Prasejarah Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nusantara pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang sangat panjang, kira-kira sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan temuan-temuan yang ada. Pengetahuan orang terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan dan manusia (hominid), sisa-sisa peralatan dari batu, Situs Batu bersejarah, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perunggu), Senjata pusaka tradisional Payan (tombak), Laduk (pedang), keris, Adat Istiadat budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang hingga saat ini masih di pertahankan, Payun Agung serta gerabah.

Geologi[sunting | sunting sumber]

Wilayah Nusantara merupakan kajian yang menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur hingga selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yang besar: Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Di bagian ini, lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara menghujam ke bawah lempeng Eurasia.[1] Akibat hal ini terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatra, Jawa, hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Filipina.

Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar

Wilayah barat Nusantara modern muncul kira-kira sekitar kala Pleistosen terhubung dengan Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupakan bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda ("Sundaland") oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Garis Wallace. Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, secara geografis terhubung dengan Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia, yang pada gilirannya adalah bagian dari Benua Gondwana.[2]

Di akhir Zaman Es terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat dan permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian dan Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah dan mendorong terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara modern.

Tumbuhan, hewan, dan hominid[sunting | sunting sumber]

Sejarah geologi Nusantara memengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yang terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba.

Endapan batu bara di wilayah Sumatra dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Paleozoikum.

Laut dangkal di antara Sumatra, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta Laut Arafura dan Selat Torres adalah perairan muda yang baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era modern). Inilah yang menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut.

Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah, tapir, kerbau, babi, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.

Makhluk mirip manusia (hominin) yang pertama ditemukan adalah manusia Jawa, yakni ditemukan pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois di Trinil, Kabupaten Ngawi.[3] Antara tahun 1931 sampai 1934, G.H.R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah Bengawan Solo, dekat Desa Ngandong.[4] Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa adalah Homo erectus dan merupakan bentuk yang primitif. Semula diduga berumur 1.000.000 sampai 500.000 tahun (pengukuran karbon tidak memungkinkan), kini berdasarkan pengukuran radiometri terhadap mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.[5][6]

Homo sapiens modern pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100.000 tahun lalu, melalui India dan Indocina. Fosil Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten (1889), anggota tim Dubois, di Wajak, dekat Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas.[7] Ia ditemukan bersamaan dengan tulang tapir, hewan yang pada masa kini tidak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil Gua Niah di Sarawak dan Gua Tabon di Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40.000-25.000 tahun (periode Pleistosen) dan menunjukkan fenotipe "Australomelanesoid".[8] Mereka adalah pendukung budaya kapak perimbas (chopper) dan termasuk dalam kultur paleolitikum (Zaman Batu Tua).

Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan Homo floresiensis yang dianggap sebagai spesies Homo primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai kemungkinan adanya spesies mirip manusia yang hidup dalam periode yang bersamaan dengan H. sapiens, karena hanya berusia 20.000-10.000 tahun sejak era modern dan tidak terfosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya H. sapiens yang bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap H. floresiensis adalah H. sapiens yang menderita penyakit sehingga berukuran katai.

Migrasi manusia[sunting | sunting sumber]

Bukti-bukti Homo sapiens tertua di nusantara diketahui dari tengkorak dan sisa-sisa tulang hominin di Gua Wajak, Kabupaten Tulungagung dan Gua Niah (Sarawak), Pulau Kalimantan.[9][10] Menyusul temuan-temuan baru berikutnya yang telah diidentifikasi sejak awal paruh kedua abad ke-20, salah satunya di Gua Song Terus, ujung timur Pegunungan Sewu, Kabupaten Pacitan.[11] Ras Wajak ini mungkin meliputi juga manusia yang hidup sekitar 25.000-40.000 tahun yang lalu di Asia Tenggara seperti manusia Niah di Sarawak (Malaysia) dan manusia Tabon di pulau Palawan (Filipina).[12] Homo sapiens di Gua Niah menurut penanggalan radiokarbon hidup kira-kira 40.000 tahun yang lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo (Gunungkidul, ditemukan tahun 2002) dan Song (Gua) Keplek dan Terus (Pacitan) berusia lebih muda (sekitar 10.000 tahun sebelum era modern atau tahun 0 Masehi). Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yang ditemukan menyertainya.

Walaupun berasal dari masa budaya yang berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanesoid, suatu subras dari ras Negroid yang sekarang dikenal sebagai penduduk asli Pulau Papua, Melanesia, dan Benua Australia. Teori mengenai asal usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh Fritz dan Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara (sepupu satu sama lain) asal Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang Vedda yang menghuni Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di Asia Tenggara kepulauan dan Australia.

Pada Agustus 2017, jurnal sains internasional The Nature melaporkan temuan fosil gigi Homo sapiens di Gua Lida Ajer, Sumatera Barat yang diyakini berusia antara 73.000–63.000 tahun. Temuan itu berdasarkan kajian tim peneliti internasional yang dipimpin oleh ilmuwan dari Macquarie University.[13][14] Sebelumnya, penyelidikan terhadap gua-gua di Sumatera Barat pernah dilaukan oleh ahli anatomi berkebangsaan Belanda Eugène Dubois pada 1880-an, tapi hasilnya ia hanya menemukan tulang-belulang hewan dan manusia subresen.[15][16]

Periodisasi[sunting | sunting sumber]

Paleolitik[sunting | sunting sumber]

Periode paleolitik di Nusantara diketahui dari alat-alat batu kasar (paleolit) atau terbuat dari cangkang kerang yang ditemukan di berbagai penjuru. Temuan-temuan fosil tengkorak dan tulang-belulang di Jawa menjadi petunjuk penting periode ini. Hingga 2014 telah ditemukan fosil-fosil hominid di Patiayam (Jekulo, Kudus), Miri (Sragen), Sangiran (Sragen), Sambungmacan (Sragen), Trinil (Ngawi), Punung (Pacitan), Ngandong (Kradenan, Blora)), Wajak (Tulungagung), Kedungbrubus (Kabupaten Madiun),[17] dan Perning (Jetis, Mojokerto). Pada 2013 di Pulau Flores, ditemukan fosil kerangka manusia kerdil yang diperdebatkan apakah termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.[18] Pada 2006, Dean Falk dari Universitas Negeri Florida mempublikasikan penelitiannya yang mengungkapkan bahwa manusia di Flores bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Manusia Flores adalah spesies baru yang dinamakan Homo floresiensis.[19][20]

Analisis bekas irisan pada fosil tulang mamalia yang berasal dari era Pleistosen mencatat 18 luka bekas irisan akibat alat serpihan cangkang kerang saat menyembelih lembu purba, ditemukan pada formasi Pucangan di Sangiran yang berasal dari kurun 1,6 sampai 1,5 juta tahun lalu. Tanda bekas irisan pada tulang ini menunjukkan penggunaan alat batu pertama yang menunjukkan bukti tertua penggunaan alat serpihan cangkang kerang yang ditajamkan di dunia.[21]

Neolitik[sunting | sunting sumber]

Batu yang diasah adalah bukti peradaban neolitik, misalnya mata kapak batu dan mata cangkul batu yang diasah. Batu yang diasah dan dihaluskan ini dikembangkan oleh orang-orang Austronesia yang menghuni kepulauan Indonesia. Pada periode inilah berkembang tradisi megalitik di Nusantara yang tampaknya berkembang secara independen dari tempat-tempat lain, dan menjadi dasar tradisi asli Indonesia pada masa-masa berikutnya.

Tradisi Megalitik[sunting | sunting sumber]

Masyarakat di pulau Nias di Indonesia tengah memindahkan sebuah megalit ke kawasan pembangunan, sekitar tahun 1915.
Monolitik Toraja sekitar tahun 1935.

Nusantara adalah rumah bagi banyak situs megalitik bangsa Austronesia pada masa lalu hingga masa kini. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu, patung nenek moyang, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Struktur megalitik ini ditemukan di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.

Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok dan Gunung Padang, Jawa Barat.[22] Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.[23] Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Candi Borobudur dari abad ke-8 dan candi Sukuh dari abad ke-15 tak ubahnya adalah struktur punden berundak.

Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ditemukan beberapa relik megalitik yang menampilkan patung nenek moyang. Kebanyakan terletak di lembah Bada, Besoa, dan Napu.[24]

Tradisi megalitik yang hidup tetap bertahan di Nias, pulau yang terisolasi di lepas pantai barat Sumatra, Kebudayaan Batak di pedalaman Sumatera Utara, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta kebudayaan Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan.[25] Tradisi megalitik ini tetap bertahan, terisolasi, dan tak terusik hingga akhir abad ke-19.

Zaman Perunggu[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan Dong Son menyebar ke Indonesia membawa teknik peleburan dan pembuatan alat logam perunggu, pertanian padi lahan basah, ritual pengorbanan kerbau, praktik megalitik, dan tenun ikat. Praktik tradisi ini ditemukan di masyarakat Batak, Toraja serta beberapa pulau di Nusa Tenggara dan Bali.[26] Artifak peradaban ini berupa kapak perunggu untuk upacara dan gendang perunggu Nekara yang ditemukan di wilayah nusantara.[27]

Zaman Besi[sunting | sunting sumber]

Zaman Besi adalah periode akhir dari tiga zaman yang mengklasifikasikan masa prasejarah manusia. Perkakas pada Zaman Besi seperi Pedang, Tombak dan alat pertanian sebenarnya tidak sama pada Zaman Perunggu. Alih-alih berbasis pada suku-suku, Kerajaan sudah mulai terbentuk pada zaman ini yang disertai dengan berbagai penaklukan. Pada zaman besi pertanian dan perternakan sudah berkembang. Rakyat sudah mulai membudidayakan berbagai macam tanaman sekaligus hewan ternak. Zaman Besi berahir pada abad ke-4 SM di sebagian besar dunia dengan penganut kepercayaan animisme[28].

Sistem kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Warga Indonesia purba adalah penganut animisme dan dinamisme yang memuliakan roh alam dan roh nenek moyang. Arwah Leluhur yang telah meninggal dunia dipercaya masih memiliki kekuatan spiritual dan mempengaruhi kehidupan keturunannya. Pemuliaan terhadap arwah nenek moyang menyebar luas di masyarakat kepulauan Nusantara, mulai dari masyarakat Nias, Batak, Dayak, Toraja, dan Papua. Pemuliaan ini misalnya diwujudkan dalam upacara sukuran panen yang memanggil roh dewata pertanian, hingga upacara kematian dan pemakaman yang rumit untuk mempersiapkan dan mengantar arwah orang yang baru meninggal menuju alam nenek moyang. Kuasa spiritual tak kasatmata ini dikenali sebagai hyang di Jawa dan Bali dan hingga kini masih dimuliakan dalam agama Hindu Dharma Bali.

Penghidupan[sunting | sunting sumber]

Mata pencaharian dan penghidupan masyarakat prasejarah di Indonesia berkisar antara kehidupan berburu dan meramu masyarakat hutan, hingga kehidupan pertanian yang rumit, dengan kemampuan bercocok tanam padi-padian, memelihara hewan ternak, hingga mampu membuat kerajinan tenun dan tembikar.

Kondisi pertanian yang ideal memungkinkan upaya bercocok tanam padi lahan basah (sawah) mulai berkembang sekitar abad ke-8 SM.[29] memungkinkan desa dan kota kecil mulai berkembang pada abad pertama Masehi. Kerajaan ini yang lebih mirip kumpulan kampung yang tunduk kepada seorang kepala suku, berkembang dengan kesatuan suku bangsa dan sistem kepercayaan mereka. Iklim tropis Jawa dengan curah hujan yang cukup banyak dan tanah vulkanik memungkinkan pertanian padi sawah berkembang subur. Sistem sawah membutuhkan masyarakat yang terorganisasi dengan baik dibandingkan dengan sistem padi lahan kering (ladang) yang lebih sederhana sehingga tidak memerlukan sistem sosial yang rumit untuk mendukungnya.

Kebudayaan Buni berupa budaya tembikar berkembang di pantai utara Jawa Barat dan Banten sekitar 400 SM hingga 100 M.[30] Kebudayaan Buni mungkin merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang menghasilkan banyak prasasti yang menandai awal berlangsungnya periode sejarah di pulau Jawa.

Peninggalan masa prasejarah[sunting | sunting sumber]

Peninggalan masa prasejarah Nusantara diketahui dari berbagai temuan-temuan coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing serta dari penggalian-penggalian pada situs-situs purbakala.

Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hannigan 2015, hlm. 13.
  2. ^ Brown 2003, hlm. 6.
  3. ^ Bowman, John S. (2000-09-05). Columbia Chronologies of Asian History and Culture (dalam bahasa Inggris). Columbia University Press. ISBN 978-0-231-50004-3. 
  4. ^ Gede A. B. Wiranata, (2011-06-01). Antropologi Budaya. Citra Aditya Bakti. hlm. 50. ISBN 978-979-414-873-0. 
  5. ^ "The First Humans: Java Man". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-12. Diakses tanggal 2009-11-17. 
  6. ^ Java Man di Encyclopaedia Brittanica.
  7. ^ "Foto H. sapiens wadjakensis". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-12. Diakses tanggal 2009-11-17. 
  8. ^ M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 1: Jaman Prasejarah di Indonesia. Balai Pustaka. p.92.
  9. ^ Setiyabudi, Erick (4 November 2019). "Konservasi Geologi Lokasi Fosil Vertebrata dan Manusia Purba, Daerah Tulungagung Selatan, Jawa Timur". Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. 20 (4): 193. doi:10.33332/jgsm.2019.v20.4.187-197p. 
  10. ^ ""Deep Skull" Menuliskan Kembali Sejarah Evolusi Manusia - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2020-09-02. 
  11. ^ Suprapta, Blasius (4 Juli 2018). "Pemanfaatan Cagar Budaya Di Kabupaten Pacitan Sebagai Media Penunjang Pendidikan Sejarah". Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia. 1 (1): 98. 
  12. ^ Sejarah nasional Indonesia: Jaman prasejarah di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. hlm. 74. 
  13. ^ Westaway, Kira. "Old teeth from a rediscovered cave show humans were in Indonesia more than 63,000 years ago". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-31. 
  14. ^ Westaway, K. E.; Louys, J.; Awe, R. Due; Morwood, M. J.; Price, G. J.; Zhao, J.-x; Aubert, M.; Joannes-Boyau, R.; Smith, T. M. (2017-08). "An early modern human presence in Sumatra 73,000–63,000 years ago". Nature (dalam bahasa Inggris). 548 (7667): 322–325. doi:10.1038/nature23452. ISSN 1476-4687. 
  15. ^ Sejarah nasional Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1982. hlm. 61. 
  16. ^ Tony Djubiantono (1990). Lebih dari satu juta tahun yang lalu... Mereka menemukan pulau Jawa. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 3. ISBN 978-979-8041-13-6. 
  17. ^ Fosil Manusia dan Hewan Purba Ditemukan di Madiun. Republika Online. Rabu, 27 Juli 2011, 21:36 WIB
  18. ^ "Hobbit Memancing Kontroversi". Tempo. 2006-05-22. Diakses tanggal 2020-08-31. 
  19. ^ "Hobbit Flores Terbukti Sebagai Spesies Baru". lipi.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-31. 
  20. ^ "'Manusia Flores' Spesies Baru". detiknews. Diakses tanggal 2020-08-31. 
  21. ^ Shell tool use by early members of Homo erectus in Sangiran, central Java, Indonesia: cut mark evidence
  22. ^ Sutarman, Sutarman (November 2016). "Gunung Padang Cianjur : Pelestarian Situs Megalitikum Terbesar Warisan Dunia" (PDF). Jurnal Surya : Seri Pengabdian kepada Masyarakat. 2 (1): 58. 
  23. ^ [1] Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.|Cipari archaeological park discloses prehistoric life in West Java.
  24. ^ [2] Diarsipkan 2010-02-23 di Wayback Machine.|Lore Lindu National Park, Central Sulawesi.
  25. ^ Koestoro, Lucas (2 Maret 2016). "Geologi Situs Bawömataluö, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara" (PDF). Berkala Arkeologi Sangkhakala. 19 (1): 54–55. 
  26. ^ Suprapta, Blasius (2016). "Prasejarah Indonesia Dalam Konteks Perkembangan Prasejarah Asia Tenggara: Kajian Arkeologi Pos-Prosesual Perspektif Strukturalisme Levi-Strauss". Jurnal Sejarah dan Budaya. 10 (2): 140. doi:10.17977/um020v10i22016p131. 
  27. ^ Wijaya, Hanny (April 2013). "Nekara: Peninggalan Seni Budaya dari Zaman Perunggu". HUMANIORA. 4 (1): 220. doi:10.21512/humaniora.v4i1.3431. 
  28. ^ https://www.amazine.co/25233/apa-itu-zaman-besi-fakta-sejarah-informasi-lainnya/
  29. ^ Taylor, Jean Gelman. Indonesia. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  30. ^ Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory. Yayasan cipta Loka Caraka. 
  31. ^ Ada Lagi Situs Megalitikum, Kali Ini di Cibedug Banten
  32. ^ Ada Lagi Mirip “Gunung Padang” di Cilacap
  33. ^ Ratusan Fosil Purba Berusia 40.000 SM Ditemukan di Tulungagung
  34. ^ Ditemukan Benda Purbakala Sarkofagus & Rangka Manusia Megalitikum di Bali
  35. ^ a b Papua Kaya Situs Arkeologi Kuno Diarsipkan 2009-04-20 di Wayback Machine.. Kompas daring. Edisi 17-04-2009.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]