La Tadampareʼ

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

La Taddampare’ Puang ri Maggalatung adalah Raja/Arung Matoa Wajo pada tahun 1491-1521 yang berhasil mengubah Kerajaan Wajo menjadi salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Dicatat dalam lontaraq bahwa La Taddampare Puang Ri Maggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, juga seorang negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian, dan ahli hukum sehingga. terkenal dalam menjalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar Wajo (Hariansyah, 2014). Keberhasilannya dibuktikan dengan wilayah kekuasaan Wajo yang bertambah luas, kehidupan ekonomi yang stabil, dan struktur pemerintahan berjalan baik sesuai fungsinya.

Biografi[sunting | sunting sumber]

La Taddampare lahir dan tumbuh besar di Kerajaan Palakka (Bone), lalu merantau ke Wajo bersama 300 orang pengikutnya. Pada Lontaraq Suku'na Wajo atau LSW (Farid, 1971) Ayahanda La Taddampare yaitu La Tompi Wanua adalah putra dari La Tenro Aji Datu Sailong dengan We Cammekku, La Tompi Wanua bersaudara dengan La Tiringeng To Tabba Arung Sao Tenreng Arung Simetteppola. We Cammekku sendiri adalah cucu dari La Tenri Bali Arung Cinnotabi VI, Arung Penrang I & Batara Wajo I. Dalam LSW dicatat asal muasal La Taddampare digelari Puang ri Maggalatung akibat berhasil membakar (palllatungngi) kampung wéwattana dan Bélogalung dalam sebuah perang. Adapun perubahan kata mallalatung menjadi maggalatung disebabkan oleh karena orang-orang ketika itu sering mengubah sebutan atau menyingkat nama kampung atau orang seperti Siengkang menjadi Singkang atau Séngkang, La Pénéki disingkat menjadi Pénéki dan sering disebut Piniki. Arung Peneki Pertama, La Madderemmeng adalah anak dari Puang ri Maggalatung (Lontaraq Wajo, 1980).

Riwayat Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

La Tadampare Puang ri Maggalatung menggantikan La Tenriumpu jadi Arung Matowa. Tidak cukup seribu orang Wajo dalam pemerintahannya yang menghuni Tana Wajo. Beliaulah yang memperluas dan memperlebar kerajaan Wajo. Pada masa itulah negeri Baringeng melindungkan diri di bawah kerajaan Wajo, demikian pula Lompullek, Tana Tennga, Ujumpulu. Daerah-daerah yang menjadi negeri taklukan ialah Lamuru, Larompong, Batu Lappa. Negeri-negeri seperti Gilireng, Otting, negeri-negeri di Enrekang, demikian juga Mario Riawa bersama Belokka, Cerowali, Awanio, Patampanua juga sama melindungkan diri di bawah kerajaan Wajo

La Taddampare Puang Ri Maggalatung meletakkan dasar pemerintahan yang bersifat demokratis di Wajo dengan melaksanakan peraturan atau hukum kejujuran. Selama pemerintahannya diberlakukan struktur pemerintahanyang yang terdiri dari; Arung Matoa, Paddanreng 3 orang, Pilla/Bate Lompo (panglima besar) 3 orang, pembicara 30 orang, dan Suro Palele/Ribateng 3 orang, kesemuanya berjumlah 40 orang dan disebut Arung Patappuloe.

Pemerintahan La Taddampare yang berlangsung selama 30 tahun, Wajo tidak pernah hampa padinya dan tidak pernah kekurangan makanan. Kemakmuran Wajo berdampak pulapada perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo pada saat itu meliputi wilaya di bagian utara meliputi La Rompong, Batulappa, Massenrengpulu; Di bagian barat meliputi Bilawa, Utting, Rappang, Bulu Cenrana; Di bagian timur meliputi Pompanua, Amali, Langea dan Mampu;dan di bagian selatan meliputi Baringeng, Pattojo. Untuk mengurus daerah yang sangat luas, agar hubungan pusat dengan daerah lebih dekat, maka setiap daerah diberikan wewenang mengurus daerahnya masing-masing yang dikepalai oleh ranreng. Sedangkan kegiatan administrasi pemerintahan tidak hanya dilakukan di tingkat pusat tetapi juga ditingkat daerah dengan maksud mengurangi beban pemerintah pusat. Kerajaan Wajo pada masa beliau memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Dalam struktur Kerajaan Wajo dilengkapi 4 bidang yang mengurusi pekerjaan rakyat, yaitu; Pertama, Pakkaja (nelayan) diangkat matoa nelayan yang bertugas untuk memutuskan perkara mengenai nelayan; Kedua, Pallao rumah (petani, tukang kebun) diangkat matoa petani dengan tugas untuk menyelesaikan permasalahan pertanian; Ketiga, Passari (penyadap nira), diangkat seorang matoa dengan tugas menyelesaikan masalah yang terjadi dikalangan masyarakat passari, dan terakhir Pabbalu (pedagang) diangkat matoapabbalu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan pabbalu

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Bahri & Riangtati (2018. Sokoguru Maradeka (Demokrasi), La Taddampare Puang ri Maggalatung. Walasuji 9 (2) : 323-333
  • Farid, Abidin, Andi Zainal. (1971). Wajo’ pada Abad XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Disertasi. Universitas Indonesia
  • Hariansyah, Erik. 2014.Kerajaan Wajo pada masa pemerintahan Arung Matoa IV La Taddampare (Puang Ri Maggalattung).Skripsi, Universitas Negeri Makassar
  • Herlina, Andi. 2016. La Taddamparek Puang ri Maggalatung. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Pelras, Christian. 2006. The Bugis. Diterjemahkan dengan judul Manusia Bugis oleh Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok. Jakarta: Nalar dan Forum Jakarta Paris, EFEO.
  • Sikki, Muhammad. 1995. Lontarak Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]