Lompat ke isi

Mati listrik Jawa–Bali 2005

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mati listrik Jawa–Bali 2005 merupakan sebuah peristiwa mati listrik yang terjadi pada 18 Agustus 2005 di Indonesia, di mana listrik di Jakarta dan Banten mati total selama tiga jam. Selain itu, terdapat pula pemadaman di sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Mati listrik ini terjadi akibat kerusakan di jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 KV Jawa-Bali.

Mati listrik ini dialami oleh 120 juta orang dan menjadi mati listrik terbesar dalam sejarah Indonesia.[1]

Peristiwa ini dimulai pada sekitar pukul 08.59 WIB, saat terhentinya operasi PLTU Suralaya unit 6 dan 7, sehingga sistem kekurangan pasokan sebesar 1.200 megawatt. Untuk mengembalikan sistem ke kondisi normal, PLN langsung menggunakan PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTGU Muara Tawar yang biasanya baru beroperasi saat beban puncak.

Akibat pengoperasian ketiga pembangkit tersebut, aliran daya pada SUTET 500 KV Saguling-Cibinong menjadi semakin besar, mendekati batas aman 2.000 Ampere. Kemudian pada pukul 10.23, tiba-tiba SUTET Saguling-Cibinong terbuka sehingga sistem Jawa-Bali terpisah dua bagian. Gangguan ini mengakibatkan beberapa unit pembangkit besar terlepas dari jaringan, yakni PLTU Paiton unit 7 dan 8 serta enam unit PLTU Suralaya.

Jaringan yang terganggu adalah jalur Cilegon-Cibinong-Saguling. Jaringan ini merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa Timur ke Jawa Barat. Sebelumnya, pada September 2002, jalur yang sama pernah terganggu dan menyebabkan listrik mati selama dua hari.

Hingga sekitar tiga jam setelah awal kejadian, baru sekitar 45 persen daya listrik yang pulih.

Penyelidikan awal menyimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi karena malafungsi sistem proteksi DEF atau directional earth fault di Cibinong. Kejadian malafungsi sistem proteksi ini juga pernah terjadi beberapa kali pada sistem yang sama. Tercatat sebanyak tujuh kali gangguan besar dengan penyebab utama sebagian besar berkaitan dengan sistem proteksi (dan di antaranya malafungsi sistem proteksi) dalam 10 tahun terakhir sebelum kejadian.

Kurang lebih 120 juta orang terdampak oleh mati listrik ini.[1] Sebanyak 42 perjalanan kereta rel listrik (KRL) rute Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi dibatalkan, dan 26 KRL yang sedang beroperasi tertahan di beberapa perlintasan. Diperkirakan hal ini menyebabkan kerugian yang mencapai Rp200 juta. Di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta gangguan listrik berlangsung sekitar empat jam dan menyebabkan 15 penerbangan tertunda. Beberapa rumah sakit besar terpaksa menunda jadwal operasi, dan rumah sakit kecil tidak dapat menerima pasien.

Bank Dunia[butuh klarifikasi] dan lainnya memperingatkan bahwa investasi lebih lanjut dalam infrastruktur energi sangat diperlukan untuk mengatasi defisit energi. Seorang pedagang di bursa saham Indonesia mengatakan bahwa krisis ini telah meyebabkan kekhawatiran krisis energi yang akan merugikan sektor industrial.[2][butuh sumber yang lebih baik]

Lilin yang digunakan untuk menggantikan lampu menyebabkan enam kebakaran di Jakarta.

Mulyodi Aji, seorang petugas PLN, mengatakan kegagalan listrik akan terjadi lebih lanjut pada masa depan karena permintaan energi terus meningkat dan penyediaan tenaga listrik baru belum dijadwalkan dalam waktu dekat.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Adam, Aulia. "Mati Listrik yang Bisa Jadi Ancaman Melumpuhkan Jakarta". tirto.id. Diakses tanggal 2019-08-04. 
  2. ^ [1][pranala nonaktif permanen]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]