Sejarah wanita di Jerman

Dengarkan artikel ini
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini
(2 bagian, 22 menit)


Ikon Wikipedia Lisan
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 8 November 2021 (2021-11-08), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Foto propaganda pada masa kekuasaan Nazi di Jerman, mencitrakan bahwa wanita ideal adalah seorang ibu rumah tangga.
Ursula von der Leyen, menteri pertahanan perempuan pertama di Jerman

Sejarah wanita di Jerman merupakan kajian sejarah yang mencakup peran, pergerakan, dan aktivitas wanita di daerah dengan bahasa (mayoritas) Jerman dari masa ke masa. Sejarah ini dapat ditelusuri mulai dari abad pertengahan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, wanita di Jerman telah mengambil berbagai peran dalam kehidupan bermasyarakat. Pada masa-masa awal, peran wanita Jerman diidentikkan dengan istilah 4K yakni: Kinder (anak-anak), Kirche (gereja), Küche (dapur), dan Kleider (pakaian). Istilah ini mengindikasikan peran wanita Jerman yang dulunya hanya terbatas pada aktivitas yang berkaitan dengan rumah tangga seperti membesarkan anak, menghadiri aktivitas peribadatan, memasak dan menyediakan makanan, dan berurusan dengan pakaian.[1] Seiring perkembangan zaman, wanita Jerman melalui pergerakan dan perjuangannya mulai mendapatkan peran yang lebih luas. Pun kemudian saat ini bermunculan tokoh-tokoh ikonik yang melambangkan kesetaraan gender di Jerman seperti, Ursula von der Leyen (Menteri Pertahanan Jerman) dan Angela Merkel (Kanselir Jerman).

Abad pertengahan hingga akhir abad ke-18

Pada abad pertengahan, wanita Jerman mempunyai posisi dan peran yang relatif sangat terbatas di masyarakat. Tiga aktivitas utama yang dilakukan mayoritas kaum wanita pada masa ini adalah, bercocok tanam, menjaga hewan ternak, dan menenun kain. Wanita Jerman pada masa ini masih mendapat diskriminasi dalam kepemilikan atau pewarisan properti, seperti tanah dan bangunan.[2][3] Wanita Jerman juga harus diwakili wali laki-laki saat di pengadilan.[4] Secara umum, posisi sosial wanita Jerman pada masa ini sangat bergantung kepada laki-laki yang merupakan kerabatnya; seperti ayah atau suaminya. Pekerjaan dan aktivitas wanita juga bergantung pada posisi sosial dari keluarganya seperti: Wanita yang hidup berkecukupan dapat bekerja sebagai pedagang mengikuti suaminya; wanita kelas menengah bekerja di rumah di bidang tekstil, pelayan restoran, penjaga toko atau industri makanan; sementara wanita yang lebih miskin sering kali menjajakan makanan di pasar-pasar tradisional, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, atau tenaga kasar lainnya.[5] Sejarawan modern juga mengasumsikan bahwa wanita pada masa ini bertanggung jawab terhadap segala urusan anaknya sehingga wanita kemungkinan hanya bekerja di lokasi yang dekat dengan rumahnya.[4]

Sebelum abad ke 19, remaja wanita menjadi tanggung jawab ayahnya, seorang wanita harus patuh terhadap ayahnya sebelum kemudian menikah di mana kemudian tanggung jawab dan kepatuhan tersebut berpindah kepada suaminya.[3] Hukum juga mengatur wanita agar memiliki maskawin sebelum menikah. Wanita yang berasal dari keluarga berkecukupan dapat menerima maskawin dari keluarganya. Sementara, wanita dari keluarga kurang mampu harus bekerja sehingga dapat memiliki maskawin dan kemudian menikah.[4] Umumnya, pada masa ini aktivitas sosial mayoritas wanita terbatas hanya pada lingkungan sosial yang privat, seperti rumah dan keluarga.[4][6]

Abad ke-19 hingga awal abad ke-20

Louise Otto-Peters (1819-1895), salah satu pelopor pergerakan wanita di Jerman pada abad ke-19.

Abad ke-19 merupakan masa di mana terdapat banyak perubahan besar terhadap peran dan aktivitas wanita di Eropa, termasuk di Jerman. Perubahan ini disebabkan banyak faktor di antaranya: perubahan tatanan masyarakat,[7] pendidikan kaum wanita yang mulai mendapat perhatian,[8] serta bermunculannya pergerakan wanita Jerman.[9]

Perubahan tatanan masyarakat dan liberalisasi pendidikan

Perubahan tatanan masyarakat berkaitan dengan bertambahnya tingkat kemakmuran, yang kemudian memberikan gaya hidup dan nilai-nilai borjuis pada relatif banyak keluarga di perkotaan Jerman.[7] Perubahan ini membuat kaum wanita dari keluarga tersebut tidak lagi berurusan banyak dengan pekerjaan rumah tangga dan dapat mencurahkan waktunya di bidang pendidikan atau seni. Di bidang pendidikan, wanita Jerman masih menjadi salah satu yang terbelakang jika dibandingkan negara-negara Eropa Barat lainnya pada masa ini.[10] Namun, liberalisasi pendidikan di Jerman pada masa ini mulai memberikan kebebasan wanita untuk memperoleh pendidikan,[8] meskipun untuk jenjang pendidikan tinggi masih sangat terbatas atau bahkan dapat dikatakan tidak ada.[11] Kebijakan liberalisasi pendidikan ini kemudian membuat tingkat literasi di Jerman menjadi 88% pada tahun 1871.[12]

Pergerakan wanita Jerman pada abad ke-19

Sejarah awal pergerakan kaum wanita di Jerman tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa Vormärz dan Revolusi Jerman tahun 1848. Lini masa pergerakan wanita pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19 di Jerman dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu:[9]

  1. Awal pergerakan(1848-1860an): Awal pergerakan kaum wanita di Jerman dipelopori oleh Louise Otto-Peters. Otto-Peters yang juga diberi julukan "ibu dari pergerakan wanita Jerman", merupakan wanita pertama yang membawa isu terkait emansipasi wanita kepada konstitusi baru yang terbentuk setelah peristiwa Vormärz. Meskipun setelahnya, aktivitas yang berkaitan dengan pergerakan kaum wanita mendapat banyak sensor dan tekanan dari pemerintah.[9]
  2. Periode 1865-1880an: Pergantian kekuasaan, pemberian amnesti terhadap tahanan politik, serta pelonggaran sensor terhadap media membuat pergerakan kaum wanita kembali aktif. Pergerakan kaum wanita pada periode ini masih mendapat tekanan pemerintah meskipun tak sekeras periode sebelumnya. Nantinya, pergerakan ini terbelah menjadi dua kubu yaitu kubu sosialis dan kubu liberal.[9]
  3. Periode 1890-1914: Periode ini juga dapat disebut sebagai periode puncak dari pergerakan wanita di Jerman. Pada periode ini, organisasi yang terkait pergerakan wanita telah berhasil memasukan agendanya ke dalam partai, organisasi politik, dan bahkan konstitusi. Kemudian pada tahun 1904, Kongres Wanita Internasional yang berhasil diadakan di Berlin menandai babak baru kesetaraan gender di Jerman.[9][13]

Pergerakan-pergerakan ini membuahkan banyak hasil terhadap peran dan posisi wanita Jerman di masyarakat.[9] Di bidang pendidikan misalnya, pada 1908 pemerintah Prusia mulai mengizinkan wanita untuk menempuh pendidikan penuh di universitas. Kemudian pada tahun 1914, sekitar 4.000 wanita terdaftar menempuh pendidikan pada universitas-universitas di Jerman.[9][13]

Abad ke-20

Era Republik Weimar (1918-1933)

Pada permulaan abad ke-20, kaum wanita di Eropa dan Amerika Serikat, termasuk juga di Jerman, menuntut pemerintah untuk memberikan mereka hak politik.[14] Pemerintah Jerman di bawah konstitusi Weimar kemudian memberikan hak kepada kaum wanita untuk memilih dan menduduki jabatan politik pada tahun 1919.[13][14] Pada tahun ini, pemilih dalam pemilihan umum Jerman didominasi oleh kalangan wanita. Hal ini dikarenakan banyaknya pria Jerman yang tewas atau mengalami trauma setelah Perang Dunia I.[14] Pada pemilihan tahun 1919, wanita memperoleh 41 kursi atau sekitar 9,6% dari total kursi di Bundestag (parlemen Jerman) dan persentase tersebut terus bertambah hingga tahun-tahun berikutnya.[13] Tidak hanya dalam politik, posisi wanita di Jerman juga mengalami perubahan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Pekerjaan yang dulunya didominasi oleh pria seperti kasir toko, dokter, pengacara, bahkan konduktor trem, mulai diisi oleh wanita. Wanita juga dimasa ini mulai mendominasi bidang pekerjaan yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan sosial dan sekertaris.[13][14]

Era Nazi berkuasa

Era Nazi berkuasa dapat dikatakan sebagai era kemunduran bagi kesetaraan gender dan pergerakan wanita di Jerman. Dalam pandangan Nazi, peran wanita secara alami di masyarakat adalah sebagai seorang ibu, dan pekerjaannya terbatas pada urusan rumah tangga.[15][16] Adolf Hitler dalam potongan pidatonya pada rapat umum partai Nazi di Nuremberg, 8 September,1934 menyatakan:[17]

Sebelum Nazi berkuasa yakni pada era Republik Weimar, terdapat sekitar 100.000 guru wanita, 13.000 musisi wanita, dan 3.000 dokter wanita.[18] Sebaliknya, Nazi makin menekankan propagandanya pada wanita untuk tetap pada urusan rumah tangga selama berkuasa.[15][16] Sebulan setelah berkuasa, Nazi langsung melakukan banyak pemecatan terhadap dokter dan pegawai negeri sipil wanita. Kemudian diikuti oleh pemecatan terhadap guru dan pengacara wanita.[18] Wanita, dalam hal berpakaian dan gaya hidup, juga mendapat pengawasan pada era Nazi berkuasa.[19] Wanita pada era ini diwajibkan untuk tidak merokok dan memiliki tubuh yang langsing, wanita juga diharapkan untuk tidak memakai celana panjang dan kosmetik.[18][19][20][21]

Pada musim dingin tahun 1939, pemerintahan Nazi mulai mengalami krisis.[17] Perang mengakibatkan terbatasnya tenaga kerja pria, sehingga Nazi mulai mengambil keputusan yang bertentangan dengan propagandanya pada tahun-tahun sebelumnya.[17][22] Pada tahun 1939, Nazi mulai mempekerjakan banyak wanita pada bidang Industri berat dan persenjataan. Akibatnya, sejak tahun 1939, jumlah pekerja wanita pada era Nazi berkuasa meningkat dengan signifikan, bahkan jika dibandingkan negara-negara lain yang terlibat dalam Perang Dunia Ke-II seperti Inggris dan Amerika Serikat. Data tersebut ditabulasikan pada tabel dibawah ini:[22][23]

Perbandingan persentase tenaga kerja wanita terhadap total tenaga kerja pada Perang Dunia ke-II.
No Jerman Inggris Amerika Serikat
1 Mei 1939 37,3% Juni 1939 26,4% - -
2 Mei 1940 41,4% Juni 1940 29,8% 1940 25,8%
3 Mei 1941 42,6% Juni 1941 33,2% 1941 26,6%
4 Mei 1942 46,0% Juni 1942 36,1% 1942 28,8%
5 Mei 1943 48,8% Juni 1943 37,7% 1943 34,2%
6 Mei 1944 51,0% Juni 1944 37,9% 1944 35,7%

Menjelang akhir Perang Dunia Ke-II, Nazi juga mulai melibatkan wanita pada angkatan bersenjata.[19] Pada tahun 1944-1945, setidaknya 500.000 wanita Jerman diperbantukan dalam angkatan bersenjata Jerman (Wehrmacht) dan 400.000 lainnya menjadi sukarelawan perawat atau paramedis.[24]

Angela Merkel, merupakan tokoh ikonik terkait kesetaraan gender di Jerman saat ini.

Setelah Perang Dunia ke-II

Setelah Perang Dunia ke-II, kaum wanita Jerman mendapatkan kembali posisinya yang setara dengan kaum pria di masyarakat. Tertulis di Hukum Dasar Republik Federal Jerman (Grundgesetz für die Bundesrepublik Deutschland) pada tahun 1949, bahwa wanita memiliki status yang setara terhadap pria.[25][26] Wanita Jerman pada masa ini mulai kembali mendapat tempat dan terlibat aktif di dalam dunia politik.[26] Pada tahun 1970, setidaknya sekitar 10% kursi parlemen Jerman diisi oleh wanita.[27]

Abad ke-21

Sejak tahun 2000, persentasi jumlah wanita di pemerintahan Jerman mengalami peningkatan.[28] Pada tahun 2002, setengah dari kabinet pemerintahan Jerman diisi oleh wanita. Pada tahun 2005, wanita menguasai sekitar 32% dari kursi parlemen Jerman.[27][29] Pemilihan federal tahun 2005 juga menunjuk Angela Merkel sebagai kanselir wanita pertama Jerman.[30] Selain di bidang politik dan pemerintahan, di bidang lainnya seperti: sains dan teknologi, kesehatan, dan kesejahteraan, wanita Jerman telah mengalami kemajuan yang cukup jauh jika dibandingkan era sebelumnya.[29] Pada tahun 2015, indeks ketimpangan gender di Jerman menempati posisi ke-9 dari 188 negara di dunia. Ini membuat Jerman menjadi salah satu dari negara terbaik di dunia dalam hal kesetaraan gender.[31] Sehingga, ini yang menjadikan Jerman sebagai negara rujukan bagi para perempuan di negara berkembang untuk belajar mengenai konsep kesetaraan dan feminisme.

Referensi

  1. ^ "Women In German Society". www.germanculture.com.ua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-30. 
  2. ^ 1964-, Strasser, Ulrike, (2004). State of virginity : gender, religion, and politics in an early modern Catholic state. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 9780472032150. OCLC 52542551. Hlm 47-51
  3. ^ a b Nelson, Janet L.; Rio, Alice (2013-08-22). "Women and Laws in Early Medieval Europe" (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/oxfordhb/9780199582174.001.0001/oxfordhb-9780199582174-e-035.  dalam M.,, Bennett, Judith; 1957-, Karras, Ruth Mazo, (2013). The Oxford handbook of women and gender in medieval Europe (First edition ed.). Oxford, England: Oxford University Press. ISBN 9780199582174. OCLC 829743917. Hlm. 122-140.
  4. ^ a b c d Reyerson, Kathryn (2013-08-22). "Urban Economies" (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/oxfordhb/9780199582174.001.0001/oxfordhb-9780199582174-e-033.  dalam M.,, Bennett, Judith; 1957-, Karras, Ruth Mazo, (2013). The Oxford handbook of women and gender in medieval Europe (First edition ed.). Oxford, England: Oxford University Press. ISBN 9780199582174. OCLC 829743917. Hlm. 354-364. "In order to engage in a legal contract that could create an economic investment, women in many parts of Europe needed a male guardian who assumed legal liability. In Italian cities, the Roman law legacy, co-mingled with Lombard law, stipulated guardianship for women, and it left women with many fewer options for independent action. In Ghent, women had to have guardians unless they had been emancipated or held special merchant status.... "
  5. ^ Plummer, Marjorie Elizabeth (2008-08-01). "'Partner in his Calamities': Pastors' Wives, Married Nuns and the Experience of Clerical Marriage in the Early German Reformation". Gender & History (dalam bahasa Inggris). 20 (2): 207–227. doi:10.1111/j.1468-0424.2008.00518.x. ISSN 1468-0424.  "Women married clergy for a variety of reasons that were counterintuitive to typical marital strategies for economic security and social networking, since clergy had neither in the 1520s......."
  6. ^ Eda., Sagarra, (2003). A social history of Germany 1648-1914. New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers. ISBN 9780765809827. OCLC 50645585. 
  7. ^ a b Martin., Kitchen, (2006). A history of modern Germany, 1800-2000. Malden, MA: Blackwell Pub. ISBN 9781405100403. OCLC 58051032. 
  8. ^ a b Dormeyer, Recca (1906). "Education of Women in Germany". The Elementary School Teacher. 7 (2): 49–58. doi:10.2307/993240.  "One of the characteristic features of the nineteenth century was the constant progress in the educationof women; and it still continues. Women are better instructed, and at the same time play a more importantpart in instruction."
  9. ^ a b c d e f g Sylvia., Paletschek,; Bianka., Pietrow-Ennker, (2004). Women's emancipation movements in the nineteenth century : a European perspective. Stanford, Calif.: Stanford University Press. ISBN 9780804754941. OCLC 55848473.  Hlm. 102-122.
  10. ^ Ruth., Whittle,. Gender, canon and literary history : the changing place of nineteenth-century German women writers. Berlin. ISBN 9783110259223. OCLC 865848704.  Hlm 17. "In Western Europe, the German wife was looked upon as the most backward housewife: French women had a chance to become successful in business by marrying wisely, leaving little more than......"
  11. ^ Press, Stanford University. "Gender and the Modern Research University: The Admission of Women to German Higher Education, 1865-1914 | Patricia Mazón". www.sup.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-31. 
  12. ^ Martyn., Lyons, (2001). Readers and society in nineteenth-century France : workers, women, peasants. Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Palgrave. ISBN 9780230287808. OCLC 53015327. . Hlm 1. "The German Reich was 88 per cent literate in 1871."
  13. ^ a b c d e WUNDERLICH, FRIEDA (1935). "WOMEN'S WORK IN GERMANY". Social Research. 2 (3): 310–336. doi:10.2307/40981451.  Hlm. 324-326
  14. ^ a b c d "Women in the Weimar Republic". Facing History and Ourselves. Diakses tanggal 2017-10-31. 
  15. ^ a b Collins, Glenn (1987-03-02). "WOMEN IN NAZI GERMANY: PARADOXES". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2017-11-01. 
  16. ^ a b Bock, Gisela (1983-04-01). "Racism and Sexism in Nazi Germany: Motherhood, Compulsory Sterilization, and the State". Signs: Journal of Women in Culture and Society. 8 (3): 400–421. doi:10.1086/493983. ISSN 0097-9740. 
  17. ^ a b c Mason, Tim (1976). "Women in Germany, 1925-1940: Family, Welfare and Work. Part I". History Workshop (1): 74–113. doi:10.2307/4288034. 
  18. ^ a b c "The Role of Women in Nazi Germany - History Learning Site". History Learning Site (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 
  19. ^ a b c Makela, Maria (2000-12-01). "The Rise and Fall of the Flapper Dress: Nationalism and Anti-Semitism in Early-Twentieth-Century Discourses on German Fashion". The Journal of Popular Culture (dalam bahasa Inggris). XXXIV (3): 183–208. doi:10.1111/j.0022-3840.2000.3403_183.x. ISSN 1540-5931.  " It was precisely for this reason that the Nazi party and its officials so emphatically rejected the style beginning in the 1920s. Because it did not show the curves of the female body indeed....."
  20. ^ "Nazi Germany - Role of Women - History". History (dalam bahasa Inggris). 2014-06-06. Diakses tanggal 2017-11-01. 
  21. ^ "Women in Nazi Germany". germanculture.com.ua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 
  22. ^ a b Mason, Tim (1976). "Women in Germany, 1925-1940: Family, Welfare and Work. Part II (Conclusion)". History Workshop (2): 5–32. doi:10.2307/4288063. 
  23. ^ "TracesOfWar.com - Women in Nazi ideology and the Nazi economy". www.tracesofwar.nl (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 
  24. ^ Hagemann, Karen (2011). "Mobilizing Women for War: The History, Historiography, and Memory of German Women's War Service in the Two World Wars". Journal of Military History. 75 (4): 1055–1094. "In 1944-45 more than 500.000 were auxiliaries in the German armed force (Wehrmacht)..."
  25. ^ "Women in Post-War Germany". germanculture.com.ua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 
  26. ^ a b Bendix, John (1994-06-01). "Women and politics in Germany and Switzerland". European Journal of Political Research (dalam bahasa Inggris). 25 (4): 413–438. doi:10.1111/j.1475-6765.1994.tb00429.x. ISSN 1475-6765.  Hlm 413-438. "....activists, KPD and SPD representatives, theologians and social workers. Examinations of individual women, such as Kiderlen’s (1990) skeptical yet respectful portrait of Rita Sussmuth, or Schiitt’s (1992) supportive questions to Regina Hildebrandt, are more successful in conveying political styles, internal party dynamics and popular support: they deemphasize gender in favor of portraying the politician...."
  27. ^ a b Ferree, Myra Marx (2006-03-01). "Angela Merkel: What Does it Mean to Run as a Woman?". German Politics and Society (dalam bahasa Inggris). 24 (1). doi:10.3167/104503006780935315.  "As women have increasingly run for and been elected to public office, the fait accompli effect has taken hold. Women increased from less than 10 percent of the Bundestag in the 1970s to 32 percent in 2005..."
  28. ^ Meyer, Birgit (2003-09-01). "Much Ado about Nothing? Political Representation Policies and the Influence of Women Parliamentarians in Germany". Review of Policy Research (dalam bahasa Inggris). 20 (3): 401–422. doi:10.1111/1541-1338.00028. ISSN 1541-1338. 
  29. ^ a b Mushaben, Joyce (2005-10-13). "Girl Power, Mainstreaming and Critical Mass: Women's Leadership and Policy Paradigm Shift in Germany's Red-Green Coalition, 1998–20021". Journal of Women, Politics & Policy. 27 (1-2): 135–161. doi:10.1300/J501v27n01_09. ISSN 1554-477X. 
  30. ^ "Angela Merkel". Biography.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 
  31. ^ "Human Development Reports". hdr.undp.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-01. 

Referensi utama sebagai bacaan lanjutan

Buku

Jurnal Ilmiah

Pranala luar

Topik Jerman juga tersedia dalam Proyek Wikimedia Diarsipkan 2018-01-12 di Wayback Machine. lainnya.
Commons
Galeri dan peta
Wiktionary
Kamus dan tesaurus
Wikiquote
Kutipan
Wikibooks
Buku dan manual
 
Wikisource
Perpustakaan
Wikiversity
Bahan belajar