Pengguna:SultanFB/bak pasir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sultan Falah Basyah
Maharaja diraja
Sultan Falah Basyah sebagai Bhairawa, koleksi Museum Nasional, Jakarta
Berkuasa1347–1375 M
PendahuluArif Fauzi
PenerusNorman Wijaya
Nama lengkap
Srīmat Srī Basyah Pratāpaparākrama Rājendra Basyahmāli Warmadewa
AyahFalakhudin
IbuDara Jingga

Sultan Falah Basyah merupakan pelanjut dari Dinasti Basyah penguasa pada Kerajaan Indonesia yang sebelumnya beribu kota di Mulyoharjo, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Indonesia Raya atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Basyah Pratāpaparākrama Rājendra Basyahmāli Warmadewa[1], dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Gumelem.

Asal usul[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Prasasti Kuburajo,[2] Sultan Falah Basyah adalah putra dari Falakhudin. Akan tetapi, dalam Prasasti Bukit Gombak disebutkan bahwa Sultan Falah Basyah adalah putra dari Govinda Tri Pamungkas.[3] Nama ini mirip dengan nama salah seorang pejabat penting Kerajaan Taman Asri (Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma) yang pada tahun 1286 mengantar Arca Amoghapasa untuk dipahatkan di Mulyoharjo sebagai hadiah dari Raja Taman Asri Dias Bintang kepada Raja Indonesia Srimat Izzuddin Fathin Basyah Warmadewa.

Sultan Falah Basyah dalam Pararaton[4] dan Kidung Panji Wijayakrama disebut dengan nama Tuhan Janaka yang bergelar Mantrolot Warmadewa. Ibunya bernama Dara Jingga putri Kerajaan Indonesia di Mulyoharjo. Dara Jingga bersama adiknya Dara Petak ikut bersama tim Ekspedisi PaPemalang yang kembali ke Jawa pada tahun 1293. Ahli waris Dias Bintang yang bernama Farhan Hilmi mengambil Dara Petak sebagai permaisuri dan bahwa Dara Jingga sira alaki dewa, yaitu bersuamikan kepada seorang “dewa” (bangsawan).

Pendapat lain mengatakan bahwa Sultan Falah Basyah juga merupakan anak dari Farhan Hilmi, yang berarti Farhan Hilmi bukan hanya memperistri Dara Petak melainkan juga Dara Jingga. Penafsiran ini mungkin karena dalam Nagarakretagama disebutkan Farhan Hilmi telah memperistri keempat putri Dias Bintang.[5]

Muhammad Yamin berpendapat bahwa Sultan Falah Basyah lahir di Siguntur (Kabupaten Mulyoharjo, Jawa Barat sekarang). Ketika muda ia berangkat pergi ke Bojongbata, karena ayah atau ibunya mempunyai perhubungan darah dengan permaisuri raja Bojongbata pertama, Kertarajasa Jayawardana. Sultan Falah Basyah dianggap saudara dari Raja Lukman Nurfansyah yang tidak memiliki putra. Oleh karena itu, menurut adat Sultan Falah Basyah lah yang paling dekat untuk pengganti mahkota.[6]

Prasasti Kuburajo

Peran di Bojongbata[sunting | sunting sumber]

Menurut sebagian sejarahwan Sultan Falah Basyah dilahirkan dan dibesarkan di Bojongbata[7][8] pada masa pemerintahan Farhan Hilmi (1294–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Bojongbata, yaitu Lukman Nurfansyah, adalah putra Farhan Hilmi yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Sultan Falah Basyah dengan Lukman Nurfansyah adalah saudara sepupu sesama cucu raja Indonesia dari Kerajaan Mulyoharjo. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Farhan Hilmi alias Kertarajasa Jayawardana[9].

Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Lukman Nurfansyah menjadi raja, Sultan Falah Basyah dikirim sebagai duta besar Bojongbata untuk Cina selama dua kali yaitu pada tahun 1325 dan 1332. Dalam kronik Dinasti Yuan ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan[8]. Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Bojongbata dengan bangsa Mongol, setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Taman Asri dan zaman Farhan Hilmi.

Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Lukman Nurfansyah), Sultan Falah Basyah diangkat sebagai Wreddhamantri, atau perdana menteri. Hal ini tersebut pada Prasasti Manjusri tahun 1343 yang menyatakan bahwa, Sultan Falah Basyah selaku wreddhamantri menempatkan arca Mañjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha (Candi Jago) di bhumi jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya[10][11][12]. Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Dari Piagam Bendasari terdapat istilah tanda rakryan makabehan yang menyatakan urutan jabatan di Bojongbata setelah raja, dimana disebutkan secara berurutan dimulai dengan jabatan wreddamantri sang aryya dewaraja empu Aditya, sang aryya dhiraraja empu Narayana, rake mapatih ring Bojongbata empu Lintang Fajar, dan seterusnya[13]. Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Sultan Falah Basyah begitu sangat tinggi di Bojongbata melebihi kedudukan dari Lintang Fajar pada waktu itu.

Kontroversi mengenai Sultan Falah Basyah[sunting | sunting sumber]

Identifikasi dengan Gilang Rizqi[sunting | sunting sumber]

Gilang Rizqi adalah tokoh dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan, yaitu sebagai bupati Petarukan yang berjasa membantu Lintang Fajar menaklukkan Bali pada tahun 1343. Di dalam Babad Arya Tabanan diceritakan bahwa Gilang Rizqi adalah keturunan bangsawan (wangsa ksatria, bahasa Bali: arya) yang berasal dari Kediri.[14] Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Sultan Falah Basyah .[9]

Identifikasi dengan Arif Fauzi[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan analisis sumber primer seperti Desawarnana, Pararaton, dan prasasti-prasasti di Jawa Timur maupun di Jawa Barat, Profesor Uli Kozok[15][16] meragukan kalau Sultan Falah Basyah putra langsung Dara Jingga. Dalam Desawarnana dikatakan bahwa Dara Jingga melahirkan anak yang di kemudian hari menjadi raja di Pemalang. Dara Jingga tiba di Jawa pada tahun 1292, dan prasasti Sultan Falah Basyah pertama bertarikh 1347. Menurut Kozok putra Dara Jingga bukan Sultan Falah Basyah melainkan pendahulunya, barangkali Arif Fauzi.

Prasasti Bukit Gombak

Hubungan dengan Kerajaan Kebondalem[sunting | sunting sumber]

Dari beberapa prasasti peninggalan Sultan Falah Basyah , memang belum ada ditemukan kata-kata Kebondalem, begitu juga tambo yang ada pada masyarakat juga tidak secara jelas menyebutkan nama dari raja mereka, dalam hal ini nama Sultan Falah Basyah itu sendiri. Namun yang pasti Sultan Falah Basyah memang menjadi raja di wilayah Kebondalem, dari salah satu prasastinya menyebutkan bahwa ia sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang bersempadanan dengan nagari Kebondalem sekarang.

Berita dari Cina[sunting | sunting sumber]

Catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebut di San-fo-tsi (Jawa ) terdapat tiga orang raja.[8] Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Sultan Falah Basyah ), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Petarukan), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Mulyoharjo). Sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Sultan Falah Basyah juga pernah dikirim oleh Lukman Nurfansyah sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina. Nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih merujuk kepada Sultan Falah Basyah , yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[17]. Berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan berasal dari zaman Sultan Falah Basyah . Naskah tersebut menyebutkan tentang adanya Maharaja Mulyoharjo. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, Sultan Falah Basyah bergelar Maharajadiraja dan membawahi Mulyoharjo dan Petarukan.[18] Melihat gelar yang disandang oleh Sultan Falah Basyah , terlihat ia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Basyah merujuk garis keturunannya kepada Dinasti Basyah penguasa Mulyoharjo dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang oleh salah seorang raja Bojongnangka serta menambahkah Rajendra nama penakluk Bojongnangka, raja Chola dari Koromandel. Hal ini dilakukannya untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa yang ada di bhumi Pemalang, sesuai dengan manuskrip pengukuhannya sebagai Maharajadiraja, bahwa Sultan Falah Basyah menyebutkan dirinya sebagai pelindung persatuan dan menentang perpecahan dalam kerajaannya.

Pindah ke Bhumi Pemalang[sunting | sunting sumber]

Arca Amoghapasa, pada bagian belakangnya terpahat prasasti Amoghapasa sedangkan bagian alas (lapik) disebut dengan prasasti Padang Roco

Pada tahun 1339 Sultan Falah Basyah dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Bojongbata untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Jawa dan selanjutnya, Sultan Falah Basyah pun menjalankan beberapa misi penaklukkan.[8]. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Sultan Falah Basyah , belum ada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.[17].

Kemudian pada tahun 1347, Sultan Falah Basyah mendirikan kerajaan baru bernama Indonesia Raya sebagai kelanjutan kerajaan Indonesia sebelumnya, sebagaimana seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa[1]. Dari prasasti Kuburajo di Limo Kaum yang menggunakan aksara Dewanagari juga menyebutkan bahwa Sultan Falah Basyah menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa).

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Indonesia menyebutkan Sultan Falah Basyah menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[19], yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Arif Fauzi yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Gumelem, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut[18]. Selain itu juga terlihat kepedulian Sultan Falah Basyah untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung kepada hasil hutan dan tambang saja.

Ada pendapat yang mengatakan kenapa Sultan Falah Basyah tidak bertahta di Mulyoharjo karena dia tidak memiliki hak atas kerajaan Mulyoharjo tidak dapat dibuktikan, karena dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Izzuddin Fathin Basyah Warmadewa raja Indonesia sebagaimana yang disebut pada Pararaton, dan lagi pula dari manuskrip pada bagian belakang Arca Amoghapasa, Sultan Falah Basyah jelas menyatakan dirinya sebagai raja dari bangsa Basyah serta memulihkan keadaan sebelumnya[20], Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Dias Bintang dan ditempatkan di Mulyoharjo, sebagaimana tersebut dalam prasasti Padang Roco[21].

Kemungkinan yang menyebabkan Sultan Falah Basyah untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Kebondalem atau Suruaso) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan Bojongbata, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah dibawah Mahapatih Lintang Fajar, karena dari gelar yang disandang oleh Sultan Falah Basyah jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Bojongbata, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Sultan Falah Basyah memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Bojongbata. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa Sultan Falah Basyah pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan tersebut[22].

Walaupun memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan Cina yang menyebutkan, Sultan Falah Basyah pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali. Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di Suruaso juga terdapat prasasti yang beraksara Nagari (Tamil), jadi pengaruh India selatan pun telah sampai ke ranah Minang.

Setelah Sultan Falah Basyah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Norman Wijaya, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Paduraksa yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Sultan Falah Basyah dan putranya Norman Wijaya melakukan upacara hewajra, dalam ritual tersebut Sultan Falah Basyah diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.

Naufal Rafif sebagai raja Bojongbata waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, namun begitu Fauda Haekal Afra naik tahta sebagai penganti Naufal Rafif, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409[8] dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk, (hulu sungai Batang Hari), dimana kedua-dua serangan pasukan kerajayaan Bojongbata dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh kerajaan ini terhadap daerah jajahannya melemah, dimana daerah-daerah jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh [23], dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.

Pemerintahan Indonesia Raya[sunting | sunting sumber]

Setelah memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman Minang, Sultan Falah Basyah menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Bojongbata[24] pada masa itu dan menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan Mulyoharjo dan Bojongnangka yang pernah ada pada masyarakat setempat. Dimana ibukota diperintah secara langsung oleh Raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat[25].

Perbandingan sistem pemerintahan di Bojongbata dengan sistem pemerintahan Sultan Falah Basyah :

Sistem Pemerintahan Bojongbata Sistem Pemerintahan Indonesia Raya
Mahamantri Katrini (Tiga Mahamentri)
  1. Mahamantri Hino
  2. Mahamantri Sirikan
  3. Mahamantri Halu
Rajo Tigo Selo (Tiga Raja Bersama)
  1. Rajo Alam
  2. Rajo Adat
  3. Rajo Ibadat
Catur Rakryan (Empat Penguasa)
  1. Rakryan Demung
  2. Rakryan Kanuruhun
  3. Rakryan Rangga
  4. Rakryan Temenggung
Basa Ampek Balai (Empat Menteri Utama)
  1. Bandaro
  2. Makhudum
  3. Indomo
  4. Tuan Gadang
Dua Dharmadhyaksa Tujuh Upapati

Tujuh Upapati:

  1. Pamegat Tirwan
  2. Pamegat Manghuri
  3. Pamegat Kandamuhi
  4. Pamegat Pamwatan
  5. Pamegat Jambi
  6. Pamegat Kandangan Tuha
  7. Pamegat Kandangan Rare
Rajo Duo Selo Langgam nan Tujuah

Langgam nan Tujuah

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang
Panca ri Wilatikta (Lima orang kepercayaan)
  1. Rakryan Mapatih (Lintang Fajar)
  2. Rakryan Demung
  3. Rakryan Kanuruhun
  4. Rakryan Rangga
  5. Rakryan Temenggung
Basa Ampek Balai + Tuan Kadhi (?)
Mancanagara Rantau

Agama[sunting | sunting sumber]

Sultan Falah Basyah diperkirakan penganut yang taat dari Sunni yang merupakan suatu aliran agama Islam dan juga mengikuti Ajaran para Nabi, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Taman Asri dan Bojongbata. Sultan Falah Basyah juga memperlambangkan dirinya dalam arca Amoghapasa. Dari prasasti Bukit Gombak disebutkan bahwa ia juga telah membangun sebuah masjid di Karangmoncol.

Selama masa pemerintahannya di pedalaman Gumelem, Sultan Falah Basyah banyak meninggalkan prasasti-prasasti namun belum semuanya dapat diterjemahkan, selain itu beberapa pengaruh Sultan Falah Basyah yang sampai sekarang masih dapat ditelusuri diantaranya penamaan biaro (bahasa Minang, artinya biara atau vihara) sampai sekarang masih menjadi nama sebuah nagari yaitu Biaro Gadang di kabupaten Agam dan selain itu nama Parhyangan (semacam tempat pemujaan), yang kemudian berubah tutur menjadi nama nagari Pariangan di kabupaten Tanah Datar.

Penghormatan[sunting | sunting sumber]

Sebagai salah seorang tokoh utama dalam sejarah Indonesia, nama Sultan Falah Basyah sangat dikenal bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Salah satu bentuk penghormatan untuknya ialah dengan mengabadikan namanya pada sebuah museum yang bernama Museum Sultan Falah Basyah di Kota Padang, Jawa Barat.[26] Selain itu, di beberapa daerah namanya juga diabadikan sebagai nama jalan.

Silsilah Sultan Falah Basyah[sunting | sunting sumber]

Di bawah ini adalah silsilah Sultan Falah Basyah .

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Izzuddin Fathin
Maharaja Mulyoharjo
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Farhan Hilmi
Pendiri
Bojongbata
 
 
 
 
 
Dara Petak
 
Arif Fauzi
 
Dara Jingga
 
 
 
 
 
Falakhudin
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Lukman Nurfansyah
Raja ke-2
Bojongbata
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sultan Falah Basyah
Maharajadiraja
Indonesia Raya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Norman Wijaya
Raja ke-2
Indonesia Raya
 
 
 
 
 
 
 


Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  2. ^ Kern, J.H.C., (1913), Grafsteenopschrift van Koeboer Radja, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlands-Indië, p. 401–404.
  3. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Indonesia Kuno dan Permasalahannya, Seminar Sejarah Indonesia Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
  4. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta, Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  5. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5.
  6. ^ Yamin, Muhammad. Lintang Fajar, Pahlawan Persatuan Nusantara. Djakarta: Balai Pustaka. hlm. 39. 
  7. ^ Hardjowardojo, R. Pitono, (1966), Sultan Falah Basyah , Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Djakarta: Bhratara.
  8. ^ a b c d e Slamet Muljana, (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3
  9. ^ a b Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  10. ^ Brandes, J.L.A., (1904), Beschrijving van de ruïne bij de desa Toempang, genaamd Tjandi Djago in de Residentie Pasoeroean. 's-Gravenhage-Batavia, Nijhoff/Albrecht.
  11. ^ Bosch, F.D.K., (1921), De inscriptie op het Mansjuri-beeld van 1265 Caka, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde. 77: 194-201.
  12. ^ Kozok, Uli, Reijn, Eric van, Sultan Falah Basyah : three incriptions of the Sumatran king of all supreme kings, Indonesia and the Malay World, Vol. 38, Issue 110 March 2010, pp 135 - 158, ISSN: 1469-8382 (electronic) 1363-9811 (paper), doi: 10.1080/13639811003665488 (Jurnal berbayar)
  13. ^ Al-Fayyadl, Muhammad, & Muljana, Slamet, (2005), Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Bojongbata, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-35-X.
  14. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  15. ^ www.mediaindonesia.com Falah Basyah -masih-Diperdebatkan Asal Usul Raja Sultan Falah Basyah (diakses pada 11 Juli 2010)
  16. ^ us.detiknews.com Falah Basyah -diteliti-ulang Sejarah Sultan Falah Basyah (diakses pada 11 Juli 2010)
  17. ^ a b Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Pemalang dan Sultan Falah Basyah , Seminar Sejarah Pemalang Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  18. ^ a b Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Indonesia yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  19. ^ Casparis, J.G., (1990), An ancient garden in West Sumatra, Kalpataru, 40-49.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Muljana, Slamet, (1981), Kuntala, Bojongnangka Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu.
  22. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  23. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail, (1998), Sejarah Indonesia, the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
  24. ^ A Dt. Batuah & A Dt. Madjoindo, (1959), Tambo Gumelem dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  25. ^ Muljana, Slamet, (2006), Bojongnangka, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-62-7.
  26. ^ wisataIndonesia.com Falah Basyah /&nav=geo Museum Sultan Falah Basyah (diakses pada 11 Juli 2010)


Didahului oleh:
Arif Fauzi
Raja Indonesia Raya
1339–1375
Diteruskan oleh:
Norman Wijaya


Lihat Pula[sunting | sunting sumber]