Lompat ke isi

Pisowanan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Mouche (bicara | kontrib)
k top: pembersihan kosmetika dasar
 
(6 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{refimprove}}
{{refimprove}}
'''Pisowanan''' adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan [[Jawa]], di mana bawahan-bawahan [[raja]]/[[sultan]] datang (sowan) ke [[istana]] untuk melaporkan perkembangan [[daerah]] yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada [[raja]]. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, raja/sultan biasanya akan memberikan nasihat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.
'''Pisowanan''' adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan [[Jawa]], di mana bawahan-bawahan [[Raja]]/[[Susuhunan|Sunan]]/[[sultan]] datang (sowan) ke [[istana]] untuk melaporkan perkembangan [[daerah]] yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada [[raja]]. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, Raja/Sunan/Sultan biasanya akan memberikan nasihat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.


Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa [[Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta]] pada tanggal [[28 Oktober]] [[2008]] lalu. Di mana [[Sri Sultan Hamengkubuwono X]] menyatakan dirinya siap maju sebagai calon [[presiden]] di [[pemilihan umum]] mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan [[tradisi]] Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.
Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa [[Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta]] pada tanggal [[28 Oktober]] [[2008]] lalu. Di mana [[Sri Sultan Hamengkubuwono X]] menyatakan dirinya siap maju sebagai calon [[presiden]] di [[pemilihan umum]] mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan [[tradisi]] Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.


==Sowan / silaturahmi==
Dalam kehidupan keluarga, kekerabatan dan bermasyarakat, kita mengenal adanya suatu tradisi dan budaya sowan atau silaturahmi. Sowan ditujukan kepada orang yang kita hormati, seperti sowan kepada kakek, sowan kepada guru, sowan kepada kyai, sowan kepada lurah atau pejabat, sowan kepada pak Rt, dan lain sebagainya.
Ada pula sowan silaturahmi kepada teman, rekan, sahabat sendiri yang lebih pandai atau yang lebih berhasil dari kita. Maka pandai-pandailah kita untuk sowan silaturahmi kepada orang lain.

===Sowan antar kerabat===
Silaturahmi (shilah [a]r-rahim) secara bahasa berasal dari kata shilah dan ar-rahim. Secara bahasa, shilah artinya hubungan; dan ar-rahimu, bentuk jamaknya al-arhâm, artinya rahim dan kerabat. Kata arhâm di dalam al-Quran dinyatakan tujuh kali dengan makna rahim dan lima kali dengan makna kerabat. Dengan demikian silaturahmi secara bahasa adalah hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang bertalian melalui rahim.

Silaturahmi adalah salah satu sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Karena dalam silaturahmi banyak terkandung akan berbagai hikmah silaturahmi dan juga keutamaan silaturahmi itu sendiri. Sebagai manusia yang dijadikan sebagai makhluk sosial tentunya berhubungan dengan manusia lainnya tak akan terlepas dalam kehidupan sehari-hari. Kita tak akan mungkin bisa hidup sendiri, karena kita akan selalu membutuhkan pertolongan orang lain.

Bersilaturahmi adalah merupakan satu dari akhlak seorang muslim. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi di dalam kitab-Nya yang mulia.

Kerabat, selain disebut ar-rahim, juga disebut dzawi al-qurbâ. Itu artinya silaturahmi bisa juga disebut shilatu dzawi al-qurbâ (hubungan dengan orang yang memiliki ikatan kekerabatan). Ini diperintahkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 26; QS ar-Rum [30]: 38; QS an-Nisa’ [4]: 36).

Silaturahmi itu berkaitan dengan memberikan hak dan berbuat baik kepada kerabat. Karena itu Ibn al-Atsir di An-Nihayah mengatakan bahwa silaturahmi itu adalah kinayah (ungkapan) tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; berlaku lemah lembut dan berbelas kasih kepada mereka; mengatur dan memelihara kondisi mereka. Semua ini dilakukan meski mereka itu jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi berlawanan dengan semua itu.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyebutkan silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, dengan bantuan, dengan berkunjung, mengucap salam dan sebagainya.

Ibn Abi Jamrah seperti dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan bahwa silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, dengan menolong untuk memenuhi keperluan, dengan menghilangkan dharar, dengan muka berseri-seri (tidak bermuka masam) dan doa. Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.

Jadi silaturahmi itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana. Di antaranya berkunjung dalam berbagai kesempatan, memperhatikan kondisi mereka, membantu mereka, memberi hadiah dalam berbagai kesempatan, membela kerabat dan anak-anak mereka, memaafkan berbagai kesalahan atau kekhilafan meski banyak, memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagainya. Bisa juga silaturahmi itu dijaga dengan memelihara kontak dan komunikasi dengan arham.

Dalam hal silaturahmi ini, ada tiga kategori orang: orang yang menyambung silaturahmi (wâshil ar-rahim); orang yang menjaga silaturahmi; dan orang yang memutus silaturahmi (qâthi’ ar-rahim).

Rasul saw. bersabda: Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubung-kan silaturahmi adalah orang yang jika kekerabatannya diputus, ia menghubungkan-nya (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

Dari hadis ini dapat dipahami, orang yang menyambung silaturahmi adalah yang menyambug hubungan rahim-nya yang diputus oleh pihak lain. Jadi dia mengambil inisiatif untuk menyambungnya. Adapun orang yang saling membalas kebaikan di antara kerabat bukanlah wâshil ar-rahim, tetapi al-mukâfi’, artinya yang memelihara silaturahmi.

Orang yang abai dari perbuatan baik atau menolak dharar dari kerabatnya yang mampu dia lakukan tidak dipandang melakukan silaturahmi meski tidak sampai termasuk qâthi’ ar-rahim. Siapa saja yang tidak bersilaturahmi juga bukan berarti qâthi’ ar-rahim. Jika silaturahmi adalah ihsan (kebaikan) maka qath’urahmi adalah isâ’ah (keburukan/kejahatan). Dengan demikian memutuskan silaturahmi adalah keburukan/kejahatan, baik kecil atau besar kepada rahim (kerabat). Jadi orang yang melakukan keburukan atau kejahatan kepada kerabat, kecil atau besar, ia menjadi qâthi’ ar-rahim.

Jangan pula kita memutuskan silaturahmi. Karena apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan.

Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli. Untuk itulah marilah kita untuk saling mempererat tali silaturahmi diantara kita semuanya.

Silaturahmi itu mengharuskan adanya pertemuan dan interaksi atau ikhtilath di antara kerabat, bahkan ikhtilath dengan kerabatnya kerabat. Ikhtilath atau pertemuan dan interaksi seperti itu adalah boleh.

===Sowan kepada kyai===
Sowan adalah tradisi santri berkunjung kepada kyai dengan harapan mendapatkan petunjuk atas sebuah permasalahan yang diajukannya, atau mengharapkan do’a dari kyai atau sekedar bertatap muka silaturrahim saja. Seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah saw bahwa bersilaturahim dapat menjadikan umur dan rezeki bertambah panjang. Sowan dapat dilakukan oleh santri secara individu atau bersama-sama. Biasanya seorang kyai akan menerima para tamu dengan lapang dada.

Bagi wali santri yang hendak menitipkan anaknya di Pesantren, sowan kepada kyai sangat penting. Karena dalam kesempatan ini ia akan memasrahkan anaknya untuk dididik di Pesantren oleh sang kyai. Begitu pula dengan calon santri, inilah kali pertama ia melihat wajah kyainya yang akan menjadi panutan sepanjang hidupnya.
Sowan tidak hanya dilakukan oleh santri yang masih belajar di pesantren. Banyak santri yang telah hidup bermasyarakat dan berkeluarga mengunjungi kyainya hanya sekedar ingin bersalaman semata. Atau sengaja datang membawa permasalahan yang hendak ditanyakan kepada kyai tentang berbagai masalah yang dihadapinya.

Hal ini menjadikan bahwa hubungan kyai santri tidak pernah mengenal kata putus. Kyai tetap menjadi guru dan santri tetap menjadi murid. Dalam dunia pesantren istilah alumni hanya menunjuk pada batasan waktu formal belaka, dimana seorang santri pernah belajar di sebuah pesantren tertentu. Tidak termasuk di dalamnya hubungan guru-murid. Meskipun telah manjadi alumni pesantren A, seseorang akan tetap menjadi santri atau murid Kyai A.

Di beberapa daerah tradisi sowan memiliki momentumnya ketika idul fitri tiba. Biasanya, seorang kyai sengaja mempersiapkan diri menerima banyak tamu yang sowan kepadanya. Mereka yang sowan tidaklah sebatas para santri yang pernah berguru kepadanya, namun juga masyarakat, tetangga dan bahkan para pejabat tidak pernah berguru langsung kepadanya. Mereka datang dengan harapan mendapatkan berkah dari kealiman seorang kyai. Karena barang siapa bergaul dengan penjual minyak wangi, pasti akan tertular semerbaknya bau wangi.

Pada bulan syawal seperti ini, sowan kepada kyai merupakan sesuatu yang utama bagi kalangan santri. Hampir sama pentingnya dengan mudik untuk berjumpa keuarga dan kedua orang tua. Pantas saja, karena kyai bagi santri adalah guru sekaligus berlaku sebagai orang tua. Oleh karena itu sering kali mereka yang kembali pulang dari perantauan menjadikan sowan kepada kyai sebagai alasan penting mudik di hari lebaran. Bagi santri yang telah jauh berkelana mengarungi kehidupan, kembali ke pesantren dan mencium tangan kyai merupakan ‘isi ulang energi’ recharger untuk menghadapi perjalanan hidup ke depan. Seolah setelah mencium tangan kyai dan bermuwajjahah dengannya semua permasalahan di depan pasti akan teratasi. Semua itu berlaku berkat do’a orang tua dan kyai.

{{indo-sejarah-stub}}
{{DEFAULTSORT:Pisowanan}}
{{DEFAULTSORT:Pisowanan}}

[[Kategori:Jawa]]
[[Kategori:Jawa]]
[[Kategori:Tradisi Jawa]]
[[Kategori:Tradisi Jawa]]
[[Kategori:Sejarah Jawa]]
[[Kategori:Sejarah Jawa]]


{{indo-sejarah-stub}}

Revisi terkini sejak 11 Februari 2023 22.47

Pisowanan adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan Jawa, di mana bawahan-bawahan Raja/Sunan/sultan datang (sowan) ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada raja. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, Raja/Sunan/Sultan biasanya akan memberikan nasihat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.

Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu. Di mana Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan dirinya siap maju sebagai calon presiden di pemilihan umum mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan tradisi Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.