Lompat ke isi

Ni Nyoman Tanjung: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dex novi (bicara | kontrib)
menyunting
k →‎top: clean up, added orphan tag
 
(15 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Orphan|date=Desember 2022}}


'''Ni Nyoman Tanjung''' merupakan seorang wanita berasal dari Banjar Desa, Saren Anyar, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Memiliki kebiasan untuk mengumpulkan batu – batu kali yang diambil dari sungai dekat tempat tinggalnya. Ini merupakan kebiasan sejak muda, dan sekaligus menjadi hobi, kebiasan ini dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
'''Ni Nyoman Tanjung''' merupakan seorang wanita berasal dari Banjar Desa Saren Anyar, [[Budakeling, Bebandem, Karangasem|Desa Budakeling]], [[Bebandem, Karangasem|Kecamatan Bebandem]], [[Kabupaten Karangasem|Karangasem]]. Memiliki kebiasan untuk mengumpulkan batu–batu kali yang diambil dari sungai dekat tempat tinggalnya. Ini merupakan kebiasan sejak muda, dan sekaligus menjadi hobi, kebiasan ini dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.


Kegitan ini merupakan pelarian Men Tanjung yang sedikit mengalami gangguan jiwa, sebab konon pernah terjadi peristiwa yang tragis saat pada masa G-30-S PKI Tahun Itu 1965, Men Tanjung kehilangan anak pertamanya saat itu, yakni di cap PKI dan di bunuh. Kejadian ini menjadikan kenangan pahit yang terus terekam dalam ingtan Men Tanjung yang sering membuatnya melamun dengan tatapan mata kosong.  Ini yang menyebabkan Wanita ini sering dikatakan sebagai wanita yang aneh,  yang biasa berbicara ngelantur. Dari pihak keluarga dan lingkngan sekitarnya pun sulit untuk berkomunikasi dengan baik kepada Men Tanjung.  Menyebabkan Men Tanjung ini dikatakan sebagai orang yang tidak waras.
Kegitan ini merupakan pelarian Men Tanjung yang sedikit mengalami gangguan jiwa, sebab konon pernah terjadi peristiwa yang tragis saat pada masa G-30-S PKI Tahun Itu 1965, Men Tanjung kehilangan anak pertamanya saat itu, yakni di cap PKI dan dibunuh. Kejadian ini menjadikan kenangan pahit yang terus terekam dalam ingatan Men Tanjung yang sering membuatnya melamun dengan tatapan mata kosong. Peristiwa itu menyebabkan wanita ini sering dikatakan sebagai wanita yang aneh, yang terbiasa berbicara melantur. Dari pihak keluarga dan lingkungan sekitarnya pun sulit untuk berkomunikasi dengan baik kepada Men Tanjung. Menyebabkan Men Tanjung ini dikatakan sebagai orang yang tidak waras.


Di situai seperti itu Men Tanjung mulai berkreasi dengan membuat dunianya sendiri dengan ide dari imanjinasinya yang dimilikinya sejak 10 tahun sialm, saat itu juga Men Tanjung tertarik pada batu-batu yang banyak dijumpai sungai dekat rumahnya. Men Tanjung ini menggososng batu-batu dengan berbagia ukuran dan diletakan di tikungan beberapa meter dari jarak rumahnya.
Di situasi seperti itu, Men Tanjung mulai berkreasi dengan membuat dunianya sendiri dengan ide dari imajinasi yang dimilikinya sejak 10 tahun silam, saat itu juga Men Tanjung tertarik pada batu-batu yang banyak dijumpai sungai dekat rumahnya. Men Tanjung ini menggosok batu-batu dalam berbagai ukuran dan diletakan di tikungan beberapa meter dari jarak rumahnya.


Kemudian batu ini disusun sedemikian rupa digabungankan dengan ornament, lain seperti ranting buah, kelapa yang sudah dikerat menyerupai monyet, botol minum, sampai buah-buhan kering. Karya yang diciptakan oleh Men Tanjung merupakan keindahan alami. Yang tercipta dari daya imajinasinya, yang dinilai oleh orang sessuatu hall yang aneh.
Kemudian batu ini disusun sedemikian rupa digabungkan dengan ornamen lain seperti ranting buah, kelapa yang sudah dikerat menyerupai monyet, botol minum, sampai buah-buhan kering. Karya yang diciptakan oleh [[Men Tanjung]] merupakan keindahan alami yang tercipta dari daya imajinasinya, yang dinilai oleh orang sessuatu hal yang aneh.


Seni Men Tanjung  sangat menarik ketika dicermati, karyanya sangat murni yang muncul dari alam bawah sadr yang berasal dari penghayatan  pada kehidupannya perempuan sebagai pemeluk beragama Hindu.  Meskpn karya ini sedarhana namun manarik perhatian bagi yang mencermati kata serorang Budayawan  Prancis  yang brnama Jean cauteau yang sudah lama menetap di Bali.  Waktu itu ada seorang dari Yogyakarta yang membeli batu –batu karya Men Tanjung seharga 30 Juta. Ada beberapa orang yang kebetulan lewat di desa Budakeling yang berminat membeli karya ini dan memberi imbalan Rp 50- Rp60 ribu. Saat itu juga Men Tanjung terpikirkan untuk menggumpulkan batu-batu dan kemudian disusun menjadi sebuah tempat persembahyangan atau tempat pemujan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa
Seni Men Tanjung sangat menarik ketika dicermati, karyanya sangat murni yang muncul dari alam bawah sadar yang berasal dari penghayatan pada kehidupannya perempuan sebagai pemeluk beragama Hindu. Meskipn karya ini sederhana namun manarik perhatian bagi yang mencermati kata seorang Budayawan Prancis, Jean Cauteau, yang sudah lama menetap di Bali. Waktu itu ada seorang dari Yogyakarta yang membeli batu–batu karya Men Tanjung seharga 30 Juta. Ada beberapa orang yang kebetulan lewat di desa Budakeling yang berminat membeli karya ini dan memberi imbalan Rp.50-60 ribu. Saat itu juga, Men Tanjung terpikirkan untuk menggumpulkan batu-batu dan kemudian disusun menjadi sebuah tempat persembahyangan atau tempat pemujan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa.<ref>{{Cite news|url=http://bali.antaranews.com/berita/10865/brut-seni-primitif-ala-men-tanjung|title="Brut", Seni Primitif Ala Men Tanjung|last=Budhiana|first=Nyoman|work=[[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara|ANTARA News]]|language=id-ID|access-date=2018-07-07}}</ref>

== Referensi ==
{{reflist}}

[[Kategori:Tokoh Bali]]
[[Kategori:Seniman wanita Indonesia]]
[[Kategori:Perempuan Pekerja Seni]]
[[Kategori:Perempuan Pekerja Seni Kelahiran 1930-an]]

Revisi terkini sejak 28 Desember 2022 02.11


Ni Nyoman Tanjung merupakan seorang wanita berasal dari Banjar Desa Saren Anyar, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Memiliki kebiasan untuk mengumpulkan batu–batu kali yang diambil dari sungai dekat tempat tinggalnya. Ini merupakan kebiasan sejak muda, dan sekaligus menjadi hobi, kebiasan ini dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.

Kegitan ini merupakan pelarian Men Tanjung yang sedikit mengalami gangguan jiwa, sebab konon pernah terjadi peristiwa yang tragis saat pada masa G-30-S PKI Tahun Itu 1965, Men Tanjung kehilangan anak pertamanya saat itu, yakni di cap PKI dan dibunuh. Kejadian ini menjadikan kenangan pahit yang terus terekam dalam ingatan Men Tanjung yang sering membuatnya melamun dengan tatapan mata kosong. Peristiwa itu menyebabkan wanita ini sering dikatakan sebagai wanita yang aneh, yang terbiasa berbicara melantur. Dari pihak keluarga dan lingkungan sekitarnya pun sulit untuk berkomunikasi dengan baik kepada Men Tanjung. Menyebabkan Men Tanjung ini dikatakan sebagai orang yang tidak waras.

Di situasi seperti itu, Men Tanjung mulai berkreasi dengan membuat dunianya sendiri dengan ide dari imajinasi yang dimilikinya sejak 10 tahun silam, saat itu juga Men Tanjung tertarik pada batu-batu yang banyak dijumpai sungai dekat rumahnya. Men Tanjung ini menggosok batu-batu dalam berbagai ukuran dan diletakan di tikungan beberapa meter dari jarak rumahnya.

Kemudian batu ini disusun sedemikian rupa digabungkan dengan ornamen lain seperti ranting buah, kelapa yang sudah dikerat menyerupai monyet, botol minum, sampai buah-buhan kering. Karya yang diciptakan oleh Men Tanjung merupakan keindahan alami yang tercipta dari daya imajinasinya, yang dinilai oleh orang sessuatu hal yang aneh.

Seni Men Tanjung sangat menarik ketika dicermati, karyanya sangat murni yang muncul dari alam bawah sadar yang berasal dari penghayatan pada kehidupannya perempuan sebagai pemeluk beragama Hindu. Meskipn karya ini sederhana namun manarik perhatian bagi yang mencermati kata seorang Budayawan Prancis, Jean Cauteau, yang sudah lama menetap di Bali. Waktu itu ada seorang dari Yogyakarta yang membeli batu–batu karya Men Tanjung seharga 30 Juta. Ada beberapa orang yang kebetulan lewat di desa Budakeling yang berminat membeli karya ini dan memberi imbalan Rp.50-60 ribu. Saat itu juga, Men Tanjung terpikirkan untuk menggumpulkan batu-batu dan kemudian disusun menjadi sebuah tempat persembahyangan atau tempat pemujan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Budhiana, Nyoman. ""Brut", Seni Primitif Ala Men Tanjung". ANTARA News. Diakses tanggal 2018-07-07.