Lompat ke isi

Student Hidjo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
k sinopsis, kat, pranala
Gaya: Perbaikan kata
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
(24 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{infobox book <!-- See Wikipedia:WikiProject Novels or Wikipedia:WikiProject Books -->
[[Image:Student_hijo.jpg|right]]
| name = Student Hijo
'''Student Hijo''' karya [[Marco Kartodikromo]], terbit pertama kali tahun [[1918]] melalui Harian ''[[Sinar Hindia]]'', dan muncul sebagai buku tahun [[1919]]. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Buku ini diterbitkan kembali oleh Aksara Indonesia pada tahun [[2000]].
| title_orig =
| translator =
| image = File:Student Hidjo.jpg
| caption = Sampul edisi Bentang tahun 2002
| author = [[Marco Kartodikromo]]
| cover_artist =
| country = [[Hindia Belanda]]
| language = [[bahasa Melayu|Melayu]]
| series =
| genre = [[Novel]]
| publisher = ''Sinar Hindia'' <small>(serial)</small><br /> Masman & Stroink <small>(buku)</small>
| release_date = 1918 <small>(serial)</small><br />1919 <small>(buku)</small>
| media_type = Cetak ([[Serial (sastra)|Serial]], [[sampul keras]], & [[sampul lunak]])
| page = 132
| isbn =
| dewey =
| congress =
| oclc = 63225475
| preceded_by =
| followed_by =
}}


'''''Student Hidjo''''' ([[Ejaan yang Disempurnakan|EYD]]: '''''Student Hijo''''') adalah novel tahun 1918 karya [[Marco Kartodikromo]]. Novel ini awalnya diterbitkan dalam bentuk serial di ''Sinar Hindia'', kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk buku oleh Masman & Stroink pada tahun 1919.


''Student Hidjo'' ditulis ketika Kartodikromo dipenjara. Novel ini menceritakan kisah Hidjo, seorang pelajar [[suku Jawa|Jawa]] yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Belanda. Alur lain yang paralel terhadap cerita utamanya menceritakan kisah asmara administrator Belanda, Willem Walter. Ditulis dalam [[bahasa Melayu]], novel ini merupakan salah satu karya penulis Jawa yang ikut memopulerkan kata "saya" sebagai [[kata tunjuk pribadi]] orang pertama.
Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual [[pribumi]], yang lahir dari kalangan ''borjuis'' kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan [[Hindia Belanda]]. Hingga menjadi masuk akal jika novel ini kemudian dipinggirkan oleh dominasi dan hegemoni [[Balai Pustaka]], bahkan sampai saat ini.


Novel ini menggambarkan budaya pemuda baru Indonesia yang mengadopsi budaya dan bahasa Barat. Elemen tersebut dianggap Kartodikromo sebagai simile tambahan. Nilai-nilai [[budaya Jawa]] tradisional dan [[budaya Belanda]] diperbandingkan dan Kartodikromo berpendapat bahwa keduanya tidak bisa saling melengkapi. Nilai tersebut meliputi [[cinta romantis|cinta]] yang digambarkan di novel ini sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan orang tradisional melihat pernikahan sebagai jalan mencapai [[mobilitas sosial]].
Mas Marco secara lugas juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum [[bumiputra]]. Ia menggunakan tokoh Controleur Walter sebagai tokoh penganut [[politik etis]] yang mengkritik ketidakadilan kolonial terhadap rakyat [[Jawa]] atau Hindia.


== Latar belakang ==
==Sinopsis==
''Student Hidjo'' ditulis oleh [[Marco Kartodikromo]], seorang jurnalis dari [[Blora]]{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} yang memulai kariernya di [[Bandung]] dan sangat menentang kebijakan pemerintah [[Hindia Belanda]].{{sfn|Maier|1996|pp=186-187}} Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai editor di harian ''Doenia Bergerak'' yang berpusat di [[Surakarta]];{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} kota ini kelak dijadikan latar novelnya.{{sfn|Maier|1996|p=185}} Ia menghabiskan lima bulan di Belanda{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} sejak akhir 1916 sampai awal 1917.{{sfn|Eneste|2001|p=143}} Sepulangnya ke Hindia Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di [[Weltevreden]], [[Jakarta|Batavia]] (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo menulis ''Student Hidjo''.{{sfn|Maier|1996|p=195}}
{{spoiler}}
[[Image:Hidjo.jpg|left]]
Novel yang menggambarkan tentang kehidupan kaum priyayi Jawa dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang mereka peroleh, seperti kemudahan menimba pendidikan. Suasana masa-masa pergerakan, terutama Sarekat Islam, yang merupakan organisasi masyarakat yang sangat popular.


Pada awal abad ke-20, pengenalan teknologi dan budaya Barat mengakibatkan fragmentasi dalam gaya hidup tradisional Jawa.{{sfn|Maier|1996|p=198}} Sementara itu, [[Politik Etis Belanda]], yang menjamin hak-hak dan kebebasan tertentu seperti [[hak pendidikan]] dan [[kebebasan pers]], menyebabkan kerusuhan masyarakat. Pengekangan pers yang lebih ketat setelah 1906 membuat ''Student Hidjo'' diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip" di sampulnya.{{sfn|Maier|1996|p=206}}
Kisah diawali dengan rencana orangtua Hidjo menyekolahkan ke Belanda. Ayah Hidjo, Raden Potronojo, berharap dengan Hidjo ke Belanda, dia bisa mengangkat derajat keluarganya. Meskipun sudah menjadi saudagar yang berhasil dan bisa menyamai gaya hidup kaum priyayi murni dari garis keturunan, tidak lantas kesetaraan status sosial diperoleh, khususnya di mata orang-orang yang dekat dengan gouvernement, pemerintah kolonial. Berbeda dengan sang ayah, sang ibu Raden Nganten Potronojo khawatir melepas anaknya ke negeri yang dinilai sarat "pergaulan" bebas.


== Alur ==
Pendidikan di Belanda ternyata membuka mata dan pikiran yang sangat besar bagi Hidjo. Hidjo sang kutu buku yang terkenal "dingin" dan mendapat julukan "pendito" sampai onzijdig, banci, akhirnya pun terlibat hubungan seksual di luar nikah dengan Betje, putri directeur salah satu maatschapij yang rumahnya ditumpangi Hidjo selama studi di Belanda. Pertentangan batin karena melakukan aib dan panggilan pulang ke Jawa akhirnya menguatkan Hidjo untuk memutuskan tali cinta pada Betje.
Hidjo adalah seorang pemuda dari [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]], yang bertunangan dengan Biroe sesuai keinginan ayahnya. Ayahnya, seorang pedagang bernama Raden Potronojo, meminta Hidjo pergi ke Belanda dan menuntut ilmu di sana. Ia berharap hal ini dapat menaikkan status keluarga, karena umumnya hanya keluarga [[priyayi]] yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Di sisi lain, administrator Belanda Willem Walter, yang memandang [[suku Jawa]] secara positif, bertunangan dengan seorang wanita Belanda bernama Jet Roos; Roos mengandung anaknya.


Di Belanda, Hidjo tinggal bersama keluarga setempat dan menikmati keindahan Belanda. Anak perempuan keluarga tersebut, Betje, menganggap Hidjo unik dikarenakan etnisnya. Meski Hidjo awalnya menanggapi secara dingin, keduanya pun akhirnya berhubungan secara romantis dan seksual. Di Surakarta, Walter tertarik dengan Biroe dan memutuskan pertunangannya dengan Roos; Roos kemudian mengaborsi anak mereka. Berakhirnya pertunangannya dan penolakan dari Biroe membuat Walter pulang ke Belanda. Ia bertemu Hidjo di sana.
Persoalan menjadi sedikit berliku ketika perjodohan dengan Raden Adjeng Biroe yang masih sanak keluarga, meskipun sesungguhnya Hidjo terpikat dengan Raden Adjeng Woengoe, putri Regent Jarak yang sangat cantik. Di akhir cerita, ketegangan mendapat penyelesaian. Kebebasan memilih dan bercinta diangkat ketika Hidjo tidak langsung setuju pada pilihan orangtuanya akan tetapi mencari idamannya.


Hidjo, yang semakin teralihkan dari studinya karena hubungannya dengan Betje, dipanggil pulang ke Hindia Belanda oleh keluarganya. Ia mengakhiri hubungannya dengan perempuan Belanda tersebut dan memberikan tabungannya sebagai permintaan maaf. Sepulangnya ke Surakarta, Hidjo menikahi Woengoe yang datang dari kelas keluarga yang lebih tinggi daripada Biroe. Dua tahun kemudian, Hidjo menjadi jaksa distrik Djarak. Sementara itu, Walter menikahi Betje dan menjadi asisten residen di Surakarta. Biroe menikahi saudara Woengoe, Wardojo, yang merupakan [[bupati]] di sana. Roos menikahi administrator daerah itu, Boeren.
Rumus perjodohan berubah. Hidjo dijodohkan dan menikah dengan Woengoe, sementara Biroe dengan Raden Mas Wardojo kakak laki-laki Woengoe. Semua, baik yang menjodohkan dan yang dijodohkan, menerima dan bahagia. Betapa cerita perjodohan tidak selalu berakhir dengan tangis dan sengsara. Juga ditampilkan, bahwa mentalitas Nyai tidak selalu ada dalam diri inlander, yaitu ketika Woengoe menolak cinta Controleur Walter.


== Gaya ==
Selain itu, pengalaman Hidjo di Negeri Belanda telah membuka matanya. Ia melihat bahwa di negerinya sendiri bangsa Belanda ternyata tidak "setinggi" yang ia bayangkan. Hidjo menikmati sedikit hiburan murah ketika dia bisa memerintah orang-orang Belanda di hotel, restoran, atau di rumah tumpangan yang mustahil dilakukan di Hindia.
''Student Hidjo'' ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen [[Universitas Leiden]]. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti [[Armijn Pane]] dan [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]] dengan nada "sedih", bahasa di ''Student Hidjo'' hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".{{sfn|Maier|1996|p=192}}


Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperti penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis [[suku Minangkabau|Minangkabau]] yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata [[bahasa Jawa|Jawa]] karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti ''Student Hidjo'' dan ''Rasa Merdika'' (1924; Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ''ngoko''.{{sfn|Kato|2003|pp=103-104}}
==Pranala luar==
* [http://www.solusihukum.com/resensi.php?id=19 Student Hidjo, Epos : "Bacaan Liar" dan Perjuangan Mas Marco]


== Tema ==
{{sastra-stub}}
Maier menulis bahwa nama-nama tokoh utama ''Student Hidjo'' harus dibaca secara [[alegoris]]. Nama Hidjo (hijau), Woengoe (ungu), dan Biroe (biru) menunjukkan keterkaitan antartokoh. Kartodikromo menyebutnya [[simile]] tambahan.{{sfn|Maier|1996|p=185}}
[[kategori:Sastra Indonesia]]

Novel ini menggambarkan kaum muda Indonesia sebagai orang-orang yang mengerti bahasa Belanda.{{efn|name=A}} Maier menulis bahwa pemahaman ini tidak terbatas pada bahasa yang digunakan, tetapi juga tindakan. Tindakan tersebut mencakup berpegangan tangan di depan umum dan minum [[air limun]], aktivitas yang tidak pernah dilakukan masyarakat tradisional Indonesia.{{sfn|Maier|1996|p=190}} ''Student Hidjo'' juga memperbandingkan orang Belanda dan Jawa.{{sfn|Maier|1996|p=197}} Maier menemukan bahwa melalui peralihan peristiwanya, novel ini menunjukkan bahwa bangsa Belanda dan suku Jawa tidak bisa saling melengkapi. Maier menyimpulkan bahwa "orang Jawa tidak merasa nyaman di Belanda, [dan] orang Belanda tidak merasa nyaman di Jawa."{{sfn|Maier|1996|p=198}} Menurut Maier, novel ini menganggap celah antara kedua budaya ini "tidak terjembatani".{{sfn|Maier|1996|p=204}}

Maier menulis bahwa novel ini menyertakan tema cinta: Cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Ia juga melihat keberadaan tema [[mobilitas sosial]], yaitu ketika hubungan Hidjo dengan perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial yang lebih tinggi. [[Harga mempelai]] juga diangkat di novel ini; elemen tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Ia melihat bahwa menjelang akhir novel, cinta dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan makna sosial-finansial dalam pernikahan masih mendominasi orang Jawa tradisional.{{sfn|Maier|1996|p=197}} Tokoh-tokohnya, meski semuanya tidak menikah karena cinta, pada akhirnya bahagia dengan pasangan mereka dan memiliki kehidupan yang nyaman.{{sfn|Kato|2003|p=96}}

== Rilis dan tanggapan ==
''Student Hidjo'' pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian ''Sinar Hindia'' yang berpusat di [[Semarang]];{{sfn|Maier|1996|p=195}} Kartodikromo menjadi editor di sana.{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} Cerita ini kemudian dijadikan buku dan diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.{{sfn|Maier|1996|p=195}} Saat itu karya-karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan [[Balai Pustaka]], penerbit milik pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.{{sfn|Latif|2008|p=127}}

Kato menulis bahwa novel ini "biasa saja dalam hal aktivisme radikal", tetapi imajinasinya tak tertandingi jika dibandingkan dengan ''[[Sitti Nurbaya]]'' (1922; [[Marah Rusli]]), ''[[Salah Asuhan]]'' (1927; [[Abdoel Moeis]]), dan ''Rasa Merdika''.{{sfn|Kato|2003|p=121}}

== Catatan ==

{{notes
| notes =

{{efn
| name = A
| Original: "... ''jang mengerti Bahasa Belanda.''"
}}

}}

== Referensi ==
;Catatan kaki
{{reflist|colwidth=30em}}

;Daftar pustaka
{{refbegin|colwidth=30em}}
* {{cite book
|last = Eneste
|first = Pamusuk
|year = 2001
|title = Buku Pintar Sastra Indonesia
|publisher = Kompas
|edition=ke-3
|location = Jakarta
|isbn = 978-979-9251-78-8
|ref = harv
}}
* {{cite book
|last = Kato
|first = Tsuyoshi
|editor1-last = Siegel
|editor1-first = James T.
|editor2-last = Kahin
|editor2-first = Audrey R.
|year = 2003
|language = Inggris
|title = Southeast Asia over three generations : essays presented to Benedict R. O'G. Anderson
|chapter = Images of Colonial Cities in Early Indonesian Novels
|edition =
|series =Studies on Southeast Asia
|volume = 36
|publisher = Cornwell University
|location = Ithaca
|pages=91–124
|isbn = 978-0-87727-735-4
|url = http://books.google.ca/books?id=Jv-gP_UkMWgC
|ref = harv
}}
* {{cite book
|last = Latif
|first = Yusuf
|year = 2008
|language = Inggris
|title = Indonesian Muslim intelligentsia and power
|publisher = Institute of Southeast Asian Studies
|location = Singapura
|url=http://books.google.ca/books?id=FLR3uqRr-1oC
|isbn = 978-981-230-471-1
|ref = harv
}}
* {{cite journal
| last = Maier
| first = Hendrik M. J.
| date = Juni 1996
| language = Inggris
| accessdate = 13 April 2012
| archivedate = 2012-04-13
| archiveurl = https://www.webcitation.org/66smhAk1A?url=http://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/56589/1/KJ00000131914.pdf
| url = http://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/56589/1/KJ00000131914.pdf
| title = Phew! Europeesche beschaving! Marco Kartodikromo's Student Hidjo
| trans_title = Phew! European Civilization! Marco Kartodikromo's Student Hidjo
| journal = Southeast Asian Studies
| volume = 34
| issue = 1
| pages = 184–210
| location = Kyoto
| ref = harv
| dead-url = no
}}
* {{cite news
|last = Yuliati
|first = Dewi
|date = 10 Februari 2008
|accessdate = 13 April 2012
|archivedate = 2012-04-13
|archiveurl = https://www.webcitation.org/66sia066l?url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/10/nas11.htm
|url = http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/10/nas11.htm
|title = Marco Kartodikromo, Jurnalis yang Terlupakan
|work = Suara Merdeka
|location = Semarang
|ref = {{SfnRef|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}}
|dead-url = yes
}}
{{refend}}

[[Kategori:Novel tahun 1918]]
[[Kategori:Novel yang awalnya diterbitkan dalam bentuk serial]]
[[Kategori:Novel berbahasa Melayu]]

Revisi per 13 April 2023 08.57

Student Hijo
Sampul edisi Bentang tahun 2002
PengarangMarco Kartodikromo
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
GenreNovel
PenerbitSinar Hindia (serial)
Masman & Stroink (buku)
Tanggal terbit
1918 (serial)
1919 (buku)
Jenis mediaCetak (Serial, sampul keras, & sampul lunak)
OCLC63225475

Student Hidjo (EYD: Student Hijo) adalah novel tahun 1918 karya Marco Kartodikromo. Novel ini awalnya diterbitkan dalam bentuk serial di Sinar Hindia, kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk buku oleh Masman & Stroink pada tahun 1919.

Student Hidjo ditulis ketika Kartodikromo dipenjara. Novel ini menceritakan kisah Hidjo, seorang pelajar Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Belanda. Alur lain yang paralel terhadap cerita utamanya menceritakan kisah asmara administrator Belanda, Willem Walter. Ditulis dalam bahasa Melayu, novel ini merupakan salah satu karya penulis Jawa yang ikut memopulerkan kata "saya" sebagai kata tunjuk pribadi orang pertama.

Novel ini menggambarkan budaya pemuda baru Indonesia yang mengadopsi budaya dan bahasa Barat. Elemen tersebut dianggap Kartodikromo sebagai simile tambahan. Nilai-nilai budaya Jawa tradisional dan budaya Belanda diperbandingkan dan Kartodikromo berpendapat bahwa keduanya tidak bisa saling melengkapi. Nilai tersebut meliputi cinta yang digambarkan di novel ini sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan orang tradisional melihat pernikahan sebagai jalan mencapai mobilitas sosial.

Latar belakang

Student Hidjo ditulis oleh Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dari Blora[1] yang memulai kariernya di Bandung dan sangat menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda.[2] Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai editor di harian Doenia Bergerak yang berpusat di Surakarta;[1] kota ini kelak dijadikan latar novelnya.[3] Ia menghabiskan lima bulan di Belanda[1] sejak akhir 1916 sampai awal 1917.[4] Sepulangnya ke Hindia Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di Weltevreden, Batavia (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo menulis Student Hidjo.[5]

Pada awal abad ke-20, pengenalan teknologi dan budaya Barat mengakibatkan fragmentasi dalam gaya hidup tradisional Jawa.[6] Sementara itu, Politik Etis Belanda, yang menjamin hak-hak dan kebebasan tertentu seperti hak pendidikan dan kebebasan pers, menyebabkan kerusuhan masyarakat. Pengekangan pers yang lebih ketat setelah 1906 membuat Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip" di sampulnya.[7]

Alur

Hidjo adalah seorang pemuda dari Surakarta, Jawa Tengah, yang bertunangan dengan Biroe sesuai keinginan ayahnya. Ayahnya, seorang pedagang bernama Raden Potronojo, meminta Hidjo pergi ke Belanda dan menuntut ilmu di sana. Ia berharap hal ini dapat menaikkan status keluarga, karena umumnya hanya keluarga priyayi yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Di sisi lain, administrator Belanda Willem Walter, yang memandang suku Jawa secara positif, bertunangan dengan seorang wanita Belanda bernama Jet Roos; Roos mengandung anaknya.

Di Belanda, Hidjo tinggal bersama keluarga setempat dan menikmati keindahan Belanda. Anak perempuan keluarga tersebut, Betje, menganggap Hidjo unik dikarenakan etnisnya. Meski Hidjo awalnya menanggapi secara dingin, keduanya pun akhirnya berhubungan secara romantis dan seksual. Di Surakarta, Walter tertarik dengan Biroe dan memutuskan pertunangannya dengan Roos; Roos kemudian mengaborsi anak mereka. Berakhirnya pertunangannya dan penolakan dari Biroe membuat Walter pulang ke Belanda. Ia bertemu Hidjo di sana.

Hidjo, yang semakin teralihkan dari studinya karena hubungannya dengan Betje, dipanggil pulang ke Hindia Belanda oleh keluarganya. Ia mengakhiri hubungannya dengan perempuan Belanda tersebut dan memberikan tabungannya sebagai permintaan maaf. Sepulangnya ke Surakarta, Hidjo menikahi Woengoe yang datang dari kelas keluarga yang lebih tinggi daripada Biroe. Dua tahun kemudian, Hidjo menjadi jaksa distrik Djarak. Sementara itu, Walter menikahi Betje dan menjadi asisten residen di Surakarta. Biroe menikahi saudara Woengoe, Wardojo, yang merupakan bupati di sana. Roos menikahi administrator daerah itu, Boeren.

Gaya

Student Hidjo ditulis dalam bahasa Melayu. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen Universitas Leiden. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti Armijn Pane dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah dengan nada "sedih", bahasa di Student Hidjo hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".[8]

Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperti penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis Minangkabau yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata Jawa karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti Student Hidjo dan Rasa Merdika (1924; Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ngoko.[9]

Tema

Maier menulis bahwa nama-nama tokoh utama Student Hidjo harus dibaca secara alegoris. Nama Hidjo (hijau), Woengoe (ungu), dan Biroe (biru) menunjukkan keterkaitan antartokoh. Kartodikromo menyebutnya simile tambahan.[3]

Novel ini menggambarkan kaum muda Indonesia sebagai orang-orang yang mengerti bahasa Belanda.[a] Maier menulis bahwa pemahaman ini tidak terbatas pada bahasa yang digunakan, tetapi juga tindakan. Tindakan tersebut mencakup berpegangan tangan di depan umum dan minum air limun, aktivitas yang tidak pernah dilakukan masyarakat tradisional Indonesia.[10] Student Hidjo juga memperbandingkan orang Belanda dan Jawa.[11] Maier menemukan bahwa melalui peralihan peristiwanya, novel ini menunjukkan bahwa bangsa Belanda dan suku Jawa tidak bisa saling melengkapi. Maier menyimpulkan bahwa "orang Jawa tidak merasa nyaman di Belanda, [dan] orang Belanda tidak merasa nyaman di Jawa."[6] Menurut Maier, novel ini menganggap celah antara kedua budaya ini "tidak terjembatani".[12]

Maier menulis bahwa novel ini menyertakan tema cinta: Cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Ia juga melihat keberadaan tema mobilitas sosial, yaitu ketika hubungan Hidjo dengan perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial yang lebih tinggi. Harga mempelai juga diangkat di novel ini; elemen tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Ia melihat bahwa menjelang akhir novel, cinta dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan makna sosial-finansial dalam pernikahan masih mendominasi orang Jawa tradisional.[11] Tokoh-tokohnya, meski semuanya tidak menikah karena cinta, pada akhirnya bahagia dengan pasangan mereka dan memiliki kehidupan yang nyaman.[13]

Rilis dan tanggapan

Student Hidjo pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian Sinar Hindia yang berpusat di Semarang;[5] Kartodikromo menjadi editor di sana.[1] Cerita ini kemudian dijadikan buku dan diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.[5] Saat itu karya-karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.[14]

Kato menulis bahwa novel ini "biasa saja dalam hal aktivisme radikal", tetapi imajinasinya tak tertandingi jika dibandingkan dengan Sitti Nurbaya (1922; Marah Rusli), Salah Asuhan (1927; Abdoel Moeis), dan Rasa Merdika.[15]

Catatan

  1. ^ Original: "... jang mengerti Bahasa Belanda."

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c d Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis.
  2. ^ Maier 1996, hlm. 186-187.
  3. ^ a b Maier 1996, hlm. 185.
  4. ^ Eneste 2001, hlm. 143.
  5. ^ a b c Maier 1996, hlm. 195.
  6. ^ a b Maier 1996, hlm. 198.
  7. ^ Maier 1996, hlm. 206.
  8. ^ Maier 1996, hlm. 192.
  9. ^ Kato 2003, hlm. 103-104.
  10. ^ Maier 1996, hlm. 190.
  11. ^ a b Maier 1996, hlm. 197.
  12. ^ Maier 1996, hlm. 204.
  13. ^ Kato 2003, hlm. 96.
  14. ^ Latif 2008, hlm. 127.
  15. ^ Kato 2003, hlm. 121.
Daftar pustaka