Sriwijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kedatuan Sriwijaya

Kadatuan Sriwijaya
671–1025
Perkiraan wilayah Sriwijaya pada abad ke-8 sampai ke-11 beserta rute penaklukan dan ekspedisinya
Ibu kota
Bahasa yang umum digunakanMelayu Kuno, Sanskerta
Agama
Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana
PemerintahanMonarki
Maharaja 
• 671
Dapunta Hyang
(Pendiri Sriwijaya)
• 703
Sri Indrawarman
(Kronik Tiongkok)
• 728
Rudra Wikrama
(Kronik Tiongkok)
• 782
Dharanindra
(Prasasti Kelurak)
• 824
Samaratungga
(Prasasti Kayumwungan)
• 860
Balaputradewa
(Prasasti Nalanda)
• 960
Sri Udayaditya Warmadewa
(Kronik Tiongkok)
• 988
Sri Cudamani Warmadewa
(Prasasti Leiden)
• 1008
Sri Mara-Vijayottunggawarman
(Prasasti Leiden)
• 1025
Sangrama-Vijayottunggawarman
(Prasasti Tanjore)
Sejarah 
• Didirikan
671
• Invasi dari Chola
1025
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kandali
krjKerajaan
Melayu
Sekarang bagian dari
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sriwijaya adalah kerajaan bahari historis yang berasal dari Pulau Sumatra sekitar abad ke-7 sampai abad ke-11. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah Asia Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat).[3][4] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan vijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan";[4] dengan demikian, nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Lokasi ibukota Sriwijaya dapat dengan akurat disimpulkan berada di Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi.[2]:295 Sriwijaya terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka.[5]

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[6][7] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[8]

Meskipun sempat dianggap sebagai talasokrasi (kerajaan berbasis maritim), penelitian baru tentang catatan yang tersedia menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan negara berbasis darat daripada kekuatan maritim. Armada laut memang tersedia tetapi bertindak sebagai dukungan logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat. Menanggapi perubahan ekonomi maritim Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, kerajaan-kerajaan disekitar selat Malaka mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan disekitar selat Malaka bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan tersebut merosot menjadi armada perompak.[9]

Pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut akibat beberapa peperangan.[4] Serangan besar pada tahun 1025 dilancarkan oleh pasukan Rajendra Chola I dari Koromandel.[10] Setelah itu, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 oleh sejarawan Prancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[1]

Catatan sejarah

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[11] Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Prancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[11] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama.[12]

Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan biksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671. Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Zabag dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan. Sepertinya kisah Zabag-Khmer didasarkan pada kekuasaan Jawa atas Kamboja, bukan kekuasaan Sriwijaya atas Kamboja.[2]:269, 302

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan salah satu kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[11]

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Bangsa Arab menyebutnya Sribuza dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[4]:114–115

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[13] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[14]

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[15]

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[16]

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[17][18]

Militer

Arca penjaga gerbang (dwarapala), Muaro Jambi.

Sebelumnya diasumsikan bahwa Sriwijaya merupakan kekuatan maritim yang tidak lepas hubungannya dengan etnisitas dan kebudayaan masyarakat di Selat Malaka. Asumsi yang terjadi adalah bahwa terbentuknya negara dengan sukses dan hegemoni di selat berhubungan langsung dengan kemampuan dalam keikutsertaan kegiatan maritim internasional, yang berarti negara ini berkembang dan mempertahankan lingkaran kekuasaannya dengan angkatan laut. Akan tetapi, survei dari informasi yang ada menunjukkan bahwa asumsi seperti itu tidak tepat. Data tentang aktivitas maritim sangat sedikit dan penyebutan angkatan laut hanya terjadi dalam sumber yang tidak lengkap. Bahkan aspek material angkatan laut Asia Tenggara tidak diketahui hingga abad ke-15, perhatian ilmiah umumnya berfokus pada teknik pembuatan kapal.[19]

Dalam prasasti Kedukan Bukit (683 M), mencatat bahwa hanya 312 orang yang menggunakan perahu dari total kekuatan 20.000 orang, yang juga termasuk didalamnya 1312 orang tentara darat. Banyaknya jumlah tentara darat menunjukan bahwa angkatan laut Sriwijaya hanya berperan sebagai penyedia kecil dukungan logistik. Pada abad ke-8, kemampuan angkatan laut Sriwijaya berkembang mengimbangi proporsi kekuatan angkatan daratnya, meskipun hanya berperan sebagai pendukung logistik.[20]

Selain itu, tidak adanya istilah yang menunjukkan kapal laut untuk keperluan umum dan militer menunjukkan bahwa angkatan laut bukanlah aspek permanen negara di Selat Malaka. Bahkan ketika kekuatan tetangga di maritim Asia, terutama Jawa selama abad ke-10 hingga 14, dan Chola India pada abad ke-11, mulai mengembangkan angkatan lautnya, kekuatan laut Sriwijaya relatif lemah. Sebagai contoh kasus, Songshi dan Wenxian Tongkao mencatat bahwa antara tahun 990 dan 991, seorang utusan Sriwijaya tidak dapat kembali dari Cina Selatan ke Palembang karena konflik militer yang sedang berlangsung antara Jawa dan Sriwijaya. Namun orang Jawa, orang Arab dari Timur Tengah, dan orang Asia Selatan mampu mempertahankan pertukaran diplomatik dan ekonomi dengan Cina selama waktu ini. Jelas, angkatan laut Jawa cukup kuat untuk benar-benar mengganggu komunikasi Sriwijaya dengan Cina. Terlepas dari konfrontasi angkatan laut antara Jawa dan Sriwijaya, komunikasi antara negara-negara pesisir Samudra Hindia dan Cina terus berlanjut selama waktu ini, menunjukkan bahwa konflik tidak selalu terjadi di laut lepas, tetapi lebih cenderung terbatas pada muara dan sungai di sekitar ibu kota Sriwijaya di Palembang, muara Sungai Musi dan Selat Bangka.[21]

Tanggapan Sriwijaya terhadap agresi Jawa tampaknya bersifat defensif. Dalam catatannya tentang Sanfoqi, Zhao Rugua mencatat dalam Zhufanzhi (sekitar tahun 1225):

"Di masa lalu, [negara ini] menggunakan rantai besi sebagai penghalang untuk bersiap menghadapi pihak perampok lainnya (tiba dengan kapal?). Ada peluang untuk melepaskannya (yaitu menarik) dengan tangan. Jika kapal dagang tiba, (rantai) itu harus dilepaskan".[22][23]

Ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk menanggapi ancaman maritim menjadi sangat jelas di awal abad ke-11. Antara 1017 dan 1025, Chola menyerbu pelabuhan-pelabuhan utama Melayu di Selat dan Teluk Siam, termasuk Kedah, Melayu (Jambi), Lambri, Sriwijaya dan Langkasuka, menjarah perbendaharaan Kedah dan menangkap penguasa Sriwijaya, merupakan indikasi lebih lanjut dari ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk mempertahankan diri dari serangan angkatan laut.[21]

Dengan demikian, hingga abad ke-11, setidaknya dalam hal pandangan militer mereka, kerajaan tersebut bisa dibilang berbasis darat. Hanya dengan perubahan konteks internasional dari abad kesebelas dan seterusnya, yang awalnya ditandai dengan serangan Chola, dan kemudian dengan meningkatnya kehadiran pedagang Cina yang langsung beroperasi di perairan Asia Tenggara, ditambah dengan munculnya kekuatan baru di pinggiran laut, peran dan sifat angkatan laut ini mulai berubah.[24]

Pendidikan

Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[25]

Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[26]

".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[7]

Kedatuan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[27] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Pelayaran

Imigrasi

Inti dari kekuasaan Sriwijaya terkonsentrasi di dalam dan di sekitar selat Malaka dan Sunda dan di Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Jawa Barat. Namun, antara abad ke-9 dan ke-12, pengaruh Sriwijaya tampaknya telah jauh melampaui inti. Para navigator Sriwijaya tampaknya telah mencapai sejauh Madagaskar. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan telah terjadi 1.200 tahun yang lalu sekitar 830 M. Menurut sebuah studi DNA mitokondria baru yang luas, penduduk asli Malagasy saat ini kemungkinan dapat melacak warisan mereka kembali ke 30 ibu pendiri yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu. Malagasi berisi kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi bahasa lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu, mengisyaratkan bahwa Madagaskar mungkin telah dijajah oleh pemukim dari Sriwijaya.[28]

Jenis kapal

Catatan tekstual kapal Sriwijaya sangat sedikit, karena catatan epigrafi Melayu kuno jarang menyebutkan kendaraan air. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) menyebutkan samvau (Bahasa Melayu modern: Sampan). Sebuah jenis kapal yang disebut lancang diidentifikasi sebagai jenis kapal Melayu dalam catatan abad-abad kemudian, tetapi pada zaman Sriwijaya, kapal itu disebutkan dalam 2 prasasti di pantai utara Bali tanggal 896 dan 923 Masehi. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Bali kuno, bukan bahasa Melayu kuno.[29]:149-150

Ibu kota

Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (warna hijau) terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.

Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[4] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.[30]

Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[10] dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[31] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat Kedatuan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[13] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[32] Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".[33] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang).[10]

Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.[34] Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.[35][36] Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.

Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat Kedatuan Sriwijaya.[37] Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarawan Thailand,[38] meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.

Luas wilayah

Menurut data arkeologi, observasi, dan catatan luar negeri

Peta wilayah kekuasaan kadatuan Sriwijaya, bermula di Minang pada tahun 600-an, kemudian meluas ke sebagian besar wilayah Sumatra lainya, kemudian melakukan ekspansi hingga wilayah Jawa, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Kra (berpusat di Thailand Selatan), Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Sarawak, Brunei, Sabah, dan berakhir sebagai entitas baru yakni Kerajaan Melayu di Jambi pada abad ke-13.

Kedatuan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengalap berkah",[a] dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[39]

Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.

Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kedatuan Sriwijaya.[4]

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, Kedatuan ini telah menguasai bagian selatan Sumatra, pulau Bangka hingga Belitung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[40] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Jawa bagian Barat, dan kemungkinan juga Teluk Thailand.[41]

Pada abad ke-8, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[4] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Selain itu, dalam Prasasti Tanjore (1030) juga termuat daftar wilayah Sriwijaya. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini:[42]:77-78, 170

Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan Keterangan
Pannai Pannai
Malaiyur Malayu
Mayirudingam
Ilangasokam Langkasuka
Mapappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Talaittakkolam
Madamalingam Tambralingga
Ilamuridesam Lamuri
Manakkavaram Nikobar
Kadaram Kedah

Puncak kejayaan

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[43]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya atau Jawa) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[44]

Kedatuan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[45]

Konflik luar negeri

Berperang melawan Medang

Kapal Borobudur bercadik yang ditampilkan di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa mengirim armada kapal perang untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kedatuan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[46]

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[46]

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Pengaruh hindu-budha batu Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[46]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[47] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[32]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[10][48]

Kemunduran

Serbuan kerajaan Chola

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[49] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i (Sanfoqi) ke Tiongkok tahun 1028.[50] Sanfoqi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1028, tetapi ini merujuk pada kerajaan Malayu-Jambi, bukan Sriwijaya-Palembang, dibuktikan dengan catatan China tentang Sanfoqi Zhanbei guo (Sanfoqi negara Jambi).[2]:397, 398, 405

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[51] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[44]

Tidak ada utusan Sriwijaya datang ke Cina antara 1028–1077. Ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Sriwijaya sudah memudar. Sangat mungkin Sriwijaya sudah runtuh pada tahun 1025.[52]:110 Pada abad-abad setelahnya, kronik Tiongkok masih menyebut "Sanfoqi", tetapi istilah ini kemungkinan merujuk pada kerajaan Malayu-Jambi. Bukti epigrafi terakhir yang menyebut kata "Sriwijaya" berasal dari prasasti Tanjore kerajaan Chola tahun 1030 atau 1031.[2]:398, 405

Di bawah kekuasaan Chola

Pada masa setelah 1025 Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari kerajaan Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Tiongkok di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[4] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

Penguasaan kerajaan Chola atas Sriwijaya berlangsung selama beberapa dekade. Kronik Cina menyebutkan Sanfoqi Zhu-nian guo yang berarti "Sanfoqi negara Chola", kemungkinan merujuk ke Kedah. Sanfoqi Zhu-nian guo mengirim utusan ke Tiongkok pada 1077, 1079, 1082, 1088, dan 1090 M. Ada kemungkinan bahwa Chola melantik putra mahkota di wilayah yang didominasi Tamil di selat Malaka.[2]:398, 399, 405

Kolonisasi orang Tamil di selat Malaka tampaknya telah berlangsung selama satu abad. Chola meninggalkan beberapa prasasti di Sumatra bagian utara dan semenanjung Melayu. Pengaruh Tamil dapat ditemukan dalam karya seni (patung dan arsitektur candi), yang menunjukkan aktivitas pemerintahan daripada perdagangan. Cengkeraman Chola di Sumatra bagian utara dan semenanjung Melayu surut pada abad ke-12 — puisi Tamil Kalingatupparani yang ditulis sekitar tahun 1120 menyebutkan penghancuran Kadaram (Kedah) oleh Kulottungga. Setelah itu, Kedah menghilang dari sumber-sumber India.[2]:398, 399

Struktur pemerintahan

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[44] Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[53]:162-3

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu,[53]:164 (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.[53]:167, 170-1 Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri.[53]:162-3, 171 Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.[53]:168, 171 Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.[53]:165, 173-6

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[54] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.[40][53]:160-2, Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[b] Addhyākṣī nījavarṇa (pengawas kaum berkasta rendah), vāṣīkaraṇa (pandai besi/pembuat senjata pisau), kāyastha (juru tulis), sthāpaka (pemahat), puhāvaṁ (nakhoda kapal), vaṇiyāga (peniaga), pratisāra (pemimpin kelompok kerja), marsī hāji (tukang cuci), dan hulun hāji (budak raja).[40][53]:160-2,

Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[40][54] Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya.[56]

Hubungan diplomatik

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kerajaan lain.

Dengan kekhalifahan Umayyah

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.[57] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[57]

"Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[16]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Dengan kerajaan Medang

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatra, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatra walaupun prasasti Sojomerto ditulis dalam aksara Jawa, kemungkinan jawa hanya terkena pengaruh agama buddha yang masuk melalui Sumatra, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.[13]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[58] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[59] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[60] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.[61][56]

Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Sailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata Selendra sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu: Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari abad ke-8, menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 M). Selain itu nama Selendra dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sailendra: Dalam prasasti itu disebut kata hakairu dan daiva yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama Dapunta Selendra. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Sailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Sailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.[62]:22-27

Dinasti Sailendra dari Jawa menjalin hubungan dengan garis keturunan Sriwijaya dari Sumatra, dan selanjutnya mendirikan kekuasaan dan kekuasaan mereka di Kerajaan Mataram Jawa Tengah. Tidak diketahui sifat pasti dari hubungan itu, dengan sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramni (sebuah tempat di Sumatra, mungkin Lamuri).[62]:20-23[63](hlm.8–10, 30–31)

Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800–819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.[64]:92 Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya.[64]:108 Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.

Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga.[64]:92 Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.

Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.[65]

Dengan kerajaan Pala

Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Jawa.[66]

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.

Dengan kerajaan Chola

Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11.

Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[10]

Dengan kekaisaran Tiongkok

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[67]

Daftar raja-raja

Tahun Nama Ibukota Termuat Dalam Prasasti dan Catatan Luar Negeri
683 Dapunta Hyang Sri Jayanasa Prasasti Kedukan Bukit (683), Prasasti Talang Tuo (684), and Prasasti Kota Kapur (686)

Pengiriman ekspedisi ke Bhumi Jawa (hasil tidak diketahui)[68]:82–83

702 Sri Indrawarman

Che-li-t'o-lo-pa-mo

Kedutaan 702, 716, 724 ke Tiongkok[68]:83–84

Kedutaan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

728 Rudra Wikrama

Liu-t'eng-wei-kung

Kedutaan 728, 742 ke Tiongkok[68]:84
Raja Medang Menundukan Suwarnadwipa 742–775
775? Dharmasetu Tidak diketahui (dikuasai Jawa)
775 Dharanindra Tidak diketahui (dikuasai Jawa) Ligor, menaklukkan Chenla
782 Samaragrawira Tidak diketahui (dikuasai Jawa) Ligor, naskah Arab (790), melanjutkan pembangunan Borobudur
792 Samaratungga Tidak diketahui (dikuasai Jawa) Prasasti Kayumwungan (824), 802 Provinsi Khmer memerdekakan diri dari Jawa
835 Balaputradewa Pindah ke Sumatra Pindah ke Pulau Sumatra (Swarnabhumi)

Prasasti Nalanda (860)

Tidak ada informasi untuk periode 835–960
960 Sri Udayaditya Warmadewa

Si-li-Hu-ta-hsia-li-tan Shih-li Wu-yeh

Kedutaan Tiongkok 960, 962[68]:131
980 Haji

Hsia-ch'ih

Kedutaan Tiongkok 980, 983[68]:132
988 Sri Cudamani Warmadewa

Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa

Kedutaan Tiongkok 988, 992, 1003, 1004[68]:132,141

Serangan dari Kerajaan Medang, Pembangunan Candi untuk Kaisar Tiongkok (Prasasti Leiden), Pembangunan Candi di Nagapattinam sebagai tanda Kerjasama dengan Rajaraja Chola I

1006, 1008 Sri Marawijayottungawarman

Se-li-ma-la-pi

Membangun Wihara Chudamani di Nagapattinam, India pada tahun 1006.[69]

Kedutaan Tiongkok 1008,1016[68]:141–142

1017 Sumatrabhumi

Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u

Kedutaan Tiongkok 1017
1025 Sangrama Wijayatunggawarman[68]:142 Kadaram Invasi Chola ke Sriwijaya

Prasasti Tanjore (1030)

Sumber:[10][70]

Warisan budaya

Arca

Langgam Sriwijaya
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.
Awalokiteshwara dari Bingin Jungut, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Langgam Sriwijaya, abad ke-8 sampai ke-9 M, mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang,[71] dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi,[72] Bidor, Perak[73] dan Chaiya,[74] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan.

Bahasa Melayu Kuno

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya yang berbahasa Melayu Kuno, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.

Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang.

Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[75]

Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.[76]

Candi

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatra, sangat berbeda dengan wangsa Syailendra dari Jawa Tengah yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.

Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah.

Prasasti

Prasasti Talang Tuwo, ditemukan di Bukit Seguntang bercerita tentang dibangunnya taman Śrīksetra.

Sampai dengan tahun 2022 diketahui ada 45 prasasti yang terkait atau dianggap terkait dengan Sriwijaya.[77] Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Beberapa yang terkemukan adalah sebagai berikut.

1. Prasasti Kota Kapur, merupakan prasasti pertama tentang Sriwijaya yang ditemukan dan berbentuk tiang/tugu bertulis, isinya menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas lawannya.

2. Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.

3. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan.

4. Prasasti Kedukan Bukit, ditemukan di Palembang dan tahun yang tersebut di dalamnya menjadi dasar berdirinya Kota Palembang.

Bangkai perahu

Balai Arkeologi Palembang menemukan sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kedatuan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[78] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.[78] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[78]

Pusat inspirasi

Kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[79] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan.

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang.

Demikian pula Kodam II/Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (perusahaan pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, Kereta Api Tanjung Karang-Kertapati Sriwijaya Lampung dan Sriwijaya Football Club (klub sepak bola Palembang).

Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan Kedatuan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan Kedatuan bahari ini.[80][81]

Nama besar Sriwijaya juga telah menginspirasi dan dipinjam sebagai nama genus katak yang baru dideskripsi di tahun 2021: Wijayarana.[82][83]

Catatan

  1. ^ Menurut Coedès, siddhayatra merujuk kepada "ramuan ajaib". Sebuah terjemahan alternatif: Zoetmulder's Kamus Jawa Kuno (1995) menerjemahkan istilah ini sebagai "perjalanan yang makmur".
  2. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak sebagai pengurusnya.[55]

Kutipan

  1. ^ a b Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 18 (6): 1–36. 
  2. ^ a b c d e f g Miksic, John N.; Goh, Geok Yian (2017). Ancient Southeast Asia. London: Routledge. 
  3. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30 (1-2): 29–80. 
  4. ^ a b c d e f g h Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  5. ^ Reid, Anthony (2014). Sumatra Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-94-X. 
  6. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  7. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  8. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  9. ^ Heng, Derek (2013). "State formation and the evolution of naval strategies in the Melaka Straits, c. 500-1500 CE". Journal of Southeast Asian Studies. 44: 380–399. Archived from the original on 2023-05-15. Diakses tanggal 2023-05-15. 
  10. ^ a b c d e f Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  11. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  12. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". Dalam F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149. 
  13. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  14. ^ Sucipto 2009, hlm. 28.
  15. ^ Halimi 2008, hlm. 121.
  16. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  17. ^ Natawidjaja 1985, hlm. 28.
  18. ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar (2010), Budi Daya Semangka Panen 60 Hari, Penebar Swadaya: Jakarta. Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013
  19. ^ Heng 2013, hlm. 381.
  20. ^ Heng 2013, hlm. 382-384.
  21. ^ a b Heng 2013, hlm. 385-386.
  22. ^ Chen Jiarong and Qian Jiang, Zhufanzhi zhubu [Treatise on the Foreign Barbarians] (Hongkong: Hongkong University Press), h. 47.
  23. ^ Hirth, Friedrich; Rockhill, William Woodville (1911). Chau Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu Fan Chï. St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences. hlm. 60, 62. 
  24. ^ Heng 2013, hlm. 387-388.
  25. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Diakses tanggal 20 April 2012. 
  26. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  27. ^ Collins 2005, hlm. 9.
  28. ^ Murray P. Cox; Michael G. Nelson; Meryanne K. Tumonggor; François-X. Ricaut; Herawati Sudoyo (2012). "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of the Royal Society B. 279: 2761–8. doi:10.1098/rspb.2012.0012. PMC 3367776alt=Dapat diakses gratis. PMID 22438500. Diakses tanggal 30 May 2020. 
  29. ^ Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali: Mediterranean impact on war vessels in Early Modern Southeast Asia. Dalam G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
  30. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  31. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  32. ^ a b Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  33. ^ Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. 
  34. ^ "Peneliti UI Temukan Bukti Kerajaan Sriwijaya di Jambi" (dalam bahasa Indonesian). 15 July 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-22. Diakses tanggal 2016-08-20. 
  35. ^ "Muaro Jambi Temple: The Legacy of Ancient Jambi". 25 September 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-30. Diakses tanggal 2016-08-20. 
  36. ^ Syofiardi Bachyul Jb (November 25, 2014). "Muarajambi Temple: Jambi's monumental mystery". 
  37. ^ Takashi Suzuki (25 December 2012). "Śrīvijaya―towards ChaiyaーThe History of Srivijaya". Diakses tanggal 6 March 2013. 
  38. ^ Chand Chirayu Rajani (1974). "Background To The Sri Vijaya Story-Part" (PDF). Journal of the Siam Society. 62: 174–211. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-08-04. Diakses tanggal 2016-08-20. 
  39. ^ Collins 2005, hlm. 8.
  40. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. hlm. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  41. ^ Heng 2013, hlm. 390-391.
  42. ^ Sen, Tansen; Wade, Geoff, ed. (2009). Nagapattinam to suvarnadwipa: Reflections on the chola naval expeditions to Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 
  43. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE" (PDF). www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-31. Diakses tanggal 16 January 2013. 
  44. ^ a b c Sucipto 2009, hlm. 30.
  45. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  46. ^ a b c Munoz 2006, hlm. 150.
  47. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  48. ^ Munoz 2006, hlm. 151.
  49. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  50. ^ Kulke, H. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  51. ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
  52. ^ Miksic, John M. (2013). Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300-1800. NUS Press. ISBN 9789971695583. 
  53. ^ a b c d e f g h Kulke, H. (1993). ""Kadātuan Śrīvijaya"—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient (BEFEO). 80 (1): 159–180. 
  54. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  55. ^ Halimi 2008, hlm. 122.
  56. ^ a b Halimi 2008, hlm. 120.
  57. ^ a b Fatimi, S.Q. (1963). "Two Letters from the Maharaja to the Khalifah". Islamic Studies (Islamabad), 2:1, hlm. 121-40.
  58. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  59. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  60. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI. 114: 254–264. 
  61. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI. III: 241–251. 
  62. ^ a b Zakharov, Anton A (August 2012). "The Śailendras Reconsidered" (PDF). nsc.iseas.edu.sg. Singapore: The Nalanda-Srivijaya Centre Institute of Southeast Asian Studies. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal November 1, 2013. Diakses tanggal 2013-10-30. 
  63. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  64. ^ a b c Cœdès, George (1968). The Indianized states of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 9780824803681. 
  65. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 175. ISBN 981-4155-67-5. 
  66. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  67. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  68. ^ a b c d e f g h Coedès, George (1968). Walter F. Vella (ed.). Negara-negara India di Asia Tenggara . trans.Susan Brown Cowing. Pers Universitas Hawaii. ISBN 978-0-8248-0368-1.
  69. ^ Sastri, hal 219–220
  70. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 175. 
  71. ^ "Bukit Siguntang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-04. Diakses tanggal 2011-05-15. 
  72. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  73. ^ "KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-20. Diakses tanggal 2011-05-15. 
  74. ^ "Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-30. Diakses tanggal 2011-05-15. 
  75. ^ "Melayu Online: Bambang Budi Utomo". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-05. Diakses tanggal 2011-05-15. 
  76. ^ Collins 2005, hlm. 12.
  77. ^ Andhifani, W.R. 2022. Prasasti-Prasasti Baru Kedatuan Sriwijaya. Dalam BRIN: Perkembangan Penelitian Epigrafi di Nusantara | Forum Kebhinekaan #8. 6 September 2022.
  78. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". detikcom. Diakses tanggal 20 April 2012. 
  79. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Periksa nilai |url= (bantuan). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  80. ^ The new Golden Peninsula Games
  81. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang
  82. ^ Arifin, U., Kin Onn Chan, Utpal Smart, Stefan T. Hertwig, Eric N. Smith, Djoko T. Iskandar & Alexander Haas. (2021). "Revisiting the Phylogenetic Predicament of the Genus Huia (Amphibia: Ranidae) using Molecular Data and Tadpole Morphology". Zoological Journal of the Linnean Society, 193(2): 673–699, Oktober 2021. DOI: https://doi.org/10.1093/zoolinnean/zlaa158
  83. ^ Novataxa, Species New to Science: <Herpetology • 2021> Wijayarana gen. nov. • Revisiting the Phylogenetic Predicament of the Genus Huia (Amphibia: Ranidae) using Molecular Data and Tadpole Morphology, Sunday, June 6 2021, diakses 05/10/2021

Referensi

Pranala luar