Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Teuku Chik Muhammad Djohan Alamsyah
Teuku Chiek Muhammad Djohan Alamsyah / Ampoen Chiek Peusangan
Informasi pribadi
LahirKesultanan Aceh Pulo Iboh, Kesultanan Aceh
Meninggal11 Maret 1990(1990-03-11) (umur 99)
KebangsaanIndonesia Indonesia
HubunganTeuku Chik Mohammad Thayeb Abang Ipar
Orang tuaTeuku Chiek Syama'un (Ayah)
Pocut Unggaih (Ibu)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Teuku Chik Muhammad Djohan Alamsyah atau dikenal sebagai "Ampoen Chiek Peusangan" ( 25 Juni 1890 – 11 Maret 1990) ialah seorang Uleebalang di Nanggroe Peusangan dan merupakan turunan generasi ke- 9 pengungsi imperiurn Abbasiyah yang terdampar di Banda Aceh pada abad ke-13 itu. Beliau keturunan ulee balang dan putra dari pasangan Teuku Chik Syamaun dan Pocut Unggaih. Ayah beliau seorang uleebalang kerajaan Peusangan pada masa itu sedangkan ibunya seorang putri uleebalang di Meureudu.

Kemudian setelah memegang jabatan uleebalang dan menunaikan ibadah haji, cucu Teuku Chik Muhammad Hasan itu diberi nama, Teuku Haji Chik Muhammad Djohan Alamsjah Perkasa Alam. Dalam perjalanan sejarah Aceh abad ke-XX, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tampil sebagai salah seorang uleebalang Aceh terkemuka.[1]

Istana Nanggroe Peusangan[sunting | sunting sumber]

Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) nanggroe Peusangan. Desa Iboh juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-1946.Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orang tua Teungku Amir Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orang tua Husin al Mujahid mengungsi ke nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tanpa pernah bertempur guru sekolah dasar madrasah di Idi-Aceh Timur ini, dapat mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh dengan lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas membantai seluruh uleebalang Aceh beserta pengikutnya.[2]

Menempuh Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja.Guru Muhammad Djam, orang Minangkabau ini sangat profesional dibidangnya.[3] Secara privat kedua anak muda Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran dasar yang diajarkan terutama matematik, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda.

Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya. Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas terhadap kinerja Guru Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad Djam dalam bidang pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh kemudian hari menamai jalan dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad Djam.

Teuku Johan Alamsyah dan Jenderal Swart berfoto bersama keluarga pada tahun 1928.

Setelah menjalani masa pendidikan yang dikehandaki Belanda, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku uleebalang nanggroe Peusangan.[4]

Menjadi Uleebalang[sunting | sunting sumber]

Sepeninggalan Teuku Chik Syamaun, Nanggroe Peusangan memasuki era baru di bawah kepemimpinan Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah (dengan panggilan Ampon Chik Peusangan). Ekonomi nanggroe yang krisis karena terpengaruh perang melawan Belanda di masa Teuku Chik Syamaun, menjadi tantangan tersendiri bagi Ampon Chik Peusangan untuk menata kembali ekonomi negerinya.

Ampon Chik Peusangan dikukuhkan sebagai Uleebalang Peusangan oleh Sultan Aceh, Tuanku Muhammad Daud Syah pada usia 10 tahun. Pengukuhan ini dilakukan secara diam-diam di sela kunjungan Sultan Aceh ke Matangglumpang Dua, ibu kota Nanggroe Peusangan. Setelah mendapat berita dari utusan Teuku Chik Syamaun bahwa uleebalang yang sedang berada di hutan sedang mengalami sakit berat, maka dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Ampon Chik langsung dilantik tanpa sepengetahuan Belanda.

Jiwa kepemimpinan dan diplomasi mengalir dalam diri Ampon Chik Peusangan. Pendekatan yang dilakukan berbeda dengan apa yang telah dilakukan orang tuanya. Ia tidak memilih konflik secara frontal dengan Belanda yang justru akan menjadi korban dan menderita adalah rakyatnya sendiri. Ia lebih fokus membangun ekonomi negerinya dan memulai memajukan dunia pendidikan. Di tengah suasana tenang, ia lakukan inisiasi, pemindahan makam orang tuanya, Teuku Chik Syamaun, dari dalam hutan ke Gle Sabe di Matangglumpang Dua. Di samping bukit tersebut terdatang pasar tradisional Matang. Pengangkatan itu dimuat diatas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap Sikureung” itu diserahkan langsung kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Pada hal, pada saat pengangkatannya, uleebalang muda itu baru berumur 10 tahun.[5]

Beliau bersama Sang Ibu[sunting | sunting sumber]

Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya ke wilayah Pasai, untuk menyusun kembali markas komanandonya. Perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda berakhir dalam waktu singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat, paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor diri (mel) kepada Belanda minta berdamai.

Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu. Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik uleebalang muda itu menurut kepentingannya, disekolah model Belanda. Dengan tegas permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin putranya menjadi orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama dengan Teuku Djeumpa, membujuk Pocut Unggaih.

Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Pocut Unggaih dengan berat hati mengijinkan putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya yang juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda dengan penuh suka cita menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah lagi, nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.[6]

Membentuk Jami'ah Almuslim[sunting | sunting sumber]

Ampon Chik bersama kalangan ulama, yaitu Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Ibrahim Meunasah Barat, Teungku Abbas Bardan, Teungku Abed Idham, Habib Muhammad, Teungku Ridwan, dan ulama serta tokoh lainnya, menginisiasi pembentukan perhimpunan Jami’ah Almuslim pada 24 November 1929 (21 Jumadil akhir 1348 H). Melalui perhimpunan ini, Ampon Chik mewakafkan sejumlah bidang tanah untuk didirikan yayasan dan sekolah. Diawali dengan mendirikan sekolah berdinding kayu dengan dua lokal (lokasinya di SMP Negeri Peusangan). Dua tahun kemudian, 28 Mei 1931 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung Madrasah Almuslim. Ulama dan umara sepemahaman, hanya melalui pendidikan, transformasi sosial untuk menggapai kemerdekaan, terbebas dari belenggu penjajah dapat diraih.

Karena di sinilah tempat lahirnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). pada 5 Mei 1939 bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal 1358 H. Kelahiran PUSA ini berawal dari pemikiran dua tokoh besar Peusangan waktu itu yaitu Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap (Ulama) dan Ampon Chik Peusangan (Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah) (Umara), dan PUSA telah menjadi lokus dan inspirasi bagi kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI).[7]

Hal ini menunjukkan bahwa kelahiran Universitas Almuslim melalui sejarah Jami’ah Almuslim Peusangan merupakan warisan Pemikiran T.H.M Djohan Alamsjah (Ampon Chiek Peusangan) bersama Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap (Ulama).dengan mengelorakan semangat pembaharu bervisi global di dibidang pendidikan masa itu. Oleh Karenanya Universitas Almuslim memiliki posisi sejarah yang khusus dan unik apabila dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya yang ada di Provinsi Aceh.[8]

Ampon Chik Peusangan juga dikenal sebagai tokoh yang pro terhadap pendidikan modern di Aceh. Hal ini dibuktikan dengan persetujuan beliau terhadap gagasan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap yang ketika itu ingin mendirikan madrasah. Pada waktu itu, Ampon Chik menyediakan tanah di Kota Matangglumpangdua untuk pembangunan Madrasah Almuslim.

Sosok Beliau dimata Tionghoa Aceh[sunting | sunting sumber]

Dalam kaitannya dengan masyarakat Tionghoa, Ampon Chik Peusangan telah mengukir sejarah yang sangat menarik untuk dikaji. Sikap Ampon Chik yang dengan suka rela memberikan tanah pekuburan kepada masyarakat Tionghoa seolah memberi pesan kepada kita semua bahwa masyarakat Aceh harus terbuka untuk membangun hubungan dan hidup rukun dengan etnis manapun, khususnya Tionghoa.

Perhatian khusus yang ditunjukkan oleh Ampon Chik Peusangan kepada masyarakat Tionghoa tentunya dilatari oleh berbagai alasan. Kuat dugaan bahwa Ampon Chik Peusangan memiliki keyakinan untuk membangun hubungan yang terus-menerus dan abadi dengan masyarakat Tionghoa.

Bagi masyarakat Tionghoa, seperti dijelaskan Azmi kuburan memiliki arti penting, di mana setiap tahun mereka merayakan hari raya Ceng Beng di areal pekuburan. Hari raya Ceng Beng menjadi media untuk saling berinteraksi, karena pada hari itu, masyarakat Tionghoa yang telah merantau ke luar daerah akan kembali dan saling bertemu di kuburan leluhur mereka. Pada hari tersebut, mereka juga mengunjungi orang tua dan karib kerabat.[9]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ago, Safriadi98in #aceh • 2 Years (2018-03-15). "Teuku muhammad djohan alamsjah (Ampon chik peusangan)". Steemit (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-18. 
  2. ^ "Mengapa Nanggroe Peusangan di Kala Itu Maju?". Serambi Indonesia. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  3. ^ Leupuëng (Teukoe.), Mansoer (1970). Hikajat Robinson Crusoë: sastra Atjèh (dalam bahasa Sunda). Teukoe Mansoer Foundation. 
  4. ^ Unknown (Minggu, 31 Agustus 2014). "ATJEH GALLERY: Mengenal lebih dekat Ampon chik peusangan Teuku Muhammad johan alamsyah". ATJEH GALLERY. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  5. ^ Biografi Teuku Chiek Peusangan
  6. ^ Ibrahim, Muhammad; Arifin, M.; Sulaiman, Nasruddin; Sufi, Rusdi; Ahmad, Zakaria; Ambary, Hasan Mu'arif; MA, T. Ibrahim Alfian (1991-01-01). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  7. ^ Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan (1977). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa ACEH. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  8. ^ "Gubernur Resmikan Kampus Ampon Chiek". Serambi Indonesia. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  9. ^ Miswar, Khairil (2017-08-08). "Persahabatan Abadi Ampon Chiek Peusangan dan Tionghoa". aceHTrend.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-18.