Pers Biro Indonesia: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
'''Pers Biro Indonesia''' (disingkat PIA) adalah kantor berita nasional yang berkantor pusat di [[Jakarta]]. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari [[ |
'''Pers Biro Indonesia''' (disingkat PIA) adalah kantor berita nasional yang berkantor pusat di [[Jakarta]]. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari [[Aneta (kantor berita)|Aneta]], kantor berita pertama di [[Indonesia]] tetapi dimiliki oleh warga [[Belanda]]. Pengambilalihan kepemilikan ke tangan para wartawan dan penerbit surat kabar Indonesia berlangsung melalui proses nasionalisasi yang lama dan bertahap antara awal tahun [[1951]] dan awal tahun [[1955]]. Para pendiri PIA adalah orang-orang yang menjadi anggota surat-surat kabar anggota [[Perserikatan Persuratkabaran Indonesia]] (PPI). Aneta dianggap kantor berita berhaluan kanan dan menjadi saingan kantor berita Antara yang berhaluan kiri. |
||
Aneta menyerahkan operasi kantor berita ini kepada [[Yayasan Persbiro Indonesia]] Aneta pada tanggal [[31 Maret]] [[1951]]. Yayasan ini bertekad untuk mengelola kantor berita ini tanpa subsidi dan bebas dari pengaruh apapun. Sebagai ketua Dewan Pengurus yayasan adalah Burhanuddin Muhammad Diah dan sebagai pimpinan umum ditunjuk [[Djamaludin Adinegoro]]. Sejak tanggal [[6 November]] [[1954]] tambahan nama 'Aneta' dihapuskan dan yang dapat menjadi anggota adalah mereka yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian sejak itu PIA hanya menjadi singkatan dari Presbiro Indonesia. Pada awal tahun [[1955]], pimpinan redaksinya yang dijabat wartawan Belanda Johannes (Hans) Martinot, digantikan [[Tengku Dzulkafli Hafas]]. |
Aneta menyerahkan operasi kantor berita ini kepada [[Yayasan Persbiro Indonesia]] Aneta pada tanggal [[31 Maret]] [[1951]]. Yayasan ini bertekad untuk mengelola kantor berita ini tanpa subsidi dan bebas dari pengaruh apapun. Sebagai ketua Dewan Pengurus yayasan adalah Burhanuddin Muhammad Diah dan sebagai pimpinan umum ditunjuk [[Djamaludin Adinegoro]]. Sejak tanggal [[6 November]] [[1954]] tambahan nama 'Aneta' dihapuskan dan yang dapat menjadi anggota adalah mereka yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian sejak itu PIA hanya menjadi singkatan dari Presbiro Indonesia. Pada awal tahun [[1955]], pimpinan redaksinya yang dijabat wartawan Belanda Johannes (Hans) Martinot, digantikan [[Tengku Dzulkafli Hafas]]. |
||
Bertepatan dengan ulang tahun [[Antara]], PIA digabung dengan Antara pada tanggal [[13 Desember]] [[1962]]. Pada saat yang sama presiden juga berkeputusan untuk membubarkan kantor berita yang lebih kecil, [[Asian Press Board]] (APB) dan [[Indonesian National Press and Publicity Service]] (INPS), tetapi para karyawannya ditampung di dalam Antara gaya baru. Dan sejak saat itu sampai akhir tahun [[1966]], ketika disyahkan UU Press Nomor II di Indonesia hanya boleh ada satu kantor berita. Susunan Dewan Antara gaya baru yang pertama dipimpin[[ |
Bertepatan dengan ulang tahun [[Antara]], PIA digabung dengan Antara pada tanggal [[13 Desember]] [[1962]]. Pada saat yang sama presiden juga berkeputusan untuk membubarkan kantor berita yang lebih kecil, [[Asian Press Board]] (APB) dan [[Indonesian National Press and Publicity Service]] (INPS), tetapi para karyawannya ditampung di dalam Antara gaya baru. Dan sejak saat itu sampai akhir tahun [[1966]], ketika disyahkan UU Press Nomor II di Indonesia hanya boleh ada satu kantor berita. Susunan Dewan Antara gaya baru yang pertama dipimpin [[Pandoe Kartawigoena]]; Wakil ketua I dan II dijabat [[Djawoto]] dan [[Mohammad Nahar]]. Pada saat terjadi peristiwa G30S, lembaga ini ditempatkan dalam penguasaan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya (Peperda) dan Sekitarnya. Peperda menetapkan Letkol Noor Nasution sebagai pemimpin umum Antara. |
||
==Referensi== |
== Referensi == |
||
* [http://prov.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2274] |
* [http://prov.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2274] |
||
Revisi terkini sejak 8 Maret 2023 08.22
Pers Biro Indonesia (disingkat PIA) adalah kantor berita nasional yang berkantor pusat di Jakarta. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Aneta, kantor berita pertama di Indonesia tetapi dimiliki oleh warga Belanda. Pengambilalihan kepemilikan ke tangan para wartawan dan penerbit surat kabar Indonesia berlangsung melalui proses nasionalisasi yang lama dan bertahap antara awal tahun 1951 dan awal tahun 1955. Para pendiri PIA adalah orang-orang yang menjadi anggota surat-surat kabar anggota Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI). Aneta dianggap kantor berita berhaluan kanan dan menjadi saingan kantor berita Antara yang berhaluan kiri.
Aneta menyerahkan operasi kantor berita ini kepada Yayasan Persbiro Indonesia Aneta pada tanggal 31 Maret 1951. Yayasan ini bertekad untuk mengelola kantor berita ini tanpa subsidi dan bebas dari pengaruh apapun. Sebagai ketua Dewan Pengurus yayasan adalah Burhanuddin Muhammad Diah dan sebagai pimpinan umum ditunjuk Djamaludin Adinegoro. Sejak tanggal 6 November 1954 tambahan nama 'Aneta' dihapuskan dan yang dapat menjadi anggota adalah mereka yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian sejak itu PIA hanya menjadi singkatan dari Presbiro Indonesia. Pada awal tahun 1955, pimpinan redaksinya yang dijabat wartawan Belanda Johannes (Hans) Martinot, digantikan Tengku Dzulkafli Hafas.
Bertepatan dengan ulang tahun Antara, PIA digabung dengan Antara pada tanggal 13 Desember 1962. Pada saat yang sama presiden juga berkeputusan untuk membubarkan kantor berita yang lebih kecil, Asian Press Board (APB) dan Indonesian National Press and Publicity Service (INPS), tetapi para karyawannya ditampung di dalam Antara gaya baru. Dan sejak saat itu sampai akhir tahun 1966, ketika disyahkan UU Press Nomor II di Indonesia hanya boleh ada satu kantor berita. Susunan Dewan Antara gaya baru yang pertama dipimpin Pandoe Kartawigoena; Wakil ketua I dan II dijabat Djawoto dan Mohammad Nahar. Pada saat terjadi peristiwa G30S, lembaga ini ditempatkan dalam penguasaan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya (Peperda) dan Sekitarnya. Peperda menetapkan Letkol Noor Nasution sebagai pemimpin umum Antara.