Riba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Riba (Arab: الربا, translit: Ar-Ribā) adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Riba dalam pandangan agama[sunting | sunting sumber]

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Riba dalam agama Islam[sunting | sunting sumber]

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 275: ...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.

Jenis-Jenis Riba[sunting | sunting sumber]

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual-beli. Riba utang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliah, sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah. Ada beberapa macam Riba, yaitu:

  • Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap kreditur (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo.
  • Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang[sunting | sunting sumber]

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing, yaitu:

  1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
  2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil[sunting | sunting sumber]

Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Riba dalam agama Yahudi[sunting | sunting sumber]

Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.

Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”

Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”

Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."

Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

Konsep bunga di kalangan Kristen[sunting | sunting sumber]

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun demikian, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Namun, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga.

Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para klerus Kekristenan awal (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Protestan (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“

Pandangan para klerus awal Kristen (Abad I - XII)[sunting | sunting sumber]

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. Ada beberapa penjelasan, yaitu:

  • St. Basilius (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
  • St. Gregorius dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
  • St. Yohanes Krisostomus (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
  • St. Ambrosius mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
  • St. Augustinus berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
  • St. Anselmus dari Canterbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (hukum kanon): Konsili Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
  • Konsili Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
  • Konsili Nicea I (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

Kesimpulan pandangan para klerus Kekristenan awal[sunting | sunting sumber]

Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.

Pandangan para akademisi Kristen (abad XII - XVI)[sunting | sunting sumber]

Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Diantaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta perbedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh akademisi Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert dari Courçon (1152-1218), William dari Auxxerre (1160-1220), St. Raymundus dari Peñafort (1180-1278), St. Bonaventura (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut: Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, tetapi haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

Pandangan Para Reformis Protestan (Abad XVI - Tahun 1836)[sunting | sunting sumber]

Pendapat para reformis Protestan telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:

  • Dosa apabila bunga memberatkan.
  • Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
  • Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
  • Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

Pandangan Gereja Katolik[sunting | sunting sumber]

Menurut Gereja Katolik pandangan mengenai riba tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St. Gregorius dan St. Yohanes Krisostomus. Tetapi prinsip dari riba (bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti yang disebutkan oleh Kitab Matius 25:27 menyatakan:
"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”

Akan tetapi pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau diinvestasikan. Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun demikian, kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan.

Akan tetapi, prinsip ini pun harus dilaksanakan dengan bijaksana. Misalnya, seseorang mempunyai uang 1 miliar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau perlu, pemilik uang itu harus memberikannya dengan sukarela. Namun bila berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjaman yang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut, seperti yang dilakukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]