Dayah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Zawiyah)

Dayah (dalam bahasa Arab; زاوية zawiyah. Arti harfiahnya adalah sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut masjid). Dibeberapa negara muslim lain

Dayah juga lazim disebutkan sebagai sekolah agama Islam (madrasah) Di Indonesia penyebutan dayah untuk sebuah lembaga pendidikan agama Islam adalah di Aceh (di pulau Jawa disebut pesantren, asal kata "pe-santri-an". Artinya tempat para santri menetap dan menimba ilmu).[1]

Dayah setara juga pesantren yang berasal dari kata santri yang diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata dayah dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik.

Dari segi terminologis, dayah diberi pengertian oleh Mastuhu adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap apabila di dalam dayah terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, Teungku, Abu atau Abi (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik.[2][3]

Dayah di Aceh[sunting | sunting sumber]

Suasana sebuah dayah yang berdiri di lingkungan Masjid

Dayah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Dimulai dari pendirian Dayah Cot Kala Langsa, kemudian lembaga dayah menyebar ke berbagai penjuru daerah bahkan sampai ke Nusantara, Malaysia dan Thailand.[4]

Dayah Cot Kala merupakan Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam menyebarkan Islam serta melahirkan ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru hingga seberang selat Malaka.[5]

Dakwah yang mereka lakukan merangsang lahirnya kerajaan Islam di daerah seperti Kerajaan Islam Samudera Pasai, Islam Benua, Islam Lingga, Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya. Hampir semua tokoh perjuangan kemerdekaan di Aceh adalah berasal dari Dayah. Seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah, Teungku Daud Bereu-eh dan seumpama beliau. Mereka ini adalah insan pilihan yang merupakan hasil dari didikan dayah.[6]

Pada zaman pra-kolonial di Aceh, dayah adalah satu-satunya institusi pendidikan resmi Kesultanan Aceh Darussalam. Dayah berdiri hampir disetiap gampong (desa) dan menjadi tempat anak-anak belajar aksara Arab. Struktur kelembagaan dayah di Aceh dari yang terendah hingga tertinggi adalah sebagai berikut: Meunasah, Rangkang, Dayah, Dayah Teungku Chik, terakhir Jami'ah.

Sejarah dayah pertama yang diyakini hingga sekarang adalah Dayah Cot Kala di Aceh bagian timur, dianggap juga sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara. Dayah Cot Kala didirikan pada masa awal berkembangnya agama Islam di Nusantara. Pada masa berikutnya ada dayah Seureule yang diasuh oleh Teungku Sirajuddin, berdiri sekitar tahun 1012-1059 M. Kemudian dayah Blang Peuriya yang didirikan oleh Teungku Ya'kob pada 1153 M, berdiri sampai dengan tahun 1233 M. Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang didirikan oleh Teungku Ampon Tuan. Terakhir dayah Keuneu'eun di Aceh Besar yang didirikan oleh Syaikh Abdullah Kan'an seorang ulama berkebangsaan Palestina.[7]

Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya juga mengelola sebuah lembaga resmi dayah tertinggi di ibu kota Kesultanan Aceh yang disebut sebagai Jami'ah Baiturrahman. Pada masa berikutnya banyak berdiri dayah-dayah tua di Aceh, di antaranya yang besar adalah: Dayah Tanoh Abee berdiri tahun 1823 M di Aceh Besar. Dayah Tiro di kecamatan Tiro Pidie didirikan pada tahun 1781 M oleh ulama Tiro yang kelak keturunannya menjadi keluarga besar pahlawan nasional Teungku Chik Di Tiro.[7]

Dayah Teungku Chik Tanoh Abee sendiri merupakan merupakan salah satu dayah tertua di Aceh dan Asia Tenggara yang didirikan oleh seorang cendekiawan islam dari Baghdad, yaitu Fairus Al Bagdadi, Dayah Teungku Chik Tanoh Abee ini didirikan pada masa Kesultanan Iskandar Muda pada 1625 TM. Dayah Teungku Chik Tanoh Abee terletak di di Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Aceh, Dayah ini merupakan salah satu dayah yang sampai saat ini menjadi tujuan utama masyarakat Aceh Khususnya dan Indonesia umumnya untuk menuntut ilmu agama.[8]

Bentuk fisik dayah[sunting | sunting sumber]

Dayah adalah sebuah lembaga otonom yang menangani pembelajaran dan pendidikan agama. Dayah didirikan dan dikelola oleh seorang Teungku chik atau biasa dipanggil Abu, Abi atau Walid. Teungku chik secara otomatis mengatur semua kegiatan baik berupa pengajian maupun pembangunan dayah. Lahan pertapakan pembangunan sebuah dayah adalah pada tanah berstatus wakaf masyarakat umum maupun milik pribadi teungku pimpinan. Masyarakat sekitar dayah biasanya adalah donatur utama sebuah dayah. Pada masa lalu mereka membantu pembangunan secara fisik secara gotong royong dan memberikan sebagian hasil pertanian mereka untuk mencukupi kebutuhan dayah. Untuk kehidupan para teungku dan guru maupun santri miskin didayah para orang kaya tuan tanah juga menyerahkan tanah-tanah garapan untuk bisa dikelola oleh para teungku untuk pekerjaannya sehari-hari.[9]

Dalam sebuah dayah, baik salafi maupun modern terdapat sebuah balai mushala tempat salat berjama'ah dilaksanakan setiap waktu salat. Terdapat juga deretan bilik nginap bagi santri yang mondok, beberapa unit balai pengajian yang biasanya berkontruksi kayu. Sarana penunjang sebuah dayah adalah dapur umum, sarana olahraga, tempat wudhu dan sanitasi lainnya. Terkadang ada dayah yang juga mendirikan masjid didalamnya, tetapi ini sangat jarang adanya. Sedangkan khusus untuk dayah modern sarana lainnya adalah berupa unit sekolah yang lengkap meliputi ruang belajar, laboratorium dan perpustakaan, gedungnya pun berkonstruksi permanen.

Antara lingkungan santri pria dan wanita dipisahkan oleh pagar tinggi yang dihubungkan oleh satu gerbang kecil yang menghubungkan dua kompleks. Rumah pimpinan berada dilingkungan dayah wanita sementara pada dayah pria biasanya lebih bebas akses keluar masuknya. Interaksi bebas antara santri pria dan wanita sangat jarang terjadi, sehingga meskipun berasal dari almamater yang sama di antara mereka sangat jarang bisa saling mengenal.[10]

Pendidikan dan kegiatan[sunting | sunting sumber]

Santri dayah salafi menjalankan sistem belajar mengajarnya dengan sistem yang nyaris tak berubah sejak ratusan tahun. Mereka mempelajari kitab kuning berbahasa Arab karangan para ulama abad pertengahan dan menyesuaikan konteksnya dengan masa kini. Sumber ilmu rujukan adalah dari ulama bermazhab Syafi'i dan beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah.

Proses belajar mengajar dilakukan hingga beberapa kali dalam satu hari satu malam. Dimulai pertama sejak usai salat subuh berjama'ah dipagi hari hingga usai salat Isya setiap malam. Kegiatan belajar mengajar itu diselingi dengan kegiatan normal lainnya berupa istirahat, makan serta jam bebas yang biasanya digunakan untuk saling berinteraksi sesama santri.[11]

Dalam setiap tahun ajaran akan dilaksanakan dua kali ujian yang disebut dengan ujian semester. Meskipun pada beberapa dayah ujian ini disesuaikan waktu pelaksanaannya dengan jadwal hari besar Islam berupa datangnya awal bulan ramadhan dan hari raya idul adha. Biasanya ujian selalu dilaksanakan pada menjelang keduanya.

Sementara hari libur ditetapkan seragam disemua dayah baik modern maupun salafi, yaitu pada hari Jum'at. Pada hari ini beberapa santri yang datang dari kampung terdekat biasanya diizinkan untuk menjenguk keluarganya. Sedangkan mereka yang datang dari tempat jauh akan cukup gembira menerima kunjungan keluarganya. Kegiatan wajib santri pada hari libur pekanan adalah bekerja bakti membersihkan lingkungan dayah.[12]

Peran dayah dalam masyarakat Aceh[sunting | sunting sumber]

Suasana belajar pada sebuah dayah di Kabupaten Bireun

Dayah di Aceh merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk membimbing generasi Islam secara umum melalaui pendidikannya untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami. Lulusan dan alumni dayah dididik sanggup menjadi sosok yang berguna bagi kehidupan masyarakat luas secara total.[13]

Dayah menjadi pusat pendidikan yang terorganisir dan menyebar secara luas ke hampir semua daerah di Aceh. Tidaklah mengejutkan bahwa saat Snouck Hurgronje datang ke Aceh pada akhir abad ke-19, dia menyaksikan terdapat cukup banyak dayah yang didirkan diantero negeri, dengan pengaruh besar dan langsung terhadap masyarakat.[14]

Secara historis dan kultural masyarakat Aceh, dayah di Aceh telah sejak lama dijadikan sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat berkembangnya agama dan budaya Islam yang berlaku ditengah masyarakat di Aceh. Bagi masyarakat Aceh, dayah menjadikan salah satu poin pelaksanaan kewajiban agama Islam dalam hal ini tentang pendidikan agama. Dari dayah bermunculan ulama dan kadernya yang menjadi penentu keberhasilan dakwah dalam agama Islam.[15]

Para pendiri dan pengasuh dayah merupakan tokoh sentral dalam sebuah masyarakat. Para teungku dayah bahkan memimpin masyarakat baik secara sosial maupun politik. Tidak sedikit ulama-ulama dayah yang terkenal, baik dari segi keilmuannya juga dari sumbangsihnya kepada negara. Dayah sering kali menjadi tempat rujukan setiap permasalahan sosial dan politik ditengah masyarakat Aceh. Teungku-teungku dayah senantiasa menjadi penasehat utama pemerintah yang berkuasa, bahkan penjajah Belanda pada masa setelah memadamkan perlawanan gerilya pejuang Aceh juga ikut menerima beberapa saran dan arahan dari teungku dayah.[16]

Aceh yang nyaris tak pernah sepi dari konflik semenjak ekspedisi militer Belanda di Aceh pada penghujung abad ke-19 membuat posisi teungku dayah menjadi sosok utama ditengah masyarakat. Banyak ulama-ulama Aceh yang syahid, gugur di medan perang melawan penjajah, membela negara dan tanah air, seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah dan seumpama dia. Mereka ini adalah lulusan dayah yang mengabdikan hidupnya menjadi pemimpin masyarakat pejuang pada masanya. Setelah kemerdekaan Indonesia para teungku dayah sebagian meleburkan diri kedalam gerakan memperjuangkan berdirinya negara Indonesia di Aceh. Demikian juga gerakan perlawanan yang terus terjadi di Aceh hingga tahun 2005, tak urung dalam banyak peristiwa bersejarah para teungku dayah juga terlibat didalamnya.[17]

Sekarang sudah banyak dayah-dayah di Aceh, dari berbagai jenis. Dayah Salafiyah masih bertahan dengan sistem pendidikan yang diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Sosok yang mempelopori reformasi dayah di Aceh hingga memiliki kurikulum seperti saat ini adalah Abuya Muda Waly pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji. Salah satu dayah yang bersanad ke Dayah Darussalam Labuhan Haji adalah Dayah MUDI Mesra Samalanga. Sistem manajemen dan pengajaran dayah ini menjadi salah satu yang terbaik di Aceh saat ini.[18]

Kebanyakan dari dayah tradisional masih dikelola oleh seorang pimpinan dayah yang bila sudah wafat kemudian digantikan oleh pimpinan yang lain setelahnya, biasanya digantikan oleh anak-anak dari pimpinan dayah tersebut, atau juga dapat digantikan oleh menantu dan mungkin juga kerabat yang lain. Ini dikarenakan dayah tradisional di Aceh kebanyakannya milik pribadi seseorang pimpinan dayah atau milik orang lain yang dikelola oleh seorang teungku chik atau abu pimpinan dayah.

Di Aceh juga terdapat dayah/pesantren terpadu seperti Dayah Darul Ihsan Krueng Kale, di mana lembaga yang satu ini sudah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang lebih modern, dengan fasilitas yang lebih maju, manajemen yang teratur. Dengan penambahan-penambahan pada materi pendidikannya, bahkan menyamai sekolah. Pada umumnya dayah terpadu ini lebih banyak diminati.[19][20]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Aceh, Kemenag. "Sejarah Dayah" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-21. [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ "Dayah Dalam Perspektif Sejarah - PORTALSATU.com". portalsatu.com. Diakses tanggal 2020-05-21. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Feener, R. Michael; Kloos, David; Samuels, Annemarie (2015-10-30). Islam and the Limits of the State: Reconfigurations of Practice, Community and Authority in Contemporary Aceh (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-30486-4. 
  4. ^ Sandy Waradewa (2017-05-21). "Peran Dayah di Aceh Simbol Pendidikan Islam Tertua di Indonesia". Waspada Online. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  5. ^ M.Ag, Prof Dr Moh Ali Aziz (2019-05-01). Ilmu Dakwah: Edisi Revisi. Prenada Media. ISBN 978-979-3465-59-3. 
  6. ^ Bakri. "Kelebihan Pendidikan Berbasis Dayah". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  7. ^ a b Sejarah Dayah| http://aceh1.kemenag.go.id| akses 29-05-2013[pranala nonaktif permanen]
  8. ^ "Ulama Dayah, Benteng Masyarakat Aceh dari Penjajah Belanda". Republika Online. 2020-02-12. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  9. ^ "Dayah, Sebutan Legendaris Pesantren di Aceh". www.nu.or.id. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  10. ^ "Mengenal Makna Dayah Dan Teungku Di Aceh". Dinas Pendidikan Dayah Kota Banda Aceh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-21. 
  11. ^ Silahuddin, Silahuddin (2016). "Budaya Akademik Dalam Sistem Pendidikan Dayah Salafiyah Di Aceh". Miqot. 40 (2): 156949. doi:10.30821/miqot.v40i2.296. ISSN 0852-0720. 
  12. ^ Network, AJNN net-Aceh Journal National. "Jumlah Dayah di Aceh Mencapai 2 Ribu, Terdaftar Hanya 1.136 Dayah". AJNN.net. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  13. ^ Ilham, Aldian. "Sejarah Dayah di Aceh Sejak Zaman Sultan Hingga Sekarang – Universitas Abulyatama" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-05-21. 
  14. ^ Burhanudin, Jajat (2012-06-01). Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia (dalam bahasa Inggris). NouraBooks. ISBN 9789794336915. 
  15. ^ Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan (1977). Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa ACEH. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  16. ^ dkk, Dr Arskal Salim (2010-06-01). Serambi Mekkah yang Berubah. Pustaka Alvabet. ISBN 978-979-3064-84-0. 
  17. ^ "PERANAN DAYAH DAN MEUNASAH DI ACEH DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT RELIGIUS | Jurnal As-Salam" (dalam bahasa Inggris). 
  18. ^ "Dayah dan Santri Bagian Penting dari Pembangunan Aceh". MEDIAACEH.CO. 2019-10-24. Diakses tanggal 2020-05-21. 
  19. ^ Taufiq Abdullah, Sistem Pendidikan Madrasah dan Dayah di Sulawesi Selatan dalam Agama dan perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1983, Hal 328
  20. ^ "Pemprov Aceh Dukung Pendidikan Dayah". Republika Online. 2018-12-29. Diakses tanggal 2020-05-21. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]