Tepung pisang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pisang mentah, bahan baku untuk membuat tepung pisang

Tepung pisang adalah bubuk yang secara tradisional dibuat dari pisang mentah. Dahulunya, tepung pisang digunakan di Afrika dan Jamaika sebagai alternatif tepung terigu yang lebih murah.[1] Kini tepung pisang sering digunakan sebagai pengganti tepung terigu yang bebas gluten[2] atau sebagai sumber pati resistan, yang dipromosikan dalam tren diet tertentu seperti diet paleo dan primal, serta dalam beberapa penelitian gizi akhir-akhir ini.[3] Penggunaan pisang mentah membuatnya memiliki rasa baku pisang yang sangat sedikit, dan ketika dimasak akan menghasilkan rasa biasa yang tidak pisang. Tepung ini juga memiliki tekstur yang mirip tepung terigu, namun lebih ringan dan masa jenisnya sekitar 25% lebih kecil, menjadikannya pengganti yang baik untuk tepung terigu putih dan tepung gandum utuh putih.[4]

Metode produksi[sunting | sunting sumber]

Tepung pisang umumnya diproduksi dengan pisang mentah yang dikupas, dicincang, dikeringkan, lalu ditumbuk.[5] Proses ini dapat dilakukan secara tradisional dengan tangan di mana pisang dijemur di bawah sinar matahari, ataupun dikeringkan dalam oven atau pengering makanan rumahan (dehidrator), dan kemudian ditumbuk dalam cobek dan ulekan atau dengan penggiling mekanik.[4] Dalam pemrosesan, dibutuhkan bahan baku 8–10 kg pisang mentah untuk menghasilkan 1 kg tepung pisang.[1] Dalam beberapa tahun terakhir, produksi komersial tepung pisang dalam skala besar dimulai di Afrika dan Amerika Selatan menggunakan metodologi dasar yang sama.[1][6][7]

Chili telah mengembangkan metode alternatif produksi tepung pisang menggunakan sisa pisang matang. Peneliti asal Chili mengembangkan suatu proses yang menggunakan kulit pisang yang hampir busuk untuk menambahkan serat makanan ke dalam pisang matang, yang tidak memiliki pati resistan seperti pisang mentah.[7] Meski tidak memiliki pati resistan, tepung pisang memiliki keunggulan dibandingkan bubuk pisang. Bubuk pisang dibuat dari bubur pisang matang sempurna yang dikeringkan dan dihaluskan, sehingga ia tidak memiliki kandungan serat dari tepung kulit pisang maupun pati resistan dari tepung pisang mentah.[8]

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

Penggunaan historis

Dahulu tepung pisang diproduksi sebagai alternatif tepung terigu yang mahal di berbagai bagian Afrika dan Jamaika. Pada awal 1900, tepung pisang dijual di Amerika Tengah dengan merek Musarina dan dipasarkan sebagai bahan yang dapat membantu gangguan dan sakit perut.[9] Selama Perang Dunia I, Kementerian Pertanian Amerika Serikat mempertimbangkan rencana produksi tepung pisang sebagai pengganti tepung gandum putih dan hitam.[9]

Alternatif bebas gluten

Tepung pisang telah diimpor maupun diproduksi oleh perusahaan Amerika Serikat dan Australia, International Agriculture Group dan Natural Evolution. Tepung ini dipasarkan sebagai alternatif tepung berbasis gandum yang bebas gluten bagi mereka yang menderita seliak dan bagi mereka yang mengikuti diet bebas gluten.[1][10] Tepung pisang ini juga dipasarkan sebagai pentekstur clean-label dan sebagai sumber alami pati resistan. Karena kandungan patinya yang tinggi, tepung pisang sangat cocok untuk memasak/memanggang sehingga dapat menggantikan tepung terigu maupun tepung lainnya.[5] Namun, bahkan dalam produk masakan seperti pasta, penambahan tepung pisang dapat meningkatkan total kandungan pati resistan dalam jumlah yang cukup besar.[5]

Pati resistan

Tepung pisang (varietas dari pisang mentah) menarik perhatian para peneliti gizi dan pengikut diet sebagai sumber pati resistan yang baik dan berguna.[11][12] Pati resistan adalah pati yang melawan proses pencernaan - tidak dapat dipecah di usus kecil namun dapat mencapai usus besar dan berfungsi sebagai serat makanan yang dapat difermentasi.[13] Tepung pisang bisa memiliki kandungan pati resistan yang tinggi (>60%) maupun yang rendah (<10%), tergantung pada prosedur pengeringan bahan tertentu. Tepung pisang sering digunakan tanpa dimasak, misalnya sebagai bahan dalam smoothie atau nutrition bar (energi balok) karena memasaknya dapat mengurangi kandungan pati resistan.[5]

Pakan ternak dan lem

Tepung pisang digunakan sebagai pakan ternak di berbagai belahan dunia. Secara khusus, digunakan sebagai bahan pengganti susu untuk anak sapi.[14] Dynasty Banana Flour Manufacturing and Trading di Filipina dan Taj Agro Products di India mengekspor tepung pisang ke seluruh dunia untuk dicampur dalam pakan sebagai penggumpal dan untuk digunakan dalam produksi lem, terutama lem kayu lapis.[15]

Ketersediaan[sunting | sunting sumber]

Tepung pisang sudah tersedia di Afrika dan Amerika Selatan sejak dulu, baik produksi tradisional maupun komersial. Tepung pisang diperkenalkan sebagai bahan komersial di seluruh dunia oleh banyak perusahaan seperti International Agriculture Group (berbasis di Amerika Serikat)[16] dan Natural Evolution (berbasis di Australia).[17]

Manfaat lingkungan dan ekonomi[sunting | sunting sumber]

Produksi tepung pisang ditawarkan oleh para peneliti dan pejabat dari berbagai negara sebagai solusi untuk tingginya tingkat limbah tanaman pisang. Banyak pisang mentah yang gagal matang dimusnahkan dan dibuang karena tidak dapat dijual maupun diekspor.[18] Pisang yang dimusnahkan ini masih dapat dijadikan tepung pisang, dan jika dimanfaatkan akan mengurangi limbah produksi pisang secara signifikan. Dengan demikian, produsen pisang akan dapat memperoleh pemasukan yang lebih besar dari tanamannya, dampak lingkungan dari tanaman tersebut akan berkurang, dan produksi pangan dunia akan meningkat karena bahan yang dulunya terbuang kini dapat digunakan.[18] Pejabat Chili telah memulai produksi tepung pisang yang dibuat dari kulit pisang yang hampir busuk dan buah pisang yang sangat matang.[7] Penggunaan pisang yang biasanya dibuang karena tak terjual atau yang busuk secara tidak sengaja ini dapat mengurangi limbah sekitar 20% dari pisang yang dibawa ke pasar.[7] Dengan cara ini, tepung pisang dapat mengurangi limbah dalam produksi tanaman pisang di kedua ujungnya.

Persoalan produksi[sunting | sunting sumber]

Produksi pisang telah lama dikaitkan dengan eksploitasi pekerja miskin di berbagai negara Dunia Ketiga.[19] Produksi tepung pisang secara alami terhubung erat dengan persoalan ini, karena beberapa konsumen mengkhawatirkan dari mana pisang yang dijadikan tepung tersebut berasal. Namun, banyak produsen besar pisang baru-baru ini menyepakati praktik bisnis perdagangan adil, yang telah terbukti meningkatkan kesejahteraan para pekerja.[19]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Coghlan, Lea. “Business goes bananas.” Queensland Country Life. 13 Mei 2014.
  2. ^ Gray, Nathan. “Pasta goes bananas: Green banana flour offers gluten-free pasta solutions.” [foodnavigator.com], 25 Juni 2012.
  3. ^ Langkilde, Anna Maria, et al. “Effects of high-resistant-starch banana flour (RS2) on in vitro fermentation and small-bowel excretion of energy, nutrients, and sterols: an ileostomy study.” American Journal of Clinical Nutrition. Januari 2002, 75:2, hlm 104-111.
  4. ^ a b “Homemade Banana Flour and Banana Flour Apple Tea Cake.” Marinya Cottage Kitchen, 4 November 2013 [1]
  5. ^ a b c d Ovando-Martinez, Maribel and et al. “Unripe banana flour as an ingredient to increase the undigestible carbohydrates of pasta.” Food Chemistry. 113 (2009), 121-126.
  6. ^ Edwards, Jocelyn. “Uganda goes Bananas.” Global Post. 22 April 2012
  7. ^ a b c d “Chile: banana flour creates potential for fruit waste.” [freshfruitportal.com], 8 Juli 2013. [2] Diarsipkan 2014-10-11 di Wayback Machine.
  8. ^ Sinha, Nirmal. Handbook of Food Products Manufacturing, 2 Volume Set. John Wiley & Sons, 2007. Page 873.
  9. ^ a b Wilson, David Scofield, and Angus K. Gillespie, eds. Rooted in America: Foodlore of Popular Fruits and Vegetables. Univ. of Tennessee Press, 1999. Halaman 28-29.
  10. ^ Crofts, Natalie. “Utah company’s banana flour hits shelves for gluten free cooking.” KSL, 14 Februari 2014.
  11. ^ Anyasi, Tonna A.; Jideani, Afam I.O.; Mchau, Godwin R.A. (10 Sep 2013). "Functional properties and postharvest utilization of commercial and noncommercial banana cultivars". Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 12 (5): 509–522. doi:10.1111/1541-4337.12025. 
  12. ^ Zhang, Pingyi; Whistler, Roy L.; BeMiller, James N.; Hamaker, Bruce R. (15 Des 2005). "Banana starch: production, physiocochemical properties, and digestibility - a review". Carbohydrate Polymers. 59 (4): 664–671. doi:10.1016/j.carbpol.2004.10.014. PMID 30372992. 
  13. ^ Sajilata, M.G. and et. al. “Resistant Starch- A Review.” Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol 5, 2006.
  14. ^ Le Dividich, J. and et. al. “Using waste bananas as animal feed.” Food and Agriculture Organization of the United Nations. [3] Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine.
  15. ^ “Dynasty Banana Flour Trading.” importers.com [4]; “Banana Juice Powder.” Taj Agro Products.
  16. ^ Watson, Elaine. "Green banana flour: a powerful new tool in the digestive health toolbox?". Food Navigator-USA. William Reed. Diakses tanggal 28 November 2018. 
  17. ^ Hudson, Sarah. "Natural Evolution Foods: adding value to Queensland bananas". WeeklyTimesNow. News Corp Australia. Diakses tanggal 28 November 2018. 
  18. ^ a b Zhang, Pingyi and et. al. “Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility- a review.” Carbohydrate Polymers. Vol. 59 (2005), halaman 443-458.
  19. ^ a b Zuniga-Arias, Guillermo, and F. Sáenz Segura. "The impact of fair trade in banana production of Costa Rica." The impact of Fair Trade. The Netherlands: Wageningen Academic Publishers (2008): 99-116.