Lompat ke isi

Seni lakon: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Mengalihkan ke Sandiwara
Tag: Pengalihan baru
 
(1 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
#ALIH[[Sandiwara]]
{{distinguish|seni pertunjukan}}{{rapikan}}
'''Seni performa''' atau '''Seni penampilan''' ({{lang-en|''performance art''}}) merupakan sebuah karya reduksi dari berbagai hal (bentuk, faham, filosofi, teori, pemikiran) yang telah mapan. Seni ini banyak mendobrak benteng-benteng aristokrasi paradigma lama hingga seringkali dicap sebagai karya anomali.

Berbeda dengan [[seni pertunjukan]], konsep dalam seni performa adalah konsep yang tertata apik, tidak lagi melalui atau pun melahirkan ruang konseptual baru. Seni performa berada dalam bidang yang sama sekali lain dengan seni pertunjukan, karena produknya lebih artifisial dan sempurna.

==Etimologi==
Seni perfoma lebih merujuk pada "seni penampilan". Ini lebih [[seni konseptual|konseptual]]<ref>Fischer-Lichte, Erika. The Transformative Power of Performance: A New Aesthetics. New York and London 2008, Routledge. [[Especial:FuentesDeLibros/9780415458566|ISBN 978-0415458566]].</ref> karena menyandang kata ‘seni’ sebagai beban makna tersendiri selain kata '''performance''’. ‘Seni’ sebagai institusi tersendiri --''kata pertama''-- yang menerangkan ‘penampilan’ –''kata ke dua''-- (yaitu kata benda yang berarti: ‘proses’; ‘cara’; ‘perbuatan’ menampilkan –bertalian dengan prefiks verbal ''me-'') konsep si penampil, bukan sekedar ''performer''/ pelaku dalam ''performance'', tapi ‘''performance artist''’. Hal ini karena setiap ''performance'' belum tentu berbobot seni (misalnya: ‘''performance'' bapak direktur tadi sangat hebat’, atau ‘''performance'' kecepatan mobil itu sungguh prima’).

Itulah mengapa kata seni ditambahkan. Penggunaan kata ’seni’ menerangkan ‘''performance''’ yang berarti "pertunjukan" secara konvensional. Meski pertunjukan seni dapat saja mengikutsertakan unsur tari, musik, nyanyi dan sebagainya, namun tetap bukan merupakan "seni pertunjukan", karena bukan tarian atau musiknya yang menjadi obyeknya.

==Sejarah==
Sejarah seni performa meliputi data yang sangat luas hingga ke detil-detilnya, karena satu dan lainnya saling berkaitan dengan berbagai aspek dan situasi yang menyelimutinya di tiap titik. Kumpulan data yang sangat luas ini melahirkan berbagai persepsi dan interpretasi yang beraneka, termasuk persepsi dan interpretasi para penulisnya.
<!-- MOHON DIRAPIKAN
===Sekilas Awal di Barat===

Dimulai sejak jaman Renaissance di abad ke 12 di Itali, yang kemudian melahirkan Mannerism hingga Barocco, lalu Rococo, Neoclassism, Romanticism, Realisme, pre-Raphaelites, seni akademik (Academic art), Impressionism dan Post-Impressionism. Masing-masing memiliki sejarah perkembangan yang meliputi wilayah-wilayah ketidakpuasan atas format-format lama, melahirkan ide-ide baru sekaligus mata rantai inspirasi baru menyempurnakan prinsip estetika yang betul-betul mengandalkan keindahan indra perasa (empirik).


===Seni di Abad 20===

Menjelang abad ke-20, konsep estetika di Eropa mulai makin berubah dan bergeser. Muncul aliran dan gelombang baru yang menghempaskan gulungan-gulungan ombak dan menyapu bentuk-bentuk konvensional kesenian melalui masa-masa Modernism, Cubism, Expressionism, Abstract, Blaue Reiter, Die Brücke, Dada, Fauvism, Art Nouveau, Bauhaus, Pop art, De Stijl, Art Deco, Abstract Expressionism, Futurism, Suprematism, Surrealism, Minimalism dan Post-Modernism.
Semuanya hadir saling kait mengait dan acapkali merupakan gerakan penolakan dan timbulnya keyakinan-keyakinan atas pemahaman-pemahaman baru yang lebih individual, memperhatikan hak-hak dasar dan independensi manusia yang cenderung liberal. Tidak lagi mengatasnamakan bangsa atau pun agama, namun mengandalkan narasi implisit yang mengesankan anti kemapanan. Kolektif hanya untuk perjuangan hak. Genre-genre yang timbul di abad ini saya sebut sebagai abad deviasi, yakni penyimpangan dari pakem konservatif atas seni, meski tetap bertujuan pada ‘keindahan’ yang bergaris bawah berkekuatan intelektualita implisit.

=== Awal "deviasi" ===

Sejarah seni mencatat adanya ‘perlawanan’ dan ‘pemberontakan’ terhadap nilai-nilai konservatif estetika dimulai oleh sekumpulan seniman ‘nyentrik’ namun sangat intelek. Dimulai saat satu dekade sebelum perang dunia pertama, Jerman telah dikenal sebagai area pergolakan serta pendobrakan paradigma statis dan permanen atas nilai seni.

Munich saat itu menjadi pusat seni yang dipenuhi oleh sekumpulan para pelukis ekspresionisme, penyair, penulis dan aktor bohemian (dikenal sebagai kelompok Blaue Reiter). Gelombang ekspresionisme menyerbu para pelukis di Munich dan Berlin hingga Wina. Sebuah kafe yang dikelola oleh Emmy Hennings dan suaminya Hugo Ball bernama Café Simplizisimus sangat dikenal dengan pertunjukan kabaretnya yang lebih sering disebut dengan ‘teater intim’.
''Cabaret Voltaire'' antara lain menampilkan karya-karya kontroversial Benyamin Franklin Wedekind yang terkenal dengan citra buruknya karena dianggap provokatif dalam hal seksual yang membuatnya sempat dibuang ke Paris dan dikurung dalam penjara.
Sekembalinya ke Munich (1901), Wedekind tetap memproduksi karya-karya satir dan malah semakin giat melakukan aksi-aksi ''performance'' yang dianggap cabul dan tidak senonoh. Tahun 1909, karyanya yang melukiskan emansipasi dan karir seorang perempuan dilarang ditampilkan.
Tak lama kemudian Munich kembali heboh dengan isyu terbaru mengenai seniman muda ‘nakal’ lainnya bernama Kokoschka. Ekspresionisme melanda Munich, Berlin hingga Wina. Kokoschka dianggap sebagai penghina eksentrik sekaligus seniman yang merosot moralnya dan ‘penjahat kasar’ terhadap moral publik Wina. Seniman berusia 22 tahun ini menggelar ''performance''. Mörder, Hoffnung der Frauen yang dipentaskan di Teater Kebun Vienna Kunstchau adalah lemparan kemarahan Kokoschka atas perlakuan publik. Para performer merangkak, merentangkan tangan, melengkungkan punggung dan menciptakan ekspresi wajah yang dibuat-buat, melakukan pertarungan agresif antara pria dan wanita, mencabik-cabik baju tokoh utama dan menorehkan darah buatan (aksi ini menjadi ciri teknik akting seniman ekspresionisme, dimana tradisi realistis dihancurkan). Sangat provokatif. Karya Kokoschka ini menjadi perbincangan di Munich melalui Berlin setelah penerbitannya di majalah Der Sturm berikut gambar selain teks.

===Awal Menuju Kelahiran===

Tahun 1910, F.T. (Fillippo Tomasso) Marinetti, penyair Italia dan pendiri Futurisme [Futurist Manifesto terbit 1909 di Le Figaro, Paris dan tiga bulan kemudian di Jepang], melihat publikasi karya sastranya, ia pun menyadari bahwa halaman sebuah majalah telah berubah ke ruang rupa sebagai akibat ketidaktentuan.
"''Parole in Liberta''" (''Words in Freedom''/ Kata-kata dalam Kebebasan, 1912) sebagai manifestonya yang sangat berpengaruh. Sebanyak 800.000 pernyataan "''Against Past-Loving Venice''" disebarkan ke jalanan dan menghanyutkan para pelukis dan penyair futurist di Italia serta masyarakat kota Venesia. Mereka pun membawa kehidupan seni ke jalanan.
1914, tepatnya 29 Maret dan 5 April di Galeri Sprovieri, Roma, Marinetti mempertunjukkan gagasan baru dalam seni pertunjukan. Rancangan ''performance'' yang ditulis oleh Francesco Cangiullo --seorang pekerja bebas-- berjudul “Piedigrotta” adalah sebuah drama ‘kata-kata dalam kebebasan’. Karya menyertakan galeri dalam tata cahaya lampu berwarna merah, dihiasi lukisan-lukisan. Beberapa ‘kurcaci’ dengan topi-topi fantastis menyembul ke atas dan terbuat dari kertas tissue, membantu Marinetti melantangkan ‘kata-kata dalam kebebasan’ diiringi dentingan piano oleh Cangiullo. Para performer memainkan instrumen bunyi ‘''home made''’ yang terdiri dari kerang laut besar, busur gesek (terbuat dari gergaji yang disambungkan dengan kaleng yang bergesekan) dan sebuah kotak ''terracotta'' kecil berlapis kulit yang dipasangi buluh dan bergetar saat ‘dipukul’ dengan ‘tangan basah’.
Karya tersebut melahirkan bentuk baru dalam seni deklamasi (Dynamic and Synoptic Declamation). Marinetti bahkan menyatakan bahwa dirinya adalah ‘unggulan dunia yang tak dapat disangkal sebagai pendeklamasi puisi bebas dan kata-kata dalam kebebasan’. Menurutnya, pendeklamasi Futurist harus berdeklamasi dengan kakinya sebanyak ia berdeklamasi dengan tangannya, selain harus bisa memainkan instrumen-instrumen penghasil suara yang berbeda.
Piedigrotta dimainkan kembali di Galeri Dorè, London hingga akhir April, tak lama setelah tur Marinetti di Moskow dan St. Petersburg. ''Times'' menuliskan saat itu ruangan ‘dihiasi dengan banyak spesimen dari sekolah seni ultra-modern’.
Tradisi realistis dihancurkan dengan pemunculan drama-drama ekspresionisme.
Musim panas tahun 1915, Hugo Ball dan Emmy Hennings meninggalkan Jerman melalui Berlin menuju Zűrich, Swiss. ''Cabaret Voltaire'' hidup kembali. Beberapa jam saat persiapan ruang pentas menjelang malam pembukaan, hadir 4 pria kecil berwajah oriental yang sangat sopan membungkuk berulang kali memperkenalkan diri. Para seniman yang terdiri dari pelukis dan penyair itu menyumbangkan diri melalui karya seninya di malam pembukaan. Mereka antara lain adalah Tristan Tzara, Marcel dan Georges Janco serta Jean Arp. Masing-masing dengan kepiawaiannya berdeklamasi, menari, menyanyi dalam bahasa Perancis, Denmark hingga Rusia. Pembacaan dan ''performance'' berlangsung di malam-malam kabaret selanjutnya adalah kunci untuk menemukan kembali kesenangan dalam seni.


'''Dada'''

Di bulan April 1916, malam-malam kabaret tetap berlanjut dan kelompok Cabaret Voltaire semakin berkembang dengan kehadiran orang-orang baru antara lain Richard Huelsenbeck di bulan Februari sebelumnya. Acara rutin mereka akhirnya menemukan bentuk yang khusus dan tetap mempertahankan perubahan bentuk tersebut sebagai sebuah gerakan. Para penonton semakin meluas, segmennya tak hanya publik seni, namun juga tokoh-tokoh intelektualis lainnya di bidang politik (Lenin di antaranya) dan kaum borjuis, khususnya anak-anak mudanya. Tzara yang sangat berambisi untuk kelanjutan Cabaret Voltaire –sebagai sebuah gerakan. Lahirlah istilah ‘''dada''’ yang ditemukan Ball dan Richard Huelsenbeck dari kamus bahasa Jerman-Perancis, yang berarti ‘ya, ya’. dalam bahasa Rumania, dalam bahasa Perancis berarti ‘kuda-kudaan’ dan dalam bahasa Jerman berarti ‘orang naïf nan dungu, senang dengan penghasilan dan asyik dengan kereta bayi’, demikian menurut Ball.
Munculnya kaum Dada memulai fase baru gerakan Dada dengan memperkenalkan diri di Waag Hall, Zűrich pada tanggal 14 Juli 1916. Malam Dada Pertama melibatkan unsur musik, tari, teori, puisi, lukisan, kostum dan topeng. Puisi diteriakkan, perkelahian, drum besar, lonceng kecil, orang-orang protes memecahkan kaca jendela, ''Arp erklärung'', ''Janco meine Bilder'', ''Heusser eigene Kompositionen'', kostum kardus, tarian kubisme, Tzara berdiri di depan tirai setenang batu dan menjelaskan estetika baru, akrobat di antara penonton, hingar bingar dan sebagainya. Mereka pun diberi ‘gelar kehormatan’ sebagai ‘para Nihilis’.
Galerie Dada pun didirikan. Program galeri tak hanya pameran dan diskusi namun juga terbuka untuk acara pesta teh sore hari bagi siswa sekolah dan acara keliling galeri bagi para pekerja, ada pengajaran tentang Kandinsky dan demonstrasi. Hanya 11 minggu kemudian galeri ditutup secara resmi.
Huelsenbeck kembali ke Jerman dan menerbitkan tulisannya ‘''En Avant Dada: Eine Geschicte des Dadaismus''’ (1920). Buku ini menganalisis sebagian konsep yang sudah dikembangkan. Antara lain konsep yang sama digunakan Marinetti dalam arti sastra. Teori ini dipergunakan untuk menghadapi pengertian baru dalam konteks Berlin. Para bohemian sastra Berlin kurang menyikapi sikap ‘seni untuk seni’. Mereka segera mempengaruhi Dada melalui pendirian politik yang belum dikenal sebelumnya.
Perkenalan gagasan Dada pada publik Berlin berlangsung, Huelsenbeck menyodorkan karyanya berjudul ‘''Dadaisme in Life and Art''’. Namun akhirnya pihak manajemen acara mematikan lampu di tengah-tengah pidato Haussmann, karena khawatir akan lukisan di dinding. Malam itu juga Huelsenbeck pergi menghilang ke kota asalnya di Brandenburg. Namun seniman Dadaisme Berlin tetap berjalan. Dalam kostum yang aneh-aneh, mereka berjalan-jalan di Kunfurstendamm dengan menyertakan slogan-slogan antara lain: Huelsenbeck adalah Weltdada, Meisterdada; Hausmann adalah Dadasoph; Grosz menggunakan bermacam nama antara lain: Boff, Dadamarschall, Propagandada; Gerhard Preiss menemukan Dada Trott, Musik Dada. Sejalan dengan keberadaan Komunisme Radikal dan persoalan lapangan kerja dan pengangguran, Berlin mengubah Dada menjadi makin agresif. Pertemuan Dada Internasional Pertama di Burchard Gallery pada bulan Juni 1920.
Di Cologne, Max Ernst membuka pameran ‘Dada-Vorfruhling’ bersama Jean-Arp dan Baargeld pada tanggal 20 April 1920. Pameran ini kemudian ditutup oleh polisi. Pengunjung yang sempat masuk mendapati di dalamnya karya Ernst berupa sebuah aquarium penuh air berwarna merah mengesankan darah dengan jam wekker di dasarnya dan sebilah tangan dari kayu menyembul ke atas permukaan air dan sebuah wig perempuan mengapung di atasnya. Sebilah kapak di dekatnya dapat mengundang audiens untuk segera memecahkan karya tersebut.
Francis Picabia, pendatang baru --lahir di Paris dan tinggal di New York serta Barcelona, selain di kota kelahirannya, orang kaya keturunan Cuba—memperkenalkan dirinya di tahun 1918 pada rombongan Dada di pesta sampanye di Hotel Elite, Zurich. Di New York, ia dan Duchamp merupakan aktivis seni avant-garde papan atas. Di tahun sebelumnya, ia menggelar pameran independen bersama Walter Arensberg dan Duchamp dengan karya ‘''Fountain''’nya berupa urinoir. Karya ini menarik perhatian Tzara yang menyambutnya dengan kalimat ‘Panjang umur Descartes. Panjang umur Picabia, anti-pelukis yang baru tiba dari New York’.
Maret 1919 Tzara menerbitkan majalah sastra bernama Littérature bersama rekan-rekan korespondensinya André Breton, Louis Aragon, Paul Eluard, Philippe Soupault Pierre Reverdi dan Jean Cocteau di Paris. Hal ini yang menjadikannya untuk segera memutuskan kepindahannya ke Paris.
Tristan Tzara bersama gerakan rekan-rekan Prancisnya tersebut a.l.: André Breton, Louis Aragon, Jean Arp di Paris dan kemudian bersama tiga rekan lainnya Marcel Duchamp, Francis Picabia, dan Man Ray -- membawa spirit gerakan ini dari Paris ke New York.
Kelahiran kaum Dada juga berdasar pada surealisme dan absurditas yang seringkali karya-karyanya muncul seolah tak bermakna. Duchamp merayakan lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci dengan menambahi kumis dan janggut di atasnya.

'''Di Barat [Eropa dan Amerika]'''

Berdasar pada data dan informasi yang saya temukan dalam referensi barat, ''performance art'' mengawali proses kehadirannya di dunia menjelang awal abad ke-20, saat Perang Dunia I, saat Ekspresionisme makin merambah kesadaran intelektual.
Namun beberapa masa sebelumnya, ada begitu banyak data yang menjadi latar belakang hingga menuju ke arah pembentukan genre ini serta merta menjadikan observasi ini merunut tak hanya setapak dua tapak ke belakang atas dasar relevansinya. Pemahaman atas genre seni ini semakin bisa terlihat benang merahnya secara ''flash back'' dengan mempelajari pengetahuan serta analisa atas sejarah seni sebelumnya, sejauh mana penemuan manuskrip dan penelitian atas berbagai artefak peradaban di masa lalu berhasil didapatkan.
Genre ini sebetulnya merupakan gerakan ‘''non-art''’ yang menisbikan konsep estetika. Lahir istilah ‘''avant-garde''’ oleh seorang pelukis Perancis, Henri de Saint-Simon di tahun 1825 saat ia membentuk kumpulan seniman, ilmuwan dan industrialis yang mendukung pikiran-pikiran terbaru (''Manifesto Avant-Garde''). Sikap pendobrakan terhadap pemahaman konvensional atas seni ini dimulai. Semenjak kehadiran ''Salon de Refusés'' di tahun 1863 di Paris, dimana sekelompok pelukis menyatakan dirinya sebagai para seniman ‘''avant-garde''’ dan menolak Paris Salon dalam ruang-ruang akademis, berlanjut hingga beberapa kala kemudian. Ubu Roi karya Alfred Jarry yang ditampilkan di Paris, 1896 menunjukkan pengaruh pemikiran ini.

Setengah abad kemudian atau beberapa dekade sebelum ‘kelahiran’ ''performance art'', gerakan ‘anti seni’ ini muncul kembali ke permukaan dan lebih dikenal sebagai anti kemapanan berikut protes terhadap kaum fasis yang dianggap hipokrit dengan berbagai propaganda mereka sebagai bualan semata.
Genre ini tumbuh di antara bangsa-bangsa di Eropa (antara lain Jerman, Itali dan Perancis) sebagai keberadaan selanjutnya sebagai sebuah peradaban baru setelah terputusnya masa peradaban Romawi. Bangsa-bangsa ini memang tercatat melahirkan genre-genre baru dari abad ke abad kemudian pada masing-masing wilayahnya sekaligus saling terpengaruh dan mempengaruhi serta menciptakan genre-genre baru berikutnya, khususnya di Perancis dan Itali. Hingga kini genre-genre tersebut menjadi pola dan patron dasar pada berbagai kurikulum studi seni di seluruh dunia, serta merta mengembangkan ‘peradaban’ seni yang semakin global, meski para senimannya berada dalam atmosfer tradisi masing-masing.

Cabaret Voltaire di Zurich (sebelum hijrah kembali ke tempat asal, Munich) adalah model awal keberadaan leburnya berbagai bentuk seni yang memecahlantak paham konvensional di Eropa.

Semenjak “Manifesto Futuris” terbit di Le Figaro, 20 Februari 1909 --dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Jepang dan terbit di negara sakura 3 bulan setelahnya— para seniman dan intelektualis avant-garde makin menyatukan persepsi dan meruncingkan pemikiran.
Pada tahun 1910, saat F.T. Marinetti, penyair Italia dan pendiri Futurisme, melihat karyanya, ia pun menyadari bahwa halaman sebuah majalah telah berubah ke ruang rupa sebagai akibat ketidaktentuan. Manifestonya yang sangat berpengaruh "Parole in Liberta" (Worlds in Freedom) diterbitkan di 1912. Kata-kata berkaitan, halaman sebagai ruang seni dan pembaca –-waktu yang terkontrol dalam sebuah dokumen— dipublikasikan dalam ribuan copy dan ditujukan untuk audiens khalayak luas.
Para pelukis dan penyair futurist di Italia serta masyarakat kota Venesia turut hanyut saat 800.000 pernyataan "Against Past-Loving Venice" tersebut disebarkan di atas mereka. Kesadaran ingin lepas dari belenggu masa lalu dengan menghancurkan gudang sejarah dan rengkuhan teknologi, membuat mereka membawa kehidupan seni ke jalanan.

Sejalan bagi kaum Dada [dipelopori oleh penyair Rumania, Tristan Tzara di Zurich bersama gerakan rekan-rekan Prancisnya a.l.: André Breton dan tiga rekannya --Marcel Duchamp, Francis Picabia, dan Man Ray-- yang kemudian membawa spirit gerakan ini dari Paris ke New York] yang berpikiran bahwa absurditas perang adalah kesia-siaan meng-agitasi para kaum borjuis dalam melawan agresi kaum ''fascist''. Kaum futuris dan dadais menggunakan ''performance'' dan hasil kreasi sebagai gerakan (sikap) dalam menghadapi kepuasan atas diri sendiri (''confronting complacency'').

Di antara perang dunia, ''performance art'' menjadi aspek penting kurikulum Bauhaus dalam workshop teater Oskar Schlemmer's, di mana ditekankan kumpulan dan penyatuan semua bentuk kesenian. Setelah Perang Dunia II, ''performance art'' menjadi kawasan ujian bagi ide-ide seni kepedulian dan bukan seni [''non-art''], sebagai identitas politik dan tuan rumah isyu-isyu politik dan estetik lainnya.

Di masa-masa tersebut istilah ''performance art'' belum digunakan. Term ‘''conceptual art''’ telah digunakan oleh Marcel Duchamp semenjak 1913 untuk menjelaskan karya ‘''ready-mades''’nya dalam pertimbangan estetika dari bahan dasar pengkaryaannya yang sudah barang jadi dan ia tampilkan kembali sebagai sesuatu yang baru. Duchamp juga menyatakan proses tersebut, yakni ‘''real-life activities''’ sebagai seni. Tahun 1921, Duchamp melakukan aksi mencukur rambut bagian belakang kepalanya hingga berbentuk bintang.

''Performance'' adalah pilihan kata untuk menunjukkan proses terbitnya genre baru ini, khususnya di Amerika. Beberapa orang menyebutnya dengan action art (ini sebetulnya istilah lain dari action painting yang antara lain kerap dilakukan Jackson Pollock –seniman Amerika--yang beraliran ''abstract expressionism'').
Di tahun 1949, pelukis Jackson Pollock menjadi perhatian karena ulahnya saat proses melukis. Ia acapkali menyemburatkan cairan tinta dari kaleng (tak lagi menggunakan palet) ke atas kanvas yang terhampar di dinding, lantai dan sebagainya dalam studio Long Islandnya.
Foto-foto [oleh Hans Namuth] kegiatan Pollock tersebut baru dipublikasikan di tahun 1951.
Menuju tahun ‘60, muncul para seniman ‘''happenings''’. Tahun 1952, komposer John Cage menyebarkan ide-ide tentang ''performance'' dan antar disiplin seni. Melalui pengajarannya di ''New York's New School of Social Research'' dan ''North Carolina's Black Mountain College'', Cage mempengaruhi sejumlah besar seniman memasuki wilayah seni ''performance'', tak lagi berujud ''performing art''. Cage dan pasangannya Merce Cunningham mengawali kreasi multi media berjudul ''Theater Piece No. 1''. Karya ini menyertakan berbagai macam disiplin seni antara lain puisi, lukisan dan tari serta memecah jarak antara audiens dan para performer. Sejak itu karya mereka tersebut menjadi model ''performance''.
Di Eropa, sejarah seni menyertakan kaitan erat muatan retorika politik di dalamnya, khususnya Perancis. Simone de Beauvoir, Jean Genet dan Jean-Paul Satre menyebutnya ‘''combative art''’ sebagai bagian dari sebuah revolusi politik dan artistik.
Eksistensialisme merebak di tahun 1950an. 1954, di Paris, Georges Mathieu melakukan ''performance'' dalam gerak teatrikal dengan menyapukan tubuhnya ke atas kanvas.
Semangat penganut Sartre [''Sartrian Existentialism''] juga menyulut salah seorang seniman bernama Yves Klein dengan menyelenggarakan pameran di tahun 1958 di Paris berjudul “The Void”, berupa ruang basuh putih dalam galeri kosong.
Di sebuah desa di Italia (1957), muncul gerakan perubahan artistik dan politik internasional berjuluk ''Situationist International'' [SI]. Gerakan ini berbaur dengan sekelompok kecil nan ekstrim antara lain t''he Lettrist International'', ''International movement for an imaginist Bauhaus'', dan ''London Psychogeographical Association''. Pembauran ini mempengaruhi ''CoBrA'', ''Dada'', ''Surrealism'', ''Fluxus''. Para performer di masa ini lebih sering disebut sebagai ''situationist''.

Jurnal ''Internationale Situationniste'' mendefinisikan ''situationis''t sebagai "''having to do with the theory or practical activity of constructing situations''" serta definisi ''situationism'' adalah "''a meaningless term improperly derived from the above. There is no such thing as situationism, which would mean a doctrine of interpretation of existing facts. The notion of situationism is obviously devised by antisituationists''."

Di akhir 1960-an, mahasiswa dan seniman radikal Perancis menggelar ''happenings'' 24 jam berjudul “Modernisme” di jalan raya depan Universitas Sorbonne, Paris.

''Happenings'' mengaburkan garis batas antara performer dan audiens, ''performance'' dan realitas. Salah seorang murid John Cage, Allan Kaprow tampil dengan karya ''18 Happenings in 6 Parts''-nya di tahun 1959, lebih eksperimental berupa tayangan ''slides'', tari, musik, rasa dan bau. Herman Niitsch, perupa Austria mempersoalkan keberadaan ''material actions'' dan ''material happenings'' dengan menggabungkan tuangan cat yang dianggapnya ''material concrete'' dan bukan merupakan media ekspresi menjadi sebuah ''performance art''.

Tahun 1960 dianggap sebagai tahun yang mengawali produktivitas ''performance'' secara resmi sebagai sebuah seni ulah. Muncul foto “Leap Into The Void” (1960) karya Harry Shunk berupa aksi Yves Klein di Paris saat ia tampak akan ‘terjun bebas’ dari sebuah atap rumah.
Kemudian di tahun yang sama, Yves Klein dalam “Anthrometries of the Blue Period; The Painter of Space Hurls Himself into the Void” (Paris, 1960) menyertakan tubuh-tubuh nudis nan molek para model perempuan (peragawati) sebagai kuas yang memoleskan tinta biru di atas kanvas yang terbentang lebar di lantai. Karya ini dianggap sebagai aksi awalnya bagi publik dalam koridor ''performance art''.
Sepanjang tahun 1960-an, beberapa dekade setelah timbulnya aliran Dada, terjadi pemberontakan para seniman beberapa kota di Eropa dengan identitas ‘''co-br-a''’ (Copenhagen-Brussel-Amsterdam). Di Jerman, digunakan istilah-istilah ''Happenings'', ''Aktionen'', ''Art Aktuel'', ''Art Tota''l atau ''Fluxus''.

Beranjak menuju tahun 1970-an, beberapa dekade setelah timbulnya aliran Dada dan pemberontakan para seniman beberapa kota di Eropa dengan identitas ‘co-br-a’-nya di tahun 1960-an, Joseph Beuys, Yoko Ono dan Nam June Paik turut mengembangkan ruang cikal bakal ''performance art'' ini, dikenal sebagai ''fluxus artists''. Fluxus didirikan di tahun 1962 oleh George Maciunas (1931-1978), seorang seniman Amerika-Lithuania yang hijrah ke Jerman. Fluxus juga mengakar di Jepang.
Wolf Vostel mengawali gerakan ini di Jerman berikutnya bersama Nam Jun Paik --seniman asal Korea yang masa kecilnya hingga kuliah tinggal di Jepang, sebelum pindah ke Jerman--, beberapa tahun sebelum Paik memulai gagasannya di Amerika setelah penemuan video --terkenal hingga kini, yakni selaku penemu dan ‘bapak’ ''video art'' (seni video).

''Performance'' para seniman tersebut berbeda (dibanding dengan ‘''happenings''’), lebih personal, mengangkat hal banal yang menyembunyikan keindahan estetiknya sama sekali. Perkembangan ini kemudian yang semakin menarik benang merah lebih tegas lagi atas bingkai ''performance art''.
Genre yang muncul di saat ''post'' perang dunia ke-2 ini adalah situasi yang tak disadari telah mengkondisikan sikap revolusif bagi beberapa seniman atas berbagai bentuk kemapanan dan pikiran konservatif dalam dunia seni, khususnya seni rupa.

Para seniman menempatkan dirinya sebagai artis ''avant-garde'', pendobrak awal sekaligus ''postmodernist''. Istilah avant-garde yang semula digunakan dalam militer bagi pasukan terdepan agar segera memasuki kawasan musuh dan menyerangnya, menjadi ranah tersendiri di antara ''main-stream'' yang ada. Seni menjadi sesuatu yang perlu di-oposisi. Terkadang menampakkan sikap anti-seni, yang sebetulnya terjemahan bebasnya adalah anti-konvensional. Hal ini adalah sebuah proses dialektika yang terus menerus terselenggarakan dalam menyikapi kesadaran akan berbagai hal --yang hadir di dunia ini-- sebagai sesuatu yang sementara saja, hanya pada jamannya, bersifat kontemporer.

Genre baru ini muncul dalam kibaran bendera seni kontemporer, sebuah aliran anti kemapanan. Aliran ini juga menjadi sublimasi bagi masalah gender, ras, sexualitas, identitas dan sejarah personal yang disadari atau tidak telah mengkondisikan perkembangan feminisme bagi para ''radical feminist'' dan lesbian. Sudah lebih dari setengah abad, mazhab ini masih hidup dengan berbagai perkembangannya hingga kini.

''Performance art'' menduduki wilayah khusus. Pada beberapa acuan referensi ia diletakkan berada dalam naungan zona seni rupa. Seni ini muncul saat para perupa tak lagi merasa cukup katarsis dengan media seni rupa mereka. Mereka (para pelaku ''performance art'') pun hadir dengan membawa tubuh (mereka) sebagai medium ekspresif.

Berbagai atraksi yang ditunjukkan merupakan realita maya. Aksi yang terjadi bukanlah penampilan ''an sich'' seperti yang terlihat atau yang terpersepsi, namun jauh di balik (''beyond'') itu terdapat makna atau pesan yang ingin disampaikan. Siratan gagasan ini adalah bentuk deskriptif sebuah ide yang secara konseptual dibangun melalui tubuh sebagai mediumisasi, tak lagi melalui alat-alat seni rupa (seperti kanvas, cat, patung, dsb.). Gagasan ini dikembangkan sejalan dengan perkembangan feminisme dan homoerotisme yang lebih mengeksplorasi tubuh sebagai seni itu sendiri. [Hal ini berdasar pada konsep para homoseksual dalam mempertanyakan keberadaan fisik mereka, sehingga mereka menggunakan tubuh mereka sendiri sebagai sebuah medium ekspresif] Hasil pemikiran Freud juga cukup kuat mengacak-acak pikiran di masa ini. Para seniman homoseksual umumnya disebut sebagai ''queer artist'' (''Queer'' = ''gay'', lesbian, transgender, atau juga biseksual).

Konsep yang dibangun para ''performance artist'' adalah berada dalam ruang struktur konsep sebelumnya, atau konsep dalam konsep, katakanlah konsep berbingkai. Konsep ini lahir dari gagasan yang terkonsep. ''Performance art'' adalah ''conceptual art'' atau ''idea art'' (penggagasnya adalah Sol LeWitt-- terkenal dengan minimal art-nya--, yang kemudian menjadi gerakan di pertengahan tahun 1960an) -- meski pun Duchamp di tahun 1910an dan 1920an telah memulainya dengan karya-karya instannya yang diambil dari benda-benda ''ready-mades'', dan hadir sebagai karya baru yang sangat konseptual (''art object''), sekaligus awal mula proses kelahiran seni instalasi.

Tubuh di sini menjadi medium konseptual, yang memiliki aneka rupa fungsi konseptual sebagaimana sebuah sistem dengan struktur organ-organnya. Sistem ini yang dipercaya dapat memproduksi aneka macam gagasan mengenai konsep-konsep baru. Gagasan-gagasan ini pun lahir dari konsep-konsep yang telah terstruktur dan terbangun apa adanya sejak awal hingga proses perkembangannya terdahulu sebelum menjadi gagasan. Kelahirannya tetaplah berupa konsep.

''In conceptual art the idea or concept is the most important aspect of the work. When an artist uses a conceptual form of art, it means that all of the planning and decisions are made beforehand and the execution is a perfunctory affair. The idea becomes a machine that makes the art''. [Sol LeWitt]

Maka arti penggunaan tubuh sebagai medium dalam ''performance art'' sangatlah jamak. ''Performance artist'' bebas menginterpretasikan hal ini. Eksplorasi tubuh dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam. Setiap seniman berhak memperlakukan tubuhnya dalam forum ini, baik telanjang atau pun melakukan kekerasan terhadap tubuhnya sendiri. Termasuk pengambilan gagasan dan pembangunan konsep-konsep baru yang bertujuan membuat penyadaran bagi audiens. Hal ini juga merupakan upaya eksplorasi tubuh. Pikiran dan sejuta gagasannya dalam otak di ruang tempurung kepala, termasuk bagian dari tubuh atau sebuah system dan organisasi sekaligus mediumisasi, yakni menggunakannya sebagai alat produksi karya ''performance art''.

Semenjak tahun 1970an, muncul istilah ‘''body art''’. “''Body Works''” merujuk pada “''Variously called actions, events, performances, pieces, things, the works present physical activities, ordinary bodily functions and other usual and unusual manifestions of physicality. The artist’s body becomes both the subject and the object of the work''”, demikian menurut ulasan di majalah Avalanche terbitan Kalifornia di tahun 1970 (Carlson, Marvin : 1996).

Istilah ''performance art'' mulai jamak digunakan. Di tahun ‘70an tersebut, didirikan Museum of Conceptual Art di San Fransisco –oleh Tom Marioni--, sebuah pusat penting bagi eksperimen dalam seni. Area Teluk San Fransisco menjadi pusat ‘''life ar''t’. Di Washington tahun 1975, Kaprow memimpin sebuah panel diskusi yang bertajuk “Performance and the Arts” dan menyertakan Acconci, Yvonne Rainer dan Joan Jonas. Mereka sepakat bahwa ruang yang digunakan dalam “''performance''” adalah ‘lebih sering menjadi semacam sebuah ruang kerja daripada sebuah ''setting'' teatrikal secara formal’. Para ''performance artists'' menolak “''the dramatic structure and psychological dynamics of traditional theatre or dance''” dan memfokuskan diri pada “''bodily presence and movement activities''”.

''Performance art'' pada perkembangannya kemudian menjadi menarik dan menganak pinakkan ranting-ranting mau pun situs-situs baru komunitas performance artist di berbagai penjuru dunia. Eropa Barat dan Jepang serta Amerika tetap menjadi pusat-pusat kelahirannya. Hadir berbagai festival secara berkala mau pun insidental. Negara-negara sosialis di Eropa dan khususnya Eropa Timur lebih banyak membawa porsinya akibat pengaruh sejarah politik mereka. Di negara-negara ini ''performance art'' yang ditampilkan cenderung lebih radikal dan tajam. Di negara-negara lainnya dan Amerika tidak se-ekstrim itu.
Meski demikian, diskusi dan debat serta riset mengenai istilah berdasarkan bentuk ''performance art'' ini belum juga habis dibicarakan selama lebih dari 30 tahun sejak kelahirannya, bahkan di Barat.

MOHON DIRAPIKAN -->

==Lihat pula==
* [[Pertunjukan seni di Indonesia]]
* [[Pertunjukan seni di Tiongkok]]

==Daftar pustaka==
*''Encyclopedia, The Columbia''/ Performance Art/ Sixth Edition/ 2001
*''Carlson, Marvin''/ Performance – A Critical Introduction/ London/ 1996
*''Soedarsono, R.M.''/ Metodologi Penelitian/ Seni Pertunjukan dan Seni Rupa/ MSPI/ 1999
*''Echols, John M. & Hassan Shadily''/ An English – Indonesian Dictionary/ Cornell University/ 1975
*''Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Tim''/ Kamus Besar Bahasa Indonesia/Edisi 2/ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/ Balai Pustaka/ 1994
*''Dictionary, The Lexicon Webster''/ Volume 11/The English-Languange Institute of America, Inc./1978
*''Chin, Sharon''/ An art of action/ StarMag/ Sunday 19 February
*''Byrd, Jeffery''/ Performance Art/ an encyclopedia of gay, lesbian, bisexual, transgender and queer culture/gltbq, Inc., 1130 West Adams Street, Chicago/ 2002-200
*''Goldberg, RoseLee''/ Performance – Live Art since 60th/ USA/ 1998
*''Listyowati, Atieq SS''/ Sejarah Performance Art: Sebuah Introduksi/ AppreRoom/ 2010

Revisi terkini sejak 22 Oktober 2018 16.24

Mengalihkan ke: