Uji coba vaksin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Uji klinis vaksin)
Relawan disuntik dalam uji fase III CoronaVac, kandidat vaksin COVID-19 milik Sinovac, di Universitas Padjajaran, Bandung.

Uji vaksin adalah uji klinis yang bertujuan mengevaluasi keamanan dan efikasi (kemujaraban) sebuah kandidat vaksin sebelum kandidat tersebut menjadi vaksin yang mendapat izin. Uji klinis terdiri dari tiga fase utama: dalam fase I, kandidat vaksin diujikan kepada beberapa relawan yang dipantau dengan ketat. Dalam fase II, kandidat vaksin diberikan kepada lebih banyak orang, yang memiliki karakteristik mirip seperti target vaksin tersebut. Dalam fase III, kandidat vaksin diberikan kepada ribuan orang, dan dari hasilnya dapat diketahui kemujaraban dan keamanan vaksin tersebut.

Tahap praklinis[sunting | sunting sumber]

Sebelum uji klinis terhadap manusia, vaksin terlebih dahulu melewati tahap praklinis untuk menentukan dosis dan bentuk pemberian obat. kandidat vaksin juga dpat diujikan terhadap hewan laboratorium sebelum memulai uji klinis fase I.[butuh rujukan]

Uji klinis[sunting | sunting sumber]

Fase I[sunting | sunting sumber]

Uji vaksin fase 1 dilakukan terhadap sejumlah kecil relawan yang memiliki kesehatan baik dan risiko rendah. Para relawan dibagi menjadi dua kelompok, sebagian diberikan kandidat vaksin yang diuji, dan sebagian lagi diberikan "kontrol" berupa plasebo, atau vaksin yang telah teruji. Para relawan ini dipantau dengan ketat, dan kedua kelompok dibandingkan dan diamati unuk mendeteksi keamanan (tak adanya efek negatif) serta bukti respons imun dari kandidat vaksin.[1] Tujuan dari fase ini adalah menentukan apakah kandidat vaksin tersebut aman untuk orang yang sehat, dan apakah vaksin tersebut bersifat imunogenik (menghasilkan respons imun) seperti diharapkan.[2]

Fase II[sunting | sunting sumber]

Jika uji fase I memiliki hasil baik dari segi keamanan maupun bukti sifat imunogenik, uji vaksin dilanjutkan ke fase II. Tak seperti fase I yang dilakukan dengan sejumlah kecil orang yang memiliki risiko rendah dan dipantau dengan ketat, uji fase II dilakukan di lapangan dengan ratusan relawan yang memiliki karakterisitik menyerupai populasi target vaksin nantinya (misalnya dari segi usia dan kesehatan).[3] Selain itu, uji ini dilakukan di kawasan dengan tingkat insiden tinggi untuk penyakin yang hendak divaksinasi. Fase ini ditujukan untuk memberi para peneliti bukti yang cukup untuk menyimpulkan apakah kandidat vaksin yang diuji benar-benar aman, memiliki sifat imunogenik yang cukup, dan memberikan bukti pendahuluan untuk menentukan apakah kandidat tersebut berpeluang menjadi vaksin yang mujarab.[4]

Fase III[sunting | sunting sumber]

Fase III merupakan fase kunci dari uji vaksin, dan hasil fase ini menentukan apakah izin akan diberikan untuk kandidat vaksin. Fase ini melibatkan ribuan orang yang diambil dari target populasi, dan dilakukan dalam kondisi lapangan yang serupa dengan kondisi vaksinasi yang sesungguhnya. Acuan penting dalam fase ini adalah dilakukannya uji acak terkendali (randomized controlled trial, RCT): para partisipan diacak dan sebagian diberikan kandidat vaksin yang sedang diuji, sedangkan sisanya diberikan kontrol berupa plasebo, vaksin lain, atau tidak diberikan apa-apa. Setelah jangka waktu tertentu, insiden penyakit dalam populasi yang diberikan kandidat vaksin dibandingkan dengan populasi yang diberikan kontrol. Jika sebelumnya belum ada vaksin efektif untuk penyakit ini, hasil yang diinginkan adalah berkurangnya insiden penyakit jika dibandingkan dengan plasebo. Jika sudah ada vaksin lain, hasil yang diinginkan adalah risiko infeksi yang tidak lebih besar dari vaksin yang telah ada sebelumnya.[4]

Jika hasil fase ini dianggap memadai, produsen vaksin baru dapat mengajukan permohonan izin kepada lembaga regulasi yang terkait. Jumlah partisipan yang besar dalam fase ini memberikan data yang memadai untuk membuktikan kemujaraban dan keamanan, agar dapat dinilai oleh lembaga regulasi tersebut.[1][4]

Fase IV (jika ada)[sunting | sunting sumber]

Sebagian vaksin memiliki fase IV, yaitu pengujian dan penelitian resmi yang dilakukan setelah vaksin mendapat izin.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Vaccine product approval process". US Food and Drug Administration. 30 January 2018. Diakses tanggal 25 September 2020. 
  2. ^ "Experimental coronavirus vaccine is safe and produces immune response". National Institutes of Health. 
  3. ^ a b National Center for Immunization and Respiratory Diseases (2014). "Vaccine Testing and the Approval Process". 
  4. ^ a b c Singh, K.; Mehta, S. (2016). "The clinical development process for a novel preventive vaccine: An overview". Journal of postgraduate medicine. 62 (1): 4–11.