Musa al-Kadzim

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bagian dari seri Dua Belas Imam
Musa al-Kazhim

penggambaran fiksi
Musa bin Ja'far bin Muhammad
Imam Ketujuh
KunyahAbu Ibrahim
Lahir7 Safar 128 H
28 Oktober 746 Masehi
Meninggal25 Rajab 183 H
1 September 799 Masehi
Tempat lahirAbwa - Antara Mekkah dan Madinah
DikuburkanKazimain
Masa hidupSebelum Imamah: 20 tahun
(128-148 H)
Imamah: 35 tahun
(148-183 H)
Gelaral-Kadzim (Arab: Calm one)
Yedinci Ali (Turki: Ali Ketujuh)
AyahJa'far ash-Shadiq
IbuHamidah
KeturunanAli ar-Ridha (penerus)
Ali · Hasan · Husain

as-Sajjad · al-Baqir · ash-Shadiq
al-Kadzim · ar-Ridha · al-Jawad
al-Hadi · al-Asykari · al-Mahdi

Musa al-Kazhim (Arab: الإمام موسى الكاظم) (Tujuh Safar, 128 H – 25 Rajab 183 H) (Bertepatan dengan: 28 Oktober 746 – 1 September 799) merupakan Imam ke-7 dalam tradisi Islam Syi'ah Dua Belas Imam. Dia adalah putra dari Imam ke-6, Ja'far ash-Shadiq, dan ibunya bernama Hamidah Khatun. Dia lahir ketika terjadi pergolakan antara Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dan ia biasa pula dipanggil dengan nama Abu al-Hasan.

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Kelahiran[sunting | sunting sumber]

Imam Musa al-Kazhim lahir pada hari Ahad, bertepatan dengan 7 Shafar tahun 128 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah. Ibunya bernama Hamidah. Ia mencapai kedudukan Imamah pada usia 21 tahun.

Ibu[sunting | sunting sumber]

Ibu Musa Al-Kazhim adalah seorang budak yang dibeli oleh Imam Ja’far. Meskipun demikian, ibu telah mendapatkan pengajaran ilmu dari Imam Ja’far, yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, kadang-kadang Imam Ja’far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.

Keturunan[sunting | sunting sumber]

Di antara keturunan Musa al-Kadzim adalah:[1]

  1. Ali ar-Ridha (penerus imamah)
  2. Ibrahim al-Mujtaba, diklaim sebagai leluhur Ayatullah Ruhollah Khomaini, pendiri Republik Islam Iran.
  3. al-'Abbas
  4. al-Qasim
  5. Isma'il
  6. Ja'far
  7. Harun
  8. 'Ala'uddin Husain, ia syahid di Syiraz, Iran.
  9. Ahmad bin Musa, dikenal pula dengan julukan Syah Chiragh. Ia syahid di Syiraz, Iran.
  10. Muhammad al-'Abid,
    1. Ibrahim al-Mujab, ia dikuburkan di Karbala, Iraq. Dikenal sebagai "Penjaga Makam Husain". Gelar itu akan turun kepada keturunannya.
      1. Ahmad bin Ibrahim
      2. Muhammad bin Ibrahim
      3. Ali bin Ibrahim
  11. Hamzah, diklaim sebagai leluhur Firuz-Shah Zarrin-Kolah, nama terakhir dalam silsilah Keshahan Safawi.
  12. 'Abdullah
  13. Ishak
  14. 'Ubaidillah
  15. Zaid
  16. Hasan
  17. al-Fadhl
  18. Sulaiman
  19. Fatimah al-Ma'sumah, ia dikuburkan di Qom, Iran.

Periode kehidupan[sunting | sunting sumber]

Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazhim dapat dibagi menjadi dua bagian:

  • Pertama, kehidupan dia bersama ayahandanya di Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum dia mencapai Imamah.
  • Kedua, masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan, dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam.

Penunjukan sebagai Imam[sunting | sunting sumber]

Setelah kematian Jafar ash-Shadiq, pengikutnya retak. Mayoritas, yang kemudian dikenal sebagai Dua Belas, diikuti oleh putra bungsunya, Musa al-Kazim.[2][3][4] Tampaknya juga beberapa orang mengharapkan Imam berikutnya adalah putra sulung al-Shadiq, Ismail, yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya.[5] Kelompok ini, yang kemudian membentuk cabang Ismailiyah dari Syiah, percaya bahwa Ismail masih hidup tetapi dalam penyembunyian atau malah menerima imamah putra Ismail, Muhammad.[3][6] Sementara Dua Belas dan Ismailiyah adalah satu-satunya sekte Syiah yang masih ada saat ini,[7][8] ada lebih banyak faksi pada saat itu. Secara khusus, beberapa pengikut ash-Shadiq menerima imamat dari putra sulungnya yang masih hidup, Abdullah al-Aftah.[9][10][11][12] Kelompok ini, yang kemudian dikenal sebagai Fathiyyah, mengaitkan hadits ash-Shadiq yang menyatakan bahwa imamah harus diteruskan melalui putra sulung Imam. Sementara Dua Belas dan Isma'ilis adalah satu-satunya sekte Syiah yang masih ada saat ini, ada lebih banyak faksi pada saat itu. Secara khusus, beberapa pengikut ash-Shadiq menerima imamat dari putra sulungnya yang masih hidup, Abdullah al-Aftah.[10] Kelompok ini, yang kemudian dikenal sebagai Fathiyyah,[13] mengaitkan hadits ash-Shadiq yang menyatakan bahwa imamah harus diteruskan melalui putra sulung Imam.[14] Sebaliknya, kepercayaan Dua Belas adalah bahwa, sebagai anak laki-laki, Musa telah ditunjuk sebagai Imam masa depan oleh al-Shadiq,[13] yang juga menjelaskan bahwa imamah diberikan kepada putra Imam yang paling berjasa, "seperti Daniel memilih Sulaiman. dari antara keturunannya." Ash-Shadiq kemudian menominasikan Musa, putra ketiganya, setelah kematian putra sulungnya, Ismail, melewati putra keduanya, Abdullah.[15] Karena Abdullah meninggal tanpa anak tak lama setelah al-Sadiq, mayoritas pengikutnya kembali ke Musa.[10][11][16] Musa juga menerima kesetiaan dari murid-murid Syiah yang paling terkenal dari ayahnya, al-Sadiq, segera setelah kematiannya. Ini termasuk Hisyam ibn al-Hakam dan Mu'min al-Taq (al-Ahwal).[17][18][13]

Suksesi[sunting | sunting sumber]

Al-Kazim menunjuk putranya, Ali al-Rida, sebagai penggantinya sebelum kematiannya di penjara Harun ar-Rashid pada tahun 799 (183 H)[19][20], setelah beberapa tahun dipenjara.[21] Madelung menambahkan bahwa a-Kazim telah menjadikan al-Rida sebagai pewarisnya, dan bahwa al-Rida juga mewarisi harta ayahnya di dekat Madinah dengan mengesampingkan saudara-saudaranya.[22] Setelah al-Kazim, al-Rida dengan demikian diakui sebagai Imam berikutnya oleh sekelompok signifikan pengikut al-Kazim,[23] yang membentuk garis utama Syiah dan kemudian menjadi Dua Belas.[24] Saudara-saudara al-Rida tidak mengklaim imamah tetapi beberapa dari mereka memberontak melawan Abbasiyah.[19][22] Beberapa pengikut al-Kazim, bagaimanapun, mengklaim bahwa dia tidak mati dan akan kembali sebagai Mahdi, penyelamat yang dijanjikan dalam Islam.[25][26] Ini dikenal sebagai Waqifiyya (terj. har.'mereka yang berhenti') meskipun tampaknya mereka kemudian kembali ke arus utama Syiah,[13] mendeklarasikan al-Rida dan penerusnya sebagai letnan al-Kazim.[20][23] Istilah Waqifiyya diterapkan secara umum untuk setiap kelompok yang menyangkal atau ragu-ragu atas kematian seorang Imam Syiah tertentu dan menolak untuk mengakui penggantinya.[27]

Menurut Kohlberg, pembentukan Waqifiyya mungkin memiliki alasan finansial. Perwakilan al-Kazim di beberapa lokasi ternyata menolak untuk menyerahkan kepada al-Rida uang yang dipercayakan kepada mereka, dengan alasan bahwa al-Kazim adalah Imam terakhir. Ini termasuk Mansur bin Yunus Buzurg dan Ali bin Abi amza al-Bataini, Ziyad bin Marwan al-Kandi, Utsman bin Isa al-Amiri al-Ruasi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa al-Ruasi bertobat.[13]

Sahabat-sahabat Imam Musa Al-Kazhim[sunting | sunting sumber]

Ketika ayahnya, Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, murid-murid dia memusatkan perhatian dan kesetiaan mereka kepada putranya, Imam Musa as. Mereka menuntut ilmu kepada Imam selama tiga puluh tiga tahun. Beberapa murid dia antara lain:

Ibnu Abi Umair[sunting | sunting sumber]

Ia belajar pada tiga Imam, yaitu Imam Musa Al-Kazhim, Imam Ali Ar-Ridha, dan Imam Muhammad Al-Jawad . Ibnu Abi Umair merupakan salah seorang ulama terkenal pada zamannya. Ia meninggalkan banyak kitab-kitab hadis sebagai tanda jasanya.

Beberapa orang memberi kabar kepada penguasa Abasiyah, bahwa Ibnu Abi Umair adalah orang Syi’ah (pengikut Ahlulbait). Ia ditangkap dan diinterogasi untuk menyebutkan nama-nama orang Syi’ah yang ia kenali. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk memenuhi paksaan mereka. Ia ditelanjangi dan diikat pada pohon kurma. Mereka mengganjar seratus cambukan kepada murid setia para Imam ini.

Syaikh Mufid menuturkan, “Sahabat utama Imam ini dipenjarakan selama tujuh puluh tahun. Seluruh harta bendanya dimusnahkan. Walaupun didera dengan cobaan yang berat, ia tetap mengunci mulutnya dan tidak berkata sepatah kata pun untuk memberikan informasi kepada penguasa Abasiyah yang zalim.”

Ali bin Yaqthin[sunting | sunting sumber]

Ia juga adalah salah seorang sahabat Imam Ja’far . Marwan memata-matainya dan memerintahkan penangkapannya. Akan tetapi, Ali berhasil meloloskan diri dari kejaran Marwan. Ia mengirim istri dan anak-anaknya ke Madinah. Ia kembali ke Kufah menyusul keruntuhan Dinasti Bani Umaiyah di tangan Bani Abbasiyah.

Ali menjalin hubungan yang dekat dengan orang-orang Abbasiyah dan berhasil menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan mereka. Melalui kedudukannya ini, ia banyak membantu pengikut-pengikut Ahlulbait yang tertindas.

Harun Ar-Rasyid mengangkat Ali sebagai menterinya. Sebenarnya ia merupakan seorang utusan Imam Musa as yang menyusup ke dalam pemerintahan Harun. Beberapa kali ia bermaksud mengundurkan diri, tetapi ia ditahan oleh Imam untuk tetap menjabat kementerian demi melindungi ajaran dan pengikut Ahlulbait as.

Ali bin Yaqthin wafat ketika Imam Musa as masih berada di dalam penjara.

Mu’min Ath-Thaq[sunting | sunting sumber]

Ia adalah seorang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Imam Musa Al-Kazhim . Imam Ja’far mendudukkannya sebagai salah seorang sahabat utama dia dan memberikan penghormatan khusus kepadanya.

Mu’min amat tangkas dalam diskusi dengan siapa saja. Mengenai hal ini, Imam Ja’far mengatakan, “Mu’min ibarat seekor elang yang menerkam mangsanya.”

Hisyam bin Hakam[sunting | sunting sumber]

Ia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu Logika. Acapkali terdapat sebuah masalah pelik, Imam Ja’far elalu mengutusnya memecahkan masalah itu. Ia sangat menguasai pembahasan Imamah. Ia merupakan murid jenius Imam dan tangkas dalam memberikan jawaban. Ia juga seorang pakar dalam masalah-masalah Ketuhanan.

Hisyam banyak menulis kitab dan terlibat dalam diskusi-diskusi dengan ulama dari berbagai mazhab dan golongan.

Mutiara Hadis Imam Musa Al-Kazhim[sunting | sunting sumber]

  • “Katakan yang hak, walaupun akan mendatangkan kerugian kepadamu.”
  • “Jika engkau menjadi seorang pemimpin yang bertakwa, maka seharusnya engkau bersyukur kepada Allah atas anugerah ini.”
  • “Bersikaplah tegas dan keras terhadap orang-orang zalim sehingga engkau dapat merebut hak orang-orang mazlum (yang teraniaya) darinya.”
  • “Kebaikan yang utama adalah menolong orang-orang yang tertindas.”
  • “Dunia ini berkulit halus dan cantik, ibarat seekor ular. Namun, ia menyimpan racun pembunuh di dalamnya.”

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ al-Musawi, Muhammad. Mazhab Syiah: Kajian Al-Quran dan Sunnah. Bandung: Muthahhari Press, 2001. ISBN 979-95564-6-5
  2. ^ Nanji & Daftary 2006, hlm. 223.
  3. ^ a b Gleave 2012.
  4. ^ Ur Rahman 1989, hlm. 209.
  5. ^ Momen 1985, hlm. 39.
  6. ^ Haywood 2022.
  7. ^ Lalani 2004, hlm. 14.
  8. ^ Stewart et al. 2004.
  9. ^ Daftary 2020, hlm. 35.
  10. ^ a b c Takim 2004.
  11. ^ a b Daftary 2013, hlm. 58, 59.
  12. ^ Momen 1985, hlm. 54-56.
  13. ^ a b c d e Kohlberg 2022.
  14. ^ Daftary 2013, hlm. 58.
  15. ^ Jafri 1979, hlm. 202.
  16. ^ Momen 1985, hlm. 54.
  17. ^ Daftary 2013, hlm. 59.
  18. ^ Jafri 1979, hlm. 213.
  19. ^ a b Rizvi 2006.
  20. ^ a b Rahim 2004.
  21. ^ Tabatabai 1975, hlm. 181.
  22. ^ a b Madelung 1985.
  23. ^ a b Daftary 2013, hlm. 60.
  24. ^ Momen 1985, hlm. 56.
  25. ^ Daftary 2013, hlm. 59, 60.
  26. ^ Hulmes 2008.
  27. ^ Momen 1985, hlm. 45.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Musa al-Kadzim
Cabang kadet Quraisy
Lahir: 28 Oktober 746 Meninggal: 1 September 799
Jabatan Islam Syi'ah
Didahului oleh:
Ja'far ash-Shadiq
Imam
765-799
Diteruskan oleh:
Ali ar-Ridha