Psikologi kepribadian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Psikologi kepribadian adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang kepribadian manusia melalui tingkah laku atau sikap sehari-hari yang menjadi ciri khas seseorang tersebut. Kepribadian[1][2] merupakan salah satu bagian atau ciri khas yang istimewa dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu psikologi kepribadian adalah hal yang sangat penting untuk dipelajari.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Psikologi kepribadian sebenarnya telah ditujukan untuk menjadi suatu disiplin ilmu sudah sejak saat yang lama bahkan sebelum masehi. Hal ini juga terdapat dalam sebuah literatur mitologi kuno, yang memberikan informasi bahwa para pemain drama sering menggunakan make up atau topeng untuk memerankan tokoh lain atau menyembunyikan identitasnya sendiri. Cara ini kemudian dinamai oleh bangsa romawi dengan istilah personality. Dari kata personality, kata persona sendiri dapat diartikan sebagai kehadiran seseorang melalui identitas yang tidak mencerminkan dirinya sendiri. Melainkan, para pemain drama ingin menciptakan kesan yang mendalam bagi para penonton, akan tetapi tidak meninggalkan kesan mengenai pemeran drama itu sendiri melainkan kesan pada tokoh yang diperankannya. Istilah personality kemudian hadir untuk menamakan para pemeran sendiri, yang tadinya hanya sebuah peran namun bisa menjadi nama panggung yang membuat pemerannya terkenal.

Seperti benda lain atau alam di sekitar kita yang memiliki ciri-ciri, manusia sebagai makhluk sosial juga dapat dikenali ciri-ciri tingkah lakunya. Untuk membedakan ciri-ciri mengenai tingkah laku asil dari pemeran drama dan tingkah laku dari tokoh yang diperankannya, para filsuf akhirnya tertarik untuk mempelajari tingkah laku manusia melalui berbagai penelitian.

Sejarah psikologi kepribadian[3] ini semakin berkembang sekitar abad ke-18, ketika psikologi menjadi disiplin ilmu yang sah dan diakui maka berkembanglah juga Psikologi Kepribadian menjadi salah satu cabang dari disiplin ilmunya.

Tokoh[sunting | sunting sumber]

Sigmund Freud[sunting | sunting sumber]

Sigmund Freud merupakan salah satu tokoh psikologi Barat yang sering dikritik oleh psikolog Muslim di dunia, karena psikoanalisa yang dianut Freud tidak berjiwa atau mengandung nilai-nilai Islami. Menurut Freud, fenomena keagamaan yang terjadi pada individu merupakan sebuah ilusi belaka atau tidak nyata sama sekali, suatu bentuk neorosis yang universal. Selanjutnya, Freud mengemukakan sebuah teori tentang struktur kepribadian manusia dan membuat konsep yang disebut dengan Oedipus Complex sebagai asal-usul penyembahan individu terhadap Tuhan.[4] Dalam teori kepribadian Freud dijelaskan bahwa manusia terdiri atas tiga sistem/struktur kepribadian, yaitu 1. Id (Das Es), 2. Ego ( Das Ich), dan 3. Super Ego (Das ueber Ich). Setiap struktur kepribadian tersebut memiliki fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dan dinamisasi serta mekanisme masing-masing. Tetapi diantara komponen tersebut sebenarnya saling berinteraksi satu sama lain pada dalam diri individu, sehingga sulit untuk memisahkan atau menentukan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia.[5]

Erick Erikson[sunting | sunting sumber]

Erick Erikson mengemukakan sebuah teori dengan pendekatan psikososial yang dikenal sebagai ego psychology, yang artinya menekankan pada konsep diri/self yang diatur oleh kekuatan alam bawah sadar/unconcious serta pengaruh dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu. Kekuatan alam bawah sadar individu bekerja untuk menjaga kesatuan dalam berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam keterlibatannya dengan dunia sosialnya, termasuk tugasnya dalam mendapatkan makna hidup yang telah dijalani.[6] Pengertian Identitas diri menurut Erikson adalah sebuah intisari dari kepribadian yang menetap dalam diri seseorang walaupun situasi lingkungan berubah-ubah dan usia menjadi semakin tua. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan seiring dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Identitas diri sebagai gaya hidup yang dapat berkembang dalam tahap sebelumnya dan dapat menetukan cara-cara bagaimana agar peran sosialnya terwujudkan. Identitas diri sebagai suatu pencapaian pada tahap remaja dan terus diperbaharui dan disempurnakan pada tahap selanjutnya seiring dengan bertambah dewasanya individu. Identitas diri sebagai pengalaman yang subjektif akan membentuk hubungan yang berkesinambungan pada psikis dalam ruang dan waktu. Identitas diri sebagai kesinambungan yang dialami individu dalam pergaulan dengan orang lain.[7]

Carl Jung[sunting | sunting sumber]

Carl Jung. Tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Jung terbagi menjadi dua, yakni ekstrover dan introver. Tipe kepribadian ekstrover yang berorientasi pada interaksi dengan lingkungan sekitar serta introver yang berorientasi dalam diri individu. Masing-masing tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Jung memiliki empat kombinasi fungsi. Kombinasi ekstrover berupa ekstrover-pikiran, ekstrover-perasaan, ekstrover-penginderaan, dan ekstrover-pengintuisian. Kombinasi untuk introver berupa introver-pikiran, introver-perasaan, introver-penginderaan, dan introver-pengintuisian.[8]

Alfred Adler[sunting | sunting sumber]

Alfred Adler mengemukakan sebuah teori psikologi yang sering disebut sebagai psikologi individual. Adler menjelaskan bahwa kesadaran sebagai pusat dari kepribadian seseorang, bukan ketidaksadaran. Psikologi individual yang dikemukakan oleh Adler memandang individu sebagai makhluk yang saling bergantung secara sosial dengan orang lain. Terdapat enam pokok teori psikologi individual menurut Adler yaitu: (1) perjuangan untuk sukses atau menjadi superior (striving for superiority), (2) persepsi subyektif individu untuk membentuk tingkah laku dan kepribadian (subjective perception), (3) semua fenomena psikologis disatukan di dalam diri individu (unity of personality), (4) manfaat dari aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang sosial (social interest, (5) semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup (life of style, dan (6) gaya hidup dikembangkan melalui kekuatan kreatif (creative power).[9]

Karen Horney[sunting | sunting sumber]

Karen Horney menggambarkan manusia dan kepribadiannya lebih optimis dibandingkan dengan Freud. Salah satu bentuk optimisnya ditunjukkan dengan kepercayaannya mengenai kekuatan biologis yang tidak dapat menghukum individu dalam bentuk konflik, cemas, neurosis atau sesuatu yang universal dalam kepribadian itu sendiri. Menurut Horney setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Saat individu mengalami perilaku neurotik, maka hal tersebut terjadi disebabkan oleh dorongan sosial pada masa kanak-kanak. Hubungan antara orang tua dan anak mungkin akan memuaskan, mungkin juga dapat membuat anak menjadi frustasi. Jika kebutuhannya tidak dipenuhi, maka hasilnya adalah perilaku neurotik, neurosis atau konflik, tetapi dapat dihindari jika anak tumbuh dengan penuh cinta, penerimaan dan kepercayaan dari orang tua. Setiap individu memiliki potensi untuk merealisasikan diri dan menjadi tujuan utama dalam hidup. Kemampuan dan potensi intrinsik individu akan tumbuh mekar perlahan sebagai sesuatu yang niscaya dan alamiah seperti biji buah yang muncul dari pohonnya.[10]

Erich Fromm[sunting | sunting sumber]

Erich Fromm menjelaskan kerangka teoritik mengenai alienasi. Alienasi ini dilihat dari latar belakang individu yang mengalami alienasi dan juga bentuknya. Alienasi terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusiawi dari individu yang tidak terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain, realtedness, transcendences, rootedness, sense of identity, dan frame of orientation. Relatedness merupakan kebutuhan individu dalam mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari lingkungan sekitar. Transcendences merupakan kebutuhan individu untuk mengoptimalkan dirinya atau refleksi terhadap diri sendiri. Rootedness merupakan kebutuhan individu untuk memliki ikatan dengan orang lain yang membuatnya nyaman. Sense of Identity merupakan kebutuhan individu untuk menjadi manusia yang unik. Dan terakhir Frame of Orientation merupakan kebutuhan individu akan cara pandang yang konsisten dalam menafsirkan dunia. Pemenuhan kebutuhan manusiawi tersebut juga terdapat beberapa cara yakni, cara yang sehat yang akan membawa individu kepada eksistensi, dan cara yang tidak sehat yang membawa individu mengalami alienasi.[11]

Teori[sunting | sunting sumber]

Big Five Personality[sunting | sunting sumber]

Model teori Lima Besar Kepribadian dibangun dengan pendekatan yang sangat sederhana. Teori Big Five Personality terlihat kompleks dibanding dengan teori lain sebelumnya. Prosedur yang dipergunakan oleh para peneliti, yaitu mencoba menemukan unsur mendasar dari kepribadian dengan menganalisis kata-kata dalam penyusunan aitem skala yang dipergunakan oleh subjek peneliti. Faktor Kepribadian tersebut sering disebut dengan OCEAN, yaitu: Neuroticism (N) mencakup perasaan-perasaan negatif, cemas, sedih, mudah tersentuh, dan nervous yang dialami oleh individu. Faktor Keterbukaan atas pengalaman (O) meliputi keterbukaan, kedalaman dan mental individual yang kompleks dan pengalaman hidup yang dimiliki individu. Ekstraversi (E) dan faktor Kesepakatan (A) termasuk interpersonal bahwa seseorang dapat bekerjasama dan bergaul dengan orang lain. Terakhir adalah yang disebut dengan faktor Ketelitian (C), menyangkut tugas dan capaian individu serta kontrol yang merupakan persyaratan sosial. Lima Faktor Kepribadian ini didesain untuk melihat karakter kepribadian seseorang yang paling penting dalam hidupnya.[12]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ George Herbert Mead, Kepribadian adalah tingkah laku manusia berkembang melalui perkembangan diri
  2. ^ Menurut Koentjaraningrat, Kepribadian adalah beberapa ciri watak yang diperlihatkan seseorang secara lahir, konsisten, dan konsekuen.
  3. ^ Sumadi S. 2008. Psikologi Kepribadian Ed1. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
  4. ^ Malik, B. B. (1996). The Dilema of Muslim Psychology. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm. 18–19. 
  5. ^ Hamali, S. (2018). "Kepribadian dalam teori Sigmund Freud dan nafsiologi dalam Islam". Jurnal Studi Lintas Agama. 13 (2): 287–288. doi:10.24042/ajsla.v13i2.3844. 
  6. ^ Muti'ah, T. (2011). "Studi hubungan antara identitas diri dan kecenderungan homoseksual remaja di Yogyakarta". Jurnal Spirits. 1 (2): 5. ISSN 2087-7641. 
  7. ^ Muti'ah, T. (2011). "Studi hubungan antara identitas diri dan kecenderungan homoseksual remaja di Yogyakarta". Jurnal Spirits. 1 (2): 5–6. ISSN 2087-7641. 
  8. ^ Wakhid, Z. A. R. (2018). "Representasi tipe kepribadian ekstrover pada novel anak hwaiting dan little ballerina karya Muthia Fadhilla Khairunnisa: Kajian psikologi Carl Gustav Jung". International Journal of Education, Language, and Literature. 1 (1): 69. ISSN 2621-8127. 
  9. ^ Amalia, A. (2018). "Kepribadian tokoh tritagonis dalam novel Tentang Kamu karangan Tere Liye perspektif psikologi sastra serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA". Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 2 (2): 158. doi:10.21009/AKSIS.020202. 
  10. ^ Hidayat, D. R. (2011). Teori dan aplikasi psikologi kepribadian dalam konseling. Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 100. 
  11. ^ Pamungkas dan Alfian (2018). "Alienasi remaja dalam keluarga berkarir". Jurnal Kepribadian dan Sosial. 7: 38–39. ISSN 2301-7074. 
  12. ^ Wulandari dan Rehulina (2013). "Hubungan antara lima faktor kepribadian (the big five personality) dengan makna hidup pada orang dengan human immunodeficiency virus". Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 2 (1): 43–44. ISSN 2301-7082. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Amalia, A. (2018). Kepribadian tokoh tritagonis dalam novel tentang kamu karangan Tere Liye perspektif psikologi sastra serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Aksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(2), 154-164. doi: 10.21009/AKSIS.020202
  2. Hamali, S. (2018). Kepribadian dalam teori Sigmund Freud dan nafsiologi dalam Islam. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 13(2), 285-302. doi: 10.24042/ajsla.v13i2.3844
  3. Hidayat, D. R. (2011). Teori dan aplikasi psikologi kepribadian dalam konseling. Bogor: Ghalia Indonesia
  4. Malik B. B. (1996). The dilema of muslim psychology. Penerjemah: Siti Zainab Lutfiath. Jakarta: Pustaka Firdaus
  5. Muti'ah, T. (2011). Studi hubungan antara identitas diri dan kecenderungan homoseksual remaja di Yogyakarta. Jurnal Spirits, 1(2), 1-17. ISSN : 2087-7641
  6. Pamungkas, S. D., & Alfian, I. N. (2018). Alienasi remaja dalam keluarga berkarir. Jurnal Kepribadian dan Sosial, 7(-), 37-45. E-ISSN: 2301-7074
  7. Wakhid, Z. A. R. (2018). Representasi tipe kepribadian ekstrover pada novel anak hwaiting dan little ballerina karya Muthia Fadhilla Khairunnisa: Kajian psikologi Carl Gustav Jung. Elite Journal: International Journal of Education, Language, and Literature, 1(1). 67-74. E-ISSN: 2621-8127
  8. Wulandari, A., & Rehulina, M. (2013). Hubungan antara lima faktor kepribadian (the big five personality) dengan makna hidup pada orang dengan human immunodeficiency virus. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2(1), 41-47. ISSN: 2301-7082