Lompat ke isi

Bengberokan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: perubahan kosmetika
k →‎Referensi: clean up
 
(17 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Bengberokan''' atau '''berokan''' merupakan pertunjukan penolak bala mirip [[barongsay]] dari [[Tiongkok]].
'''Bengberokan''' atau '''berokan''' merupakan pertunjukan penolak bala mirip [[barongsai]] dari [[Tiongkok]]. Topeng berokan merupakan seni pertunjukan rakyat yang tersebar di desa-desa sepanjang pesisir utara Jawa Barat, seperti di pesisir Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Topeng berokan mengambil wujud harimau, yaitu hewan yang dianggap mewakili mahluk dihormati sekaligus ditakuti.<ref>https://munas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2013.pdf</ref>


== Sejarah ==
== Sejarah ==
Seni pertunjukan topeng berokan ini konon diciptakan oleh Mbah Kuwu Cirebon Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang mendirikan Kerajaan Cirebon di abad ke-15. Pangeran Cakrabuana tidak lain adalah Pangeran Walangsungsang, yaitu putra pertama dari pasangan Prabu Siliwangi dengan Ratu Mas Subang Larang yang lahir tahun 1423.<ref>{{Cite book|last=Sulendraningrat (Pangeran)|first=Sulaiman|date=1978|url=https://books.google.co.id/books?id=RuI7YAAACAAJ&dq=sejarah+cirebon&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjEvLHp0uzrAhXYcn0KHXt2DU0Q6AEwAHoECAIQAQ|title=Sejarah Cirebon|location=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah|isbn=|pages=71|language=id|url-status=live}}</ref> Ketika menyebarkan syiar [[Islam]] ke wilayah [[Galuh]], Pangeran Cakrabuana menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama agar mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu. Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata barokahan (keselamatan). Namun tampaknya keterangan tersebut hanya sebuah ''kirata'' ([[bahasa Sunda]], yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.<ref name=":0">{{Cite book|last=|first=|date=2003|url=https://books.google.co.id/books?hl=id&id=HHKBAAAAMAAJ&focus=searchwithinvolume&q=bengberokan|title=Deskripsi kesenian Jawa Barat|location=|publisher=Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad|isbn=978-979-97718-0-3|pages=6|language=id|url-status=live}}</ref>
Menurut tuturan riwayat yang diwariskan secara turun-temurun di kalangan senimannya, bengberokan adalah warisan Pangeran Korowelang atau Pangeran Mina, seorang penguasa laut Jawa di wilayah [[Cirebon]] dan [[Indramayu]]. Namun terdapat pula tuturan yang juga diwariskan di kalangan seniman berokan, bahwa berokan merupakan kreasi Mbah Kuwu [[Pangeran Cakrabuana]], ketika menyebarkan syiar [[Islam]] ke wilayah [[Galuh]], sebagaimana yang dilakukan oleh para wali, menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama, ditujukan agar dapat mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu.


== Bentuk Kesenian ==
Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata "barokahan" (keselamatan). Namun nampaknya keterangan tersebut hanya sebuah ''kirata'' ([[bahasa Sunda]], yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.
Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.<ref name=":0" />


Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur. Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.<ref name=":0" />
== Bentuk kesenian ==
Bentuk berokan yang dekat dengan bentuk-bentuk [[mitos|mitis]] totemistik dari [[binatang]] seperti [[buaya]], wajah [[raksasa]], dll., menunjukkan adaptasi budaya tersebut.
Pertunjukan berokan ini sangat populer di wilayah Cirebon dan Indramayu. Pada awalnya dilakukan sebagai bagian dari upacara [[ruwatan]] dalam menanggulangi ''pageblug'' (epidemi penyakit), menempati rumah baru, dll. Namun demikian, dewasa ini pertunjukan [[burokan]] lebih banyak dipakai dalam memeriahkan pesta khitanan atau perkawinan.


Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari [[kendang]], [[terebang]], [[kecrek]], dan [[bende]] (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadang kala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.<ref name=":0" />
Bengberokan dimainkan juga pada upacara [[Ngunjung Buyut]], yaitu upacara untuk menghormati arwah leluhur di pekuburan desa-desa tertentu. Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.


== Referensi ==
Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur.


[[Kategori:Kabupaten Cirebon]]
Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.
[[Kategori:Kabupaten Indramayu]]
[[Kategori:Kesenian Barongan]]
Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari [[kendang]], [[terebang]], [[kecrek]], dan [[bende]] (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadangkala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.
[[Kategori:Pertunjukan seni Sunda]]

[[Kategori:Kesenian Sunda]]
== Makna ==
Ada beberapa makna yang dapat disimpulkan dari pertunjukan Berokan ini:
* Makna mitis yaitu sebagai media penolak bala yang menjadi awal mula fungsi Berokan. Dengan mempertunjukan Berokan, dipercayai bahwa bala telah ditolak, dan dipercayai akan mendatangkan kebahagiaan.
* Makna sinkretis karena Berokan digunakan sebagai media dakwah pada masa awal penyebaran syiar Islam di wilayah Cirebon.
* Makna teatrikal karena Berokan beraksi menari, mengejar, dan memainkan kepalanya serta berbaur dengan spontanitas penonton yang merasa takut bercampur gembira
* Makna universal, karena Berokan memiliki kemiripan bentuk dengan Barongsay dan [[Chilin]] dari Tiongkok, mahluk-mahluk [[naga]] dari [[Eropa]] Purba.

Salah satu kelompok Berokan yang dewasa ini masih tetap berdaya, adalah kelompok Berokan yang dipimpin oleh Mama Taham dari desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.

== Sumber rujukan ==
* Ganjar Kurnia. 2003. ''Deskripsi kesenian Jawa Barat''. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

[[Kategori:Seni di Indonesia]]

Revisi terkini sejak 26 Desember 2022 23.40

Bengberokan atau berokan merupakan pertunjukan penolak bala mirip barongsai dari Tiongkok. Topeng berokan merupakan seni pertunjukan rakyat yang tersebar di desa-desa sepanjang pesisir utara Jawa Barat, seperti di pesisir Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Topeng berokan mengambil wujud harimau, yaitu hewan yang dianggap mewakili mahluk dihormati sekaligus ditakuti.[1]

Seni pertunjukan topeng berokan ini konon diciptakan oleh Mbah Kuwu Cirebon Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang mendirikan Kerajaan Cirebon di abad ke-15. Pangeran Cakrabuana tidak lain adalah Pangeran Walangsungsang, yaitu putra pertama dari pasangan Prabu Siliwangi dengan Ratu Mas Subang Larang yang lahir tahun 1423.[2] Ketika menyebarkan syiar Islam ke wilayah Galuh, Pangeran Cakrabuana menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama agar mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu. Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata barokahan (keselamatan). Namun tampaknya keterangan tersebut hanya sebuah kirata (bahasa Sunda, yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.[3]

Bentuk Kesenian

[sunting | sunting sumber]

Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.[3]

Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur. Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.[3]

Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari kendang, terebang, kecrek, dan bende (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadang kala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ https://munas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2013.pdf
  2. ^ Sulendraningrat (Pangeran), Sulaiman (1978). Sejarah Cirebon. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. hlm. 71. 
  3. ^ a b c d Deskripsi kesenian Jawa Barat. Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad. 2003. hlm. 6. ISBN 978-979-97718-0-3.