Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Nusantara pada Era Kerajaan Hindu Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia pada periode tarikh Masehi. Ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di Nusantara disebut dengan aliran Waiṣṇawa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣṇu sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok-kelompok masyarakat di Situs Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Situs Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada sekitar abad ke- 5-7 M). Bukti adanya Agama Hindu tampak pada prasasti Tuk Mas yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, di lereng Gunung Merbabu yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-7

Dalam ajaran Buddha, diketahui dianut oleh kelompok masyarakat Nusantara tepatnya di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M.[1] Proses penyebaran agama Buddha dilakukan oleh para Dharmaduta yang bertugas untuk menyebarkan Dharma atau ajaran Buddha ke seluruh dunia. Penyebaran agama Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri yang belajar di India dan menjadi Bhiksu kemudian menyebarkan ajarannya di Nusantara. Untuk di daerah pulau Jawa, agama Buddha datang pada Abad ke-5 yang disebarkan oleh pangeran Khasmir (bernama Gunadharma). Pada abad ke-9, penyebaran Agama Buddha dilakukan oleh pendeta-pendeta dari wilayah India yaitu Gaudidwipa (benggala) dan Gujaradesa (Gujarat). Bukti tertua adanya pengaruh Buddha India di Indonesia adalah dengan ditemukannya Arca Buddha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Buddha.[2]

Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha

Eksistensi kerajaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara sekitar pada abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan patung Buddha dari perunggu di daerah Jember dan Sulawesi Barat. Pengenalan agama Buddha di Nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hsien pada awal abad ke 5 Masehi. [3] Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara.[4] Kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Selain Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda, masih banyak pula kerajaan lain bercorak Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Mataram Kuno.[5]

Selanjutnya, muncul dua kerajaan besar, yakni Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra.[6] Pada sekitar tahun 670 M, Penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing mengunjungi ibu kota daerah Palembang. Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Sriwijaya mencapai daerah Jawa Tengah dan Kamboja. Pada abad ke-14 terdapat satu kerajaan Hindu di Jawa Timur yang bernama Kerajaan Majapahit. Antara tahun 1331-1364, Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.

Warisan kebudayaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]

Sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Selanjutnya, warisan dari Kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada di Nusantara membentuk berbagai inspirasi hasil karya budaya di Nusantara. Salah satu contohnya ialah karya sastra India yang dibawa ke Indonesia, yakni wiracarita Ramayana, Mahabarata, dan karya sastra lainnya. Adanya kedua kitab itu juga memacu beberapa pujangga Nusantara untuk menghasilkan karyanya sendiri, seperti Empu Dharmaja dari kerajaan Kediri yang menyusun Kitab Smaradhahana, Empu Sedah dan Empu Panuluh dari kerajaan Kediri yang menelurkan karya Kitab Bharatayuda, Empu Tanakung yang membuat Kirab Lubdaka, Empu Kanwa yang memiliki karya Kitab Arjunawiwaha, Empu Triguna dengan Kitab Kresnayana-nya, Empu Panuluh yang menulis Kitab Gatotkacasraya, Empu Tantular yang membuat Kitab Kitab Sotasoma, dan Empu Prapanca yang masyhur dengan magnum opusnya yang berjudul Kitab Negarakertagama.[7]Dengan demikian, cerita dari karya sastra yang muncul pada masa Hindu Buddha ini menjadi sumber inspirasi bagi pewayangan Indonesia.

Selain karya sastra, sistem politik dan pemerintahan pun diperkenalkan oleh orang-orang India dan membuat masyarakat yang pada awalnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil menjadi bersatu dan membentuk sebuah kekuasaan yang lebih besar dengan pemimpin tunggal berupa seorang raja. Karena pengaruh hal ini, beberapa kerajaan Hindu-Buddha seperti Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Tarumanegara, dan Kutai akhirnya dapat muncul di Nusantara.[8]

Tidak hanya karya sastra dan sistem politik saja yang berkembang pada masa Hindu Buddha di Nusantara, banyak pula hasil karya manusia masa lalu yang menandakan sejarah berkembangnya Hindu-Buddha di Nusantara. Beberapa di antaranya ialah adanya alat-alat dan benda sarana ritual yang salah satunya berbentuk arca yang memiliki beberapa bentuk yang dapat dikenali dari beberapa tanda khusus (laksana), posisi atau sikap tertentu, dan wahana atau binatang yang dianggap menjadi kendaraan seorang dewa.[9]

Runtuhnya era kerajaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12 Masehi melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai, Aceh, Jambu Lipo, dan Kepaksian Paksi Pak di Sumatra serta Kerajaan Demak di Jawa.[10] Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era Hindu-Buddha ini.

Kronologi[sunting | sunting sumber]

  • 101 - Penempatan Lembah Bujang/Candi Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit Pallava membuktikan hubungan Nusantara dengan India di Sungai Batu.[11]
  • 300 - Kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah melakukan hubungan dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkih. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
  • 300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
  • 400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
  • 603 : Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya.
  • 671 : Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.
  • 685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa.
  • 692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan bagi kerajaan.
  • 760: Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan pertama di Jawa Timur berdiri di dekat daerah Kota Malang sekarang. Sumber sejarahnya didapatkan dari prasasti Dinoyo yang ditemukan di Malang. Raja pertamanya bernama Dewashimha yang kemudian digantikan oleh puteranya, setelah meninggal bernama Limwa, atau yang lebih dikenal dengan nama Gajayana.[12]
  • 922 : Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang ke kerajaan Medang dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
  • 932 - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui Prasasti Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi.[13]
  • 1042 - Airlangga raja Medang Kahuripan membelah wilayah kerajaannya menjadi Janggala dan Panjalu atau Kadiri
  • 1135 - Jayabaya dari Kadiri berhasil mengalahkan kerajaan Jenggala dan menyatukannya kembali menjadi kerajaan Kadiri
  • 1222 - Kertajaya raja terakhir Kadiri dikalahkan oleh Ken Arok yang kemudian mendirikan kerajaan Singhasari
  • 1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatra dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
  • 1292 : Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang berbuah pahit di tempat ini.[14]
  • 1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan Jayakatwang di Kadiri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[14]
  • 1293 - 1478: Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang pengaruhnya membentang dari Sumatra ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.[14]
  • 1345-1346 : Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
  • 1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan di asia tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
  • 1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[14]
  • 1570 - Pajajaran, ibu kota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan oleh Kesultanan Banten.

Kerajaan Hindu-Buddha[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Hindu-Buddha di Pulau Kalimantan[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Hindu-Buddha di Pulau Sumatra[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Indradjaja 2014, hlm. 30.
  2. ^ Fauzi 2017, hlm. 1731.
  3. ^ Sulistiawan et al 2019, hlm. 27.
  4. ^ Hannigan 2015, hlm. 38-39.
  5. ^ Sari dan Wibowo 2017, hlm. 83.
  6. ^ Widiyani, Rosmha (2020-06-28). "Fakta Kerajaan Terbesar di Nusantara dari Sriwijaya hingga Majapahit". detikcom. Diakses tanggal 2020-08-25. 
  7. ^ Mardiani et al 2019, hlm. 336.
  8. ^ Mardiani et al 2019, hlm. 335.
  9. ^ Mansur 2014, hlm. 113.
  10. ^ Putri, Arum Sutrisni (2020-03-04). Putri, Arum Sutrisni, ed. "Perkembangan Islam di Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-08-25. 
  11. ^ Tamadun 1900 tahun di Merbuk, Oleh OPAT RATTANACHOT, Utusan Malaysia 9 April 2010.[pranala nonaktif permanen]
  12. ^ Ningsih, Widya Lestari (2021-05-05). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Kerajaan Kanjuruhan: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-08-05. 
  13. ^ Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007
  14. ^ a b c d "Kronologi Kota Majapahit", Kompas, 5 Januari 2009
  15. ^ Ciel (2020-06-11). "√ 16 Kerajaan Hindu Budha di Indonesia (Penjelasan Lengkap) ..." Saintif (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-25. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]