Sepuluh Perintah dalam teologi Katolik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Musa Menerima Kedua Loh Batu (lukisan karya João Zeferino da Costa, 1868).

Sepuluh Perintah Allah merupakan rangkaian perintah moral dan religius yang diakui sebagai suatu landasan moral dalam beberapa agama Abrahamik, termasuk Katolisisme.[1] Menurut deskripsi dalam Kitab Keluaran dan Ulangan di Perjanjian Lama, Perintah Allah ini merupakan bagian dari perjanjian yang ditawarkan Allah kepada suku Israel untuk membebaskan mereka dari perbudakan dosa.[2] Menurut Katekismus Gereja Katolik—uraian resmi dari keyakinan Kristiani Gereja Katolik—Perintah Allah ini dipandang penting untuk pertumbuhan dan kesehatan rohani yang baik,[3] serta berfungsi sebagai dasar keadilan sosial Katolik.[4] Tinjauan ke Sepuluh Perintah Allah merupakan salah satu cara paling umum dalam pemeriksaan batin yang dilakukan oleh umat Katolik sebelum menerima Sakramen Tobat.[5]

Sepuluh Perintah Allah dibahas dalam tulisan-tulisan Gereja yang paling awal;[6] Katekismus menyatakan bahwa Sepuluh Perintah Allah telah "menempati suatu tempat utama" dalam pengajaran iman sejak zaman Agustinus dari Hippo (tahun 354–430 M).[7][8] Gereja belum memiliki standar resmi untuk pengajaran keagamaan hingga Konsili Lateran IV pada tahun 1215;[9] bukti-bukti mengemukakan bahwa Perintah ini digunakan pada pendidikan Kristen dalam Gereja perdana[10] dan sepanjang Abad Pertengahan, tetapi dengan penekanan yang tidak konsisten.[9] Kekurangan pengajaran tersebut di beberapa keuskupan menjadi dasar dari salah satu kritik yang dilansir terhadap Gereja oleh para reformis Protestan.[11] Setelah itu, katekismus pertama yang digunakan secara luas dalam Gereja pada tahun 1566 menyediakan "pembahasan yang menyeluruh mengenai masing-masing perintah", tetapi memberikan penekanan yang lebih besar pada ketujuh sakramen.[12] Katekismus terbaru menyediakan bagian cukup panjang yang menafsirkan masing-masing perintah dalam Sepuluh Perintah Allah.[7]

Ajaran Gereja mengenai Sepuluh Perintah Allah utamanya didasarkan pada Perjanjian Baru dan Lama serta tulisan-tulisan para Bapa Gereja awal.[13] Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengakui keabsahannya dan menginstruksikan para murid-Nya untuk berbuat lebih jauh, menuntut suatu kebajikan melebihi yang dipegang oleh ahli kitab dan kaum Farisi.[14] Sepuluh Perintah Allah menginstruksikan semua orang agar menjalin hubungan dalam kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama sesuai rangkuman oleh Yesus dalam dua "Perintah yang Utama".[7] Tiga perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah menuntut penghormatan terhadap nama Allah, peringatan Hari Tuhan, dan melarang pemujaan allah lain. Perintah lainnya berkaitan dengan hubungan antar pribadi manusia, misalnya antara orang tua dan anak; perintah-perintah lain ini termasuk larangan berbohong, mencuri, membunuh, berzina, dan keinginan akan hal-hal yang dilarang.

Penomoran

Perjanjian Lama mengacu ke sepuluh perintah individual,[15][16][17] walaupun terdapat lebih dari sepuluh kalimat perintah moral dalam dua teks yang relevan di Keluaran 20:1–17 dan Ulangan 5:6–21.[18][19] Perjanjian Lama tidak menjelaskan bagaimana teks-teks tersebut seharusnya dibagi hingga menjadi sepuluh perintah. Menurut tradisi, pembagian yang digunakan oleh Gereja Katolik Roma dan Lutheran berasal dari Agustinus dari Hippo (354–430), seorang Bapa Gereja Latin, dalam buku Pertanyaan-Pertanyaan tentang Keluaran (Quæstionum in Heptateuchum libri VII, Buku II, Pertanyaan lxxi) karyanya.[3][20] Komunitas Kristen lainnya, seperti Gereja Ortodoks dan banyak gereja Protestan, menggunakan rumusan yang dibakukan oleh para Bapa Gereja Yunani dari Kekristenan Timur. Kedua bentuk tersebut sedikit berbeda penomorannya, tetapi memiliki substansi yang persis sama kendati ada kalangan Protestan yang mengklaim sebaliknya.[3] Penomoran Yahudi Rabinik lebih mirip dengan tradisi Gereja Timur, menganggap teks penentangan terhadap keinginan sebagai satu larangan tunggal, tetapi berbeda dengan denominasi-denominasi Kristen dalam hal apa yang disebut prolog oleh banyak kalangan Kristen dipandang mereka sebagai keseluruhan perintah pertama.[21]

Sejarah

Sepuluh Perintah Allah diakui sebagai suatu landasan moral oleh agama Yahudi (Yudaisme), Kristen, dan Islam.[1] Perintah-perintah ini ditampilkan pertama kali dalam Kitab Keluaran yang di dalamnya dikisahkan bahwa Musa, bertindak atas perintah dari Allah, membebaskan suku Israel dari perbudakan fisik di Mesir. Menurut ajaran Gereja, Allah menawarkan suatu perjanjian—yang mencakup Sepuluh Perintah Allah—untuk membebaskan mereka juga dari "perbudakan spiritual" dosa.[2] Beberapa sejarawan menggambarkan hal ini sebagai "peristiwa sentral dalam sejarah Israel kuno".[22]

Menurut Peter Kreeft, kedatangan Yesus dipandang oleh Gereja Katolik sebagai pemenuhan janji Allah kepada bangsa Yahudi yang terpilih untuk "memperlihatkan Allah yang benar kepada dunia".[23] Yesus mengakui adanya Perintah Allah tersebut dan mengajarkan para pengikut-Nya untuk berbuat lebih jauh, yang membutuhkan, dalam kata-kata Kreeft, "lebih, tidak kurang: suatu 'hidup keagamaan (yang) melebihi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi'".[3][24] Dengan menjelaskan ajaran Gereja, Kreeft menyatakan, "Perintah Allah adalah untuk tatanan moral dari kisah penciptaan yang dikisahkan dalam Kejadian 1 sebagai tatanan alam. Perintah-perintah ini adalah tatanan Allah yang menaklukkan kekacauan. Perintah-perintah ini bukanlah gagasan manusia tentang Allah, tetapi gagasan Allah tentang manusia."[3] Gereja mengajarkan bahwa Yesus membebaskan manusia dari memelihara "hukum Yahudi (Taurat atau Hukum Musa) yang memberatkan dengan 613 peraturannya yang berbeda [tetapi] tidak dari kewajiban untuk memelihara Sepuluh Perintah Allah",[3] karena Kesepuluh Perintah itu "dituliskan 'oleh jari Allah',[note 1] tidak seperti [perintah-perintah] yang ditulis oleh Musa".[3] Ajaran ini ditegaskan kembali dalam Konsili Trente (1545–1563) dan Konsili Vatikan II (1962–1965).[7]

Kendati tidak ada kejelasan mengenai peranan Sepuluh Perintah Allah dalam ibadah Kristen awal, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perintah-perintah tersebut dibacakan dalam beberapa ibadat dan digunakan dalam pendidikan Kristen.[10] Sebagai contoh, Perintah Allah termuat dalam salah satu tulisan Kristen tertua, yang dikenal sebagai Ajaran Kedua Belas Rasul atau Didache.[6] Para akademisi berpendapat bahwa Perintah Allah sangat dihormati oleh Gereja perdana sebagai suatu ringkasan dari hukum Allah.[10] Klaus Bockmuehl, seorang akademisi Protestan, meyakini bahwa Gereja menggantikan Perintah Allah dengan daftar kebajikan dan cacat cela, misalnya tujuh dosa mematikan, antara tahun 400–1200.[26] Para akademisi lainnya berpendapat bahwa, sepanjang sejarah Gereja, Perintah Allah telah digunakan sebagai suatu sarana untuk melakukan pemeriksaan batin dan banyak teolog telah menuliskannya.[5] Terdapat bukti bahwa Perintah Allah merupakan bagian dari katekese di biara-biara dan tempat-tempat lain, namun Gereja belum menunjukkan posisi resminya untuk mengembangkan metode-metode khusus dalam pengajaran agama selama Abad Pertengahan. Konsili Lateran IV (tahun 1215) merupakan upaya pertama untuk mengatasi masalah ini. Bukti yang masih ada sekarang menunjukkan bahwa beberapa upaya dari para uskup di keuskupan mereka masing-masing untuk menerapkan keputusan konsili tersebut mencakup penekanan khusus pada Perintah Allah.[9] Berabad-abad kemudian, kurangnya pengajaran mengenai Sepuluh Perintah Allah oleh beberapa keuskupan menjadi salah satu dasar kritikan yang dilansir terhadap Gereja oleh para reformis Protestan.[11]

Katekismus-katekismus yang dibuat di keuskupan-keuskupan tertentu pada pertengahan abad ke-14 menekankan Perintah Allah dan meletakkan dasar bagi katekismus resmi pertama yang digunakan secara luas dalam Gereja, yaitu Katekismus Roma tahun 1566.[27] Katekismus itu dibuat sesuai keputusan dalam Konsili Trente, memuat "pembahasan yang menyeluruh dari masing-masing perintah tersebut" tetapi memberi penekanan yang lebih besar pada ketujuh sakramen untuk menekankan keyakinan Katolik bahwa kehidupan Kristiani bergantung pada rahmat yang semata-mata diperoleh melalui kehidupan sakramental yang disediakan oleh Gereja Katolik.[12] Penekanan tersebut bertentangan dengan keyakinan Protestan, yang berpegang pada Perintah Allah sebagai sumber rahmat ilahi.[12] Berbagai ensiklik kepausan terbaru menyajikan penafsiran ajaran Gereja akan masing-masing perintah ini, sementara ajaran resmi Gereja sepanjang sejarah mengenai Perintah Allah didasarkan pada penyebutannya dalam Perjanjian Lama dan Baru serta tulisan-tulisan para Bapa Gereja awal seperti Origenes, Ireneus, dan Agustinus.[13] Kemudian hari, para teolog seperti Thomas Aquinas dan Bonaventura membuat komentar-komentar penting mengenai Perintah Allah. Aquinas, seorang Pujangga Gereja, memandang perintah-perintah tersebut sebagai "sila-sila utama dari keadilan dan semua hukum, juga akal budi memberikan persetujuan langsung atasnya sebagai prinsip-prinsip yang jelas nyata."[28]

Katekismus Gereja Katolik terbaru, sebagai ringkasan resmi keyakinan Gereja, mendedikasikan suatu bagian yang cukup panjang untuk membahas Perintah Allah,[7] yang berfungsi sebagai dasar ajaran sosial Katolik.[4] Menurut Katekismus tersebut, Gereja telah menyediakan suatu tempat utama untuk Sepuluh Perintah Allah di dalam pengajaran iman sejak abad ke-5.[7] Kreeft menjelaskan bahwa Gereja memandangnya sebagai "jalan kehidupan", dan "jalan menuju kebebasan" seperti halnya pagar sekolah melindungi anak-anak dari "bahaya-bahaya yang mengancam hidup".[3]

Perintah pertama

"Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya."
Perintah pertama menurut Katekismus Gereja Katolik[29][30][31]

Perintah pertama, menurut ajaran Gereja, "berarti bahwa [umat] harus menyembah dan memuja Allah saja karena Allah adalah satu."[32] Katekismus menjelaskan bahwa perintah ini melarang pemujaan berhala, dengan menyajikan contoh-contoh praktik terlarang seperti pemujaan ciptaan apapun, dan "'setan-setan ... kekuasaan, kenikmatan, ras/suku, leluhur, negara [dan] uang'".[32] Agustinus menafsirkan perintah ini sebagai "Kasihilah Allah dan kemudian lakukan apa yang kamu kehendaki".[33] Untuk menjelaskan sentimen ini, Kreeft menyatakan bahwa semua dosa "melayani allah lainnya, menuruti komandan yang lain: dunia atau kedagingan ataupun setan", jika Allah benar-benar dikasihi maka orang akan melakukan apa yang dikehendaki Allah.[33][34]

Katekismus mengaitkan perintah ini dengan tiga kebajikan teologal. Kebajikan pertama, yaitu iman, menginstruksikan umat Katolik untuk percaya kepada Allah serta menghindari bidah, murtad, dan skisma. Kebajikan kedua, yaitu harapan, memperingatkan umat Katolik agar tidak berputus asa dan membuat presumsi. Menurut Katekismus, kebajikan terakhir, yaitu kasih, hanya dapat terpenuhi jika umat Katolik tidak bersikap acuh tak acuh, tahu berterima kasih kepada Allah, menghindari kemalasan rohani dan kebencian kepada Allah akibat kesombongan.[29][35] Katekismus menyebutkan pelanggaran-pelanggaran spesifik terhadap perintah ini, misalnya takhayul, politeisme, sakrilegi, ateisme, serta semua praktik magi dan sihir. Selain itu juga tertulis larangan terhadap astrologi, ramalan telapak tangan, dan berkonsultasi dengan cenayang atau horoskop. Katekismus menyebut tindakan-tindakan terakhir itu sebagai suatu "kehendak untuk berkuasa atas waktu, sejarah, dan pada akhirnya atas manusia lain, juga suatu keinginan untuk melakukan konsiliasi dengan kekuatan tersembunyi".[29][36]

Patung berhala

Tabut Perjanjian dibawa ke dalam Bait Yahudi

Umat Katolik terkadang dituduh menyembah gambar-gambar, yang berarti pelanggaran terhadap perintah pertama ini,[37] sementara Gereja mengatakan bahwa hal ini adalah suatu kesalahpahaman. Menurut pendapat Gereja, "penghormatan yang diberikan kepada gambar-gambar suci adalah suatu 'penghormatan yang khidmat', bukan penyembahan, karena penyembahan hanya dapat diberikan kepada Allah".[37][38] Pada abad ke-8, timbul perdebatan mengenai apakah ikon religius (dalam konteks ini yaitu lukisan) dilarang oleh perintah pertama. Perselisihan tersebut dapat dikatakan terbatas pada Gereja Timur saja; kaum ikonoklas ingin melarang penggunaan ikon, sedangkan kaum ikonodul mendukung penghormatan terhadapnya, dan posisi ini secara konsisten didukung oleh Gereja Barat. Pada Konsili Nicea II tahun 787, konsili ekumenis tersebut menetapkan bahwa penghormatan terhadap ikon dan patung tidak melanggar perintah pertama ini dan menyatakan bahwa "siapapun yang menghormati gambar menghormati orang yang digambarkannya."[39][note 2] Seputar masa kontroversi ikonoklasme, Gereja Barat mulai menggunakan patung monumental, yang dalam periode Romanesque menjadi suatu ciri utama seni Kristen Barat—dan hingga sekarang tetap menjadi bagian dari tradisi Katolik—berbeda dengan Kekristenan Timur yang menghindari penggunaan patung religius besar. Katekismus, dengan menggunakan argumen yang sangat tradisional, menyebutkan bahwa Allah memberi izin penggunaan gambar yang melambangkan keselamatan Kristen melalui instruksi pembuatan simbol-simbol seperti ular tembaga, dan kerubim pada Tabut Perjanjian. Katekismus menyatakan bahwa "dengan menjelma menjadi manusia, Putra Allah memperkenalkan suatu 'ekonomi' gambar yang baru".[37][38]

Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat (USCCB) memberi penjelasan tentang isi Katekismus tersebut dalam buku karya mereka yang diterbitkan tahun 2006 dengan judul United States Catechism for Adults. Mengenai patung berhala, mereka menjelaskan bahwa perintah ini menyinggung pemujaan berhala pada zaman kuno yang diungkapkan dengan cara menyembah hal-hal seperti "matahari, bulan, bintang, pohon, sapi jantan, elang, dan ular" serta "kaisar dan raja". Mereka menjelaskan bahwa saat ini pemberhalaan diungkapkan dengan cara menyembah atau memuja hal-hal lain, dan mencantumkan beberapa di antaranya seperti "kekuasaan, uang, materialisme, dan olahraga."[41]

Perintah kedua

"Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan."
Perintah kedua menurut Katekismus Gereja Katolik[42][43][44]

Perintah kedua melarang penggunaan nama Allah dengan sembarangan.[3] Banyak budaya kuno yang meyakini bahwa nama adalah sakral; beberapa budaya memiliki larangan-larangan terkait kapan nama seseorang tidak dapat diucapkan. Injil Yohanes menghubungkan suatu insiden di mana sekelompok orang Yahudi berupaya untuk melempari Yesus dengan batu setelah Ia menggunakan satu nama sakral Allah untuk menunjuk diri-Nya. Mereka menafsirkan pernyataan-Nya sebagai suatu klaim keilahian. Karena mereka tidak percaya bahwa Ia adalah Allah, mereka menganggap hal ini penghujatan yang menurut hukum Musa dikenai hukuman mati.[45][46] Kreeft menuliskan bahwa semua nama yang olehnya Allah dikenal adalah kudus, dan dengan demikian semua nama itu dilindungi oleh perintah kedua.[46] Katekismus menyatakan, "Menghormati nama-Nya merupakan suatu ungkapan penghormatan yang patut diberikan kepada misteri Allah sendiri dan kepada seluruh realitas kekudusan yang disebabkannya."[42] Katekismus juga menyebutkan perlunya penghormatan nama-nama orang untuk menghormati martabat orang tersebut.[39]

Sentimen di balik perintah ini lebih lanjut dibakukan dalam Doa Bapa Kami yang dimulai dengan, "Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu". Menurut Paus Benediktus XVI, ketika Allah mengungkapkan nama-Nya kepada Musa, Ia menjalin suatu relasi dengan umat manusia; Paus Benediktus menyatakan bahwa Inkarnasi merupakan puncak dari suatu proses yang "telah dimulai dengan pemberian nama ilahi tersebut."[47] Ia menguraikan bahwa hal ini berarti nama ilahi tersebut dapat saja disalahgunakan dan bahwa disertakannya "dimuliakanlah nama-Mu" oleh Yesus merupakan suatu permohonan untuk pengudusan nama Allah, untuk "melindungi misteri indah aksesibilitas-Nya bagi kita dan menegaskan jati diri-Nya secara terus-menerus, kontras dengan penyimpangan yang kita lakukan atasnya".[47]

Menurut ajaran Katolik, perintah ini tidak melarang penggunaan nama Allah ketika mengucapkan sumpah khidmat yang diselenggarakan oleh otoritas yang sah. Namun demikian, berbohong ketika mengucapkan sumpah, menyerukan nama Allah demi tujuan magis, atau menyuarakan kata-kata kebencian atau perlawanan terhadap Allah dipandang sebagai dosa penghujatan.[39][42]

Perintah ketiga

"Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat! Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan."
Perintah ketiga menurut Katekismus Gereja Katolik[48][49][50]

Paus Benediktus XVI mengutip kata-kata Jacob Neusner, seorang akademisi dan rabi Yahudi, untuk menjelaskan bahwa bagi Israel memelihara perintah ini adalah lebih dari sekadar ritual; perintah ini merupakan suatu cara meneladani Allah yang beristirahat pada hari ketujuh setelah peristiwa penciptaan dunia. Selain itu perintah ketiga ini juga membentuk inti dari tatanan sosial.[51]

Paus Benediktus XVI mempersembahkan Ekaristi, suatu sakramen yang dirayakan dalam setiap Misa Katolik.

Kendati ada sedikit denominasi Kristen yang mengikuti praktik Yahudi dengan merayakan hari Sabat pada hari Sabtu, umat Katolik bersama dengan sebagian besar umat Kristen merayakan hari Minggu sebagai suatu hari khusus, yang mereka sebut "Hari Tuhan". Praktik ini dimulai pada abad pertama, timbul dari keyakinan jemaat saat itu bahwa Yesus bangkit dari antara orang mati pada hari pertama minggu tersebut.[note 3][52] Didache memuat seruan agar umat Kristen berkumpul bersama pada Hari Tuhan untuk memecahkan roti dan bersyukur. Tertulianus adalah orang pertama yang menyebutkan istirahat pada hari Minggu:[52] "Bagaimanapun (sebagaimana tradisi mengajarkan kita) pada hari Kebangkitan Tuhan kita seharusnya tidak hanya berlutut, tetapi juga memelihara setiap sikap dan kesadaran, menangguhkan bahkan urusan-urusan kita agar jangan sampai kita memberi suatu tempat bagi iblis" ("De orat.", xxiii; lih. "Ad nation.", I, xiii; "Apolog.", xvi).

Pada abad ke-6, Sesarius dari Arles mengajarkan bahwa seluruh kemuliaan hari Sabat Yahudi telah dipindahkan ke hari Minggu dan umat Kristen harus memelihara hari Minggu dengan cara yang sama sebagaimana orang Yahudi diperintahkan untuk memelihara hari Sabat. Konsili Orléans III pada tahun 538 mengecam kecenderungan ini, yang menerapkan hukum Sabat Yahudi ke dalam perayaan hari Minggu Kristen, karena bermotif Yahudi dan non-Kristen.[52]

Pada abad-abad berikutnya para pemimpin Gereja mencantumkan istirahat hari Minggu ke dalam ajaran resmi Gereja, dan para pemerintah Kristen sepanjang sejarah telah berupaya untuk memberlakukan istirahat hari Minggu.[52] Bagi umat Katolik, ajaran Yesus bahwa "hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat"[53] berarti bahwa perbuatan-perbuatan baik "pada saat kebutuhan orang lain menuntutnya" dapat menjadi bagian dari hari istirahat.[54] Katekismus menyajikan panduan tentang bagaimana merayakan Hari Tuhan, termasuk menghadiri Misa pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib.[48] Pada hari-hari tersebut, umat Katolik mungkin tidak bekerja atau melakukan aktivitas yang menghalangi ibadah yang ditujukan kepada Allah, tetapi "karya-karya belas kasih dan relaksasi yang pantas dalam semangat sukacita" diizinkan.[54]

Menurut USCCB, perintah ini "telah diwujud nyatakan bagi umat Katolik" sebagai salah satu dari aturan-aturan Gereja. Organisasi tersebut mengutip ensiklik kepausan Dies Domini:

Karena umat beriman diwajibkan untuk menghadiri Misa kecuali ada suatu halangan serius, para pastor memiliki tugas untuk menawarkan kemungkinan nyata kepada semua orang agar dapat memenuhi aturan tersebut. ... Namun lebih dari sekadar aturan, perayaan [Misa] seharusnya dilihat sebagai suatu kebutuhan yang timbul dari kedalaman hidup Kristiani. Adalah sangat penting bahwa semua umat beriman seharusnya yakin bahwa mereka tidak dapat menghidupi iman mereka atau berbagi secara penuh dalam kehidupan komunitas Kristiani kecuali mereka mengambil bagian secara teratur dalam persekutuan Ekaristis pada hari Minggu.[55]

Perintah keempat

"Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu."
Perintah keempat menurut Katekismus Gereja Katolik[56][57][58]

Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa Rabi Neusner "secara tepat memandang perintah ini sebagai penahan jantung tatanan sosial". Perintah keempat memperkuat hubungan antargenerasi, menjalin hubungan yang jelas antara tatanan keluarga dan stabilitas sosial, serta mengungkapkan bahwa keluarga "dikehendaki sekaligus dilindungi oleh Allah."[59] Karena cinta tanpa syarat orang tua bagi anak-anak mereka mencerminkan kasih Allah, dan karena mereka memiliki suatu tugas untuk meneruskan iman kepada anak-anak mereka, Katekismus menyebut keluarga sebagai suatu "gereja domestik" ("gereja rumah tangga"), suatu "komunitas istimewa" dan "sel awal mula kehidupan sosial".[60]

Katekismus menjelaskan bahwa perintah keempat ini mensyaratkan kewajiban anak-anak terhadap orang tua mereka yang meliputi: [56]

  1. Hormat kepada orang tua yang juga ditujukan kepada saudara saudari sekandung.
  2. Rasa terima kasih, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah kutipan dari Kitab Sirakh: "Ingatlah bahwa engkau adalah anak mereka. Bagaimana gerangan engkau dapat membalas budi atas apa yang mereka perbuat bagimu?"[60][61]
  3. Ketaatan kepada orang tua selama sang anak tinggal di rumah "apabila itu adalah untuk kebaikannya atau kebaikan keluarga",[60] kecuali jika ketaatan mengharuskan sang anak untuk melakukan sesuatu yang salah secara moral.
  4. Dukungan yang mensyaratkan anak-anak yang telah dewasa untuk menawarkan dukungan moril dan materiil bagi orang tua mereka yang lanjut usia, terutama pada saat "sakit, kesepian, atau menderita".[56][60]

Menurut Katekismus, untuk memelihara perintah ini juga disyaratkan kewajiban orang tua terhadap anak-anak yang meliputi:

  1. "Pendidikan moral, pembentukan rohani dan pewartaan iman" bagi anak-anak mereka
  2. Menghormati anak-anak mereka sebagai anak-anak Allah dan pribadi-pribadi manusia.
  3. Disiplin yang tepat bagi anak-anak dan berhati-hati agar tidak membangkitkan amarah di dalam hati mereka.
  4. "Menghindari pemaksaan untuk memilih pasangan hidup ataupun pekerjaan tertentu", tanpa mengesampingkan orang tua dari pemberian "nasihat yang bijaksana".[62]
  5. "Menjadi contoh yang baik" bagi anak-anak mereka.
  6. "Mengakui kesalahan mereka sendiri" kepada anak-anak mereka agar lebih mudah membimbing dan memperbaiki kesalahan anak-anak tersebut.[56][62]

Perluasan oleh Yesus

Injil Matius mengisahkan bahwa ketika ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya sedang menanti untuk bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab, "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Ia kemudian menunjuk ke arah murid-murid-Nya dan berkata, "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku."[63] Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa pernyataan Yesus ini mengangkat perintah keempat ke suatu tingkatan yang baru dan lebih tinggi. Dengan melakukan kehendak Allah, setiap orang dapat menjadi bagian dari keluarga universal Yesus.[64] Dengan demikian, tanggung jawab yang tercakup dalam perintah keempat diperluas hingga masyarakat yang lebih besar dan mensyaratkan rasa hormat terhadap "otoritas sosial yang sah". Katekismus menyebutkan "kewajiban dari warga negara dan bangsa", dirangkum oleh Kreeft menjadi:

  1. "Ketaatan dan rasa hormat" kepada "semua orang yang demi kebaikan kita telah menerima otoritas dari Allah di dalam masyarakat".
  2. Kewajiban warga negara untuk "membayar pajak, melaksanakan hak pilih, dan membela negara".
  3. "Kewajiban untuk bersikap waspada dan kritis", yang mengharuskan warga negara untuk menyampaikan kritik atas hal-hal yang merugikan martabat manusia dan masyarakat.
  4. "Kewajiban untuk tidak mematuhi" peraturan dan otoritas sipil yang bertentangan dengan tatanan moral.
  5. "Mempraktikkan amal kasih", yang merupakan suatu "keharusan bagi setiap keluarga yang bekerja atau masyarakat"; hal ini merupakan "perintah sosial yang terbesar" dan mengharuskan manusia untuk mengasihi Allah dan sesamanya.
  6. "Menampung orang asing" yang membutuhkan keamanan dan penghidupan yang tidak mereka dapatkan di negara asalnya.
  7. "Kewajiban bagi negara-negara kaya untuk membantu negara-negara miskin", terutama pada saat adanya "kebutuhan yang mendesak".
  8. "Suatu harapan bagi keluarga-keluarga untuk membantu keluarga lainnya".[56][65]

Perintah kelima

"Jangan membunuh."
Perintah kelima menurut Katekismus Gereja Katolik[66][67][68]

Perintah kelima menuntut penghormatan atas kehidupan manusia dan secara lebih tepat dapat diterjemahkan menjadi "jangan melakukan pembunuhan terencana di luar hukum (murder Diarsipkan 2016-09-08 di Wayback Machine.)". Membunuh (kill Diarsipkan 2016-09-02 di Wayback Machine.), dalam keadaan tertentu, dapat dibenarkan dalam Katolisisme. Yesus memperluasnya dengan melarang kemarahan yang tidak dapat dibenarkan, kebencian dan dendam, serta mewajibkan umat Kristen untuk mengasihi musuh-musuh mereka.[69][70] Dasar dari semua ajaran Katolik seputar perintah kelima adalah etika kesakralan hidup, yang menurut Kreeft secara filosofis bertentangan dengan etika kualitas hidup, yaitu suatu filosofi yang ia cirikan diperkenalkan oleh sebuah buku berjudul Die Freigabe der Vernichtung des Lebensunwerten Lebens (Izin untuk Mengakhiri Kehidupan yang Tidak Layak Hidup) (lih. Kehidupan yang tidak layak hidup) dan ia tegaskan sebagai yang "pertama yang memenangkan penerimaan masyarakat ... oleh para dokter Jerman sebelum Perang Dunia II—dasar dan awal mula praktik medis Nazi."[71] Penafsiran ini didukung oleh jurnal-jurnal medis modern yang membahas dilema akibat filosofi-filosofi yang saling bertentangan ini bagi para dokter yang harus membuat keputusan antara hidup atau mati.[72] Beberapa praktisi bioetika memandang penggunaan "analogi Nazi" tersebut tidak pantas jika diterapkan pada keputusan-keputusan terkait kualitas hidup; Arthur Caplan menyebut retorika ini "kekeliruan yang memuakkan".[73] Gereja terlibat secara aktif dalam perdebatan publik mengenai aborsi, hukuman mati, dan eutanasia, serta mendorong umat beriman untuk mendukung undang-undang dan politikus yang dideskripsikannya sebagai pro-kehidupan.[74]

Aborsi

Katekismus menyatakan: "Kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal melibatkan tindakan penciptaan oleh Allah dan selamanya tetap dalam hubungan khusus dengan Penciptanya. ... tidak ada seorang pun dapat mengklaim hak bagi dirinya sendiri dalam keadaan mana pun untuk secara langsung mengakhiri kehidupan manusia yang tidak bersalah."[66][69] Membunuh secara sengaja dan langsung manusia yang tidak bersalah dipandang sebagai suatu dosa berat.[66] Bahkan bobot dosanya dianggap lebih berat lagi jika melakukan pembunuhan anggota keluarga seperti "pembunuhan bayi, pembunuhan saudara, pembunuhan orang tua, pembunuhan pasangan hidup dan aborsi langsung yang dikehendaki."[66][69]

Katekismus menyatakan bahwa embrio yang terbentuk "sejak pembuahan harus diperlakukan sebagai pribadi". Dalam bahasa Latin, kata asli untuk "sebagai" adalah "tamquam", yang artinya "sebagaimana" atau "sama seperti".[75] "Meskipun Gereja tidak mendefinisikan secara resmi kapan kehidupan manusia benar-benar dimulai, [Gereja] telah menempuh arah untuk mempertahankan bahwa kehidupan manusia ada dari saat pembuahan atau fertilisasi"; menghormati kehidupan di semua tahapan, bahkan potensi kehidupan, umumnya merupakan konteks dokumen-dokumen Gereja.[76]

Aborsi telah secara khusus dan terus menerus dikutuk oleh Gereja sejak abad pertama.[66][77][note 4] Keterlibatan langsung atau secara aktif dalam aborsi menyebabkan hukuman ekskomunikasi yang berlaku dengan sendirinya saat pelanggaran dilakukan (bahasa Latin: latae sententiae, "hukuman [telah, yakni: otomatis] dikenakan").[69] Katekismus menekankan bahwa hukuman ini tidak dimaksudkan untuk membatasi belas kasihan, tetapi untuk menegaskan bobot kejahatan dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi yang telah dilakukan terhadap anak tersebut, sebagaimana terhadap orang tuanya dan masyarakat.[66][69] "Keterlibatan aktif" dalam aborsi tidak hanya sebatas pada sang ibu yang dengan kehendak bebasnya menghendaki, tetapi juga dokter, perawat dan siapa saja yang secara langsung membantu dalam melakukan tindakan tersebut. Gereja memiliki berbagai pelayanan rekonsiliasi, misalnya Priests for Life, bagi mereka yang sungguh-sungguh bertobat dari dosa mereka atas keterlibatan aktif dalam aborsi.[80]

Ajaran resmi Gereja mengizinkan perawatan dan prosedur medis yang dimaksudkan untuk melindungi atau memulihkan kesehatan sang ibu apabila ia akan berada dalam bahaya maut tanpa dilakukannya hal-hal tersebut,[81] sekalipun prosedur tersebut menimbulkan suatu risiko kematian pada janin (lih. aborsi tidak langsung).[82] Contoh-contohnya seperti pengangkatan tuba fallopi dalam kasus kehamilan ektopik, pengangkatan rahim yang terkena kanker pada saat kehamilan, dan apendektomi.[82]

Penggunaan embrio untuk penelitian atau pembuahan

United States Catechism for Adults memuat satu bagian khusus untuk membahas program 'bayi tabung', penelitian sel punca, dan kloning dalam kaitannya dengan perintah kelima; karena hal-hal ini sering kali menyebabkan pengakhiran hidup embrio manusia maka dipandang sebagai suatu bentuk pembunuhan dengan kadar dosa yang berat.[83] Penelitian sel punca embrionik disebut sebagai "suatu cara amoral untuk suatu hasil yang baik" dan "tidak dapat diterima secara moral."[83] Para uskup Amerika Serikat mengutip Instruksi tentang Penghormatan pada Kehidupan Manusia dalam Asal Mulanya dan tentang Martabat Prokreasi yang dikeluarkan Kongregasi bagi Doktrin Iman: "Tidak ada tujuan yang mulia sekalipun, seperti keuntungan masa mendatang untuk ilmu pengetahuan, untuk manusia lainnya, atau untuk masyarakat, yang dapat dengan cara apapun membenarkan dilakukannya eksperimen pada janin atau embrio manusia hidup, entah ia mampu bertahan hidup atau tidak, baik di dalam atau di luar tubuh ibunya." Para uskup tersebut menyampaikan bahwa penelitian sel punca dewasa, menggunakan sel-sel yang diperoleh dengan penjelasan dan persetujuan sepenuhnya, adalah suatu bidang penelitian yang dapat diterima secara moral.[83]

Bunuh diri, eutanasia

Perintah kelima melarang bunuh diri dan pembunuhan karena belas kasihan (atau eutanasia) atas mereka yang sekarat, sekalipun untuk menghilangkan penderitaan. Menurut Gereja, perawatan yang biasanya diberikan terhadap mereka yang menghadapi bahaya kematian secara moral tidak dapat dihentikan. "Perawatan yang biasanya diberikan" mengacu pada makanan, air, dan penghilang rasa sakit, namun tidak termasuk "perawatan luar biasa" yang mengacu pada penggunaan pipa makanan atau respirator yang dipandang bersifat opsional atau sukarela. Mengizinkan orang yang menderita penyakit terminal (sakit parah yang tidak dapat disembuhkan) untuk meninggal dunia dengan menggunakan obat penghilang rasa sakit yang mungkin mempersingkat hidup mereka, atau menolak perawatan luar biasa seperti kemoterapi ataupun radiasi, dapat diterima secara moral dan tidak melanggar perintah kelima, sesuai dengan prinsip akibat ganda.[84]

Hukuman mati

Selama dua ratus tahun pertama, orang-orang Kristen "menolak untuk membunuh di dalam militer, dalam mempertahankan diri, atau di dalam sistem peradilan.[85] Ketika Gereja pertama kali diakui sebagai suatu lembaga publik pada tahun 313, sikapnya terhadap hukuman mati menjadi suatu bentuk toleransi meski bukan penerimaan secara langsung.[85] Hukuman mati mendapat dukungan dari para teolog Katolik awal, kendati demikian beberapa dari mereka seperti Ambrosius mendorong para klerus agar tidak memaklumkan atau melaksanakan hukuman mati. Agustinus menjawab keberatan-keberatan yang berakar pada perintah pertama dalam buku Kota Allah karyanya.[86] Thomas Aquinas dan Duns Scotus berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati oleh otoritas sipil didukung Kitab Suci.[86] Sebagai prasyarat untuk rekonsiliasi dengan Gereja, Paus Innosensius III mengharuskan Peter Waldo dan kaum Waldens agar menerima bahwa "kekuasaan sekuler dapat, tanpa berdosa berat, melakukan penghakiman darah, asalkan menghukum dengan keadilan, bukan karena kebencian, dengan kehati-hatian, bukan ketergesa-gesaan".[86] Paul J. Surlis menyatakan bahwa ajaran-ajaran resmi Gereja tidak secara mutlak mengutuk ataupun mendukung hukuman mati, toleransi terhadap pelaksanaannya mengalami fluktuasi sepanjang zaman.[85] Inkuisisi merupakan contoh yang paling sering dikenang terkait dukungan Gereja atas hukuman mati, walaupun sejumlah sejarawan menganggapnya lebih lunak daripada pengadilan-pengadilan sekuler pada zaman tersebut.[87][88]

Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa hukuman mati diizinkan dalam kasus-kasus ekstrem. Hal ini dimungkinkan jika "tanggung jawab dan identitas pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan jika hukuman mati adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan manusia lainnya dari pihak yang bersalah. Namun demikian jika ada cara-cara lain untuk membela orang-orang dari "penyerang yang tidak dapat dibenarkan", cara-cara tersebut lebih diutamakan karena dipandang lebih menghormati martabat manusia dan menjaga kebaikan bersama.[66] Karena masyarakat modern telah memiliki cara-cara efektif untuk mencegah kejahatan tanpa perlu eksekusi, Katekismus menyatakan bahwa, "kasus-kasus yang mutlak memerlukan eksekusi pelaku kejahatan 'adalah sangat langka, atau bahkan tidak ada.'"[66] Paus Yohanes Paulus II membahas dan menegaskan hal ini dalam Evangelium Vitae yang dipublikasikan pada tahun 1995.[85]

Kesehatan pribadi, jenazah, penguburan

Menurut ajaran Gereja, penghormatan atas kehidupan manusia mensyaratkan penghormatan tubuh sendiri, menghindari perilaku yang tidak sehat, penyalahgunaan terhadap makanan, alkohol, obat-obatan, obat-obatan terlarang, tato dan tindik tubuh.[84] Gereja juga memperingatkan untuk tidak mengikuti kecenderungan perilaku yang "sibuk secara berlebihan dengan kesehatan dan kepuasan tubuh yang 'memberhalakan' kesempurnaan fisik, kebugaran, dan kesuksesan di bidang olahraga."[69]

Tindakan-tindakan penculikan, terorisme, dan penyiksaan dilarang keras, termasuk juga sterilisasi, amputasi dan mutilasi yang dilakukan bukan karena alasan medis terapeutik yang kuat.[66][69] Menurut Katekismus, masyarakat memiliki kewajiban moral agar berusaha menyediakan kondisi-kondisi hidup yang sehat bagi semua orang.[84]

Keyakinan Gereja akan kebangkitan badan menyebabkan adanya suatu larangan terhadap kremasi yang kemudian saat Konsili Vatikan II tahun 1960-an diubah secara pastoral dengan persyaratan kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak menyangkal keyakinan akan kebangkitan badan, tetapi kondisi-kondisi tersebut sering kali diabaikan bahkan oleh para klerus.[89] Menurut Katekismus, pemakaman orang yang telah meninggal dunia merupakan suatu karya belas kasih jasmaniah yang mengharuskan perlakuan terhadap tubuh dengan rasa hormat dan kasih sehingga praktik-praktik seperti melarung abu jenazah yang dikremasi dan pemakaman di makam tak bertanda dilarang dalam Gereja Katolik. Donasi organ tubuh setelah kematian dan transplantasi organ dengan persyaratan tertentu, juga otopsi jenazah demi alasan hukum dan penyelidikan ilmiah diizinkan.[90]

Perang dan pertahanan diri

Dalam Khotbah di Bukit, Yesus Kristus mengingatkan adanya perintah "Jangan membunuh"[91] dan kemudian menambahnya dengan larangan-larangan terhadap kemarahan, kebencian, serta dendam.[92] Lebih lanjut lagi Kristus meminta murid-murid-Nya supaya mengasihi musuh-musuh mereka.[93] Katekismus menegaskan bahwa "adalah sah seseorang menuntut penghormatan atas haknya sendiri untuk hidup."[93] Kreeft mengatakan bahwa "pertahanan diri adalah sah untuk alasan yang sama dengan tidak sahnya bunuh diri: karena kehidupan seseorang merupakan anugerah dari Allah, suatu harta yang wajib kita lestarikan dan pertahankan."[94] Katekismus mengajarkan bahwa "seseorang yang mempertahankan hidupnya tidak bersalah atas pembunuhan kendatipun ia terpaksa mengatasi penyerangnya dengan suatu pukulan mematikan."[93] Pembelaan atau pertahanan yang sah dapat saja bukan sekadar hak tetapi kewajiban berat bagi seseorang yang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Pertahanan untuk kebaikan bersama mensyaratkan bahwa penyerang yang tidak dapat dibenarkan dijadikan tidak mampu menyebabkan bahaya. Untuk alasan ini, mereka yang memiliki kewenangan sah juga memiliki hak untuk menggunakan senjata demi menghalau para penyerang masyarakat sipil yang dipercayakan ke dalam tanggung jawab mereka.[93]

Gereja meminta semua orang untuk berdoa dan berupaya mencegah perang yang tidak adil atau tidak dibenarkan, namun perang yang dapat dibenarkan dimungkinkan dengan kondisi-kondisi tertentu:

  1. Alasan untuk berperang adalah pembelaan diri (defensif).
  2. "Kerugian yang diakibatkan oleh penyerang ... harus diketahui dengan pasti, bersifat berat dan langgeng."
  3. Merupakan pilihan terakhir yang diambil setelah semua cara lain untuk mengakhiri "kerugian berat" tersebut terbukti tidak efektif.
  4. Tujuan utamanya adalah perdamaian dan ada kesempatan besar untuk meraih kesuksesan.
  5. Tidak mengakibatkan kejahatan yang lebih buruk daripada kejahatan yang akan disingkirkan. Hal ini termasuk larangan penggunaan senjata untuk memusnahkan seluruh kota dan daerah beserta para penduduknya.
  6. Diperlukan penghormatan dan perlakuan manusiawi bagi para penduduk sipil, tentara yang terluka, dan tawanan perang. Para tentara yang akan berperang wajib mengabaikan perintah untuk melakukan genosida dan semua tindakan yang melanggar prinsip-prinsip universal.[66][95]

Penyesatan

Katekismus mengklasifikasikan penyesatan atau skandal di dalam perintah kelima, dan mendefinisikannya sebagai "sikap atau perilaku yang menyebabkan orang lain melakukan kejahatan".[96] Dalam Injil Matius, Yesus menyatakan, "Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut."[97] Gereja memandangnya sebagai suatu kejahatan serius yang menyebabkan iman, harapan, dan kasih dalam diri orang lain menjadi lemah, terutama jika hal ini dilakukan terhadap anak-anak atau kaum muda dan pelakunya adalah pribadi dari pihak otoritas seperti orang tua, guru, atau imam.[66][96]

Perintah keenam

"Jangan berzina."
Perintah keenam menurut Katekismus Gereja Katolik[98][99][100]

Menurut Gereja, manusia adalah makhluk seksual yang identitas seksualnya harus diterima dalam kesatuan tubuh dan jiwanya.[98] Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan seturut rancangan ilahi untuk saling melengkapi, masing-masing memiliki martabat yang sama dan diciptakan sesuai citra Allah.[101] Tindakan seksual (persetubuhan)[note 5] adalah suci di dalam konteks hubungan suami istri, mencerminkan suatu "anugerah bersama seumur hidup dan lengkap antara seorang pria dan seorang wanita."[103][104] Karenanya dosa-dosa seksual bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap tubuh tetapi terhadap seluruh keberadaan pribadi pelakunya.[104] Dalam buku Crossing the Threshold of Hope yang ditulisnya pada tahun 1994, Paus Yohanes Paulus II merefleksikannya dalam kata-kata berikut ini:

Bagaimanapun, orang-orang muda selalu mencari keindahan dalam cinta. Mereka menginginkan cinta mereka menjadi indah. Jika mereka menyerah pada kelemahan, dengan mengikuti model perilaku yang secara tepat dapat dianggap sebagai suatu 'skandal dalam dunia masa kini' (dan sayangnya model ini menyebar luas), dalam kedalaman hatinya mereka masih mendambakan suatu cinta yang murni dan indah. Hal ini berlaku pada anak laki-laki sebagaimana juga anak perempuan. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa hanya Allah yang dapat memberikan mereka cinta semacam ini. Alhasil mereka bersedia untuk mengikuti Kristus, tanpa mempedulikan pengorbanan-pengorbanan yang mungkin menuntutnya.[105]

Sebagaimana Yudaisme Ortodoks dan Islam, Gereja Katolik memandang semua tindakan seksual di luar pernikahan sebagai dosa berat. Konsekuensi dari seriusnya dosa tersebut membuat seseorang tidak dapat menerima Komuni Kudus sampai ia menyesal dan menerima pengampunan dalam Sakramen Tobat.[104]

Panggilan menuju kemurnian

Ajaran Gereja tentang perintah keenam mencakup suatu pembahasan mengenai kemurnian. Katekismus mendeskripsikan kemurnian sebagai suatu "kebajikan moral ... suatu anugerah dari Allah, suatu rahmat, suatu buah dari upaya rohaniah."[106] Gereja memandang seksualitas lebih dari sekadar tindakan fisik; seksualitas berdampak pada seluruh tubuh dan jiwa, sehingga Gereja mengajarkan bahwa kemurnian merupakan suatu kebajikan dan semua orang dipanggil untuk meraihnya.[106] Kemurnian didefinisikan sebagai kesatuan batin seseorang dalam "keberadaannya sebagai makhluk jasmani dan rohani" yang berhasil mengintegrasikan seksualitasnya dengan "seluruh sifat manusia"-nya.[106] Untuk memperoleh kebajikan ini, umat dihimbau untuk masuk ke dalam "pekerjaan sulit dan panjang" penguasaan diri yang dibantu oleh pertemanan, rahmat Allah, kematangan serta pendidikan "yang menghormati dimensi moral dan rohani kehidupan manusia."[106] Katekismus mengkategorikan pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah keenam ke dalam dua kategori: "pelanggaran terhadap kemurnian" dan "pelanggaran terhadap martabat perkawinan".[98]

Pelanggaran terhadap kemurnian

Katekismus menyebutkan "pelanggaran terhadap kemurnian" berikut ini,[98] dengan urutan meningkat kadar keseriusannya menurut Peter Kreeft:[107]

  1. Hawa nafsu: Gereja mengajarkan bahwa kesenangan seksual adalah baik dan dimaksudkan demikian oleh Allah Pencipta bagi pasangan suami-istri agar "mengalami kesenangan serta kenikmatan tubuh dan jiwa". Kreeft mengatakan, "Hawa nafsu tidak bertujuan pada kesenangan seksual seperti demikian, bukan juga kegembiraan di dalamnya ataupun keinginan untuk itu dalam konteks yang benar."[108] Hawa nafsu merupakan hasrat untuk sekadar menikmati kesenangan seksual, di luar tujuan yang telah ditetapkan untuk prokreasi serta persatuan pria dan wanita, tubuh dan jiwa, dalam tindakan saling penyerahan diri secara bersama.[107]
  2. Masturbasi dipandang berdosa dengan alasan yang sama sebagaimana hawa nafsu tetapi satu tingkat di atas hawa nafsu karena melibatkan suatu tindakan fisik, bukan pikiran saja.[107]
  3. Percabulan adalah hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita tanpa ikatan perkawinan. Hal ini dipandang bertentangan dengan "martabat manusia dan seksualitas manusia" yang secara alamiah diarahkan kepada "kebaikan pasangan suami-istri" serta "keturunan dan pendidikan anak-anak".[107]
  4. Pornografi menempati peringkat lebih tinggi karena dipandang sebagai suatu penyimpangan tindakan seksual yang dimaksudkan untuk disebarkan kepada pihak ketiga untuk dilihat.[107]
  5. Prostitusi dipandang berdosa baik bagi penjajanya maupun konsumennya; tindakan ini merendahkan seseorang menjadi suatu alat kesenangan seksual, melanggar martabat manusia, dan membahayakan masyarakat. Bobot dosa para penjajanya dapat berkurang jika dipaksa untuk melakukan tindakan tersebut karena kemiskinan ekstrem, pemerasan, atau tekanan sosial.[107]
  6. Pemerkosaan adalah suatu tindakan yang pada hakikatnya adalah jahat, mengakibatkan kerugian serius bagi korbannya sepanjang hidupnya.
  7. Inses (hubungan sedarah) dalam bentuk "pemerkosaan anak-anak oleh orang tuanya atau kerabat dewasa lainnya" atau "oleh mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada mereka" dipandang sebagai dosa seksual yang paling mengerikan.[98][107]

Homoseksualitas

Katekismus menyajikan suatu bagian terpisah mengenai homoseksualitas beserta penjelasannya terkait perintah keenam. Sama seperti tindakan heteroseksual di luar pernikahan, tindakan homoseksual dipandang sebagai dosa. Gereja membedakan antara kecenderungan atau ketertarikan homoseksual, yang tidak dipandang sebagai dosa, dengan tindakan homoseksual, yang dipandang sebagai dosa. Katekismus menyatakan bahwa tindakan ini "melanggar hukum kodrat, tidak dapat melahirkan anugerah kehidupan, dan tidak berasal dari suatu kebutuhan asali untuk saling melengkapi secara seksual dan afektif. Dalam situasi apapun juga tindakan ini tidak dapat dibenarkan."[109][110] Gereja mengajarkan bahwa kecenderungan homoseksual "sesungguhnya merupakan gangguan" dan mungkin suatu cobaan berat bagi orang yang mengalaminya, serta mengajarkan bahwa mereka harus "diterima dengan rasa hormat, kasih sayang dan kepekaan ... diskriminasi tidak adil terhadap mereka perlu dihindari."[109][111]

Para pribadi homoseksual, menurut Gereja, "dipanggil untuk hidup dalam kemurnian". Mereka diminta untuk berlatih kebajikan "pengendalian diri" yang mengajarkan "kemerdekaan batin" dengan dukungan dari teman-teman, doa, dan rahmat yang diperoleh dari sakramen-sakramen Gereja.[109] Sarana-sarana ini dimaksudkan untuk membantu mereka agar "secara bertahap dan pasti menuju kesempurnaan Kristiani", yang adalah suatu pernyataan panggilan bagi semua umat Kristen.[109]

(Terdapat dua gerakan kaum awam yang mewakili filosofi-filosofi berlawanan terkait homoseksualitas: DignityUSA berupaya untuk mengubah ajaran Gereja untuk membenarkan tindakan seksual; Courage International merupakan suatu organisasi yang terdiri dari para pribadi homoseksual yang "saling mendukung dalam upaya tulus untuk hidup dalam kemurnian dan dalam kesetiaan kepada Kristus dan Gereja-Nya".[111])

Cinta antara suami dan istri

Menurut USCCB, perintah keenam memerintahkan pasangan suami istri agar menjaga kesetiaan seksual dan emosional karena dipandang sangat penting dalam pernikahan serta merupakan cerminan "kesetiaan [Allah] kepada kita".[112]

Menurut ajaran Gereja, cinta suami-istri dimaksudkan untuk membentuk tujuan ganda perkawinan yang tak terputus: persatuan suami-istri dan penerusan kehidupan.[113] Aspek persatuan (unitif) meliputi pemberian keberadaan masing-masing pribadi pasangan suami-istri sehingga "mereka bukan lagi dua, melainkan satu."[113] Sakramen Perkawinan dipandang sebagai penyegelan persetujuan oleh Allah yang mengikat pasangan suami-istri secara bersama. Ajaran Gereja mengenai status perkawinan mensyaratkan pasangan suami-istri saling menerima kegagalan dan kesalahan pasangannya, serta mengakui bahwa "panggilan menuju kekudusan dalam perkawinan" merupakan suatu hal yang memerlukan proses perubahan dan pertumbuhan rohani yang dapat berlangsung seumur hidup.[113]

Kesuburan dalam perkawinan, kenikmatan seksual, pengaturan kelahiran

Posisi Gereja mengenai aktivitas seksual dapat dirangkum dengan kata-kata: "aktivitas seksual hanyalah dimiliki dalam perkawinan sebagai suatu ungkapan persatuan dan penyerahan diri secara total, serta selalu terbuka kepada kemungkinan adanya kehidupan baru." Tindakan-tindakan seksual dalam perkawinan dipandang "luhur dan terhormat" serta dimaksudkan untuk dinikmati dengan "kegembiraan dan rasa syukur."[113] Seksualitas diperuntukkan bagi perkawinan: "Dari kodratnya, cinta dalam perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak dapat diganggu gugat oleh suami istri. Ini merupakan konsekuensi dari penyerahan diri yang mereka lakukan satu sama lain. Cinta bersifat definitif, bukan suatu pengaturan 'sampai pemberitahuan lebih lanjut.'" "Persatuan mesra dalam perkawinan, sebagai suatu pemberian timbal balik antara dua pribadi, dan kebaikan anak-anak, menuntut kesetiaan total suami istri serta mensyaratkan suatu persatuan yang tak terceraikan di antara mereka." (Gaudium et spes 48 § 1)".[114]

Pengaturan kelahiran atau kontrasepsi buatan telah ada sebelum Kekristenan; Gereja Katolik telah mengutuk metode-metode ini sepanjang sejarahnya.[115] Sebagai tanggapan terhadap Gereja Inggris yang menerima praktik kontrasepsi buatan pada tahun 1930, Gereja Katolik mengeluarkan ensiklik kepausan Casti connubii pada tanggal 31 Desember 1930. Ensiklik kepausan Humanae vitae tahun 1968 merupakan suatu penegasan kembali pandangan tradisional Gereja Katolik tentang perkawinan dan hubungan suami istri, serta berisi kecaman lanjutan terhadap pengendalian kelahiran buatan (artifisial).[115]

Gereja memandang keluarga besar sebagai suatu tanda berkat dari Allah. "Menurut hakikatnya, kelembagaan perkawinan dan cinta kasih suami istri ditujukan untuk kelahiran keturunan serta pendidikan mereka dan di dalam merekalah ditemukan mahkota kemuliaannya." (Gaudium et spes 48 § 1, 50) Anak-anak merupakan anugerah yang luar biasa di dalam perkawinan dan besar sekali artinya bagi kebaikan orang tua mereka sendiri. (...) cinta kasih suami istri yang sejati dan seluruh struktur kehidupan berkeluarga yang dihasilkan darinya, tanpa mengecilkan tujuan-tujuan lainnya dalam perkawinan, diarahkan untuk mendorong pasangan suami istri untuk bekerja sama secara gagah berani dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Juruselamat yang melalui mereka akan menambah dan memperkaya keluarga-Nya dari hari ke hari. (Gaudium et spes 50 § 1)"[116] Gereja mengakui bahwa orang tua yang bertanggung jawab terkadang membutuhkan pengaturan jarak yang wajar atau pembatasan kelahiran dan memandang keluarga berencana alami dapat diterima secara moral, tetapi Gereja menolak semua metode kontrasepsi buatan.[117] Gereja menolak segala bentuk pembuahan dan inseminasi buatan karena teknik-teknik tersebut memisahkan tindakan seksual dari proses penciptaan seorang anak. Katekismus menyatakan, "Anak bukanlah sesuatu yang dapat dituntut oleh seseorang, tetapi merupakan suatu anugerah ... 'anugerah luar biasa dalam perkawinan.'"[117]

Banyak umat Katolik Barat dan non-Katolik yang menyatakan ketidaksetujuan akan dukungan Gereja terhadap keluarga berencana alami, serta berpendapat bahwa hal ini berkontribusi terhadap overpopulasi dan kemiskinan.[118][119] Penolakan Gereja atas penggunaan kondom dikritik secara luas, khususnya berkenaan dengan negara-negara di mana insiden AIDS dan HIV telah mencapai tingkatan epidemi. Dalam pembelaannya, umat Katolik mencontohkan negara-negara seperti Kenya dan Uganda di mana dianjurkan perubahan perilaku—bukannya penggunaan kondom—dan di mana telah diperoleh kemajuan yang lebih baik dalam mengendalikan penyakit tersebut daripada di negara-negara yang mempromosikan penggunaan kondom saja.[120][121]

Pelanggaran terhadap martabat perkawinan

Menurut Gereja, perzinaan dan perceraian merupakan pelanggaran terhadap martabat perkawinan; Gereja mendefinisikannya sebagai berikut:

  1. Perzinaan adalah hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita yang setidaknya salah seorang di antara mereka terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Karena alasan ini Gereja memandang perzinaan sebagai dosa yang lebih berat daripada percabulan.[107] Kreeft menyatakan, "Pelaku perzinaan berdosa terhadap pasangannya, masyarakat di lingkungannya, dan anak-anaknya sebagaimana juga terhadap tubuh dan jiwanya sendiri."[122]
  2. Perceraian: Menurut terjemahan New American Bible Katolik, Yesus mengajarkan, "Barangsiapa menceraikan istrinya (kecuali perkawinannya melanggar hukum) menyebabkan istrinya berzina; dan barangsiapa kawin dengan janda cerai, ia berbuat zina."[123] Peter Kreeft menjelaskan penafsiran Gereja mengenai ajaran ini dengan mengatakan bahwa Yesus memandang perceraian sebagai suatu pengaturan demi kenyamanan yang diselipkan ke dalam hukum Yahudi.[122] Gereja mengajarkan bahwa Allah Pencipta menghendaki perkawinan yang tak terceraikan: sebagaimana penciptaan seorang anak yang tidak dapat "tak-tercipta", demikian juga "satu daging" dalam ikatan perkawinan.[122] Katekismus menyatakan, "Perceraian adalah suatu pelanggaran berat terhadap hukum kodrat. Perceraian mengklaim pemutusan perjanjian untuk hidup bersama sampai mati yang telah dibuat secara sukarela oleh pasangan suami istri."[98] Dengan mengawini orang lain, orang yang bercerai menambah berat pelanggaran yang dilakukannya karena pasangan yang kawin lagi dipandang berada dalam keadaan "perzinaan publik dan permanen".[122]

Kompendium Katekismus 502 mendaftar pelanggaran-pelanggaran lainnya terhadap martabat perkawinan yaitu: poligami, inses, hubungan bebas (hidup bersama atau kohabitasi, pergundikan atau konkubinat), dan hubungan seks sebelum ataupun di luar perkawinan.[124]

Hidup terpisah, perceraian sipil, anulasi perkawinan

Menurut Gereja, terdapat situasi-situasi yang tidak sama dengan perceraian:

  1. Dalam situasi-situasi ekstrem seperti kekerasan dalam rumah tangga, hidup terpisah diperbolehkan. Hal ini tidak dianggap sebagai perceraian dan dapat dibenarkan.[122]
  2. Perceraian sipil bukanlah suatu perceraian menurut pandangan Gereja. Jika perceraian sipil merupakan satu-satunya cara untuk menjamin hak-hak hukum tertentu, pemeliharaan anak-anak, atau perlindungan harta warisan, Gereja memandangnya dapat diterima secara moral.[122][125]
  3. Anulasi (terkadang disebut pembatalan) perkawinan bukanlah suatu perceraian; hal ini merupakan suatu keputusan oleh Gereja bahwa perkawinan yang telah dilakukan tidak pernah valid. Perkawinan dipandang tidak valid jika tidak mengandung salah satu saja dari lima elemen integral: perkawinan mesti "seutuhnya", "seumur hidup", "timbal balik", suatu "anugerah bebas", serta antara "seorang laki-laki dan seorang perempuan".[122] Dalam Address to the Roman Rota pada tanggal 22 Januari 1996, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan bahwa pasangan suami istri tidak memiliki hak untuk suatu anulasi tetapi memiliki hak untuk mengajukan kasus mereka demi nulitas atau validitas di hadapan "otoritas Gereja yang kompeten dan untuk memohon suatu keputusan dalam hal ini."[126] Menurut Keuskupan Katolik Arlington:

    ... tanda-tanda yang mungkin mengindikasikan alasan untuk melakukan penyelidikan demi suatu anulasi adalah: perkawinan yang mengecualikan hak untuk memiliki anak, atau untuk suatu perkawinan permanen, atau untuk suatu komitmen yang eksklusif. Selain itu juga perkawinan dini; perkawinan dengan jangka waktu yang sangat singkat; perkawinan yang ditandai dengan penyalahgunaan obat, fisik, ataupun emosi yang serius; penyimpangan praktik seksual; kurangnya komitmen dan tidak adanya rasa tanggung jawab yang mendalam serta konsisten; persetujuan bersyarat untuk suatu perkawinan; penipuan atau kebohongan demi mendapatkan persetujuan suami-istri; penyakit kejiwaan yang serius; atau ikatan perkawinan sebelumnya. Penentuan dasar pengajuannya perlu dilakukan setelah konsultasi ekstensif dengan diakon atau pastor paroki, dan berdasarkan bukti-bukti yang ada.[126]

Perintah ketujuh

"Jangan mencuri."
Perintah ketujuh menurut Katekismus Gereja Katolik[29][127][128][129]
Mengambil milik orang lain "dalam keadaan darurat yang mendesak dan nyata" sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan pokok tidak dipandang sebagai dosa yang melanggar perintah ketujuh.[127][130]

Katekismus menjelaskan bahwa perintah ketujuh mengatur tentang barang-barang duniawi, melarang perusakan, penggunaan, atau pengambilan secara tidak adil dan tidak benar atasnya yang adalah milik orang lain.[127][131] Perintah ini menuntut mereka yang memiliki barang-barang duniawi untuk menggunakannya secara bertanggung jawab, dengan memperhatikan kebaikannya bagi masyarakat. Katekismus membahas konsep pengelolaan ciptaan Allah oleh manusia di dalam penjelasan mengenai perintah ketujuh serta melarang penyalahgunaan hewan dan lingkungan hidup.[127]

Milik pribadi

Menurut Gereja, setiap orang memiliki hak atas milik pribadi. Namun kepemilikan menjadikan seseorang sebagai "pengurus" atau "pengelola" yang diharapkan untuk membuat miliknya "berbuah" atau menguntungkan dengan suatu cara yang bermanfaat bagi orang lain setelah ia pertama-tama mengurus keluarganya.[127][130] Milik pribadi dan kebaikan bersama dipandang sebagai elemen-elemen yang saling melengkapi yang keberadaannya dimaksudkan untuk mengukuhkan masyarakat.[130] Mengambil milik orang lain "dalam keadaan darurat yang mendesak dan nyata" sebagai "jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan mendasar (makanan, tempat tinggal, pakaian ...) dan segera" tidak dipandang sebagai pencurian oleh Gereja.[127][130] Konsep perhambaan sebagai milik pribadi dikutuk oleh Gereja, dan diklasifikasikan sebagai pencurian hak asasi seseorang.[127][132]

Pencurian

Menurut Katekismus, pencurian berarti "merebut milik orang lain dengan melawan kehendak wajar pemiliknya" kendati ada pengeculian bagi orang yang berada dalam kebutuhan darurat untuk bertahan hidup. "Secara tidak adil mengambil dan menahan milik orang lain" dipandang sebagai pencurian, meskipun tindakan tersebut berada di luar ruang lingkup hukum sipil.[127] Kardinal Christoph Schönborn memberikan contoh dari kisah Santo Agustinus, tertulis dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, yang mengambil buah pir dari kebun tetangga ketika ia masih kecil. Schönborn mengatakan bahwa Agustinus masih merasakan "kepedihan hati nurani atas pencurian kekanak-kanakan" yang dilakukannya bahkan sampai ketika ia telah bertumbuh dewasa, sehingga menandakan bahwa hati nurani manusia sangat menyadari tindakan pencurian walaupun tindakan tersebut mungkin bukan pelanggaran terhadap hukum sipil.[133]

Tindakan-tindakan berikut juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap perintah ketujuh: manipulasi harga demi mendapat keuntungan di atas penderitaan orang lain, korupsi, pemanfaatan tanpa izin atas barang publik demi kepentingan pribadi, pekerjaan yang dilaksanakan dengan buruk, penghindaran pajak, pemalsuan cek atau alat pembayaran apapun, segala bentuk pembajakan dan pelanggaran hak cipta, serta pemborosan.[127][134]

Keadilan sosial

Ensiklik kepausan Rerum novarum membahas hubungan dan kewajiban timbal balik antara tenaga kerja dan pemilik modal, serta antara pemerintah dan warganya. Yang menjadi perhatian utama adalah kebutuhan akan beberapa ameliorasi atau perbaikan terkait "penderitaan dan kemalangan yang sedemikian menekan secara tidak adil dan tidak benar pada sebagian besar kelas pekerja".[135] Ensiklik tersebut mendukung hak untuk membentuk serikat pekerja, menolak sosialisme, komunisme, dan kapitalisme tanpa batas, serta menegaskan hak atas milik pribadi.[136]

Interpretasi Gereja atas perintah ketujuh mengajarkan bahwa para pemilik bisnis harus menyeimbangkan keinginan untuk memperoleh keuntungan yang akan menjamin masa depan bisnisnya dengan tanggung jawab terhadap "kebaikan orang-orang".[137] Para pemilik bisnis atau pelaku usaha diwajibkan untuk membayar karyawan mereka dengan upah yang layak, menghormati kontrak yang telah dibuat, dan menjauhkan diri dari aktivitas yang tidak jujur seperti menyuap pejabat pemerintah. Para karyawan diwajibkan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan sungguh-sungguh karena mereka telah dipekerjakan untuk melakukannya, dan menghindari ketidakjujuran di tempat kerja seperti penggunaan tanpa izin atas aset atau barang kantor untuk kepentingan pribadi (penggelapan).

Gereja mengajarkan bahwa harus ada keseimbangan antara regulasi pemerintah dan hukum pasar. Ketergantungan mutlak pada pasar (kapitalisme murni) dipandang tidak cukup untuk memenuhi banyaknya kebutuhan masyarakat, sementara ketergantungan mutlak pada regulasi pemerintah (sosialisme murni) "merusak landasan ikatan-ikatan sosial".[137] Gereja memperingatkan akan bahaya kapitalisme ataupun sosialisme, karena sistem-sistem ini cenderung menggunakan ekstrem berlebihan yang mengakibatkan ketidakadilan bagi orang-orang.[137][138]

Negara kaya, sebagaimana juga orang kaya, memiliki kewajiban moral untuk membantu negara dan orang miskin serta mengupayakan reformasi lembaga keuangan dan faktor ekonomi agar menguntungkan semua orang.[137]

Perintah kedelapan

"Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu."
Perintah kedelapan menurut Katekismus Gereja Katolik[139][140][141]

Katekismus menjelaskan bahwa mengucapkan saksi dusta atau "mengatakan kebohongan dengan maksud menipu" mencakup seluruh pelanggaran akan kebenaran.[139] Berat tidaknya pelanggaran-pelanggaran ini tergantung pada "niat dari orang yang berbohong dan kerugian yang diderita oleh korbannya."[142] Berikut dicantumkan daftar pelanggaran ini:

  1. Saksi dusta dan sumpah palsu: pernyataan-pernyataan yang dibuat di hadapan publik di dalam pengadilan yang menghalangi keadilan dengan mengutuk orang yang tidak bersalah atau mendukung orang yang bersalah, ataupun yang dapat memperberat hukuman tertuduh/terdakwa.
  2. Penilaian yang gegabah: tanpa bukti yang memadai meyakini bahwa orang lain telah melakukan kesalahan moral.
  3. Umpatan: mengungkapkan kesalahan orang lain tanpa alasan yang valid.
  4. Fitnah atau pencemaran nama: berbohong untuk merugikan reputasi seseorang dan membuka peluang bagi orang lain untuk membuat penilaian yang salah tentangnya.
  5. Sanjungan berlebihan: perkataan yang diucapkan untuk mengecoh orang lain demi kepentingan pribadi.
  6. Bual, mulut besar, atau cemooh: perkataan yang semata-mata memegahkan diri ataupun meremehkan orang lain.[139][143]

Gereja mewajibkan mereka yang telah merusak reputasi orang lain untuk melakukan pemulihan atas ketidakbenaran yang telah mereka sampaikan.[139][143] Meskipun demikian seseorang tidak memiliki kewajiban untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya, dan disyaratkan juga penghormatan terhadap hak atas privasi atau hal-hal pribadi.[139][143] Para imam dilarang melanggar kerahasiaan pengakuan dosa[143] betapa pun berat dosa yang diakukan oleh peniten ataupun dampaknya terhadap masyarakat.

Termasuk juga dalam ajaran Gereja mengenai perintah ini yaitu kewajiban umat Kristen untuk memberikan kesaksian iman mereka "dengan jelas" dalam situasi-situasi yang menuntut demikian.[139][144] Gereja mengecam penggunaan media modern untuk menyebarkan ketidakbenaran baik oleh individu, institusi bisnis, ataupun pemerintah.[139][142]

Perintah kesembilan

"Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu."[note 6]
Perintah kesembilan menurut Katekismus Gereja Katolik[146][148]

Perintah kesembilan dan kesepuluh berhubungan dengan keinginan, yang adalah suatu kecenderungan atau disposisi dalam diri seseorang dan bukan suatu tindakan fisik.[149] Katekismus membedakan antara keinginan yang tidak teratur dari kedagingan (hasrat seksual yang tidak benar) dan keinginan yang tidak teratur atas milik duniawi orang lain. Perintah kesembilan berkaitan dengan yang pertama disebutkan dan perintah kesepuluh dengan yang terakhir disebutkan.[147]

Batsyeba di pemandian karya Artemisia Gentileschi, c.1645-1650. Kisah Raja Daud dan Batsyeba memperlihatkan keinginan tidak teratur yang menyebabkan dosa perzinaan dan pembunuhan.

Yesus menegaskan perlunya kemurnian pikiran sebagaimana juga tindakan, dan menyatakan, "Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya" (Matius 5:28).[149][150] Katekismus menyatakan bahwa, dengan bantuan rahmat Allah, baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk mengalahkan hawa nafsu dan keinginan badani "untuk menjalin hubungan berdosa dengan pasangan orang lain."[149] Dalam Teologi Tubuh, yakni suatu rangkaian pengajaran yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II, pernyataan Yesus dalam Matius 5:28 ditafsirkan bahwa seseorang dapat melakukan perzinaan dalam hatinya tidak hanya dengan pasangan orang lain, tetapi juga dengan pasangannya sendiri jika ia melihat kepadanya dengan hawa nafsu atau memperlakukannya "hanya sebagai objek untuk memuaskan insting".[151][152]

Kemurnian hati dinyatakan sebagai kualitas penting yang diperlukan untuk mengerjakan tugas ini; berbagai himne dan doa Katolik yang umum memuat suatu permohonan untuk memperoleh kebajikan ini.[149] Gereja mengidentifikasi karunia-karunia Allah yang memampukan seseorang untuk berjuang mengatasi nafsu kedagingan dan hasrat yang tidak teratur:

  1. Kebajikan kemurnian, yang memungkinkan seseorang untuk mencintai orang lain dengan hati yang lurus dan tak terbagi.
  2. Maksud yang murni, yang berupaya untuk memenuhi kehendak Allah dalam segala hal dan menyadari bahwa hanya itu saja yang akan mengarah pada tujuan akhir manusia yang sebenarnya.
  3. Pandangan yang murni, secara lahir-batin, mendisiplinkan perasaan dan imajinasi dengan menolak memikirkan hal-hal yang cemar atau tidak senonoh.
  4. Doa yang berupa penyerahan diri dan pengakuan atas kuasa Allah untuk memberikan seseorang kemampuan demi mengatasi hasrat seksual.
  5. Sikap yang bersahaja atau ugahari, baik dalam perasaan maupun tubuh, yakni kearifan dalam pemilihan kata-kata dan busana.

Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah."[153][154] Kemurnian hati, diperkenalkan oleh perintah kesembilan, merupakan "prasyarat untuk memandang Allah" serta memungkinkan seseorang untuk melihat situasi dan orang lain sebagaimana Allah melihatnya. Katekismus mengajarkan bahwa "terdapat hubungan antara kemurnian hati, kemurnian tubuh, dan kemurnian iman."[146][154]

Perintah kesepuluh

"Jangan menginginkan kepunyaan orang lain ... atau apa pun yang dimilikinya." "Jangan menginginkan kepunyaan orang lain: rumahnya, tanahnya, hamba-hambanya, ternaknya, keledainya, atau apa saja yang dimilikinya."
Perintah kesepuluh menurut Katekismus Gereja Katolik[147][148][155]

Kelepasan hati dari harta kekayaan merupakan tujuan dari perintah kesepuluh dan Sabda bahagia yang pertama ("berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah") karena, menurut Katekismus, hal ini diperlukan agar dapat masuk ke dalam Kerajaan surga.[156][157] Keinginan akan milik orang lain dilarang oleh perintah kesepuluh karena dipandang sebagai langkah pertama menuju tindakan pencurian, perampokan, dan penipuan; segala "keinginan mata" ini menghantar pada kekerasan dan ketidakadilan.[158] Gereja mendefinisikan keinginan atas milik orang lain sebagai suatu "keinginan yang tidak teratur" yang dapat berupa:

  1. Keserakahan: keinginan seseorang yang terlalu banyak sehingga ia menginginkan apa yang tidak dibutuhkannya.
  2. Iri hati: keinginan atas apa yang dimiliki orang lain.[157] Para uskup Amerika Serikat mendefinisikan iri hati sebagai "suatu sikap yang memenuhi hati kita dengan kesedihan saat melihat kemakmuran orang lain."[159]

Untuk menjelaskan ajaran Gereja mengenai perintah ini, Kreeft mengutip Santo Thomas Aquinas yang menuliskan, "Suatu keinginan jahat hanya dapat diatasi dengan suatu keinginan baik yang lebih kuat."[157] Para uskup Amerika Serikat mengemukakan bahwa hal ini dapat dicapai melalui pengembangan kemauan baik, kerendahan hati, dan rasa syukur atas berkat-berkat yang dimiliki sendiri dan orang lain sembari bersandar pada rahmat Allah.[159] Kreeft menjelaskan bahwa Santo Paulus Rasul menggambarkan konsep ini dalam Surat Filipi di mana ia menuliskan mandat duniawinya sebagai seorang Yahudi yang dihormati dan menyatakan, "Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya."[160] Sebagaimana Yesus menyatakannya, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?"[161][162] Ajaran Gereja tentang perintah kesepuluh diarahkan pada sikap yang sama ini atas barang-barang duniawi, umumnya disebut dengan istilah "kemiskinan roh".[163]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Menurut Sebuah Kamus Katolik, Sepuluh Perintah Allah dituliskan langsung oleh Allah pada loh-loh batu yang ditempatkan di dalam Tabut Perjanjian serta membentuk "pusat dan inti dari agama Yahudi. Perintah-perintah tersebut diberikan secara lebih langsung oleh Allah daripada bagian lain dari hukum Yahudi, dan ditempatkan di dalam tempat tersuci, hanya imam besar yang dapat masuk ke dalamnya, serta hanya sekali setahun."[25]
  2. ^ Gereja Katolik meyakini bahwa hal ini secara berkelanjutan dipandu oleh Roh Kudus dan dengan demikian dilindungi dari kemungkinan terjadinya kesalahan doktrinal.[40] Otoritas doktrinal tertinggi dalam Gereja terletak pada keputusan-keputusan dari konsili ekumenis yang dipimpin oleh paus.[39]
  3. ^ Umat Kristen Yahudi merayakan hari Sabat pada hari terakhir setiap minggu dan tetap memelihara hukum-hukum Yahudi terkait hari Sabat. Namun, sejak abad-abad awal, sebagian besar umat Kristen non-Yahudi telah merayakannya pada hari pertama setiap minggu dengan pertimbangan bahwa mereka bebas dari ketentuan-ketentuan hukum Yahudi yang banyak itu.
  4. ^ Beberapa pendukung pro-pilihan menegaskan bahwa di masa lalu Gereja membedakan antara pengakhiran kehamilan sebelum dan sesudah quickening (suatu tahap kehamilan ketika gerakan janin dapat dirasakan). Mereka berpendapat bahwa Agustinus menerima konsep Pagan Yunani dari Aristoteles mengenai "pemerolehan jiwa yang tertunda", menuliskan bahwa jiwa manusia tidak dapat hidup dalam tubuh yang belum terbentuk. Dikatakan Thomas Aquinas menegaskan bahwa janin belum sepenuhnya hidup hingga tahap quickening.[78] Beberapa akademisi tidak setuju dengan penafsiran mengenai Aquinas dan Agustinus tersebut dengan mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan mereka tidak dapat digunakan untuk membenarkan praktik aborsi di masyarakat modern karena keduanya mengutuk praktik ini.[79]
  5. ^ Katekismus menggunakan istilah "tindakan-tindakan dalam pernikahan" (Inggris: acts in marriage) dan mengutipnya dari Gaudium et spes: "Tindakan-tindakan dalam pernikahan, yang olehnya suami-istri dipersatukan secara mesra dan murni, adalah luhur dan terhormat; melakukan tindakan-tindakan ini secara sungguh manusiawi memperkembangkan penyerahan diri yang ditandakannya serta memperkaya suami-istri dalam kegembiraan dan rasa syukur."[102]
  6. ^ Kata-kata dari perintah kesembilan dalam Katekismus hampir sama dengan perintah kesepuluh. Dalam penjelasannya, Katekismus menyatakan bahwa "St. Yohanes membedakan tiga jenis keinginan yang tidak teratur atau konkupisensi: keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup."[145][146] "Dalam tradisi katekese Katolik, perintah kesembilan melarang nafsu badani; perintah kesepuluh melarang keinginan akan milik orang lain."[146] Katekismus mendefinisikan "nafsu badani" sebagai suatu keinginan yang kuat dari kedagingan, "gerakan dari hasrat yang peka yang bertentangan dengan akal budi manusia", dan "pemberontakan dari 'daging' melawan 'roh'".[146] Menurut penafsiran Gereja, perintah kesepuluh berkaitan dengan segala bentuk hasrat yang kuat lainnya. Katekismus menyatakan bahwa perintah kesepuluh "menyingkapkan dan melengkapi perintah kesembilan ... Perintah ini melarang mengingini barang orang lain".[147]

Catatan kaki

  1. ^ a b Pottenger, p. 13
  2. ^ a b Barry, p. 85
  3. ^ a b c d e f g h i Kreeft, pp. 201–203
  4. ^ a b Carmody, p. 82
  5. ^ a b O'Toole, p. 146
  6. ^ a b Hardon, pp. 1–9
  7. ^ a b c d e f Schreck, p. 303
  8. ^ (Inggris) Paragraph number 2065 (1994). "Catechism of the Catholic Church". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 1 Juni 2009. 
  9. ^ a b c Bast, p. 4
  10. ^ a b c Pelikan, p. 60
  11. ^ a b Bast, p. 3
  12. ^ a b c Brown, p. 79
  13. ^ a b (Inggris) Paragraph number 2052–2074 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 8 June 2009 
  14. ^ Kreeft, p. 202
  15. ^ Keluaran 34:28
  16. ^ Ulangan 4:13
  17. ^ Ulangan 10:4
  18. ^ Keluaran 20:1–17
  19. ^ Ulangan 5:6–21
  20. ^ Stapleton, "The Ten Commandments"
  21. ^ Brown, p. 82
  22. ^ Noble, p. 53
  23. ^ Kreeft, p. 77
  24. ^ Matius 5:20
  25. ^ Addis, p. 195
  26. ^ Bockmuehl, p. 15
  27. ^ Bast, p. 6
  28. ^ Aquinas, p. 293
  29. ^ a b c d (Inggris) Paragraph number 2084–2128 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 2 April 2009 
  30. ^ Keluaran 20:2-5
  31. ^ Ulangan 5:6–9
  32. ^ a b Kreeft, p. 207
  33. ^ a b Kreeft, p. 205
  34. ^ (Inggris) Kreeft, Peter, Discernment, www.peterkreeft.com, diakses tanggal 8 March 2016 
  35. ^ Schreck, p. 304
  36. ^ Kreeft, p. 208
  37. ^ a b c Kreeft, p. 209
  38. ^ a b (Inggris) Paragraph number 2129–2132 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 2 April 2009 
  39. ^ a b c d Schreck, p. 305
  40. ^ Schreck, p. 16
  41. ^ USCCB, pp. 343–344
  42. ^ a b c (Inggris) Paragraph number 2142–2167 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  43. ^ Keluaran 20:7
  44. ^ Ulangan 5:11
  45. ^ Yohanes 8:58
  46. ^ a b Kreeft, p. 211
  47. ^ a b Benedict XVI, Jesus of Nazareth, pp. 143–145
  48. ^ a b (Inggris) Paragraph number 2168–2195 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  49. ^ Keluaran 20:8-10
  50. ^ Ulangan 5:12–15
  51. ^ Benedict, p. 108
  52. ^ a b c d Stapleton, "Sunday"
  53. ^ Markus 2:27
  54. ^ a b Schreck, p. 306
  55. ^ USCCB, pp. 366–367
  56. ^ a b c d e (Inggris) Paragraph number 2197–2257 (1994). "Catechism of the Catholic Church". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 27 December 2008. 
  57. ^ Keluaran 20:12
  58. ^ Ulangan 5:16
  59. ^ Benedict XVI, p. 113
  60. ^ a b c d Kreeft, p. 217–219
  61. ^ Sirakh 7:27–28
  62. ^ a b Kreeft, p. 220
  63. ^ Matius 12:46–50
  64. ^ Benedict XVI, p. 117
  65. ^ Kreeft, p. 222
  66. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) Paragraph number 2258–2330 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  67. ^ Keluaran 20:13
  68. ^ Ulangan 5:17
  69. ^ a b c d e f g Schreck, pp. 310–312
  70. ^ Matius 5:21–22
  71. ^ Kreeft, pp. 226–227
  72. ^ Bayertz, p. 233
  73. ^ Annas and Grodin, p. 262
  74. ^ (Inggris) Faithful Citizenship, A Catholic Call to Political Responsibility, United States Conference of Catholic Bishops, 2003, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-04, diakses tanggal 28 November 2008 
  75. ^ Catechism (CCC), §2274
  76. ^ Rausch, p.150
  77. ^ Kreeft, p. 232
  78. ^ (Inggris) Dern, Charles D. (2008), Catholic Politicians Don’t Understand Biology or Theology, PewSitter.com, diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-11, diakses tanggal 7 May 2009 
  79. ^ (Inggris) Green, Lauren (2008), The Speaker Blew It! Nancy Pelosi and the Catholic Church on Abortion, Fox News, diakses tanggal 7 May 2009 
  80. ^ Kreeft, p. 233
  81. ^ Posner, p. 278
  82. ^ a b Kelly, pp. 112–113
  83. ^ a b c USCCB, pp. 392–393
  84. ^ a b c Kreeft, p. 236
  85. ^ a b c d (Inggris) Suris, Paul. "Church Teaching and the Death Penalty". The Vincentian Center for Church and Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-29. Diakses tanggal 2009-05-05. 
  86. ^ a b c Dulles, Avery (April 2001). "Catholicism and Capital Punishment". First Things: A Monthly Journal of Religion and Public Life. 121. catholiceducation.org. hlm. 30–35. Diakses tanggal 2016-02-26. 
  87. ^ Vidmar, p. 150
  88. ^ Peters, p. 112
  89. ^ (Inggris) Owen, Richard (11 January 2008), Burial is best–but you can scatter your ashes if you must, rules Vatican, London: TimesOnline, diakses tanggal 28 February 2009 
  90. ^ (Inggris) Paragraph number 2299–2301 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 28 February 2009 
  91. ^ Matius 5:21
  92. ^ Matius 5:22–39
  93. ^ a b c d (Inggris) Paragraph number 2263–2267 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 12 April 2009 
  94. ^ Kreeft, p. 229
  95. ^ Kreeft, p. 238
  96. ^ a b Kreeft, p. 237
  97. ^ Matius 18:6
  98. ^ a b c d e f (Inggris) Paragraph number 2331–2400 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  99. ^ Keluaran 20:14
  100. ^ Ulangan 5:18
  101. ^ Kreeft, p. 244
  102. ^ (Inggris) Paragraph number 2362 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 10 June 2009 
  103. ^ (Inggris) Paragraph number 2337 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 10 June 2009 
  104. ^ a b c Kreeft, p. 245
  105. ^ John Paul II, p. 123
  106. ^ a b c d USCCB, pp. 405–406
  107. ^ a b c d e f g h Kreeft, pp. 247–248
  108. ^ Kreeft, p. 246
  109. ^ a b c d (Inggris) Paragraph number 2357–2359 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  110. ^ Schreck, p. 314
  111. ^ a b Kreeft, p. 249
  112. ^ USCCB, p. 405, kutipan: "Perintah keenam menyerukan pasangan suami istri untuk mempraktikkan kesetiaan eksklusif dan permanen antara satu sama lain. Kesetiaan emosional dan seksual sangatlah penting dalam komitmen yang dibuat pada perjanjian pernikahan. Allah menetapkan pernikahan sebagai suatu cerminan kesetiaan-Nya kepada kita."
  113. ^ a b c d USCCB, p. 408
  114. ^ Catechism (CCC), §1646
  115. ^ a b (Inggris) Saunders, William (4 September 2008), "Teachings about contraception found in Scripture", The Catholic Herald, diakses tanggal 13 May 2009 
  116. ^ Catechism (CCC), §1652
  117. ^ a b Schreck, p. 315
  118. ^ (Inggris) Is the Vatican wrong on population control?, BBC News, 9 July 1999, diakses tanggal 8 April 2009 
  119. ^ (Inggris) Roderick Hindery. "The Evolution of Freedom as Catholicity in Catholic Ethics." Anxiety, Guilt, and Freedom. Eds. Benjamin Hubbard and Brad Starr, UPA, 1990.
  120. ^ (Inggris) Dugger, Celia W. (18 May 2006), "Why is Kenya's AIDS rate plummeting?", The New York Times, diakses tanggal 21 February 2008 
  121. ^ (Inggris) Wilson, Brenda (2004), Study: Verbal Warnings Helped Curb AIDS in Uganda, National Public Radio, diakses tanggal 15 August 2008 
  122. ^ a b c d e f g Kreeft, p. 252
  123. ^ (Inggris) Matthew 5:32
  124. ^ Kompendium Katekismus Gereja Katolik (PDF) (edisi ke-2013, VIII), Konferensi Waligereja Indonesia dan Penerbit Kanisius, ISBN 978-979-21-2184-1 
  125. ^ (Inggris) Paragraph number 2383 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 7 April 2009 
  126. ^ a b (Inggris) Frequently Asked Questions, Catholic Diocese of Arlington, diarsipkan dari versi asli tanggal May 30, 2008, diakses tanggal 7 April 2009 
  127. ^ a b c d e f g h i (Inggris) Paragraph number 2401–2463 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  128. ^ Keluaran 20:15
  129. ^ Ulangan 5:19
  130. ^ a b c d Kreeft, pp. 260–261
  131. ^ Kreeft, p. 258
  132. ^ Schreck, p. 317
  133. ^ Schönborn (2001), p. 46
  134. ^ Schönborn (2011), Q. 428-429
  135. ^ Paragraph 3, Rerum novarum.
  136. ^ Bokenkotter, p. 337
  137. ^ a b c d Kreeft, pp. 263–264
  138. ^ (Inggris) John A. Farren, O.P., ed. (2001), The Seventh and Tenth Commandments: Economic and Political Morality (PDF), Based on the Catechism of the Catholic Church by Peter Kreeft, Knights of Columbus Supreme Council, hlm. 12–13 
  139. ^ a b c d e f g (Inggris) Paragraph number 2464–2513 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 27 December 2008 
  140. ^ Keluaran 20:16
  141. ^ Ulangan 5:20
  142. ^ a b Kreeft, p. 275
  143. ^ a b c d Schreck, pp. 318–319
  144. ^ Kreeft, p. 273
  145. ^ Yohanes 2:16
  146. ^ a b c d e (Inggris) Paragraph number 2514–2533 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 2 April 2009 
  147. ^ a b c (Inggris) Paragraph number 2534 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 5 November 2015 
  148. ^ a b Keluaran 20:17
  149. ^ a b c d Schreck, p. 320
  150. ^ Matius 5:28
  151. ^ (Inggris) Pope John Paul II (8 October 1980), Interpreting the Concept of Concupiscence, L'Osservatore Romano (retrieved from EWTN), diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-05, diakses tanggal 2016-03-10 
  152. ^ McCormick, pp. 152–155
  153. ^ Matius 5:8
  154. ^ a b Kreeft, p. 255
  155. ^ Ulangan 5:21
  156. ^ (Inggris) Paragraph number 2534–2557 (1994), Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana, diakses tanggal 6 November 2015 
  157. ^ a b c Kreeft, pp. 266–267
  158. ^ Schreck, p. 321
  159. ^ a b USCCB, p. 450
  160. ^ Filipi 3:4–9
  161. ^ Markus 8:36
  162. ^ Kreeft, p. 268
  163. ^ USCCB, p. 449

Referensi