Lompat ke isi

Tortikolis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tortikolis atau yang disebut juga leher miring, merupakan kelainan postur pada leher dan kepala akibat kontraksi otot leher yang menyebabkan kepala berada pada posisi miring, dengan dagu menunjuk ke salah satu bahu dan kepala miring ke arah bahu yang berlawanan.[1][2] Gangguan ini paling sering ditemukan pada bayi dan dapat dideteksi saat bayi lahir atau segera setelah bayi lahir.[1][2] Jika berlangsung dalam jangka panjang, tortikolis dapat menimbulkan nyeri dan menyebabkan penderitanya kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.[3]

Epidemoiologi

[sunting | sunting sumber]

Kasus tortikolis ini diperkirakan terjadi pada 4 per 1000 kelahiran, satu dari setiap 300 kelahiran hidup, dengan 75% kemiringan leher ke sisi kanan.[2] Menurut laporan, insiden tortikolis bervariasi dari 0,3% sampai 2 %, dengan sedikit dominan pada laki-laki (rasio 3: 2) dan lebih umum di sisi kanan.[2] Prevalensi tortikolis pada anak yang lebih tua telah dicatat bervariasi, yakni 0,07% pada anak usia dua sampai tiga tahun dalam satu seri, dan 0,3% anak-anak mendekati usia enam tahun di penelitian yang lain. Insiden tortikolis ditemukan lebih sering pada anak sulung dan diikuti oleh persalinan traumatis.[2]

Tanda dan gejala

[sunting | sunting sumber]

Tortikolis biasanya mulai terlihat atau baru berkembang pada usia 2 - 4 minggu, di mana dapat berkembang sesuai usia anak yang cenderung menahan posisi kepala miring ke satu sisi, akan tetapi dapat pula terjadi juga dalam rentang 6 - 8 minggu sejak kelahiran.[1][2]

Tortikolis diklasifikasikan ke dalam 3 sub-kelompok klinis, yaitu: 1) kelompok tumor sternomastoid dengan massa yang jelas terlihat dengan persentase 42,7% dari total kejadian; 2) kelompok tortikolis muskular dengan pemendekan otot sternokleidomastoid (SCM) dengan persentase 30,6% dari total kejadian; dan 3) kelompok tortikolis postural, yaitu tortikolis tanpa adanya pemendekan otot atau tumor dengan persentase 22,1% dari total kejadian.[2]

Kasus tortikolis biasanya ditandai dengan miringnya kepala ke arah sisi sakit (75% miring ke sisi kanan); pembesaran otot-otot leher yang kemungkinan telah ada sejak lahir; spasme otot-otot leher dan punggung atas; keterbatasan lingkup gerak sendi leher; dan bisa ditemukan adanya benjolan di leher yang disebut fibromatosis colli.[1][2]

Gejala dan tanda awal ini biasanya ditemukan terlebih dahulu oleh ibu bayi, yakni pada usia 2 bulan pertama, berupa kepala miring ke sisi SCM yang memendek, rotasi kepala ke sisi sebaliknya atau kontralateral, juga wajah yang asimetri dan plagiasefali.[1] Keterbatasan lingkup karakteristik wajah dan tengkorak yang sering terlihat pada bayi meliputi struktur tulang pembentuk kepala dan wajah atau kraniofasial yang tidak simetris; otot-otot pengunyah dan lidah yang tidak simetris; garis rahang dan gusi yang miring serta rahang ipsilateral yang terlambat berkembang; elevasi sendi rahang dan masalah oklusi gigi; posisi telinga ipsilateral menjadi lebih inferior dan posterior; telinga asimetris dengan perubahan struktur tulang (deformitas) telinga ipsilateral; mata asimetris dengan mata pada sisi ipsilateral terlihat lebih kecil; inferior orbital dystopia pada mata sisi ipsilateral; cekungan pada alis mata dan zygoma sisi ipsilateral; Deviasi titik dagu dengan ujung hidung; Skoliosis fasial (distorsi struktur tulang kraniofasial); serta perubahan paling menonjol yang terjadi dalam fossa kranial posterior.[1]

Penyebab dan faktor risiko

[sunting | sunting sumber]

Penyebab tersering terjadinya tortikolis ialah gangguan pada otot sternokleidomastoid (SCM).[2] Tortikolis juga disebabkan oleh faktor-faktor, di antaranya, 22 – 42% kasus ini disebabkan oleh trauma persalinan, 17 – 40 % disebabkan oleh malposisi intrauterine, dan 10 – 20% disebabkan oleh hip dysplasia bawaan. Faktor risiko lain adalah berat badan lahir anak yang besar, kelahiran kembar, ibu primipara, persalinan dengan bantuan vakum atau forsep, tali pusat melilit leher janin atau nucha cord, dan kelainan rahim ibu.[1][2] Pada proses persalinan yang sulit, terjadi peregangan berlebihan pada otot SCM yang mengakibatkan perdarahan di dalam otot sehingga akan terdeteksi sebagai tumor bulat kecil pada minggu pertama pascalahir. Selanjutnya area ini akan diinvasi oleh jaringan fibrosa yang akan membuat otot SCM berkontraksi dan memendek.[1]

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]

Untuk menegakkan diagnosis, akan dilakukan anamnesis untuk mengetahui riwayat prenatal dan kelahiran (lahir pervaginam atau dengan bedah sesar, menggunakan bantuan vakum atau forcep, presentasi saat kelahiran, nuchal cord, berat badan lahir, panjang lahir, urutan kelahiran jika kembar, jenis kelamin, sisi otot SCM yang terkena, kelainan bawaan lainnya, riwayat pemeriksaan radiologis atau pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya, laporan konsultasi pada subspesialis sebelumnya dan usia saat terdiagnosis ).[1] Anamnesis dengan pelaku rawat atau orang tua juga akan menyelidiki perihal siapa yang merawat bayi; berapa lama waktu yang dihabiskan anak duduk di kursi, kursi mobil, ayunan atau penggunaan alat-alat untuk menggendong anak; berapa lama waktu yang dihabiskan anak pada posisi telungkup dan telentang; posisi tidur, kecenderungan arah rotasi kepala ketika tidur; permukaan tempat tidur, gangguan makan; penggunaan obat-obatan; riwayat terapi fisik sebelumnya; serta kondisi tortikolis dan bentuk kepala bayi.[1]

Setelah sesi anamnesis, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kemampuan pasien dalam menggerakkan kepala serta memeriksa kondisi leher dan tulang belakang bagian atas.[3] Beberapa jenis pemeriksaan yang perlu dijalani pelaku rawat untuk mendapatkan diagnosis lebih lanjut di antaranya, pemindaian dengan USG, CT scan, atau MRI, untuk memeriksa kemungkinan adanya masalah pada struktur jaringan di bagian kepala dan leher; tes darah, untuk memeriksa apakah tortikolis terkait dengan kondisi lain, seperti infeksi; serta elektromiogram (EMG), untuk mengukur aktivitas listrik otot dan menentukan bagian otot yang mengalami gangguan.[3]

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]

Penanganan tortikolis terdiri atas tindakan rehabilitasi medik, pemberian obat-obatan, dan pembedahan.[2] Penanganan rehabilitasi medik meliputi fisioterapi, terapi okupasi, ortotik prostetik, rehabilitasi psikologis, dan edukasi di rumah oleh petugas sosial.[2] Penanganan rehabilitasi medik dilakukan untuk mencegah memburuknya gejala tortikolis, sedangkan tujuan umum jangka panjangnya adalah untuk memperbaiki mobilitas leher, meminimalkan terjadinya deformitas anomali kraniofasial, dan mencegah terjadinya skoliosis servikal.[2]

Terapi fisik

[sunting | sunting sumber]

Umumnya terdiri dari latihan LGS leher secara pasif. Pelaku rawat, dalam hal ini, orang tua bayi dengan tortikolis diajari cara menggendong atau membawa bayi serta memosisikannya dengan benar untuk meregangkan otot SCM yang sakit serta cara mendorong kontraksi otot SCM kontralateral.[1] Pelaku rawat juga diajari menjaga postur yang benar dan bagaimana cara mengubah posisi anak agar perburukan plagiosefali tidak terjadi.[1] Latihan terapeutik setiap hari dianggap dapat mendorong perkembangan motorik anak dengan tortikolis.[1]

Injeksi Toksin Botulinum A

[sunting | sunting sumber]

Latihan peregangan ada kalanya sulit dilakukan jika anak mengalami kekakuan otot SCM berat, sehingga kombinasi terapi antara pemberian injeksi toksin botulinum A (BTX-A) dan terapi fisik sangat dianjurkan.[1] Injeksi BTX-A dianggap sebagai tatalaksana yang aman dan efektif untuk anak dengan tortikolis yang tidak memberikan respons terhadap terapi fisik atau program latihan di rumah.[1]

Kinesio Taping

[sunting | sunting sumber]

Kinesio Taping adalah manajemen terapi fisik tambahan yang dapat dilakukan.[1] Kinesio Taping dianggap dapat menurunkan durasi pengobatan karena tingkat kemanjuran dapat bertahan lebih lama.[1] Kinesio Taping memiliki efek langsung pada ketidakseimbangan otot anak-anak dengan tortikolis bawaan.[1]

Terapi okupasi

[sunting | sunting sumber]

Terapi jenis ini berupa latihan dengan aktivitas permainan pada anak dengan posisi bayi saat tidur, duduk, menggendong atau berbalik, minum susu atau makan.[1] Terapi dilakukan dengan meletakkan mainan di depan anak. Tekanan pada perut anak akan meningkatkan kekuatan otot perut dan kepalanya sehingga mencegah terjadinya pendataran kepala. Latihan ini umumnya akan membuat anak merasa tidak nyaman.[1]

Psikologi

[sunting | sunting sumber]

Terapi psikologi merupakan pemberian dorongan psikologis pada orang tua berupa motivasi dan dukungan untuk melakukan latihan atau saat orang tua melakukan terapi bersama anak.[1] Terapi ini biasanya diberikan kepada orang tua penderita tortikolis yang memiliki kecemasan.[1]

Pembedahan

[sunting | sunting sumber]

Pembedahan dilakukan pada anak yang tak kunjung mengalami kemajuan setelah 6 bulan intervensi dengan pemberian obat-obatan.[1][3] Tujuan pembedahan adalah untuk membebaskan otot yang memendek, mengembalikan LGS leher dan biomekanik leher yang normal, menjaga struktur neurovaskular, serta memperbaiki asimetris kraniofasial.[1] Hasil terbaik dilaporkan, jika pembedahan dilakukan pada anak usia 10 bulan hingga 5 tahun. Operasi pembebasan SCM yang dilakukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun dapat memperbaiki deformitas wajah dan tengkorak.[1]

Prosedur bedah yang dapat dilakukan antara lain, selective denervation, yaitu tindakan memotong saraf yang spesifik mengontrol otot sternocleidomastoid pada sisi yang mengalami kelainan, sehingga otot tersebut dapat mengecil dan melemah; Sternocleidomastoid release, yaitu tindakan bedah untuk memanjangkan otot leher yang mengalami kelainan; Dorsal cord stimulation, yaitu pemasangan elektroda yang mengirim arus listrik lemah ke saraf tulang belakang untuk meredakan nyeri; dan Deep brain stimulation, yaitu pemasangan implan elektroda ke area tertentu di otak yang berfungsi mengatur kekencangan otot.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Yapen, Gessal (2020). "Rehabilitiasi Medik pada Tortikolis Muskular Kongenital". Jurnal Medik dan Rehabilitasi. 2 (2). 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m Kawatu, Imelda E.; Angliadi, Engeline (2014-04-16). "TORTIKOLIS MUSKULAR KONGENITAL". JURNAL BIOMEDIK (JBM). 5 (3). doi:10.35790/jbm.5.3.2013.4334. ISSN 2597-999X. 
  3. ^ a b c d e Nareza, Meva (2016-06-01). "Tortikolis". Alodokter. Diakses tanggal 2022-10-23.