Lihat sumber Ekonomi Indonesia

{{kegunaanlain|Ekonomi}}
{{Infobox economy
|country         = Indonesia
|image           = Jakarta Skyline Part 2.jpg 
|width           = 280px 
|caption         = Jakarta, Ibukota Ekonomi dan Politik Indonesia. 
|currency        = [[Rupiah]] (IDR)
|year            = 1 Januari – 31 Desember
|organs          = [[APEC]], [[ASEAN]], [[D-8]], [[G-20]], [[Iora|IORA]], [[MIKTA]], [[OPEC]], [[Regional Comprehensive Economic Partnership|RCEP]], [[World Trade Organization|WTO]] 
| rank = {{plainlist|
*16&nbsp;(nominal; estimasi 2022)
*7&nbsp;([[Keseimbangan Kemampuan Berbelanja|KKB]]; est. 2022)}}
| gdp = {{plainlist|
*{{increase}} US$ 1,289 triliun (nominal; est. 2022)
*{{increase}} US$ 3,995 triliun (KKB; est. 2022)}}
| per capita = {{plainlist|
*{{increase}} US$ 4.691 (nominal; est. 2022)
*{{increase}} US$ 14.535 (KKB; est. 2022)}}
| growth = {{plainlist|*3.19%&nbsp;(2021) 5.94%&nbsp;(2022)}}
|inflation       = {{decreasePositive}} 1,33% (2021)<ref>https://www.bi.go.id/en/moneter/inflasi/data/Default.aspx</ref>
|poverty         = {{increaseNegative}} 9.78% (2020)<ref>{{Cite web|date=2020-07-16|title=Badan Pusat Statistik|url=https://bps.go.id/indicator/23/184/1/persentase-penduduk-miskin-menurut-wilayah.html|access-date=2020-10-14|website=Badan Pusat Statistik}}</ref>
|gini            = {{decreasePositive}} 0,38 (September 2019)<ref>https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/01/15/1747/gini-ratio-september-2019-tercatat-sebesar-0-380.html</ref>
|labor           = {{increase}} 137,91 Juta (2019)<ref name=" Angkatan Kerja Indonesia ">{{cite web |url=https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html}}</ref> 
|occupations     = Pertanian: 38,3%, Industri: 12,8%, Layanan: 48,9% (2010 est.)
|unemployment    = {{decreasePositive}} 6,26% (Juli 2020)<ref>https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html</ref>  
|industries      = Minyak dan gas alam, [[Industri tekstil di Indonesia|tekstil]], pakaian, sepatu, pertambangan, semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, makanan, pariwisata
|edbr            = {{increase}} 73 (2019) <ref name=" World Bank and International Financial Corporation ">{{cite web |url=https://tradingeconomics.com/indonesia/ease-of-doing-business |accessdate=2020-05-31 }}</ref>
|exports         = {{increase}} US$ 183,5 miliar (2019)<ref>http://www.worldstopexports.com/indonesias-top-10-exports/</ref>
|export-goods    = minyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
|export-partners = (2019)<ref>https://tradingeconomics.com/indonesia/exports-by-country</ref>
<div>
*{{flag|Cina}} US$ 27,88 miliar
*{{flag|Amerika Serikat}} US$ 17,68 miliar
*{{flag|Jepang}} US$ 15,93 miliar
*{{flag|Singapura}} US$ 12,93 miliar
*{{flag|India}} US$ 11,77 miliar
|imports         = {{increase}} US$ 156,4 miliar (2019) <ref>http://www.worldstopexports.com/indonesias-top-10-imports/</ref>
|import-goods    = mesin dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan makanan
|import-partners = (2019)<ref>https://tradingeconomics.com/indonesia/imports-by-country</ref>
<div>
*{{flag|Cina}} US$ 44,91 miliar
*{{flag|Singapura}} US$ 17,31 miliar
*{{flag|Jepang}} US$ 15,62 miliar
*{{flag|Thailand}} US$ 9,46 miliar
*{{flag|Amerika Serikat}} US$ 9,31 miliar 
|reserves        = {{increase}} US$ 146,9 miliar (September  2021)<ref>https://tradingeconomics.com/indonesia/foreign-exchange-reserves</ref>
|FDI             = US$ 292.8 miliar <ref>{{cite web|title=COUNTRY COMPARISON :: STOCK OF DIRECT FOREIGN INVESTMENT – AT HOME|url=https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2198rank.html|publisher=The World Factbook|accessdate=06 Juni 2017|archive-date=2017-04-29|archive-url=https://web.archive.org/web/20170429221140/https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2198rank.html|dead-url=yes}}</ref>
|gross external debt = {{increaseNegative}} US$ 413,4 miliar / Rp 5.858,29 triliun (Oktober 2020)<ref>https://bisnis.tempo.co/read/1414597/utang-luar-negeri-indonesia-naik-jadi-rp-5-858-triliun-per-oktober-2020/</ref>
|debt            = 38,5% dari PDB ( 2020)<ref>https://nasional.kontan.co.id/news/utang-luar-negeri-indonesia-bertambah-rasio-utang-terhadap-pdb-naik</ref>
|deficit         = {{decreasePositive}} US$ 16,8 miliar (1,8% PDB)<ref>http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170212130213-78-192961/defisit-transaksi-berjalan-q4-cuma-08-persen-dari-pdb/</ref>
|revenue         = US$ 131,7 miliar (2017)<ref>https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/id.html</ref>  
|expenses        = US$ 159,6 miliar (2017)<ref>https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world-factbook/geos/id.html</ref> 
| credit = {{plainlist|
*[[Japan Credit Rating Agency]]:<ref>https://www.jcr.co.jp/download/6636ddac61f269abafa96cf04a6f048b1f8a634cf4e39f03ac/19i0083_BIndonesia_f_corrected_Feb42020.pdf {{Bare URL PDF|date=March 2022}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.jcr.co.jp/en/ratinglist/sovereign/12063|title=Indonesia &#124; Japan Credit Rating Agency, LTD. - JCR}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.jcr.co.jp/en/ratinglist/sovereign/12063/release|title = Indonesia &#124; Japan Credit Rating Agency, LTD. - JCR}}</ref>
*{{steady}} A− (Domestic Currency)
*{{steady}} BBB+ (Foreign Currency)
*{{steady}} BBB+ (Bond)
*Outlook: Stable
*[[Standard & Poor's]]:<ref name="Indonesia Credit Rating">{{Cite web|title=Indonesia Credit Rating|url=http://www.worldgovernmentbonds.com/credit-rating/indonesia/|website=World Government Bonds|language=en-US|access-date=2020-05-19}}</ref>
*{{steady}} BBB (Domestic)
*{{steady}} BBB (Foreign)
*{{steady}} BBB (T&C Assessment)
*Outlook: Negative
*[[Moody's]]:<ref name="Indonesia Credit Rating" />
*{{steady}} Baa2
*Outlook: Stable
*[[Fitch Group|Fitch]]:<ref>{{cite news |url=https://www.fitchratings.com/entity/indonesia-80442226 |title=Fitch Affirms Indonesia at 'BBB'; Outlook Stable |access-date=8 December 2020 }}</ref>
*{{steady}} BBB (Local Currency)
*{{steady}} BBB (Foreign Currency)
*{{steady}} BBB (Country Ceiling)
*Outlook: Stable}}
|spelling        = Oxford  
|cianame         = id
}}

'''Ekonomi Indonesia''' merupakan salah satu kekuatan ekonomi berkembang utama dunia yang terbesar di [[Asia Tenggara]] dan terbesar di Asia keenam setelah [[Tiongkok]], [[Jepang]], [[India]], [[Rusia]] dan [[Korea Selatan]]. Ekonomi negara ini menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-16 dunia yang artinya Indonesia juga merupakan anggota [[G20|G-20]].

== Kebijakan Saat Orba ==
Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960-an di bawah Presiden [[Soekarno]], Indonesia yang dipimpin oleh Presiden [[Soeharto]] segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai-berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca [[APBN]] yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta [[IMF]] untuk mengasistensi pengelolaan [[fiskal]] Indonesia yang masih rapuh. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan [[industri]] dan [[perdagangan]] berbasis [[ekspor]] menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu ''The East Asia Miracle'' pada tahun 1990-an, di mana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam.
Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan [[Thailand]]. Meski Indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri [[manufaktur]] dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan [[infrastruktur transportasi]] seperti [[jalan tol]], [[pelabuhan]], [[kereta api]] dan [[bandara]] yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara [[Pulau Jawa]] dan Pulau di luar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.

Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika [[Krisis moneter 1998]] merebak ke berbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.

== Data ==
Tabel berikut menunjukkan indikator ekonomi utama tahun 1980–2020.  Inflasi di bawah 5% berwarna hijau.<ref>{{Cite web|url=https://www.imf.org/en/Publications/WEO/weo-database/2020/October/weo-report?c=536,&s=NGDP_RPCH,NGDPD,PPPGDP,NGDPRPPPPC,NGDPDPC,PPPPC,PPPSH,PCPIPCH,&sy=1980&ey=2025&ssm=0&scsm=1&scc=0&ssd=1&ssc=0&sic=0&sort=country&ds=.&br=1|title=Report for Selected Countries and Subjects: October 2020 Indonesia|website=imf.org|language=en-US|access-date=16 October 2020}}</ref>
{| class="wikitable sortable" style="text-align:center;"
!class="unsortable"|Tahun
![[PDB]] ([[Keseimbangan Kemampuan Berbelanja|KKB]])<br /><small>(miliar USD)</small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.PP.CD?most_recent_value_desc=true&locations=ID|title=Indonesia GDP world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
!PDB (KKB) per kapita<br /><small href="Paris">(USD)</small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD?most_recent_value_desc=true&locations=ID|title=Indonesia GDP Percapita world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
! Persentase dari total PDB (KKB) dunia
!Pertumbuhan PDB (KKB)<br /><small> (riil)</small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?most_recent_value_desc=true&locations=ID|title=Indonesia GDP Growth world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
! Pertumbuhan PDB (KKB) per kapita<br /><small> (riil)</small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.KD.ZG?most_recent_value_desc=true&locations=ID|title=Indonesia GDP Per capita Growth world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
!Tingkat inflasi<br /><small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.DEFL.KD.ZG?most_recent_value_desc=true&locations=ID|title=Indonesia Inflation world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
!Hutang pemerintah<br /><small>(dari PDB (KKB))</small><ref>{{Cite web|url=https://data.worldbank.org/indicator/GC.DOD.TOTL.GD.ZS?locations=ID|title=Indonesia Central Government Debt world bank|website=data.worldbank.org|language=en-US|access-date=30 September 2020}}</ref>
|-
|1980
|{{increase}} 189,9
|{{increase}} 1.287
|{{increase}} 1,42%
|{{increase}} 9,88%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 18,0%
|N/A
|-
|1981
|{{increase}} 223,6
|{{increase}} 1.487
|{{increase}} 1,50%
|{{increase}} 7,60%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 12,2%
|N/A
|-
|1982
|{{increase}} 242,8
|{{increase}} 1.583
|{{increase}} 1,53%
|{{increase}} 2,24%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 9,48%
|N/A
|-
|1983
|{{increase}} 262,9
|{{increase}} 1.681
|{{increase}} 1,56%
|{{increase}} 4,19%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 11,7%
|N/A
|-
|1984
|{{increase}} 293,0
|{{increase}} 1.837
|{{increase}} 1,61%
|{{increase}} 7,57%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 10,4%
|N/A
|-
|1985
|{{increase}} 314,1
|{{increase}} 1.931
|{{increase}} 1,62%
|{{increase}} 3,91%
|N/A
|{{decreasePositive}} 4,7%
|N/A
|-
|1986
|{{increase}} 343,5
|{{increase}} 2.070
|{{increase}} 1,67%
|{{increase}} 7,18%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 5,8%
|N/A
|-
|1987
|{{increase}} 375,1
|{{increase}} 2.217
|{{increase}} 1,71%
|{{increase}} 6,57%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 9,2%
|N/A
|-
|1988
|{{increase}} 415,4
|{{increase}} 2.408
|{{increase}} 1,75%
|{{increase}} 6,97%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 8,0%
|N/A
|-
|1989
|{{increase}} 470,9
|{{increase}} 2.677
|{{increase}} 1,85%
|{{increase}} 9,08%
|N/A
|{{IncreaseNegative}} 6,4%
|N/A
|-
|1990
|{{increase}} 559,1
|{{increase}} 3.082
|{{increase}} 1,90%
|{{increase}} 7,24%
|{{increase}} 5,34%
|{{IncreaseNegative}} 9,0%
|{{decreasePositive}} 45,7%
|-
|1991
|{{increase}} 617,9
|{{increase}} 3.347
|{{increase}} 2,00%
|{{increase}} 6,91%
|{{increase}} 5,07%
|{{IncreaseNegative}} 8,7%
|{{decreasePositive}} 40,3%
|-
|1992
|{{increase}} 673,1
|{{increase}} 3.585
|{{increase}} 2,08%
|{{increase}} 6,49%
|{{increase}} 4,71%
|{{IncreaseNegative}} 7,2%
|{{IncreaseNegative}} 42,7%
|-
|1993
|{{increase}} 733,8
|{{increase}} 3.845
|{{increase}} 2,17%
|{{increase}} 6,49%
|{{increase}} 4,76%
|{{IncreaseNegative}} 19,1%
|{{decreasePositive}} 37,4%
|-
|1994
|{{increase}} 806,0
|{{increase}} 4.156
|{{increase}} 2,26%
|{{increase}} 7,54%
|{{increase}} 5,84%
|{{IncreaseNegative}} 7,8%
|{{decreasePositive}} 36,5%
|-
|1995
|{{increase}} 890,5
|{{increase}} 4.522
|{{increase}} 2,37%
|{{increase}} 8,22%
|{{increase}} 6,56%
|{{IncreaseNegative}} 9,8%
|{{decreasePositive}} 30,8%
|-
|1996
|{{increase}} 977,8
|{{increase}} 4.891
|{{increase}} 2,46%
|{{increase}} 7,81%
|{{increase}} 6,21%
|{{IncreaseNegative}} 8,6%
|{{decreasePositive}} 23,9%
|-
|1997
|{{increase}} 1.041,0
|{{increase}} 5.134
|{{increase}} 2,47%
|{{increase}} 4,70%
|{{increase}} 3,19%
|{{IncreaseNegative}} 12,6%
|{{IncreaseNegative}} 72,5%
|-
|1998
|{{decrease}} 914,8
|{{decrease}} 4.447
|{{decrease}} 2,17%
|{{decrease}} -13,12%
|{{decrease}} -14,35%
|{{IncreaseNegative}} 75,3%
|{{decreasePositive}} 55,2%
|-
|1999
|{{increase}} 935,4
|{{increase}} 4.484
|{{decrease}} 2,05%
|{{increase}} 0,79%
|{{decrease}} -0,61%
|{{IncreaseNegative}}14,2%
|{{decreasePositive}}45,2%
|-
|2000
|{{increase}} 1.003,0
|{{increase}} 4.743
|{{decrease}} 2,04%
|{{increase}} 4,92%
|{{increase}} 3,48%
|{{IncreaseNegative}} 20,4%
|{{IncreaseNegative}} 87,4%
|-
|2001
|{{increase}} 1.063,0
|{{increase}} 4.956
|{{increase}} 2,07%
|{{increase}} 3,64%
|{{increase}} 2,23%
|{{IncreaseNegative}} 14,3%
|{{decreasePositive}} 73,7%
|-
|2002
|{{increase}} 1.128,0
|{{increase}} 5.190
|{{increase}} 2,09%
|{{increase}} 4,49%
|{{increase}} 3,09%
|{{IncreaseNegative}} 5,9%
|{{decreasePositive}} 62,3%
|-
|2003
|{{increase}} 1.204,0
|{{increase}} 5.465
|{{increase}} 2,12%
|{{increase}} 4,78%
|{{increase}} 3,37%
|{{IncreaseNegative}} 5,4%
|{{decreasePositive}} 55,6%
|-
|2004
|{{increase}} 1.299,0
|{{increase}} 5.816
|{{decrease}} 2,11%
|{{increase}} 5,03%
|{{increase}} 3,63%
|{{IncreaseNegative}} 8,5%
|{{decreasePositive}} 51,3%
|-
|2005
|{{increase}} 1.415,0
|{{increase}} 6.254
|{{increase}} 2,13%
|{{increase}} 5,69%
|{{increase}} 4,29%
|{{IncreaseNegative}} 14,3%
|{{decreasePositive}} 42,6%
|-
|2006
|{{increase}} 1.538,0
|{{increase}} 6.708
|{{decrease}} 2,12%
|{{increase}} 5,50%
|{{increase}} 4,10%
|{{IncreaseNegative}} 14,0%
|{{decreasePositive}} 35,8%
|-
|2007
|{{increase}} 1.680,0
|{{increase}} 7.229
|{{increase}} 2,14%
|{{increase}} 6,34%
|{{increase}} 4,94%
|{{IncreaseNegative}} 11,2%
|{{decreasePositive}} 32,3%
|-
|2008
|{{increase}} 1.816,0
|{{increase}} 7.710
|{{increase}} 2,18%
|{{increase}} 6,01%
|{{increase}} 4,62%
|{{IncreaseNegative}} 18,1%
|{{decreasePositive}} 30,3%
|-
|2009
|{{increase}} 1.914,0
|{{increase}} 8.021
|{{increase}} 2,28%
|{{increase}} 4,62%
|{{increase}} 3,24%
|{{IncreaseNegative}} 8,2%
|{{decreasePositive}} 26,4%
|-
|2010
|{{increase}} 2.056,9
|{{increase}} 8.655
|{{increase}} 2,29%
|{{increase}} 6,22%
|{{increase}} 4,81%
|{{IncreaseNegative}} 5,1%
|{{decreasePositive}} 24,5%
|-
|2011
|{{increase}}2.229,5
|{{increase}}9.213
|{{increase}}2,34%
|{{increase}}6,17%
|{{increase}}4,74%
|{{IncreaseNegative}}5,3%
|{{decreasePositive}}23,1%
|-
|2012
|{{increase}}2.413,4
|{{increase}}9.833
|{{increase}}2,41%
|{{increase}}6,03%
|{{increase}}4,60%
|{{decreasePositive}}3,9%
|{{decreasePositive}}22,9%
|-
|2013
|{{increase}}2.535,0
|{{increase}}10.188
|{{steady}}2,41%
|{{increase}}5,55%
|{{increase}}4,15%
|{{IncreaseNegative}}6,4%
|{{IncreaseNegative}}24,8%
|-
|2014
|{{increase}}2.622,2
|{{increase}}10.398
|{{decrease}}2,40%
|{{increase}}5,00%
|{{increase}}3,63%
|{{IncreaseNegative}}6,3%
|{{decreasePositive}}24,7%
|-
|2015
|{{increase}}2.647,7
|{{decrease}}10.359
|{{decrease}}2,38%
|{{increase}}4,87%
|{{increase}}3,55%
|{{IncreaseNegative}}6,3%
|{{IncreaseNegative}}26,9%
|-
|2016
|{{increase}}2.744,9
|{{increase}}10.618
|{{steady}}2,38%
|{{increase}}5,03%
|{{increase}}3,76%
|{{decreasePositive}}3,5%
|{{IncreaseNegative}}27,9%
|-
|2017
|{{increase}}2.894,1
|{{increase}}11.073
|{{increase}}2,38%
|{{increase}}5,07%
|{{increase}}3,84%
|{{decreasePositive}}3,8%
|{{IncreaseNegative}}28,7%
|-
|2018
|{{increase}}3.116,8
|{{increase}}11.798
|{{increase}}2,42%
|{{increase}}5,17%
|{{increase}}3,98%
|{{decreasePositive}}3,2%
|{{IncreaseNegative}}29,8%
|-
|2019
|{{increase}}3.331,8
|{{increase}}12.483
|{{increase}}2,47%
|{{increase}}5,02%
|{{increase}}3,87%
|{{decreasePositive}}2,8%
|{{IncreaseNegative}}30,1%
|-
|2020
|{{decrease}}3.328,2
|{{decrease}}12.345
|{{increase}}2,55%
|{{decrease}}
-2,07%
|N/A
|{{decreasePositive}}2,0%
|{{IncreaseNegative}}38,5%
|-
|2021
|{{increase}}4.349,5
|{{increase}}12.967
|{{decrease}}2,44%
|{{increase}}3,20%
|N/A
|{{increase}}1,5%
|{{IncreaseNegative}}38,1%
|-
|2022
|{{increase}}4.505,0
|{{increase}}13.981
|{{increase}}2,47%
|{{increase}}5,94%
|N/A
|{{increase}}2,8%
|{{IncreaseNegative}}40,1%
|-
|}

== Sejarah Ekonomi Indonesia ==
{{Main article|Sejarah Ekonomi Indonesia}}

=== '''Orde lama''' ===
Pada periode 1960-1965, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi dengan penurunan [[pendapatan per kapita]] menjadi rata-rata 0,1% serta pertumbuhan ekonomi hanya 2%.<ref>{{Cite book|last=Soeharto|date=1995|url=https://www.worldcat.org/oclc/37405350|title=Indonesia, the first 50 years, 1945-1995|location=Jakarta|publisher=Buku Antar Bangsa|isbn=979-8926-00-5|editor-last=Alatas|editor-first=Ali|editor-link=Ali Alatas|pages=69|others=Buku Antar Bangsa|chapter=Address of state H.E the President of the Republic of Indonesia  Soeharto|oclc=37405350|author-link=Soeharto|editor-last2=Moerdiono|editor-link2=Moerdiono|editor-last3=Ave|editor-first3=Joop|editor-link3=Joop Ave|editor-last4=Sutresna|editor-first4=Nana S|editor-link4=Nana Sutresna|editor-last5=Dharmaputra|editor-first5=Garnawan|editor-last6=Sukartiko|editor-first6=Rachmat|editor-last7=Achjadi|editor-first7=A.S|url-status=live}}</ref> Kondisi ini juga diikuti dengan [[hiperinflasi]] dari 250% menjadi 650%.<ref>{{Cite web|date=27 Januari 2008|title=Soeharto, Pernah Naikkan Martabat Indonesia Halaman all|url=https://nasional.kompas.com/read/2008/01/27/15590147/soeharto.pernah.naikkan.martabat.indonesia|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=4 November 2021}}</ref>

=== Orde Baru (1966-1998) ===
Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk [[Soeharto]] melalui [[Surat Perintah Sebelas Maret]] sebagai landasan hukum untuk mengizinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik. 

Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.<ref>Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.</ref>

Setelah pemerintahan diampu oleh Soeharto, beberapa keadaan ekonomi mulai membaik. Angka inflasi berhasil diturunkan dalam waktu satu tahun menjadi 112% pada tahun 1967 dan terus berlanjut  menjadi 85% pada tahun 1968. Akhirnya  turun drastis  menjadi 10% pada 1969 sebelum di mulainya program [[Rencana Pembangunan Lima Tahun|Repelita]].<ref>{{Cite web|last=Perwitasari|first=Puspa|date=14 September 2015|title=Kisah Inflasi 650 Persen dan Cerutu Ali Wardhana|url=https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150914191532-78-78703/kisah-inflasi-650-persen-dan-cerutu-ali-wardhana|website=ekonomi|language=id-ID|access-date=16 November 2021}}</ref> Pemerintahan orde baru juga berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya hanya 2% menjadi rata-rata 5%. Perkembangan ekonomi ini makin membaik setelah pengenalan program [[Rencana Pembangunan Lima Tahun|Repelita 1]] yang dimulai pada tanggal 1 April 1969. Berkat program ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu mencapai rata-rata 6% pada periode 1969-1973, yaitu saat Repelita I berlangsung.<ref>{{Cite book|last=Badan Pusat Statistik|date=2015|url=https://www.bappenas.go.id/files/data/Pengembangan_Regional_dan_Otonomi_Daerah/Statistik%2070%20Tahun%20Indonesia%20Merdeka.pdf|title=Statistik 70 th. Indonesia merdeka.|location=Jakarta, Indonesia|publisher=Badan Pusat Statistik|isbn=978-979-064-858-6|pages=110|oclc=971018639|url-status=live|access-date=2021-11-15|archive-date=2021-11-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20211115183814/https://www.bappenas.go.id/files/data/Pengembangan_Regional_dan_Otonomi_Daerah/Statistik%2070%20Tahun%20Indonesia%20Merdeka.pdf|dead-url=yes}}</ref>  

Pada akhir Repelita 1, laju inflasi kembali mengalami kenaikan setelah turun ke angka terendahnya, yaitu 4,6% pada tahun 1971. Kenaikan ini diakibatkan membaiknya harga pasar [[Bursa komoditas|komoditi internasional]] serta peningkatan [[Kredit (keuangan)|kredit]] perbankan mencapai 60% pada perioude 1973/1974. Akibat kondisi ini, inflasi mencapai 41% pada tahun 1974. Sebagai langkah penanggulangan inflasi yang mungkin akan terus meningkat, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan Paket Anti Inflasi pada tanggal 9 April 1974.<ref>{{Cite journal|last=Sukendar|first=Anang|date=2000|title=Pengujian dan pemilihan model inflasi dengan non nested test studi kasus perekonomian indonesia periode 1969-1997|url=https://core.ac.uk/download/pdf/297708815.pdf|journal=Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia|volume=15|issue=2|pages=, 164 - 178}}</ref>

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan [[Orde Baru]], ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita [[Dolar Amerika Serikat|$]]70 menjadi lebih dari $1.100 pada 1997.<ref>{{Cite web|last=Ardanareswari|first=Indira|date=1 April 2020|title=Repelita ala Orba: Pembangunanisme yang Mengandalkan Modal Asing|url=https://tirto.id/repelita-ala-orba-pembangunanisme-yang-mengandalkan-modal-asing-eJY6|website=tirto.id|language=id|access-date=16 November 2021}}</ref> Peningkatan ini menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara pendapatan menengah ke bawah yang sebelumnya berada dalam kategori [[Negara berkembang|negara pendapatan rendah]].<ref>{{Cite web|title=Produk Domestik Bruto Indonesia|url=https://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/produk-domestik-bruto-indonesia/item253|website=www.indonesia-investments.com|access-date=16 November 2021}}</ref>. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, [[rupiah]] stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui [[bantuan asing]]. Pada pertengahan [[1980-an]] pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. 

Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari [[1987]]-[[1997]], dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997, menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Longgarnya kebijakan pemerintah dan institusi jasa keuangan saat itu dan meningkatnya nilai ekspor barang non-migas, membuat banyak jasa keuangan berupa bank, asuransi dan berbagai lembaga keuangan lainnya muncul dengan tujuan mendapat keuntungan dari fasilitasi ekspor, namun dengan modal inti yang sering kali kurang. 

Tanpa disadari oleh pemerintah dan institusi keuangan sendiri, besarnya kesempatan untuk membiayai fasilitasi ekspor tersebut, perlahan-lahan mulai menunjukkan bahwa pertumbuhan jasa keuangan tidak berkualitas, mulai memakan korban berupa tutupnya beberapa bank secara berantai akibat gagal menarik kredit yang macet, hingga modal inti yang kurang mulai menandai gelapnya perkembangan jasa keuangan yang saat itu tengah tumbuh pesat. Belum lagi dengan sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas [[kebangkrutan]]. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan [[hambatan ekspor]] menjadi bom waktu yang akan mewarnai kejatuhan ekonomi nasional.

Hal ini mencapai puncaknya ketika Krisis finansial terjadi di Asia dan merembet hingga ke [[Asia Tenggara]], termasuk Indonesia pada akhir [[1997]] dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Dengan defisit anggaran yang sudah mencapai lebih dari 60% dari PDB nasional, ditambah dengan rasio NPL (kredit macet) yang sudah mencapai 20% lebih membuat pemerintah dan institusi pengawasan kegiatan keuangan hanya bisa memperlambat dan mengurangi parahnya krisis tersebut dengan menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya [[inflasi]] dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan [[International Monetary Fund]] (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai membebani anggaran negara dan berpotensi melebarkan defisit anggaran, berupa penutupan program pesawat nasional, permobilan nasional hingga subsidi ekspor komoditas. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

=== Pasca-Soeharto ===
[[Berkas:PDRB Provinsi di Indonesia 2016 Perbandingan dengan Negara.png|jmpl|350x350px|Perbandingan [[Daftar provinsi di Indonesia menurut PDRB tahun 2016|PDRB provinsi-provinsi di Indonesia]] dengan negara lain pada 2016]]
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden [[Habibie|B.J Habibie]]. Presiden [[Abdurrahman Wahid|Gus Dur]] yang terpilih sebagai presiden pada Oktober [[1999]] kemudian memperpanjang program tersebut.

Pada 2010, ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihi Rp 6,300 triliun <ref>http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimal-rp6300-triliun</ref> meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia [[G20]].

Ini adalah tabel [[PDB]] (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun<ref>[http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2011/01/weodata/weoselco.aspx?g=2001&sg=All+countries Edit/Review Countries<!-- Bot generated title -->]</ref> oleh IMF dalam juta rupiah.

{| class="wikitable" style="text-align:right;"
|-
! Tahun !! PDB !! % Pertumbuhan/tahun<br>(bunga majemuk)</tr>
| style="text-align:center;"| 1980 ||    60,143.191 ||  </tr>
| style="text-align:center;"| 1985 ||   112,969.792 || 13.5 </tr>
| style="text-align:center;"| 1990 ||   233,013.290 || 15.5 </tr>
| style="text-align:center;"| 1995 ||   502,249.558 || 16.6 </tr>
| style="text-align:center;"| 2000 || 1,389,769.700 || 22.6 </tr>
| style="text-align:center;"| 2005 || 2,678,664.096 || 14.0 </tr>
| style="text-align:center;"| 2010 || 6,422,918.230 || 19.1 </tr>
|}
<small>Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.</small>
<!--
The effects of the financial and economic crisis were severe. In 1998, real GDP contracted by an estimated 13.7%. The economy bottomed out in mid-1999, and real GDP growth for the year was an anemic 0.3%. Inflation reached 77%in 1998 but slowed to 2% in 1999. The rupiah, which had been in the Rp 2,400/USD1 range in 1997 reached Rp 17,000/USD1 at the height of the 1998 violence, returned to the Rp 6,500-8,000/USD1 range in late 1998. It has traded in the Rp 6,500-9,000/USD1 range since, with significant volatility. Although a severe drought in 1997-1998 forced Indonesia to import record amounts of rice, overall imports dropped precipitously in the early stage of the crisis in response to the unfavorable exchange rate, reduced domestic demand, and absence of new investment. Although reliable unemployment data are not available, formal sector employment contracted significantly.

As of early [[2005]], Indonesia's economic outlook is more positive. Economic growth accelerated to about 5.1% in [[2004]] and is expected accelerate further in 2005. The GDP per capita has reached pre-crisis levels. Growth is driven primarily by domestic consumption, which accounts for roughly three-fourths of Indonesia's gross domestic product. The Jakarta Stock Exchange was the best performing market in Asia in 2004, up some 42%. Problems that continue to put a drag on growth include low foreign investment levels, bureaucratic red tape, and widespread corruption. However, there is very strong optimism with the conclusion of peaceful elections during the year 2004 and the election of the reformist president [[Susilo Bambang Yudhoyono]].

==Oil and minerals sector==
Indonesia is the only Asian member of the [[Organization of Petroleum Exporting Countries]] (OPEC) outside of the [[Middle East]], and is the only OPEC member that is a net oil importer. In early [[As of 2005|2005]], Indonesian crude oil and condensate output was 1.07 million [[barrel (unit)|barrel]]s per day.  This is a substantial decline from the 1990s, due primarily to aging oil fields and a lack of investment in oil production equipment. In 1999, Crude and condensate output averaged 1.5 million [[barrel (unit)|barrel]]s (240,000 m&sup3;) per day, and in the 1998 calendar year the oil and gas sector, including refining, contributed approximately 9% to GDP. This decline in production since the 1990s has been accompanied by a substantial increase in domestic consumption, about 5.4% per year, leading to an expected [[US dollar|US$]]1.2 billion cost for importing oil in 2005.

The state owns all [[petroleum]] and [[mineral]] rights. Foreign firms participate through production-sharing and work contracts. Oil and gas contractors are required to finance all exploration, production, and development costs in their contract areas; they are entitled to recover operating, exploration, and development costs out of the oil and gas produced. According to President [[Susilo Bambang Yudhoyono]], the nation is expected to deplete its crude oil reserves in about 2020.

Although minerals production traditionally centered on [[bauxite]], [[silver]], and [[tin]] production, Indonesia is expanding its [[copper]], [[nickel]], [[gold]], and [[coal]] output for export markets. In mid-1993, the Department of Mines and Energy reopened the coal sector to foreign investment, with the result that the leading Indonesian coal producer now is a joint venture between U.K. firms [[BP]] and [[Rio Tinto]]. Total coal production reached 74 million metric tons in 1999, including exports of 55 million tons. The Indonesian Government hopes to surpass 100 million metric tons of coal production in 2002. Two US firms operate three copper/gold mines in Indonesia, with a [[Canada|Canadian]] and [[Britain|UK]] firm holding significant other investments in nickel and gold, respectively. In 1998, the value of Indonesian gold production was $1 billion and copper, $843 million. Receipts from gold, copper, and coal comprised 84% of the $3 billion earned in 1998 by the mineral mining sector.

{{OPEC}}

==Investment==
Since the late 1980s, Indonesia has made significant changes to its regulatory framework to encourage economic growth. This growth was financed largely from private investment, both foreign and domestic. U.S. investors dominated the oil and gas sector and undertook some of Indonesia's largest [[mining]] projects. In addition, the presence of US banks, manufacturers, and service providers expanded, especially after the industrial and financial sector reforms of the 1980s. Other major foreign investors included Japan, the United Kingdom, [[Singapore]], the [[Netherlands]], [[Hong Kong]], [[Taiwan]], and [[South Korea]].

The economic crisis made continued private financing imperative but problematic. New foreign investment approvals fell by almost two-thirds between 1997 and 1999. The crisis further highlighted areas where additional reform was needed. Frequently cited areas for improving the investment climate were establishment of a well- functioning legal and judicial system, adherence to competitive processes, and adoption of internationally acceptable accounting and disclosure standards. Despite improvements in the laws in recent years, Indonesia's intellectual property rights regime remains weak; lack of effective enforcement is a major concern. Under Suharto, Indonesia had moved toward private provision of public infrastructure, including electric power, tollroads, and telecommunications. The financial crisis brought to light serious weaknesses in the process of dispute resolution, however, particularly in the area of private infrastructure projects. Although Indonesia continued to have the advantages of a large labor force, abundant natural resources and modern infrastructure, private investment in new projects largely ceased during the crisis.

In May [[2004]], an Indonesian court may have compounded the country's troubles attracting foreign investment when it ruled in favor of a petition by Indonesian chemical company, [[Tri Polyta]], that a bond issue be declared illegal and nullified, freeing that company of its obligation to repay its debts. 
 
==Economic relations with the United States==
U.S. exports to Indonesia in 1999 totaled $2.0 billion, down significantly from $4.5 billion in 1997. The main exports were [[construction]] equipment, machinery, [[aviation]] parts, chemicals, and agricultural products. U.S. imports from Indonesia in 1999 totaled $9.5 billion and consisted primarily of clothing, machinery and transportation equipment, petroleum, natural rubber, and footwear. Economic assistance to Indonesia is coordinated through the [[Consultative Group on Indonesia]] (CGI), formed in 1989. It includes 19 donor countries and 13 international organizations that meet annually to coordinate donor assistance. The 2000 CGI meeting is to be held [[17 October]]-18 in [[Tokyo]].

The [[U.S. Agency for International Development]] (USAID) has provided development assistance to Indonesia since 1950. Initial assistance focused on the most urgent needs of the new republic, including food aid, infrastructure rehabilitation, health care, and training. Through the 1970s, a time of great economic growth in Indonesia, USAID played a major role in helping the country achieve self-sufficiency in rice production and in reducing the birth rate.

USAID's current program aims to support Indonesia as it recovers from the financial crisis by providing food aid, employment generating activities, and maintaining critical public health services. USAID is also providing technical advisers to help the Indonesian Government implement economic reforms and fiscal decentralization and is supporting democratization and civil society development activities through non-governmental organizations.
-->

=== Kajian Pengeluaran Publik ===

Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15% dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17,2%<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3,9%<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2% dari PDB pada tahun 2001<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih di bawah 1% dari PDB<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3,4% dari PDB<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15% pada tahun 2006<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Pada 2012, Indonesia menggantikan [[India]] sebagai negara anggota G20 dengan ekonomi tercepat kedua setelah China. Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di kisaran angka 5%.<ref>{{Cite web|url=http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?end=2016&locations=ID&start=2006|title=GDP growth (annual %)|website=data.worldbank.org|access-date=2017-08-05}}</ref><ref>{{Cite web|title=Why Indonesia’s Apparent Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation|url=https://www.worldpoliticsreview.com/articles/20248/why-indonesia-s-apparent-stability-under-jokowi-is-a-sign-of-its-stagnation|website=worldpoliticsreview.com|access-date=2020-05-06}}</ref> Pada 1 Juli 2020, [[Bank Dunia]] memutuskan Indonesia dikelompokkan sebagai [[negara berpenghasilan menengah keatas]] dengan [[pendapatan nasional bruto]] Indonesia pada tahun 2019 sebesar [[Dolar Amerika Serikat|US$]]4.050, sedikit di atas klasifikasi Bank Dunia bahwa negara berpendapatan menengah keatas per-kapitanya berkisar US$4.046-US$12.535. Hal lain menurut Bank Dunia, adalah bahwa populasi [[kelas menengah]] di Indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan pengeluaran Rp 1,2-6 juta perorang perbulan.<ref name=kompas4juli>"Pekerjaan Rumah Pacu Kelas Menengah". ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]''. 4 Juli 2020. Hlm. 1 & 15.</ref>

== Referensi ==
{{reflist}}

{{Topik Indonesia}}
{{APEC}}
{{ASEAN}}
{{G-20}}

[[Kategori:Ekonomi Indonesia| ]]