Lompat ke isi

Pariwisata berbasis budaya: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
91achmad (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k Rujukan: pembersihan kosmetika dasar, removed stub tag
 
(18 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Wisata berbasis budaya''' adalah salah satu jenis kegiatan [[pariwisata]]yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti [[wisata alam]], dan [[wisata petualangan]]. <ref>Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.</ref>
'''Wisata berbasis budaya''' adalah salah satu jenis kegiatan [[pariwisata]] yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti [[wisata alam]], dan [[wisata petualangan]].<ref>Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.</ref>


Ada 12 unsur [[kebudayaan]] yang dapat menarik kedatangan [[wisatawan]] <ref name="Ritchie"> {{en}} Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221</ref>, yaitu:
Ada 12 unsur [[kebudayaan]] yang dapat menarik kedatangan [[wisatawan]],<ref name="Ritchie">{{en}} Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221</ref> yaitu:
# [[Bahasa]] (''language''). <ref name="Ritchie"/>
# [[Bahasa]] (''language'').<ref name="Ritchie"/>
# Masyarakat (''traditions''). <ref name="Ritchie"/>
# Masyarakat (''traditions'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Kerajinan tangan]] (''handicraft''). <ref name="Ritchie"/>
# [[Kerajinan tangan]] (''handicraft'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Makanan]] dan kebiasaan makan (''foods and eating habits''). <ref name="Ritchie"/>
# [[Makanan]] dan kebiasaan makan (''foods and eating habits'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Musik]] dan [[kesenian]] (''art and music''). <ref name="Ritchie"/>
# [[Musik]] dan [[kesenian]] (''art and music'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Sejarah]] suatu tempat (''history of the region'') <ref name="Ritchie"/>
# [[Sejarah]] suatu tempat (''history of the region'')<ref name="Ritchie"/>
# Cara Kerja dan [[Teknolgi]] (''work and technology''). <ref name="Ritchie"/>
# Cara Kerja dan [[Teknolgi]] (''work and technology'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Agama]] (''religion'') yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan. <ref name="Ritchie"/>
# [[Agama]] (''religion'') yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.<ref name="Ritchie"/>
# Bentuk dan karakteristik [[arsitektur]] di masing-masing daerah tujuan wisata (''architectural characteristic in the area'').<ref name="Ritchie"/>
# Bentuk dan karakteristik [[arsitektur]] di masing-masing daerah tujuan wisata (''architectural characteristic in the area'').<ref name="Ritchie"/>
# Tata cara berpakaian [[penduduk]] setempat (''dress and clothes'').<ref name="Ritchie"/>
# Tata cara berpakaian [[penduduk]] setempat (''dress and clothes'').<ref name="Ritchie"/>
# [[Sistem pendidikan]] (''educational system''). <ref name="Ritchie"/>
# [[Sistem pendidikan]] (''educational system'').<ref name="Ritchie"/>
# Aktivitas pada waktu senggang (''leisure activities''). <ref name="Ritchie"/>
# Aktivitas pada waktu senggang (''leisure activities'').<ref name="Ritchie"/>


Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk [[turis]], dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan [[seni]] dan kalangan [[industri]] pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu [[karya seni]].
Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk [[turis]], dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah sering kali terdapat kesenjangan selera antara kalangan [[seni]] dan kalangan [[industri]] pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu [[karya seni]].


[[Berkas: Kecak by PantoDX.jpg|thumb|250px|Tari Kecak kerap dimodifikasi agar sesuai dengan keinginan turis]]
[[Berkas: Kecak by PantoDX.jpg|jmpl|250px|Tari Kecak kerap dimodifikasi agar sesuai dengan keinginan turis]]

==Kontroversi==


== Kontroversi ==
Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat [[pro]] dan [[kontra]].<ref>I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.</ref>
Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat [[pro]] dan [[kontra]].<ref>I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.</ref>


===Pariwisata Merusak Budaya===
=== Pariwisata merusak budaya ===
Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan [[hayati]] suatu produk budaya.<ref name="Britton">{{en}} Britton. ''Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism''. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272</ref> Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal.<ref name="Britton"/> Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.<ref name="Britton"/> Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.<ref name="Britton"/>

Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan [[hayati]] suatu produk budaya. <ref name="Britton">{{en}} Britton. ''Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism''. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272 </ref> Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal. <ref name="Britton"/>Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.<ref name="Britton"/> Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.<ref name="Britton"/>
Contoh kasusnya adalah [[Sendra Tari Ramayana]], tidak lagi disajikan secara utuh, peranan [[skenario]] tidak berfungsi lagi. Selain itu, [[tari Kecak]] juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di [[Bali]], kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya
Contoh kasusnya adalah [[Sendra Tari Ramayana]], tidak lagi disajikan secara utuh, peranan [[skenario]] tidak berfungsi lagi. Selain itu, [[tari Kecak]] juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di [[Bali]], kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya


===Pariwisata Memperkuat Budaya===
=== Pariwisata memperkuat budaya ===

Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga [[Sosiolog]] dan [[Antropolog]] yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut [[involusi kebudayaan]] (''cultural involution''). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. [[McKean]] (1978) mengatakan,
Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga [[Sosiolog]] dan [[Antropolog]] yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut [[involusi kebudayaan]] (''cultural involution''). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. [[McKean]] (1978) mengatakan,
... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses [[konservasi]], [[reformasi]], dan penciptaan kembali berbagai tradisi.
{{Cquote|... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses [[konservasi]], [[reformasi]], dan penciptaan kembali berbagai tradisi.|4=[[McKean]] (1978)}}
[[Philip F. McKean]] (1973) bahkan menulis bahwa “''the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry''” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat [[aditif]], dan bukan [[substitutif]]. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan [[transformasi]] secara [[struktural]], melainkan ter[[integrasi]] dengan kehidupan [[tradisional]] masyarakat (Lansing, 1974).
[[Philip F. McKean]] (1973) bahkan menulis bahwa “''the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry''” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat [[aditif]], dan bukan [[substitutif]]. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan [[transformasi]] secara [[struktural]], melainkan ter[[integrasi]] dengan kehidupan [[tradisional]] masyarakat (Lansing, 1974).


===Tidak Ada Budaya Asli===
== Tidak ada budaya asli ==
Terlepas dari pro kontra diatas, [[Sosiolog]] [[Selo Soemardjan]] mengungkapkan pendapatnya.Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam [[interaksi]] antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa [[Indonesia]] ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.
Terlepas dari pro kontra tersebut, [[sosiolog]] [[Selo Soemardjan]] mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling memengaruhi adalah gejala yang wajar dalam [[interaksi]] antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa [[Indonesia]] ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan memengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.


==Perkembangan==
== Perkembangan ==
Pada waktunya nanti, diramalkan [[objek wisata]] yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan [[penelitian]] yang dilakukan oleh PATA tahun [[1961]] di [[Amerika Utara]], diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi [[Asia]] dan daerah [[Pasifik]], motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, ''the way of life'', peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata I[[ndonesia]] pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisman dalam kategori ‘sangat menarik’ dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.
Pada waktunya nanti, diramalkan [[objek wisata]] yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan [[penelitian]] yang dilakukan oleh PATA tahun [[1961]] di [[Amerika Utara]], diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi [[Asia]] dan daerah [[Pasifik]], motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, ''the way of life'', peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata I[[ndonesia]] pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam kategori 'sangat menarik' dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.


==Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia==
== Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia ==
Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa [[provinsi]]. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah [[Daerah Istimewa Jogjakarta]] khususnya kota [[Jogjakarta]]. <ref> [http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1838]Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta</ref> Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya [[Jawa]] yang selaras dengan sejarah dan budaya [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas [[fasilitas]], memperbanyak ''event-event'' wisata, seni ,dan budaya, sampai ke optimalisasi [[pemasaran]] program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan [[Taman Pintar]] yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.<ref> [http://melayuonline.com/ind/news/read/7031/menilik-kembali-pariwisata-berbasis-budaya]Situs Buday melayu</ref>
Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa [[provinsi]]. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] khususnya kota [[Yogyakarta]].<ref>[http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1838] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100510070713/http://pariwisata.jogja.go.id/index/extra.detail/1838 |date=2010-05-10 }} Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta</ref> Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya [[Jawa]] yang selaras dengan sejarah dan budaya [[Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas [[fasilitas]], memperbanyak ''event-event'' wisata, seni,dan budaya, sampai ke optimalisasi [[pemasaran]] program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan [[Taman Pintar Yogyakarta]] yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.<ref>[http://melayuonline.com/ind/news/read/7031/menilik-kembali-pariwisata-berbasis-budaya] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100110065104/http://melayuonline.com/ind/news/read/7031/menilik-kembali-pariwisata-berbasis-budaya |date=2010-01-10 }} Situs Budaya melayu</ref>


== Rujukan ==


==Rujukan==
{{reflist}}
{{reflist}}




[[Kategori:Pariwisata]]
[[Kategori:Pariwisata]]

[[bs:Kulturni turizam]]
[[de:Kulturtourismus]]
[[en:Cultural tourism]]
[[es:Turismo cultural]]
[[fr:Tourisme culturel]]
[[hr:Kulturni turizam]]
[[it:Turismo culturale]]
[[nl:Cultuurtoerisme]]
[[pl:Turystyka kulturowa]]
[[pt:Turismo cultural]]
[[ru:Культурный туризм]]

Revisi terkini sejak 24 Februari 2023 16.00

Wisata berbasis budaya adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini dibedakan dari minat-minat khusus lain, seperti wisata alam, dan wisata petualangan.[1]

Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik kedatangan wisatawan,[2] yaitu:

  1. Bahasa (language).[2]
  2. Masyarakat (traditions).[2]
  3. Kerajinan tangan (handicraft).[2]
  4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits).[2]
  5. Musik dan kesenian (art and music).[2]
  6. Sejarah suatu tempat (history of the region)[2]
  7. Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).[2]
  8. Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.[2]
  9. Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).[2]
  10. Tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).[2]
  11. Sistem pendidikan (educational system).[2]
  12. Aktivitas pada waktu senggang (leisure activities).[2]

Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah sering kali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.

Tari Kecak kerap dimodifikasi agar sesuai dengan keinginan turis

Kontroversi

[sunting | sunting sumber]

Dalam perkembangannya pemanfaatan budaya untuk sektor pariwisata terdapat pro dan kontra.[3]

Pariwisata merusak budaya

[sunting | sunting sumber]

Kaum yang menentang pariwisata berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya.[4] Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal.[4] Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata.[4] Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.[4] Contoh kasusnya adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa. Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu wisatawan yang ingin menyaksikannya

Pariwisata memperkuat budaya

[sunting | sunting sumber]

Walaupun tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini, namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata (internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat, karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. McKean (1978) mengatakan,

... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, … semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.

— McKean (1978)

Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974).

Tidak ada budaya asli

[sunting | sunting sumber]

Terlepas dari pro kontra tersebut, sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya perkembangan industri pariwisata. Proses saling memengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan memengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan itu sendiri.

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Pada waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan “komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara, diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah, bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah. Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam kategori 'sangat menarik' dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai para turis dari pariwisata di Indonesia.

Pariwisata Berbasis Budaya di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya kota Yogyakarta.[5] Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar Yogyakarta yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.[6]

  1. ^ Oka A. Yoeti. Pariwisata Berbasis Budaya, Masalah dan Solusinya. PT.Pradnya Paramita. Jakarta. 1996.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) Ritchie dan Zins. Tourism in Contemporary Society, An Introductory Text. Chapter 19: Social and Cultural Impacts. Page 221
  3. ^ I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri.Sosiologi Pariwisata. Andi. Yogyakarta. 2005.
  4. ^ a b c d (Inggris) Britton. Cultural expressionas are bastradized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism. Penerbit?. Kota? 1977. Hal. 272
  5. ^ [1] Diarsipkan 2010-05-10 di Wayback Machine. Situs Resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jogjakarta
  6. ^ [2] Diarsipkan 2010-01-10 di Wayback Machine. Situs Budaya melayu