Sejarah militer Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kapal perang TNI-AL KRI Bung Tomo (357) dan KRI Usman Harun (359). Pemerintahan sekarang menegaskan kembali aspirasi Indonesia untuk menjadi poros maritim global.[1]

Sejarah militer Indonesia meliputi sejarah militer negara modern Republik Indonesia, serta sejarah militer negara-negara yang mendahului dan membentuknya. Ini mencakup kaleidoskop konflik yang melampaui lebih dari ribuan tahun. Sejarah militer zaman kuno dan abad pertengahan dimulai ketika peperangan suku dimulai di antara penduduk asli, dan meningkat ketika kerajaan-kerajaan muncul. Periode modern didefinisikan melalui pendudukan kolonial asing, pertempuran untuk kemerdekaan melalui perang gerilya selama Revolusi Nasional Indonesia, penaklukan regional, dan perselisihan dengan negara-negara tetangga, serta pertempuran antara Republik dan faksi-faksi separatis. Sejak pembentukan Republik, militer telah memainkan peran penting dalam urusan negara. Namun, di era pasca-Suharto, militer Indonesia telah mundur dari politik, tetapi masih memiliki pengaruh tertentu.[2]

Sebagai negara kepulauan, secara historis Indonesia selalu menjadi suatu kekuatan maritim sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit.[3] Kerajaan Sriwiajaya abad ke-7 misalnya, berkembang pesat dengan memaksimalkan potensi kelautan.[4] Selama awal pembentukannya hingga zaman Orde Baru Suharto, militer Indonesia sangat berfokus pada komponen daratnya. Namun, pada abad ke-21, perhatiannya telah bergeser ke ranah maritim, seperti pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo telah menyatakan keinginan untuk mengubah Indonesia menjadi suatu "poros maritim".[1]

Peperangan prasejarah[sunting | sunting sumber]

Patung-patung pendekar perunggu, Jawa, sekitar tahun 500 SM–300 M.

Temuan arkeologis yang berasal dari zaman prasejarah telah menemukan berbagai senjata batu dan logam, seperti kapak, panah, dan ujung tombak. Biasanya digunakan untuk berburu, mereka juga digunakan oleh suku-suku untuk saling bertempur. Beberapa benda perunggu yang lebih rumit, seperti kapak, tampaknya lebih cocok untuk keperluan upacara, tetapi menunjukkan pengaruhnya sebagai sebuah ikon. Senjata bermata pisau asli, seperti parang, kelewang, mandau, badik, pedang, kujang, golok, dan keris, ditemukan awal.[5]

Perang suku masih terjadi di antara suku-suku Papua di Papua Barat, serta daerah-daerah Nusantara yang lebih terpencil, seperti pedalaman Kalimantan dan Sumatra.[6]

Kerajaan-kerajaan kuno[sunting | sunting sumber]

Kavaleri dragoon Jawa dari Pekalongan menuju Surakarta, 1866.

Sumber-sumber Yunani dan Tiongkok menyebutkan bahwa penduduk di nusantara sudah membangun kapal-kapal besar dari setidaknya abad ke-1 M, kapal-kapal itu bisa lebih dari 50 m panjangnya dan memiliki lambung bebas minimum setinggi 5,2–7,8 m.[catatan 1] Kapal-kapal ini disebut kolandiaphonta oleh orang Yunani dan K'un-Lun po oleh orang Tionghoa.[7]:41[8]:347[9]:27-28

Indonesia modern[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Dalam naskah aslinya, panjang kapal ditulis sebagai 20 chang atau lebih dan lambung bebasnya 2-3 chang. Di sini 1 chang (atau zhang) diambil sebagai 2,6 meter.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Budi Kurniawan Supangat and Dimas Muhamad (21 October 2014). "Defining Jokowi's vision of a maritime axis". The Jakarta Post. Diakses tanggal 13 December 2014. 
  2. ^ Katharine E. McGregor (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past, Southeast Asia publications series. NUS Press. ISBN 9789971693602. 
  3. ^ Hall, Kenneth R. (2010-12-28). A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100–1500 (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 9780742567627. 
  4. ^ Post, The Jakarta. "Sriwijaya's trick of the trade in maintaining maritime sovereignty". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-03. 
  5. ^ Donn F. Draeger (2012). Weapons & Fighting Arts of Indonesia. Tuttle Publishing. hlm. 68. ISBN 9781462905096. 
  6. ^ Lonely Planet, Loren Bell, Stuart Butler, Trent Holden, Anna Kaminski, Hugh McNaughtan, Adam Skolnick, Iain Stewart, Ryan Ver Berkmoes (2016). Lonely Planet Indonesia. Lonely Planet. ISBN 9781760341619. 
  7. ^ Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton. 
  8. ^ Christie, Anthony (1957). "An Obscure Passage from the "Periplus: ΚΟΛΑΝΔΙΟϕΩΝΤΑ ΤΑ ΜΕΓΙΣΤΑ"". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 19: 345–353. 
  9. ^ Dick-Read, Robert (July 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2 (1): 23–45. doi:10.4102/td.v2i1.307alt=Dapat diakses gratis. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]