Lompat ke isi

Kakawin Smaradahana: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Halaman baru: '''Kakawin Smaradahana''' Sebuah karya sastra Jawa Kuna dalam bentuk puisi yang menyampaikan kisah terbakarnya batara Kamajaya ===Isi=== Ketika batara Siwa pergi bertapa, dalam i...
 
Madu23 (bicara | kontrib)
 
(37 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox poem
'''Kakawin Smaradahana'''
|name = ''Smaradahana''<br/>'''''Asmaradhana'''''<br/>'''''Asmaradana'''''
Sebuah karya [[sastra Jawa Kuna]] dalam bentuk puisi yang menyampaikan kisah terbakarnya batara Kamajaya
|image = Smaradahana (I Ketut Gedé).jpg
|image_size = 265px
|caption = Adegan dari ''Smaradahana'' yang digambarkan dalam lukisan gaya [[Bali]] yang dibuat oleh [[I Ketut Gedé]] {{circa}} 1890. Lukisan ini di atas kain katun buatan mesin. 1113 × 168 cm. Singaraja. Koleksi Wereldmuseum (Rotterdam) Inv. no. 26939.
|subtitle = Sebuah puisi [[Jawa Kuno]] ('' [[kakawin]] '')
|author =
|original_title = ''Asmaradhana''
|original_title_lang = [[Bahasa Kawi]]
|translator =
|written =
|first =
|illustrator = [[Suku Jawa]]{{dn|date=April 2021}}
|cover_artist=
|country = [[Indonesia]]
|language = [[Bahasa Kawi]]
|series =
|subject =
|genre =
|form =
|meter =
|rhyme =
|publisher = [[Bahasa Kawi]]{{dn|date=April 2021}}
|publication_date =
|media_type =
|lines =
|pages =
|size_weight =
|isbn =
|oclc =
|preceded_by =
|followed_by =
|wikisource =
}}
{{Infobox manuscript
| name = Kakawin Smaradahana
| location =
<!----------Image---------->
| image =
| width =
| caption =
<!----------General---------->
| Also known as =
| Type =
| Date =
| Place of origin =
| Language(s) =
| Scribe(s) =
| Author(s) =
| Compiled by =
| Illuminated by =
| Patron =
| Dedicated to =
<!----------Form and content---------->
| Material =
| Size =
| Format =
| Condition =
| Script =
| Contents =
| Illumination(s) =
| Additions =
| Exemplar(s) =
| Previously kept =
| Discovered =
| Accession =
| Other =
| below =
}}
[[Berkas:Cover Smaradahana-Dinas Pendidikan Bali.jpg|jmpl|250px|Kama yang dibakar oleh Batara Siwa pada sampul buku keluaran Dinas Pendidikan Bali ini]]


'''Kakawin Smaradahana''' adalah sebuah karya [[sastra Jawa Kuno]] dalam bentuk [[kakawin]] yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara [[Kamajaya]]
===Isi===
Ketika batara Siwa pergi bertapa, dalam inderanya didatangi musuh ,raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Khayangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Khayangan ,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah [[pancawisesa]] yaitu :
* hastrat mendengar yang merdu
* hastrat mengenyam yang lezat
* hastrat meraba yang halus
* hastrat mencium yang harum
* hastrat memandang yang serba indah


== Ikhtisar ==
Akibat panah pancawisesa tersebut batara Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada ditengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali ,permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indera dengan gajahnya yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama [[Ganecya]]. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganecya lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganecya setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.
Ketika Batara [[Siwa]] pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya bernama [[Nilarudraka]], demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Kahyangan,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:
* Hasrat mendengar yang merdu,
* Hasrat mengenyam yang lezat,
* Hasrat meraba yang halus,
* Hasrat mencium yang harum,
* Hasrat memandang yang serba indah.


Akibat panah ''pancawisesa'' (atau ''pancawisaya''?) tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi [[Uma]], tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi [[Ratih]] istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali, permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama [[Ganesha]]. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha 'lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.
===Raja Kediri===
Dalam kitab Smaradahana, disebut-sebut nama Raja [[Kediri]] [[Prabu Kameswara]] yang merupakan titisan [[Dewa Wisnu]] yang ketiga kalinya dan berpermaisuri [[Sri Kirana Ratu]] putri dari kerajaan [[Jenggala]]


===Analisis Para Ahli ===
=== Raja Kediri ===
Dalam kitab Smaradahana, disebutkan nama raja [[Kerajaan Kadiri|Kediri,]] [[Prabu Kameswara]] yang merupakan titisan [[Dewa Wisnu]] yang ketiga kalinya dan berpermaisuri [[Sri Kirana Ratu]] putri dari [[Kerajaan Janggala|Kerajaan Jenggala]]
Dalam prasasti batu, memang tertulis raja Kediri Kameswara bertahta selama tahun 1115 sampai dengan 1130, dan kemudian ada pula Raja Kameswara II yang bertahta pada sekitar tahun 1185. Para ahli Belanda memperkirakan bahwa Kameswara II itu yang mempunyai hubungan dengan kitab Smaradahana. Akan tetapi Prof. Purbatjaraka sebaliknya menunjuk Kameswara I yang terkait, sebab raja tersebut dalam kitab Panji bernama [[Hinu Kertapati]] dan juga permaisurinya bernama Kirana , yaitu [[Dewi Candrakirana]], hanya posisi Jenggala dan Kedirinya yang terbalik.


===Penulis===
=== Analisis Para Ahli ===
Dalam prasasti batu, tertulis raja Kediri Kameswara bertahta selama tahun 1115 sampai dengan 1130. Kemudian, ada pula Raja Kameswara II yang bertahta pada sekitar tahun 1185. Para ahli Belanda memperkirakan bahwa Kameswara II mempunyai hubungan dengan kitab Smaradahana. Akan tetapi Prof. Purbatjaraka sebaliknya menunjuk Kameswara I yang terkait, sebab raja tersebut dalam kitab Panji bernama [[Hinu Kertapati]] dan juga permaisurinya bernama Kirana, yaitu [[Dewi Candrakirana]], hanya posisi Jenggala dan Kedirinya yang terbalik.
Penulis Smaradahana bernama [[mpu Dharmadja]]
=== Penulis ===
Penulis Smaradahana bernama [[Mpu Dharmadja]].


===Bacaan lebih lanjut===
== Bacaan lebih lanjut ==
*[[Dr.Purbatjaraka]],[[1931]] <i>Bibliotheca Javanica</i>. (Jilid III)
* [[Poerbatjaraka]],[[1931]] ''Smaradahana'', Bibliotheca Javanica Jilid III. Bandoeng: Nix * [[R.D.S. Hadiwidjana]],[[1968]] ''Sarwacastra'',[[Jogyakarta]]:[[U.P. Indonesia N.V]]. (Resensi,Jilid II, hal.7-9)

*[[R.D.S. Hadiwidjana]],[[1968]] <i>Sarwacastra</i> ,[[Jogyakarta]]:[[U.P. Indonesia N.V]]. (Resensi ,Jilid II, hal.7-9)
[[Kategori:Kakawin]]

Revisi terkini sejak 22 Oktober 2021 13.43

Smaradahana
Asmaradhana
Asmaradana
Sebuah puisi Jawa Kuno ( kakawin )
Adegan dari Smaradahana yang digambarkan dalam lukisan gaya Bali yang dibuat oleh I Ketut Gedé ca 1890. Lukisan ini di atas kain katun buatan mesin. 1113 × 168 cm. Singaraja. Koleksi Wereldmuseum (Rotterdam) Inv. no. 26939.
Judul asliAsmaradhana
IlustratorSuku Jawa[perlu disambiguasi]
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Kawi
PenerbitBahasa Kawi[perlu disambiguasi]
Kakawin Smaradahana
Disebut pulaᬓᬓᬯᬶᬦ᭄‌ᬲ᭄ᬫᬭᬤᬳᬦ
Daerah asalKerajaan Kadiri
Bahasa(-bahasa)Kawi
Juru(-juru) tulisMpu Dharmaja
Ukuran40 cm x 3,5 cm
FormatKakawin
AksaraAksara Bali
Masuk Koleksi padaTojan, Perpustakaan Kantor Dokumentasi Budaya Bali dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat
Kama yang dibakar oleh Batara Siwa pada sampul buku keluaran Dinas Pendidikan Bali ini

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno dalam bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya

Ketika Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Kahyangan,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:

  • Hasrat mendengar yang merdu,
  • Hasrat mengenyam yang lezat,
  • Hasrat meraba yang halus,
  • Hasrat mencium yang harum,
  • Hasrat memandang yang serba indah.

Akibat panah pancawisesa (atau pancawisaya?) tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali, permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha 'lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.

Raja Kediri

[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Smaradahana, disebutkan nama raja Kediri, Prabu Kameswara yang merupakan titisan Dewa Wisnu yang ketiga kalinya dan berpermaisuri Sri Kirana Ratu putri dari Kerajaan Jenggala

Analisis Para Ahli

[sunting | sunting sumber]

Dalam prasasti batu, tertulis raja Kediri Kameswara bertahta selama tahun 1115 sampai dengan 1130. Kemudian, ada pula Raja Kameswara II yang bertahta pada sekitar tahun 1185. Para ahli Belanda memperkirakan bahwa Kameswara II mempunyai hubungan dengan kitab Smaradahana. Akan tetapi Prof. Purbatjaraka sebaliknya menunjuk Kameswara I yang terkait, sebab raja tersebut dalam kitab Panji bernama Hinu Kertapati dan juga permaisurinya bernama Kirana, yaitu Dewi Candrakirana, hanya posisi Jenggala dan Kedirinya yang terbalik.

Penulis Smaradahana bernama Mpu Dharmadja.

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]