaruh. Teori perkembangan kejahatan Terrie Moffitt menyodorkan bahwa "pelanggar persisten sepanjang hidup" hanya menyusun 6% dari populasi tetapi melakukan lebih daripada 50% dari semua kejahatan dan bahwa ini karena kombinasi defisit neurofisiologis dan lingkungan yang merugikan yang menciptakan jalur kejahatan yang sangat sulit untuk diputus setelah dimulai.[1]

Psikologi evolusioner[sunting | sunting sumber]

Pria berpotensi memiliki banyak anak dengan sedikit usaha; wanita hanya beberapa dengan usaha besar. Terdapat pendapat bahwa konsekuensinya adalah laki-laki lebih agresif, dan lebih keras agresifnya, daripada perempuan karena mereka menghadapi kompetisi reproduksi yang lebih tinggi dengan sesama mereka daripada perempuan. Secara khusus, laki-laki dengan status rendah lebih mungkin untuk tetap tidak memiliki anak. Dengan keadaan seperti itu, mungkin dari segi evolusi, berguna mengambil risiko yang sangat tinggi dan menggunakan agresi yang keras untuk mencoba meningkatkan status dan keberhasilan reproduksi daripada secara genetik punah. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa laki-laki memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi daripada perempuan dan mengapa status rendah dan belumnya menikah dikaitkan dengan kriminalitas. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat adalah prediktor yang lebih baik daripada tingkat pendapatan mutlak masyarakat untuk pembunuhan laki-laki dengan laki-laki; ketimpangan pendapatan menciptakan kesenjangan sosial sedangkan pembedaan tingkat rata-rata pendapatan tidak dapat demikian. Selain itu, kompetisi memperebutkan perempuan dianggap sangat intensif pada akhir masa remaja dan dewasa muda, yang dijadikan teori yang menjelaskan mengapa tingkat kejahatan sangat tinggi selama periode ini.[5]

"Teori neuroandrogenik evolusioner" berfokus pada hormon testosteron sebagai faktor yang memengaruhi agresi dan kriminalitas serta bermanfaat selama kompetisi dengan bentuk tertentu.[6] Pada sebagian besar spesies, laki-laki lebih agresif daripada perempuan. Pengebirian laki-laki biasanya memiliki efek menenangkan pada perilaku agresif laki-laki.[7] Pada manusia, laki-laki yang terlibat dalam tindak kejahatan terutama kejahatan kekerasan lebih banyak daripada perempuan. Keterlibatan dalam kejahatan biasanya meningkat pada awal hingga pertengahan masa remaja dalam korelasi dengan meningkatnya kadar testosteron. Penelitian tentang hubungan antara testosteron dan agresi sulit karena satu-satunya pengukuran testosteron otak yang dapat diandalkan adalah dengan pungsi lumbar, yang tidak dilakukan untuk keperluan penelitian. Studi, oleh karena itu, sering menggunakan pengukuran yang kurang dapat diandalkan dari darah atau air liur. Beberapa penelitian mendukung hubungan antara kriminalitas orang dewasa dan testosteron meskipun hubungan mereka sedang jika diteliti secara terpisah untuk masing-masing jenis kelamin. Hubungan yang signifikan antara kenakalan remaja dan kadar testosteron belum ditemukan. Beberapa studi juga menemukan testosteron berkaitan dengan perilaku atau ciri-ciri kepribadian yang dikaitkan dengan kriminalitas seperti perilaku antisosial dan alkoholisme. Banyak studi juga telah dilakukan perihal hubungan antara perilaku/perasaan agresif yang lebih umum dan testosteron. Sekitar setengah studi menemukan hubungan antara keduanya dan sekitar setengah menemukan tidak ada hubungan.[8]

Banyak konflik yang menyebabkan pembunuhan melibatkan konflik status, perlindungan reputasi, dan penghinaan yang tampak sepele.[5] Steven Pinker dalam bukunya The Blank Slate berpendapat bahwa dalam masyarakat tanpa polisi yang tak terikat negara, sangat penting memiliki pencegahan kredibel terhadap agresi. Oleh karena itu, penting memiliki reputasi pembalasan sehingga manusia mengembangkan naluri untuk balas dendam serta melindungi reputasi ("kehormatan"). Pinker berpendapat bahwa perkembangan negara dan polisi telah secara dramatis mengurangi tingkat kekerasan dibandingkan dengan lingkungan primitif. Setiap kali sebuah wilayah ambruk, bisa sangat lokal seperti di daerah miskin kota, manusia kembali mengatur diri dalam kelompok untuk perlindungan dan agresi dan konsep seperti balas dendam yang liar dan melindungi kehormatan kembali menjadi sangat penting.

Beberapa budaya menempatkan penekanan lebih besar pada melindungi kehormatan daripada budaya lain. Salah satu penjelasan adalah melindungi kehormatan di masa lalu itu relatif lebih penting bagi penggembala daripada petani. Penghidupan para penggembala ternak mudah dan cepat dicuri. Akibatnya, penting terus-menerus menunjukkan ketangguhan sebagai pencegahan, mungkin menyebabkan kekerasan dengan tingkat yang lebih tinggi. Prediksi teori ini dikonfirmasi dalam sebuah penelitian lintas budaya masyarakat Amerika Spanyol yang bertani dan menggembala secara tradisional. Namun, prediksi bahwa masyarakat pemancing yang menetap menempatkan penekanan yang rendah pada kehormatan tidak terkonfirmasi.[5]

Tingkat kolektivisme kultural sangat terkait dengan beban penyakit menular. Terdapat pendapat bahwa ini disebabkan oleh kolektivisme dan karakteristik terkait seperti sebagai penghindaran out-group yang membatasi penyebaran penyakit menular. Karakteristik lain seperti bias in-grup–out-group yang kuat dan kesediaan untuk mempertahankan kehormatan ingroup dapat memicu kekerasan. Sebuah penelitian menemukan asosiasi yang kuat antara beberapa bentuk kekerasan perilaku kriminal dan baik tingkat penyakit menular di seluruh negara bagian Amerika Serikat maupun tingkat kolektivisme budaya di seluruh negara bagian Amerika Serikat. Asosiasi tetap kuat setelah mengendalikan ketimpangan pendapatan.[5]

Bentuk-bentuk tertentu[sunting | sunting sumber]

Peneliti psikologi evolusioner telah mengusulkan beberapa penjelasan evolusioner untuk psikopati. Salah satunya adalah psikopati mewakili strategi sosial parasit yang bergantung pada frekuensi. Hal ini dapat menguntungkan psikopat asalkan ada beberapa psikopat lain di masyarakat karena lebih banyak psikopat berarti risiko yang lebih tinggi menghadapi psikopat lain, serta nonpsikopat cenderung beradaptasi dengan lebih banyak penanggulangan terhadap yang curang.[9][10]

Teori perkosaan sosiobiologis adalah teori yang mengeksplorasi hingga tingkat apa, jika ada, adaptasi evolusioner memengaruhi psikologi pemerkosa. Teori ini sangat kontroversial karena teori tradisional biasanya tidak menganggap pemerkosaan sebagai adaptasi perilaku. Sebagian orang menentang teori ini dengan dasar etika, agama, politik, serta ilmiah. Yang lain berpendapat bahwa pengetahuan yang benar atas penyebab pemerkosaan diperlukan dalam rangka mengembangkan tindakan pencegahan yang efektif.

Efek Cinderella ialah tingkat yang lebih tinggi yang diduga untuk anak tiri dianiaya oleh orang tua tiri dibandingkan dengan orang tua genetik yang dididapati di beberapa, tetapi tidak semua, studi. Penjelasan pengaruh ini telah diuji dengan aplikasi teori psikologi evolusioner. Ada juga berbagai kritik terhadap teori ini.[11]

Pembunuhan bayi adalah salah satu dari beberapa bentuk kekerasan yang lebih sering dilakukan oleh wanita daripada laki-laki. Penelitian lintas kultural telah menemukan bahwa hal ini lebih mungkin terjadi ketika anak mengalami kelainan atau penyakit serta bila ada kekurangan sumber daya karena faktor seperti kemiskinan, anak-anak lain yang membutuhkan sumber daya, dan tidak adanya dukungan laki-laki. Anak yang demikian mungkin memiliki kemungkinan yang rendah untuk keberhasilan reproduksi, yang mana hal ini akan menurunkan kemampuan inklusif ibu untuk menghabiskan sumber daya untuk si anak, khususnya karena wanita umumnya memiliki investasi orang tua yang lebih besar daripada laki-laki.[12]

Peradilan pidana[sunting | sunting sumber]

Hukuman atas perilaku eksploitatif yang berbahaya terhadap kelompok cenderung menjadi masalah yang berulang di lingkungan leluhur. Karena manusia yang demikian dikatakan telah mengembangkan berbagai mekanisme psikologis untuk menangani hal ini. Hukuman dapat menjadi jera untuk perilaku yang tidak diinginkan tetapi hukuman yang berlebihan juga dapat berbahaya bagi kelompok. Dengan demikian, manusia dikatakan mendukung respons proporsional berdasarkan seberapa parah pelanggaran. Penelitian lintas budaya telah menemukan sebuah kesepakatan mengenai seberapa relatif berbahayanya kejahatan yang berbeda dipersepsi. Di sisi lain, faktor baru evolusioner yang mungkin rasional dipertimbangkan dari perspektif jera, seperti sebagaimana sulit polisi modern mendeteksi kejahatan, tampak tidak mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap hukuman yang sesuai.[13]

Begitu keparahan kejahatan telah dinilai, ada pilihan tentang cara merespons. Dalam beberapa kasus pada lingkungan leluhur, mungkin ada manfaat dari interaksi masa depan dengan pelaku yang beberapa bentuk hukuman mungkin telah mencegah dibandingkan dengan tanggapan seperti ganti rugi atau rehabilitasi. Penelitian menunjukkan bahwa individu dapat mengubah apa yang mereka pikirkan sebagai bentuk respons yang sesuai terhadap pelaku berdasar pada faktor yang pernah di lingkungan kelompok kecil yang lalu mungkin mengindikasikan bahwa mereka secara pribadi bisa mendapatkan keuntungan dari interaksi lebih lanjut dengan pelaku seperti kekerabatan, keanggotaan in-group atau out-group, kepemilikan sumber daya, daya tarik seksual, penyesalan yang diungkapkan, intensionalitas, dan sejarah kerjasama dan eksploitasi sebelumnya.[13]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e
    Kevin M. berang-Berang dan Anthony Walsh. 2011. Biosocial Kriminologi. Bab 1 di Ashgate Penelitian Pendamping untuk Biosocial Teori Kejahatan. 2011. Ashgate.
  2. ^ Burt, Callie H.; Simons, Ronald L. (2014-05-01). "Pulling Back the Curtain on Heritability Studies: Biosocial Criminology in the Postgenomic Era". Criminology (dalam bahasa Inggris). 52 (2): 223–262. doi:10.1111/1745-9125.12036. ISSN 1745-9125. 
  3. ^ Barnes, J. C.; Wright, John Paul; Boutwell, Brian B.; Schwartz, Joseph A.; Connolly, Eric J.; Nedelec, Joseph L.; Beaver, Kevin M. (2014-11-01). "Demonstrating the Validity of Twin Research in Criminology". Criminology (dalam bahasa Inggris). 52 (4): 588–626. doi:10.1111/1745-9125.12049. ISSN 1745-9125. 
  4. ^
  5. ^ a b c d Aurelio José Figueredo, Paul Robert Gladden, Zachary Hohman. The evolutionary psychology of criminal behaviour. In Roberts, S. C. (2011). Roberts, S. Craig, ed. "Applied Evolutionary Psychology". Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780199586073.001.0001. ISBN 9780199586073. 
  6. ^ "Should We Be More Concerned With Prenatal Exposure In The Prevention Of Crime?". Diakses tanggal 23 April 2015. 
  7. ^ "MILD TESTOSTERONE REDUCTION EFFECTIVE AGAINST AGGRESSION?". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-04. Diakses tanggal 23 April 2015. 
  8. ^ Lee Ellis; Kevin M. Beaver; John Wright (1 April 2009). Handbook of Crime Correlates. Academic Press. ISBN 978-0-12-373612-3. 
  9. ^ Glenn, A. L.; Kurzban, R.; Raine, A. (2011). "Evolutionary theory and psychopathy". Aggression and Violent Behavior. 16 (5): 371. doi:10.1016/j.avb.2011.03.009. 
  10. ^ Buss, D. M. (2009). "How Can Evolutionary Psychology Successfully Explain Personality and Individual Differences?". Perspectives on Psychological Science. 4 (4): 359–366. doi:10.1111/j.1745-6924.2009.01138.x. 
  11. ^ Daly & Wilson (2007) Is the "Cinderella Effect" controversial? Error in webarchive template: Check |url= value. Empty. In Crawford & Krebs (Eds) Foundations of Evolutionary Psychology, pp. 383-400. Mahwah, NJ: Erlbaum.
  12. ^ Liddle, J. R.; Shackelford, T. K.; Weekes–Shackelford, V. A. (2012). "Why can't we all just get along? Evolutionary perspectives on violence, homicide, and war". Review of General Psychology. 16: 24. doi:10.1037/a0026610. 
  13. ^ a b Michael Bang Petersen. The evolutionary psychology of Mass Politics. In Roberts, S. C. (2011). Roberts, S. Craig, ed. "Applied Evolutionary Psychology". Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780199586073.001.0001. ISBN 9780199586073. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Anthony Walsh, Kevin M. Beaver, Biosocial criminology: new directions in theory and research, Taylor & Francis, 2008, ISBN 0-415-98944-2
  • Anthony Walsh, Lee Ellis, Biosocial criminology: challenging environmentalism's supremacy, Nova Science Publishers, 2003, ISBN 1-59033-774-3
  • Matt DeLisi, Michael G Vaughn, The Routledge International Handbook of Biosocial Criminology, Routledge, 2015, ISBN 9781317936749
  • Kevin Beaver. Biosocial Criminology: Primer Ken Hunt Publishing Company. 2009.
  • The Adapted Mind: Evolutionary Psychology and the Generation of Culture [Paperback]. Jerome H. Barkow (Editor), Leda Cosmides (Editor), John Tooby (Editor)
  • Homicide (Foundations of Human Behavior) [Paperback], Margo Wilson (Penulis), Martin Daly (Penulis)
  • How the Mind Works [Paperback], Steven Pinker (Penulis)
  • Demonic Malesoleh Richard Wrangham dan Dale Peterson
  • Human Morality and Sociality: Evolutionary and Comparative Perspectives oleh Henrik Hogh-Olesen, Christophe Boesch, Leda Cosmides dan Azar Gat (Jan 19, 2010)
  • Sex, Evolution, and Behavior oleh Martin Daly dan Margo Wilson
  • Evolutionary Psychology: The New Science of the Mind (4th Edition) oleh David M. Buss (Feb 28, 2011)