Taman Arkeologi Leang-Leang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kawasan Cagar Budaya Taman Prasejarah Leang-Leang
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Gambar telapak tangan manusia purba di Leang Pettakere
Cagar budaya Indonesia
KategoriSitus
No. RegnasCB.251
Lokasi
keberadaan
Lingkungan Leang-Leang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
No. SKSK Menteri Depdiknas No. SK:240/M/1999[1]
Tanggal SK4 Mei 1999[1]
Pemilik Indonesia
PengelolaBalai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan
Wisata Prasejarah dan Purbakala
Taman Prasejarah Leang-Leang

Papan nama Taman Prasejarah Leang-Leang
Informasi
Lokasi Lingkungan Leang-Leang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
Negara  Indonesia
Pengelola Balai Cagar Budaya Sulawesi Selatan
Penyelesaian 1980
Pembukaan Setiap hari pukul 08.00–16.00 WITA
Jenis objek wisata Edukasi arkeologi dan gua prasejarah
Lukisan babirusa di Leang Pettakere.

Taman Arkeologi Leang-Leang (sebelumnya bernama Taman Prasejarah Leang-Leang atau Taman Purbakala Leang-Leang) adalah salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Maros dan Sulawesi Selatan yang menyajikan wisata edukasi tentang kepurbakalaan. Kata "Leang-Leang" dalam bahasa setempat (Bugis-Makassar) memiliki makna "gua". Di taman ini terdapat banyak gua prasejarah yang menyimpan peninggalan arkeologis manusia purba yang unik dan menarik. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di sekitar kawasan tersebut pernah dihuni manusia sekitar 3.000-8.000 tahun SM. Bukti keberadaan ini ditandai dengan lukisan prasejarah berupa gambar babi rusa yang sedang melompat, puluhan gambar telapak tangan yang ada pada dinding-dinding gua. Terdapat 5 buah telapak tangan manusia purbakala yang ditemukan di Gua Pettae, terdapat pula 32 bekas telapak tangan yang ditemukan di Gua Pettae. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan dikelilingi oleh laut. Keunikan lain adalah keberadaan sungai yang berada tepat di depan Gua Leang-Leang, singkapan batu kapur yang tersebar di areal persawahan penduduk, dan pemandangan Puncak Bulusaraung dari atas gua. Taman prasejarah ini jaraknya tidak terlalu jauh dengan kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung yang merupakan objek wisata cukup diminati baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.[2][1]

Lokasi[sunting | sunting sumber]

Taman Prasejarah Leang-Leang terletak pada deretan bukit kapur (karst) di Kawasan Karst Maros-Pangkep, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, wilayah administratif Kabupaten Maros. Secara administratif tepat berada di Lingkungan Leang-Leang, Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Aksesibilitas[sunting | sunting sumber]

Lokasinya dapat ditempuh ± 15–30 menit melalui jalan lingkungan (Jalan Poros Leang-Leang) dari Jalan Poros Bantimurung yang merupakan jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone. Sepanjang Jalan Poros Leang-Leang merupakan jalan yang telah dibeton sehingga memudahkan akses wisatawan. Jarak taman ini ke Kota Turikale adalah 10 km, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin 19,9 km, dan 34,9 km sebelah utara Kota Makassar. Kawasan ini dapat dicapai dalam waktu ± 1,5 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari Kota Makassar melalui Jalan Poros Bantimurung (Maros-Bone) pada kilometer 7 belok kiri menyusuri jalan lingkungan kearah utara sampai ke kaki perbukitan karst.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1950, H.R. van Heekeren menemukan gambar babirusa yang sedang meloncat dengan bagian dada terpanah. Sementara Miss Heeren Palm menemukan gambar telapak tangan wanita dengan cat warna merah. Kedua temuan itu terdapat di Leang Pettae dan Leang Pettakere. Menurut para ahli arkeologi, gua tersebut dihuni manusia purba sekitar tahun 8.000-3.000 sebelum Masehi. Sementara gambar atau lukisan prasejarah tersebut usianya kira-kira 5.000 tahun silam. Gua tersebut dibuka untuk wisatawan pada tahun 1980 dengan nama Taman Prasejarah Leang-Leang. Di dalam taman ini banyak peninggalan manusia purba, diantaranya gambar telapak tangan manusia yang berwarna merah marun. Menurut para ahli tangan, gambar telapak tangan tersebut merupakan tangan salah satu suku yang telah mengikuti ritual potong jari sebagai tanda berduka cita atas meninggalnya seseorang. Selain gambar tangan, di dalam gua juga terdapat peninggalan peralatan manusia purba yang terbuat dari batu, sisa-sisa makanan yang berupa tulang binatang dan hewan-hewan laut. Di sekitar Taman Prasejarah Leang-Leang terdapat gua-gua lain yang jaraknya saling berdekatan, antara lain Gua Balang, Leang Cabbu, dan Leang Sampeang.[4]

Salah satu gua yang termasuk dalam periode awal penemuan lukisan-lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan adalah Leang Pettae dan Pettakere. Berdasarkan pelbagai penelitian arkeologi yang telah dilakukan sejak tahun 1902 oleh ahli diperkirakan bahwa gua ini telah dihuni manusia sejak 50.000 tahun sebelum Masehi hingga 6.000 tahun yang lalu. Hal ini telah memberi kontribusi nyata dalam ilmu pengetahuan, terutama terkait dengan satu periode kehidupan manusia prasejarah pada masa lampau, yang oleh para ahli diistilahkan sebagai Kebudayaan Toala. Temuan penting yang menonjol pada gua-gua prasejarah di kawasan Karst Maros-Pangkep ini adalah lukisan gua yang pertama kali ditemukan pada tahun 1950 oleh Heeren Palm. Lukisan gua tersebut menggambarkan aspek religi, mata pencaharian, teknologi, ekologi, dan seni pada masyarakat masa lalu. Peneliti lain yang tercatat pernah melakukan penelitian tentang gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan antara lain Van Stein Callenfels, H.D. Noone dan A.A. Cense pada tahun 1933, W.J.A. Willems dan F.D. Mc'Carthy pada tahun 1936, dan H.R. van Heekeren tahun 1936, 1937, 1947, dan 1950, D.J. Mulvaney dan R.P. Soejono pada tahun 1969, dan I.C. Glover pada tahun 1973 dan 1975. Pada tahun 1980-an, penelitian gua-gua di Sulawesi Selatan mulai banyak dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, terutama oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2007 dilakukan penelitian oleh peneliti Australia, Mike Morwood bekerjasama dengan Balai Arkeologi Makassar untuk menulusuri okupasi pada masa plestosen.[1]

Potensi[sunting | sunting sumber]

Taman Prasejarah Leang-Leang (Nomor Registrasi 168) yang terdiri atas dua gua prasejarah yang telah terkenal hingga ke mancanegara, yaitu Leang Pettae dan Leang Pettakere, termasuk dalam Kawasan Karst Maros-Pangkep yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan dan akademisi yang berkepentingan. Kedua situs tersebut saat ini telah menyatu dalam sebuah areal yang telah dibebaskan dan dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan. Sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai taman, dilengkapi fasilitas jalan setapak, sanitair, ruang informasi, lahan parkir, dan fasilitas penunjang lainnya. Leang Pettae yang berada di sebelah selatan atau sekitar 50 meter dari jalan poros mengandung temuan berupa artefak batu, sisa-sisa makanan, dan juga lukisan dinding berupa cap tangan. Sedangkan Leang Pettakere yang berjarak sekitar 400 meter di sebelah utara berada pada ketinggian tebing gamping dapat disaksikan beberapa lukisan cap tangan dan lukisan babi rusa berukuran besar, seluruhnya berwarna merah. Untuk menjangkau letak lukisan di Leang Pettakere, tersedia fasilitas tangga besi, dan dapat diakses oleh pengunjung dengan pengawasan petugas Juru Pelestari.[1]

Objek wisata[sunting | sunting sumber]

Di Taman Arkeologi Leang-Leang terdapat beberapa fasilitas objek wisata, yakni Bola Leppangeng, Pusat Informasi Gambar Prasejarah, ruang rapat, musala, toilet, taman batu, Bola Toana, Leang Pettakere, Leang Pettae, sungai purba, bukit karst, dan lain-lain. Pembangunan dan pengembangan Taman Prasejarah Leang-Leang sebagai objek wisata berbasis sejarah dan budaya turut meningkatkan angka kunjungan ke tempat wisata ini. Kemampuan kawasan ini dalam menyesuaikan diri pada pelestarian dan konservasi lingkungan/sumber daya alam, khususnya potensi sejarah dan budaya berjalan seiring dengan pengembangan kegiatan pariwisata. Pengembangan pariwisata ini memerlukan kerja keras disamping strategi yang tepat sesuai dengan kondisi lingkungan. Objek wisata ini memiliki berbagai potensi alam dan budaya yang dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata. Potensi-potensi yang ada di lingkungan Taman Prasejarah Leang-Leang dan nilai penting serta strategi yang paling sesuai dalam pengelolaan Taman Prasejarah Leang-leang sebagai destinasi wisata yang berbasis kerakyatan. Taman Prasejarah Leang-Leang merupakan objek wisata yang memiliki keunikan baik wisata alam maupun budaya yang langka keberadaannya. Objek wisata ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata alam dan budaya, disamping sebagai wahana penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Agar objek dan daya tarik wisata alam tersebut dapat dimanfaatkan secara nyata, diperlukan arahan dan pedoman yang bersifat komprehensif dalam pengembangannya.Taman Prasejarah Leang-Leang merupakan salah satu objek wisata sejarah terpenting diantara beberapa objek wisata di Sulawesi Selatan. Para sarjana sepakat menyebut peninggalan gua prasejarah di Sulawesi Selatan sebagai peninggalan Budaya Toala. Dari puluhan situs gua prasejarah yang ada, hanya Leang Pettae dan Leang Pettakere yang berada di Taman Prasejarah Leang-Leang yang telah dimanfaatkan untuk objek wisata secara terpadu, sementara gua yang lain selama ini hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan penelitian ilmiah.[3]

Nilai penting sejarah yang dikandung oleh Taman Prasejarah Leang-Leang adalah adanya dua jenis budaya yang pernah berkembang, yaitu Budaya Pra-Austronesia dan Budaya Austronesia. Kedua jenis budaya tersebut biasa disebut oleh prasejarawan sebagai Budaya Toala yang berkembang pada masa plestosen sekitar 31.000-19.000 BC, kawasan ini telah dihuni oleh manusia Pra-Austronesia. Sementara data lukisan di dinding gua adalah salah satu bukti ekspresi seni lukis tertua di Asia Tenggara. Nilai penting ilmu pengetahuan yang terkandung di Taman Prasejarah Leang-Leang adalah ilmu arkeologi, geologi, ekologi, biologi, dan speleogenesis. Dianggap memiliki nilai penting arkeologi karena kompleks gua di Taman Prasejarah Leang-Leang mengandung data arkeologi yang padat. Jumlah 57 gua dengan variasi temuan yang tinggi di setiap gua adalah kekayaan luar biasa. Kekayaan ekologi Kompleks Gua Leang-Leang yang merupakan bagian dari kawasan karst Bantimurung-Bulusaraung menjadi alasan kuat penetapan kawasan tersebut menjadi kawasan Taman Nasional. Kompleks Gua Leang-leang memiliki nilai penting ilmu speleogenesis karena banyaknya gua aktif atau gua yang masih dalam. Kompleks Gua Leang-leang memiliki nilai penting biologi karena memiliki kekayaan flora dan fauna yang prospektif untuk penelitian biologi pada masa mendatang. Nilai penting kebudayaan yang dikandung oleh Kompleks Gua Leang-leang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu nilai etnik, dan nilai estetik. Kompleks Gua Leang-leang memiliki nilai penting etnik karena ditemukan bukti keberadaan komunitas Austronesia (ras Mongoloid) pada masa prasejarah di Sulawesi Selatan. Bukti arkeologis tersebut merupakan salah satu bukti tertua tentang genealogi dan budaya, menjadi jati diri (cultural identity) dari Etnis Bugis, Makassar, dan Toraja yang mendiami Sulawesi Selatan sekarang. Taman Prasejarah Leang-Leang diasumsikan memiliki nilai penting estetik karena ditemukan banyak lukisan dinding gua, berdasarkan tinggalan artefaktualnya bisa dikategorikan sebagai hasil pencapaian budaya yang sangat tinggi, karena pada masa prasejarah masyarakat Sulawesi Selatan sudah mengenal komunikasi verbal sebagaimana diperlihatkan oleh berbagai lukisan purba di dinding-dinding gua. Tahun 2014, Maxime Aubert dari Universitas Wollongong, Australia dan tim melakukan penelitian di Leang Timpuseng. Penelitian ini menjadi perhatian dunia arkeologi internasional karena berkesimpulan pertanggalan lukisan dinding gua sekitar 40.000 tahun yang lalu, setara dengan lukisan tertua di Eropa. Metode pertanggalan yang digunakan merupakan metode baru, yaitu uranium series dating di speleothems (deposit) gua. Keberadaan objek wisata Taman Prasejarah Leang-leang secara tidak langsung membawa dampak terhadap perekonomian warga sekitar objek wisata tersebut. Hal ini tampak dari mulai munculnya berbagai jenis-jenis usaha sampingan dari warga seperti pedagang suvenir, pedagang asongan, pedagang makanan dan minuman, penginapan, dan sebagainya. Jika semula pekerjaan utamawarga sekitar objek wisata hanya sebagai petani, pegawai, dan sebagainya, maka dengan keberadaan objek wisata ini mampu membuka lapangan usaha baru yang bisa dilakukan di waktu senggang.[3]

Taman Prasejarah Leang-Leang memiliki banyak potensi sebagai wilayah pengembangan pariwisata. Beberapa potensi tersebut diantaranya: (a) Potensi sumber daya alam yang dimiliki taman prasejarah ini cukup mengesankan. Wilayah ini sudah berumur puluhan ribu tahun dan berada di Kawasan Karst Maros-Pangkep yang diakui sebagai kawasan karst terluas kedua di dunia setelah kawasan karst yangada di Guangzhou, Cina. Berada di daerah pegunungan karst, Taman Prasejarah Leang-Leang memiliki situs-situs gua prasejarah dengan tinggalan arkeologis berupa lukisan seni cadas yang menarik; (b) Adanya potensi sumber daya budaya. Gua-gua di kawasan Taman Prasejarah Leang-Leang sangat menarik, karena gua-gua tersebut dulunya sebagai tempat tinggal manusia yang terkenal dengan sebutan Budaya Toala, sekaligus di gua-gua tersebut tersimpan berbagai lukisan yang masuk 10 besar lukisan tertua di dunia, sehingga situs purbakala ini penting sebagai media edukatif dan kultural. Terdapat kurang lebih 27 lukisan telapak tangan dengan berbagai posisi, lukisan perahu, hewan, figur manusia, simbol ekspresi diri melalui bahasa gambar atau bahasa rupa pada masa prasejarah; (c) Adanya dukungan sumber daya manusia dan dukungan masyarakat lokal. Cukup banyak masyarakat lokal yang telah berkecimpung pada sektor pariwisata. Demikian pula dukungan dari pemerintah melalui eksistensi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, serta perangkat yang ada dibawahnya; (d) Lokasi Taman Prasejarah Leang-Leang secara geografis sangat strategis dan aksesibilitas yang mudah dari Kota Makassar, Kota Turikale, Kabupaten Bone, Kabupaten Pangkep, dan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, yakni tersedianya berbagai amenitas pariwisata. Berbagai amenitas untuk mendukung kegiatan pariwisata telah tersedia di Taman Prasejarah Leang-Leang.[3]

Galeri[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Siregnas CB Kemendikbud RI. "Taman Prasejarah Leang-Leang". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-04. Diakses tanggal 4 Mei 2021. 
  2. ^ Ratino; Tri Maya Yulianingsih (2010). Jelajah Wisata Nusantara: Berbagai Pilihan Tujuan Wisata di 33 Provinsi. Yogyakarta: Media Pressindo (MedPress). hlm. 332–333. 
  3. ^ a b c d Mulyantari, Enny (2018). Pengembangan Objek Wisata Budaya : Taman Prasejarah Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan (Jurnal Media Wisata, Vol. 16, No. 1) (PDF). Jurnal Media Wisata. hlm. 684–697. 
  4. ^ Suparti (2019). Indonesia nan Indah: Gua di Indonesia. Semarang: ALPRIN. hlm. 12–13. ISBN 978-602-8094-49-8.