Lompat ke isi

Cinta kasih dalam Hindu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k →‎Pranala luar: pembersihan kosmetika dasar, removed stub tag
 
(24 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Besakih Bali Indonesia Pura-Besakih-02.jpg|al=|jmpl|280x280px|Umat Hindu.]]
“Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya…”
'''Cinta kasih dalam Hindu''' memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan [[Sang Hyang Widhi|Sang Hyang Widhi Wasa]]. Ajaran cinta kasih tersebut diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara ''pawongan'' (sesama manusia), ''palemahan'' (manusia dengan lingkungan), dan ''parahyangan'' (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah [[Tri Hita Karana]]. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan ''[[Tat twam asi]]'', yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.


== Konsep ==
Ajaran cinta kasih memang bukan monopoli agama tertentu. Dia juga ada dalam ajaran Hindu. Cinta kasih merupakan perpaduan kata yang harmoni. Mencintai dan mengasihi merupakan dua hal yang saling sinergi. Seseorang yang mencintai akan menghantarkan dirinya pada tumbuhnya rasa mengasihi.
Ajaran cinta kasih memang bukanlah monopoli [[agama]] tertentu. Paham tersebut juga ada dalam ajaran [[Agama Hindu|Hindu]]. Mencintai dan mengasihi merupakan dua hal yang saling bersinergi. Cinta kasih memang tidak sekadar pemanis bibir semata ketika berbicara tentang harmoni [[manusia]] dan [[alam semesta]]. Dia memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram dan damai. Cinta kasih yang tulus niscaya memberikan dampak fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan saat ini dan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, sekarang, dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih kepada semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.<ref name=":1" />


Dalam laman mediahindu.net, AAG. Raka Putra mengurai tentang cinta kasih ini. Dia menandaskan bahwa dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta, menurut Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bekasi ini, adalah perasaan pada kesenangan, kesetiaan, kepuasan terhadap suatu obyek. Sedangkan kasih adalah perasaan cinta yang tulus percaya terhadap suatu obyek. Kenapa dalam mengekspresikan sikap ini selalu digunakan gabungan kata cintadan kasih? Pertanyaan ini, bagi Raka menjadi menarik ketika seseorang baru sampai sebatas cinta. Lalu apa yang menjadi kebutuhan yang lebih tinggi lagi dari cinta? Dia memastikan, jawabannya adalah kasih.
Raka Putra (Ketua [[Parisada Hindu Dharma Indonesia]] [[Kota Bekasi|Bekasi]]) menguraikan bahwa dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan kepada kesenangan, kesetiaan, dan kepuasan terhadap suatu objek, sedangkan kasih adalah perasaan tulus terhadap suatu objek. Lebih lanjut, Raka menjelaskan jika perbedaan signifikan di antara keduanya terletak dalam kesanggupan dan kemampuan memahami hakikatnya. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi. Ciptaan Tuhan dapat digolongkan dalam tingkatan sesuai eksistensi atau kemampuannya, yaitu:<ref name=":1">{{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|pages=145–150|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live}}</ref>


Lantas di manakah perbedaan signifikan di antara keduanya? Menurut Raka terletak pada kesanggupan dan kemampuan memahami hakikat cinta dan kasih. Dia menjelaskan, bahwa yang menjadi obyek dari cinta kasih itu adalah semua ciptaan Sanghyang Widhi Wasa. Tuhan Yang Maha Esa. Ciptaan Tuhan, jelas dia, dalam digolongkan dalan tingkatan sesuai eksistensinya atau kemampuannya yaitu “eka pramana” ialah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan berupa bayu/tenaga/hidup, seperti tumbuh-tumbuhan.
* ''[[Eka pramana]]'' adalah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan, berupa ''bayu'' (tenaga hidup), seperti halnya tumbuh-tumbuhan;
* ''[[Dwi pramana]]'' adalah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan, berupa ''bayu'' dan ''sabda'' (bicara), seperti halnya binatang;
* ''[[Tri pramana]]'' adalah makhluk hidup yang memiliki tiga aspek kemampuan, berupa ''bayu'', ''sabda'', dan ''idep'' (pikiran), seperti halnya manusia.<ref>{{Cite web|last=Sudarsana|first=I Gede|date=19 Januari 2002|title=Kita Hidup Bukan untuk Kehidupan Ini|url=https://phdi.or.id/artikel/kita-hidup-bukan-untuk-kehidupan-ini|website=Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat|access-date=11 Juli 2021}}</ref>


Untuk menghayati lebih mendalam, ajaran cinta kasih diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara ''pawongan'' (sesama manusia), ''palemahan'' (manusia dengan lingkungan), dan ''parahyangan'' (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan ''Tat twam asi'', yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.<ref name=":1" /><ref>{{Cite web|last=Awanita|first=Made|date=5 Januari 2009|title=Cinta Kasih|url=https://phdi.or.id/artikel/cinta-kasih|website=Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat|access-date=12 Juli 2021}}</ref>
“Dwi pramana ialah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan berupa bayu, dan sabda/bicara, seperti hewan/binatang. Tri pramana ialah makhluk yang memiliki tiga aspek kemampuan berupa bayu, sabda, dan idep/pikiran, seperti “manusia”, demikian dia menerangkan.


[[Berkas:Hindu-priest-blessing.jpg|al=|jmpl|280x280px|Umat Hindu di India.]]
Untuk menghayati lebih mendalam lagi, ajaran cinta kasih dapat diimplementasikan dalam interaksi sosial religious yaitu antara sesama manusia (pawongan), antara manusia dengan alam lingkungan (palemahan), dan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parahyangan). Ketiga hal ini, menurut Raka dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
[[Berkas:Girls in traditional Hindu dress in Bali Indonesia.jpg|al=|jmpl|280x280px|Umat Hindu di Bali.]]
Berdasarkan Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. dinyatakan bahwa ''Aham Brahman Asmi,'' yang berarti "Aku adalah Brahman atau Tuhan", sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. tertera bahwa ''Sarwam khalu idam Brahman,'' yang artinya "semua ini adalah Brahman atau Tuhan".<ref>{{Cite web|last=Putra|first=Raka|date=7 Juli 2009|title=Cinta Kasih dalam Perspektif Hindu|url=https://phdi.or.id/artikel/cinta-kasih-dalam-perspektif-hindu|website=Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat|access-date=12 Juli 2021}}</ref> Melalui ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang lepas dari-Nya. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Sesuatu yang berbeda hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Dengan demikian, tidak ada yang harus dibanggakan kepada sesuatu yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, dan kesejahteraan umat manusia.<ref name=":1" />


Sejatinya, kebanggaan umat manusia dalam ajaran Hindu adalah berbudi luhur dan berprestasi, tetapi untuk mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan bijaksana dan menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualita dan moralitas, dalam rangka meningkatkan ''[[sraddha]]'' kepada Sang Hyang Widhi. Raka memberikan penekanan bahwa percaya kepada Tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih kepada sesama manusia dan lingkungan. Hal ini menandakan bahwa hakikat percaya kepada Tuhan adalah dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan menjaga lingkungan. Selanjutnya, Raka juga menulis bahwa pemikiran yang arif dan bijaksana dibutuhkan pada era global. Manusia di satu sisi dituntut bersikap rasional, tetapi di sisi lain masih diperlukan curahan spiritual, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.<ref name=":1" />
Sedangkan yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa, “aku adalah kamu”. Maknanya dikembangkan lagi: engkau adalah dia, dia adalah mereka dan seterusnya. Inilah yang sering disebut dengan “Tat Twam Asi” yang dinyatakan dalam kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.


Jalan terbaik adalah mensinergikan antara emosi spiritual dengan sikap rasional. Relevansi keseimbangan cinta kasih dengan era modern dalam hal ini lebih difokuskan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.<ref>{{Cite book|last=Sujarwa|first=|year=2001|title=Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9075-69-7|page=46–48|ref={{sfnref|Sujarwa|2001}}|url-status=live}}</ref> Keseimbangan ini sangat penting bagi terjaganya harmoni kehidupan, yang di dalamnya hidup beragam makhluk ciptaan-Nya. Saling mencintai dan mengasihi satu sama lain tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Yajur 32. 8 menyatakan bahwa ''Sa’atah protasca wibhuh prajasu'', yang berarti "Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan". Berdasarkan ajaran ini, dapat dipahami bahwa Tuhan memanifestasi dalam makhluk yang diciptakan-Nya. Dikarenakan manusia adalah bagian dari makhluk ciptaan-Nya itu, sewajarnya jika manusia turut aktif dalam menjaga keseimbangan cinta kasih itu secara tulus dan tanpa melihat bentuk fisik.<ref name=":1" />
Cinta kasih memang tidak sekedar lips-service semata. Pemanis bibir ketika kita bicara tentang harmoni manusia dan alam semesta. Dia memerlukan reflekdi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan. Dengan penuh ketulusan, tanpa pamrih dan juga pengharapan atas pujian. Menurut Raka Putra, siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram, tenang, damai, dan bahagia. Cinta kasih yang tulus, imbuhnya, niscaya memberikan dampak fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan kini dan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, yang sekarang dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih nan kunjung padam kepada semua ciptaan Sanghyang Widhi Wasa.


Cinta kasih juga harus selalu ada dalam ruang keluarga. Satu hal utama mengenai konsep cinta dalam keluarga yang disebutkan dalam [[Weda]] adalah keterbukaan. Anggota keluarga harus dapat menciptakan keselarasan dan kesesuaian sesuai dengan ''rta'' (hukum abadi). Atharwaweda III.30 menyatakan perkataan pendeta kepada kelompok keluarga sebagai berikut.<ref name=":1" />
Dalam Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. Dinyatakan: “Aham Brahman Asmi” yang artinya Aku adalah Brahman/Tuhan. Sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. Tertera: “Sarwamkhalu idam Brahman” yang artinya semua ini adalah Brahman/Tuhan.


{{cquote|''Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci, mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya agar anak mengikuti ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan ibunya. Agar si istri berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara, laki-laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan makan makanan bersama''
Melalui ajaran tersebut, berarti tidak ada satupun di dunia ini yang lepas dari Dia. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Yang berbeda, urai Raka, hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Dengan demikian, apa yang mesti kita banggakan pada sesuatu yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan umat manusia di dunia ini?
––––– [[Atharwaweda]] III.30|}}


Konsep hubungan vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur, yaitu keharmonisan, ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan dalam kehidupan keluarga ini menjadi parameter ke tingkat kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, ajaran cinta kasih Hindu mengantarkan manusia ke dalam kehidupan damai, tenteram, harmoni, dan diliputi rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan makhluk hidup.<ref name=":1" />
Sejatinya, dalam ajaran Hindu, kebanggaan sebagai umat manusia yang religius, karena berbudi luhur dan prestasi. Mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan arif dan bijaksana serta menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualitas, moralitas dalam rangka meningkatkan sraddha kepada Sanghyang Widhi Wasa. Raka memberikan penekanan bahwa: “Percaya kepada tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih pada sesama manusia dan cinta kasih kepada alam lingkungan”. Hal ini menandaskan bahwa hakikat percaya pada Sang Pencipta adalah dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan menjaga lingkungan alam semesta.


== Lihat pula ==
Selanjutnya, Raka juga menulis, bahwa untuk mencapai keseimbangan cinta kasih dapat diwujudkan dalam hubungan garis vertical dan horizontal. Terlebih jika hidup di era global dibutuhkan pemikiran yang arif dan bijaksana. Di satu sisi dituntut bersikap rasional, tetapi di sisi lain masih diperlukan curahan emosi spiritual terutama dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta beserta isinya.
{{Portal|Filsafat}}
* [[Akal dan cinta]]
* [[Cinta kasih dalam ajaran Kristen]]
* [[Estetika, agama, dan dimensi estetis Tuhan]]
* [[Gugatan atas peran agama]]
* [[Satu Tuhan banyak sebutan]]


== Rujukan ==
Jalan terbaik, menurutnya adalah bagaimana mensinergikan emosi spiritual dengan sikap rasional. Dalam hal ini relevansi keseimbangan cinta kasih dengan abad modern lebih difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, dan kealaman. Keseimbangan ini amat penting bagi terjaganya harmoni kehidupan yang di dalamnya hidup beragam makhluk ciptaan-Nya.{{sedang ditulis}}
{{reflist|1}}

== Pranala luar ==
{{commons category|Hindu}}
* [https://bali.tribunnews.com/2018/05/21/cinta-kasih-adalah-kunci Cinta Kasih Adalah Kunci]
* [https://phdi.or.id/artikel/cinta-kasih Cinta Kasih dalam Hindu]
* [https://bali.kemenag.go.id/klungkung/berita/17193/cinta-kasih-dalam-pandangan-hindu Cinta Kasih dalam Pandangan Hindu] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210711140318/https://bali.kemenag.go.id/klungkung/berita/17193/cinta-kasih-dalam-pandangan-hindu |date=2021-07-11 }}
* [https://phdi.or.id/page/struktur-organisai Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat]

[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Kepercayaan]]
[[Kategori:Sosiologi]]
[[Kategori:Sosiologi agama]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Teologi]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]

Revisi terkini sejak 8 Februari 2023 19.42

Umat Hindu.

Cinta kasih dalam Hindu memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran cinta kasih tersebut diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan Tat twam asi, yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.

Ajaran cinta kasih memang bukanlah monopoli agama tertentu. Paham tersebut juga ada dalam ajaran Hindu. Mencintai dan mengasihi merupakan dua hal yang saling bersinergi. Cinta kasih memang tidak sekadar pemanis bibir semata ketika berbicara tentang harmoni manusia dan alam semesta. Dia memerlukan refleksi yang mendalam dan implementasi nyata dalam ranah kehidupan dengan ketulusan. Siapa saja yang telah mencapai tahap ini dapat dipastikan kehidupannya semakin tenteram dan damai. Cinta kasih yang tulus niscaya memberikan dampak fundamental dalam memberikan arti dan makna kehidupan saat ini dan yang akan datang. Dimensi waktu yang lampau, sekarang, dan yang akan datang merupakan perputaran cakra kehidupan yang harus dilalui dengan semangat cinta kasih kepada semua ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.[1]

Raka Putra (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bekasi) menguraikan bahwa dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan kepada kesenangan, kesetiaan, dan kepuasan terhadap suatu objek, sedangkan kasih adalah perasaan tulus terhadap suatu objek. Lebih lanjut, Raka menjelaskan jika perbedaan signifikan di antara keduanya terletak dalam kesanggupan dan kemampuan memahami hakikatnya. Sesuatu yang menjadi objek dari cinta kasih adalah semua ciptaan Sang Hyang Widhi. Ciptaan Tuhan dapat digolongkan dalam tingkatan sesuai eksistensi atau kemampuannya, yaitu:[1]

  • Eka pramana adalah makhluk hidup yang hanya memiliki satu aspek kemampuan, berupa bayu (tenaga hidup), seperti halnya tumbuh-tumbuhan;
  • Dwi pramana adalah makhluk hidup yang memiliki dua aspek kemampuan, berupa bayu dan sabda (bicara), seperti halnya binatang;
  • Tri pramana adalah makhluk hidup yang memiliki tiga aspek kemampuan, berupa bayu, sabda, dan idep (pikiran), seperti halnya manusia.[2]

Untuk menghayati lebih mendalam, ajaran cinta kasih diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa). Ketiga hal ini, dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari cinta kasih adalah ajaran yang menyatakan bahwa “aku adalah kamu”. Maknanya lantas dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka" dan sering disebut dengan Tat twam asi, yang dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14. 1.[1][3]

Umat Hindu di India.
Umat Hindu di Bali.

Berdasarkan Brhadaranyaka Upanisad I. 4. 10. dinyatakan bahwa Aham Brahman Asmi, yang berarti "Aku adalah Brahman atau Tuhan", sedangkan dalam Chandogya Upanisad III. 14. 3. tertera bahwa Sarwam khalu idam Brahman, yang artinya "semua ini adalah Brahman atau Tuhan".[4] Melalui ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang lepas dari-Nya. Menyadari bahwa asal dan tujuan kembalinya semua yang ada di dunia ini adalah sama, tidak ada satupun di dunia ini yang memiliki kekuatan hukum yang abadi, kecuali Tuhan. Sesuatu yang berbeda hanyalah jasad materi yang sewaktu-waktu bisa berubah atau tidak kekal. Dengan demikian, tidak ada yang harus dibanggakan kepada sesuatu yang mengarah pada rusaknya perdamaian, kerukunan, dan kesejahteraan umat manusia.[1]

Sejatinya, kebanggaan umat manusia dalam ajaran Hindu adalah berbudi luhur dan berprestasi, tetapi untuk mengekspresikan kebanggaan hendaknya dengan bijaksana dan menampilkan simpati. Hal ini hendaknya menjadi renungan bagi tumbuhnya spiritualita dan moralitas, dalam rangka meningkatkan sraddha kepada Sang Hyang Widhi. Raka memberikan penekanan bahwa percaya kepada Tuhan sudah termasuk di dalamnya cinta kasih kepada sesama manusia dan lingkungan. Hal ini menandakan bahwa hakikat percaya kepada Tuhan adalah dengan menebarkan cinta kasih kepada sesama dan menjaga lingkungan. Selanjutnya, Raka juga menulis bahwa pemikiran yang arif dan bijaksana dibutuhkan pada era global. Manusia di satu sisi dituntut bersikap rasional, tetapi di sisi lain masih diperlukan curahan spiritual, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.[1]

Jalan terbaik adalah mensinergikan antara emosi spiritual dengan sikap rasional. Relevansi keseimbangan cinta kasih dengan era modern dalam hal ini lebih difokuskan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.[5] Keseimbangan ini sangat penting bagi terjaganya harmoni kehidupan, yang di dalamnya hidup beragam makhluk ciptaan-Nya. Saling mencintai dan mengasihi satu sama lain tanpa memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Yajur 32. 8 menyatakan bahwa Sa’atah protasca wibhuh prajasu, yang berarti "Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan". Berdasarkan ajaran ini, dapat dipahami bahwa Tuhan memanifestasi dalam makhluk yang diciptakan-Nya. Dikarenakan manusia adalah bagian dari makhluk ciptaan-Nya itu, sewajarnya jika manusia turut aktif dalam menjaga keseimbangan cinta kasih itu secara tulus dan tanpa melihat bentuk fisik.[1]

Cinta kasih juga harus selalu ada dalam ruang keluarga. Satu hal utama mengenai konsep cinta dalam keluarga yang disebutkan dalam Weda adalah keterbukaan. Anggota keluarga harus dapat menciptakan keselarasan dan kesesuaian sesuai dengan rta (hukum abadi). Atharwaweda III.30 menyatakan perkataan pendeta kepada kelompok keluarga sebagai berikut.[1]

Konsep hubungan vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur, yaitu keharmonisan, ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan dalam kehidupan keluarga ini menjadi parameter ke tingkat kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, ajaran cinta kasih Hindu mengantarkan manusia ke dalam kehidupan damai, tenteram, harmoni, dan diliputi rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan makhluk hidup.[1]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 145–150. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  2. ^ Sudarsana, I Gede (19 Januari 2002). "Kita Hidup Bukan untuk Kehidupan Ini". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 11 Juli 2021. 
  3. ^ Awanita, Made (5 Januari 2009). "Cinta Kasih". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 12 Juli 2021. 
  4. ^ Putra, Raka (7 Juli 2009). "Cinta Kasih dalam Perspektif Hindu". Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Diakses tanggal 12 Juli 2021. 
  5. ^ Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 46–48. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]