Sengketa Irian Barat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wilayah Papua Barat yang disengketakan

Persengketaan Irian Barat (1950–1962), juga dikenal sebagai Persengketaan Nugini Barat, adalah sebuah konflik diplomatik dan politik antara Belanda dan Indonesia terhadap wilayah Nugini Belanda. Ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 setelah Revolusi Nasional Indonesia, Belanda menolak klaim bahwa setengah Nugini yang dikuasai oleh Belanda pada dasarnya berada pada wilayah Hindia Belanda dan bahwa Republik Indonesia yang saat itu baru berdiri berhak penuh atas seluruh bekas koloni Belanda tersebut.[1]

Setelah pertarungan panjang, Irian Barat secara resmi terintegrasi ke dalam Indonesia berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969.

Latar Belakang

Sebelum kedatangan Belanda, dua kesultanan Indonesia yang dikenal sebagai Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate diklaim telah menguasai Papua Barat. Berdasarkan perjanjian tahun 1660 antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate yang berada di bawah jajahan Belanda, orang Papua diakui sebagai subjek Kesultanan Tidore. Kemudian di bawah perjanjian 1872, Kesultanan Tidore mengakui kendali Belanda atas seluruh wilayahnya, yang digunakan oleh Kerajaan Belanda untuk menetapkan Papua Barat sebagai bagian jajahan resmi Hindia Belanda.

Kurang dari sepekan setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Belanda kembali datang membawa sekutu dan memulai rentetan kontak senjata di berbagai tempat termasuk Jakarta sampai pada awal 1946, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Pada 25 Maret 1947, Belanda dan Indonesia berhasil menyepakati bersama Perundingan Linggarjati. Namun, pada 21 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Hubertus Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.

Dari tahun 1947-1948, Belanda menggunakan politik Devide et Impera atau politik pecah belah yang merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Politik peredaman ini dilakukan oleh Belanda dengan pendirian negara boneka di Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur pada tahun 1947-1948 untuk membina separatisme.

Pada 22 Desember 1948, para delegasi Indonesia membahas pelanggaran Perundingan Linggarjati, penggelaran operasi militer Belanda, dan penawanan para petinggi pemerintahan Indonesia di sidang PBB di Paris. Delegasi Belanda di PBB menolak klaim Indonesia dengan menyatakan bahwa keadaan di Indonesia telah kembali normal dan para pemimpin yang ditawan diperkenankan untuk bergerak dengan leluasa. Namun pada 15 Januari 1949, dua anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dikirim ke tempat pengasingan dan tidak menemukan kebenaran dalam klaim Belanda.

Para delegasi Indonesia selanjutnya mengikuti Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri oleh perwakilan sejumlah negara dan menghasilkan kesepakatan forum yang meminta bantuan PBB untuk mengatasi persoalan antara Belanda dan Indonesia. Dalam mediasinya, PBB menerbitkan Resolusi 67 tertanggal 28 Januari 1949 yang menghimbau agar Belanda menghentikan aksi militernya di Indonesia dan agar Indonesia menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Setelah itu agresi militer dihentikan, tetapi Belanda menolak sebagian besar isi resolusi dan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dalam usaha untuk mengakhiri konflik Belanda-Indonesia, perjanjian Den Haag atau Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) diratifikasi pada 2 November 1949. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda dengan Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950. Untuk membantu mempertahankan koloni Papua dari infiltrasi pasukan Indonesia, pasukan Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) yang beranggotakan pribumi Papua dibentuk oleh Belanda pada tahun 1961.

Belanda melanjutkan pembentukan sebuah komite pada tanggal 19 Oktober 1961 yang merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961, demikian seperti yang diumumkan oleh surat kabar pemerintah kolonial Nugini Belanda Pengantara.

Langkah-langkah yang dilakukan Belanda ini merupakan pelanggaran perjanjian KMB. Hingga pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan akan melaksanakan Operasi Trikora.

Operasi Trikora

Tanggal 1 Desember 1961, bendera Papua dinaikkan di Jayapura. Kemudian, 18 hari setelah itu Presiden Soekarno di Yogyakarta mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang antara lain berisi perintah batalkan negara boneka Papua buatan Belanda. Operasi Trikora yang diumumkan pada 19 Desember 1961 itu bertujuan untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua Barat (saat itu bernama Irian Barat) dengan Indonesia.

Pada dasarnya, Trikora adalah pembebasan semua wilayah bekas jajahan Belanda dari Sabang sampai Merauke. Dengan kata lain, Operasi Trikora diluncurkan untuk membebaskan Papua dari cengkeraman imperialis Belanda. Upaya untuk mengembalikan Papua ke pangkuan Indonesia itu juga diperjuangkan oleh salah satu pahlawan Papua, Frans Kaisiepo.

Kaisiepo mengajukan penggantian nama Netherland Nieuw Guinea menjadi Irian (Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland). Akibatnya, Frans Kaisiepo menjadi tahanan politik pada tahun 1954 sampai 1961. Tujuan Trikora tidak semata-mata untuk pembebasan teritorial, tetapi juga untuk pembebasan seluruh rakyat Papua dari penjajahan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan untuk menempatkan diri dalam strata masyarakat sosial yang berkualitas dan bermartabat.

Konflik Papua

Konflik Papua mulai secara signifikan meningkat pada tahun 2018. Saat itu, tragedi mengenaskan terjadi pada 2 Desember 2018 yang menewaskan 19 pekerja proyek jalan raya Trans Papua tewas ditembaki di wilayah Nduga oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya.

Menurut sejarah sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, Irian Barat telah menjadi wilayah sengketa politik. Sengketa ini berlangsung sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 hingga belasan tahun kemudian. Hingga pada sebuah forum internasional yang diprakarsai oleh Amerika Serikat melalui sebuah kesepakatan BUNKER PLAN (Gagasan seorang yang bernama bunker - bekas Dubes AS yang mencontohi cara plebisit Amerika Serikat menguasai Hawaii atas perintah John F. Kennedy-Presiden Amerika Serikat), maka NEW YORK AGREEMENT atau Perjanjian New York (1962) ditandatangani Belanda Indonesia untuk mengakhiri sengketa politik atas Irian Barat.

Inti dari New York Agreement adalah Belanda menyerahkan Papua di bawah kendali Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Selanjutnya, Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963. Namun sejak perjanjian itu ditandatangani, sudah muncul suara-suara yang menentang.

Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, akhirnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice digelar sebagai referendum menentukan apakah penduduk Papua menghendaki tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Pepera adalah kesepakatan politik antara Indonesia-Belanda, setelah sebelumnya Indonesia mewarisi bekas tanah jajahan Hindia Belanda, dari Sabang sampai Merauke.

Referendum tersebut diikuti oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua. Anggota DMP terdiri dari 400 orang kepala suku dan adat, 360 orang dari unsur daerah, 266 orang dari unsur organisasi masyarakat. DMP kemudian memilih agar Papua tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, sebagian masyarakat Papua merasa hasil Pepera tidak mewakili keinginan mereka yang seutuhnya.

Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, hasil Pepera 1969 sudah sangat kuat. Pepera digelar atas kesepakatan Indonesia-Belanda dan PBB, dengan mekanisme dan aturan-aturan yang sudah disepakati, termasuk sistem perwakilan. Sistem perwakilan tersebut bahkan masih tetap relevan dengan kondisi kontemporer, karena masyarakat Papua hingga kini mengenal sistem “noken” – yang memperbolehkan perwakilan dalam mencoblos surat suara – dalam Pemilu maupun Pilkada. Hasil dari Pepera 1969 sudah dibawa dan diterima oleh Majelis Umum PBB, serta dijadikan Resolusi PBB 2504.

Ketidakpuasan penduduk Papua akan hasil Pepera 1969 telah memicu perlawanan yang lebih serius dengan membentuk gerakan politik militer yang sering disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Kemudian, menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul “The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement”, kegiatan penambangan Freeport pada 1973 memicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika. Kemudian pada Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan direspons dengan operasi militer. Sejak saat itu, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi di Papua.

Selanjutnya, gelombang kekerasan yang terjadi sekitar akhir tahun 2019 mengakibatkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019. Kemudian, kerusuhan lain terjadi pada 26 September 2019 mengakibatkan 33 orang tewas di Wamena dan empat orang tewas di Jayapura.

Gerakan yang dilakukan kelompok separatis sering kali merupakan gerakan bersenjata yang sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan kemerdekaan Papua ini juga telah berkembang dan merambah ke kampanye internasional sebagai media melancarkan aksinya. Hal ini karena gerakan bersenjata dianggap tidak efektif lagi dalam mewujudkan visi yang diinginkan. Alhasil, mereka adalah dalang dari semua konflik-konflik yang ada di Papua.

Oleh karena itu, separatis melakukan kampanye internasional yang aktif dan mengangkat isu-isu sensitif tentang Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga ke berbagai negara seperti Australia, Inggris, Vanuatu, dan Belanda. Sekalipun upaya marak dilakukan, tetapi tidak ada satupun negara di dunia yang mengakui bahwa Papua adalah sebuah negara.

Bacaan tambahan

Catatan dan referensi

  1. ^ Bob Catley and Vinsensio Dugis, The Garuda and The Kangaroo, pp.20-21.