Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Garuda Pancasila
Nama panjangUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
JulukanUU HAM
Disahkan olehPresiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan DPR RI
Tanggal mulai berlaku23 September 1999
Penerbitan
Lembaran NegaraLembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165
Perubahan
Amandemen-

Undang-undang Hak Asasi Manusia (disingkat UU HAM) atau Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan salah satu produk hukum di Negara Republik Indonesia yang mengatur seputar HAM. Undang-undang ini menjelaskan mulai dari definisi HAM, cakupan atau ruang lingkup HAM, kewajiban, batasan, lembaga HAM hingga pengadilan HAM.

Pengertian[sunting | sunting sumber]

Secara umum undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.[1] Peraturan–peraturan yang dibuat (oleh badan yang kelengkapan negara yang berwenang) itu sifatnya tertulis dan mengikat setiap orang selaku warga negara dalam waktu tertentu dan dalam wilayah hukum tertentu pula.[2]

Sementara, pengertian HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3] HAM merupakan hak sebagai anugerah tuhan yang maha esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.[4] Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan karunia Tuhan Yang Maha Pencipta kepada hamba-Nya. Mengingat HAM itu adalah karunia tuhan, maka tidak ada badan apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula tidak ada seorang pun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh membelenggunya.[5]

Sehingga, Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) bisa dikatakan sebagai penghormatan kepada manusia yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.[6]

Asas-asas Dasar[sunting | sunting sumber]

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.[7]

Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.[8]

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.[9]

Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.[10]

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.[11]

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.[12]

Dasar pemikiran[sunting | sunting sumber]

  1. Tuhan yang maha esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya.
  2. Pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya.
  3. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
  4. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas.
  5. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun;
  6. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;
  7. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.[13]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarah lahirnya UU HAM di Indonesia tidak terlepas dari runtuhnya masa pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Pemerintah Indonesia menaruh perhatian terhadap masalah HAM di akhir masa penguasaan Orde Baru dengan didirikannya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 1993. Kemudian pemerintah Orde Reformasi mempunyai perhatian yang besar dan serius terhadap masalah HAM dan diwujudkan melalui dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang telah dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Meluasnya jaminan hak-hak asasi manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 khususnya hasil dari Amandemen II, merupakan kemajuan dalam membangun pondasai hukum bernegara untuk memperkuat kontrak penguasa rakyat dengan semangat konstitusionalisme Indonesia.[14]

Perdebatan awal tentang HAM[sunting | sunting sumber]

Ide awal pembentukan UU HAM di Indonesia sudah ada sebelum kemerdekaan. Waktu itu, saat menyusun konstitusi, Undang-undang Dasar 1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar?. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus HAM di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.[15]

Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee” yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu yang berasal dari Revolusi Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di dalamnya.[16]

Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal- pasal Undang-undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari staat.[17]

Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal konstitusi?. Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme.[18]

Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-undang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).[19] Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.

Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual.[20] Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights”, sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional HAM.

Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini.[20]

Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di konstituante relatif lebih menerima HAM dalam pengertian natural rights,[21] dan menganggapnya sebagai substansi Undang-undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayangnya konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai HAM.

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekret yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang-undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.[22]

Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam HAM itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka babak baru wacana HAM di Indonesia.[15]

UU HAM pada periode reformasi[sunting | sunting sumber]

Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan HAM, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.[15]

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan HAM. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD?. Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam HAM, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan HAM, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.[15]

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan HAM ke dalam Undang-undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. MPR sepakat memasukan HAM ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.[15]

Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak perdebatan dalam proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis HAM dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam koalisi untuk bonstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-undang Pengadilan HAM di masa lalu. Sementara anggota MPR beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional HAM, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).

Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang HAM merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan HAM tidak dikenal dalam budaya Indonesia.[15]

Lahirnya UU HAM[sunting | sunting sumber]

UU HAM lahir pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Pada masa pemerintahannya, Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-undang HAM ke DPR untuk dibahas. Pembahasan di DPR juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.[15]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

  1. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan tuhan yang masa esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptanya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.
  2. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
  3. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  4. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
  5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.[13]

Dasar Hukum[sunting | sunting sumber]

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945.
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.[13]

Istilah dalam Undang-undang[sunting | sunting sumber]

  1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]
  2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.[3]
  3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.[3]
  4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.[3]
  5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[3]
  6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[3]
  7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.[3]

Konten[sunting | sunting sumber]

Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia[sunting | sunting sumber]

Pengaturan tentang hak asasi manusia berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mencakup hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.[23]

Hak untuk hidup[sunting | sunting sumber]

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi diri setiap manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Hak untuk hidup mungkin merupakan hak yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak untuk hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lainnya.[24]

Menurut UU HAM, hak untuk hidup diartikan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.[25]

Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan[sunting | sunting sumber]

Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[26]

Hak mengembangkan diri[sunting | sunting sumber]

Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.

Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebijakan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[27]

Hak memperoleh keadilan[sunting | sunting sumber]

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.[28]

Hak atas kebebasan pribadi[sunting | sunting sumber]

Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.

Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[29]

Hak atas rasa aman[sunting | sunting sumber]

Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan non-politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Tempat kejadian siapapun tidak boleh diganggu. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undnag-undang ini.[30]

Hak atas kesejahteraan[sunting | sunting sumber]

Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila suatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, miningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[31]

Hak turut serta dalam pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Setiap orang berhak sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[32]

Hak kewanitaan[sunting | sunting sumber]

Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya. Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.

Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[33]

Hak anak[sunting | sunting sumber]

Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.[34]

Hak anak adalah hak dasar yang wajib diberkan dan didapatkan oleh anak meliouti anak usia dini dan juga remaja usia 12-18 tahun. Hak anak ini berlaku baik anak yang mempunyai orang tua ataupun sudah tidak mempunyai orang tua, dan juga anak-anak terlantar. Hak anak menjadi sesuatu yang sudah selayaknya didapatkan oleh anak. Menurut KHA (Konvensi Hak Anak) yang diratifikasi kedalam Kepres No 36 Tahun 1997, terdapat 10 hak mutlak dan Hak dasar anak, sebagai berikut:[35]

Hak Dasar Hak Hidup
Hak Tumbuh Kembang
Hak Partisipasi
Hak Perlindungan
Hak Mutlak Hak Gembira
Hak Pendidikan
Hak Perlindungan
Hak Untuk memperoleh Nama
Hak atas Kebangsaan
Hak Makanan
Hak Kesehatan
Hak Rekreasi
Hak Kesamaan
Hak Peran dalam Pembangunan

Kewajiban dasar manusia[sunting | sunting sumber]

Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[36]

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah[sunting | sunting sumber]

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.[37]

Pembatasan dan larangan[sunting | sunting sumber]

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.[38]

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[sunting | sunting sumber]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Didirikan pada 7 Juni 1993. Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan serta tugas dan wewenang Komnas HAM.[39]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

  1. mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
  2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.[39]

Tugas dan wewenang[sunting | sunting sumber]

  1. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
  2. Pengkajian dan penelitian berbagai peratuan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundnag-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
  3. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian.
  4. Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia.
  5. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
  6. Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, meupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.[40]
  1. Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
  2. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal serta berbagai kalangan lainnya.
  3. Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.[40]
  1. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
  2. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
  3. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
  4. Pemanggilan saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
  5. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
  6. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
  7. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
  8. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.[40]
  1. Perdamaian kedua belah pihak
  2. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
  3. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
  4. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
  5. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.[40]

Partisipasi masyarakat[sunting | sunting sumber]

Partisipasi masyarakat menurut UU HAM memiliki arti bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lambaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya. Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.[41]

Pengadilan HAM[sunting | sunting sumber]

UU HAM juga mengatur soal pengadilan HAM yang diatur dalam Pasal 104 UU HAM. Meski tidak rinci, menurut UU HAM ini pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum. Pengadilan ini dibentuk untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Indonesia.[42] Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Pengadilan ini juga merupakan lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.[43]

Soal pengadilan HAM lebih spesifik diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut undang-undang tersebut, pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu.[43]

Kejahatan-kejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM yang berat. Penamaan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat, karena pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional (international crimes) sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana".[43]

Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual (Individual Criminal Responsibility) yang dielaborasi dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal 1 ayat (4). Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tanggung jawab individual dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan tertentu.[43]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82)" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-05-06. Diakses tanggal 2021-07-06. 
  2. ^ Saputra, Angga (2016). "Pengertian Undang-undang". Jurnal Varian Hüküm. 29 (38): 847. 
  3. ^ a b c d e f g h Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. ^ Angka 1 huruf d butir 1 Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia
  5. ^ Sutiyoso, Bambang (2002). "Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia". UNISIA (44): 84. 
  6. ^ suryaden. "UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia". Jogloabang. Diakses tanggal 2021-06-20. 
  7. ^ Pasal 2 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  8. ^ Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  9. ^ Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  10. ^ Pasal 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  11. ^ Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  12. ^ Pasal 7 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  13. ^ a b c suryaden. "UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia". Jogloabang. Diakses tanggal 2021-07-09. 
  14. ^ "Hak-hak Konstitusional Warga Ngeara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi". Jurnal Hukum Panta Rei. 1 (1). Desember 2007. 
  15. ^ a b c d e f g "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-01-27. Diakses tanggal 2021-07-09. 
  16. ^ Dikutip dari pidato Soekarno tanggal 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta , 2004, hlm. 352.
  17. ^ Disarikan dari pidato Supomo tanggal 31 Mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma.
  18. ^ Dikutip dari pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 345-355.
  19. ^ Dikutip dari pidato Muhammad Yamin tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 380.
  20. ^ a b Lubis, T. Mulya (1993). In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
  21. ^ Nasution, Adnan Buyung (1995). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hlm. 132. 
  22. ^ Panitia Ad Hoc ini dibantu oleh satu Tim Asistensi ilmiah, yang antara lain, melibatkan Prof. Hazairin SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G. Pringgodigdo SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad Subardja SH, Prof. sunario SH, dan Prof. SJ N. Drijarkara. Lihat M. Dawam Rahardjo, Hak Asasi Manusia: Tantangan Abad ke-21, makalah tidak diterbitkan, 1997.
  23. ^ BAB III Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  24. ^ Zulva, Eva Achjani (2005). "Menelaah Arti Hak Untuk Hidup Sebagai Hak Asasi" (PDF). Lex Jurnalica. 3 (1): 13. 
  25. ^ Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  26. ^ Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  27. ^ Lihat Pasal 11-16 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  28. ^ Lihat Pasal 17-19 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  29. ^ Lihat Pasal 20-27 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  30. ^ Lihat Pasal 28-35 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  31. ^ Lihat Pasal 36-42 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  32. ^ Lihat Pasal 43-44 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  33. ^ Lihat Pasal 45-51 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  34. ^ Suprijatna, Dadang (2016-03-01). "HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM". DE RECHTSSTAAT. 2 (1): 43–66. doi:10.30997/jhd.v2i1.656. ISSN 2549-9874. 
  35. ^ "PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANAK". PROSIDING KS: RISET & PKM. 2 (1): 46. 
  36. ^ Lihat Pasal 67-70 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  37. ^ Lihat Pasal 71-72 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  38. ^ Lihat Pasal 73-74 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  39. ^ a b "Tentang Komnas HAM". www.komnasham.go.id. Diakses tanggal 2021-06-21. 
  40. ^ a b c d Pasal 89 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  41. ^ Lihat Pasal 100-103 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  42. ^ Pasal 104 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  43. ^ a b c d Abidin, Zainal (2014). "Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi Penerapan dan Perkembangannya" (PDF). Elsam: 2. 

Baca Juga[sunting | sunting sumber]