Lompat ke isi

Pengguna:Blackman Jr./Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Blackman Jr. (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Menghapus Soa_van_Negorij_Zoja.jpg karena telah dihapus dari Commons oleh Minorax; alasan: per c:Commons:Deletion requests/Files uploaded by Blackman Jr..
 
(7 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 2: Baris 2:
==Kependudukan==
==Kependudukan==
===Migrasi orang Alifuru===
===Migrasi orang Alifuru===
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan kehadiran Soya di masa prasejarah, yang berawal dari cerita migrasi sekelompok [[orang Alifuru]] dari [[pulau Seram]]. Khususnya bagi kelompok "Soya awal" atau "Soya mula-mula", menurut penuturan lisan para leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, dituturkan bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri di kawasan Sawai, Seram Utara yang bernama "Soya" juga. Sementara penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara, ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan kehadiran Soya di masa prasejarah, yang berawal dari cerita migrasi sekelompok [[orang Alifuru]] dari [[pulau Seram]]. Khususnya bagi kelompok "Soya awal" atau "Soya mula-mula", menurut penuturan lisan para leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, dituturkan bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri di kawasan Sawai, Seram Utara yang bernama "Soya" juga. Sementara penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara, ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.<ref name=";8">[https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/20463/4/D_762014002_BAB%20IV.pdf Penelusuran Konteks:
Potret Soya dan Kekristenan]</ref>


Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat di luar, termasuk ke wilayah [[Kepulauan Lease]], dikonstatir bahwa para penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang masih sangat sederhana, yang disebut ''gosepa'' atau [[rakit]]. Menurut tradisi sejarah lisan, manusia Soya awal, yang termasuk dalam salah satu kelompok migran "manusia perahu" tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini melalui 3 gelombang, lalu menetap di negeri Soya,
Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat, termasuk ke wilayah [[Kepulauan Lease]], dikonstatir bahwa para penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang masih sangat sederhana, yang disebut ''gosepa'' atau [[rakit]]. Menurut tradisi sejarah lisan, manusia Soya awal, yang termasuk dalam salah satu kelompok migran "manusia perahu" tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini melalui 3 gelombang, lalu menetap di negeri Soya,
membentuk klan baru, dan kemudian memilih nama tempat kediamannya yang baru tersebut sama dengan nama tempat asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai 'tanda dan peringatan, tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka datang'.
membentuk klan baru, dan kemudian memilih nama tempat kediamannya yang baru tersebut sama dengan nama tempat asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai 'tanda dan peringatan, tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka datang'.<ref name=";8"/>


Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya
Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya
dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu ''soa'' sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi
dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu ''soa'' sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi dalam disertasinya tersebut. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama Samurele.<ref name=";8"/>
dalam disertasinya tersebut. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan
tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu
megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama Samurele.


Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut.
Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut.<ref name=";8"/>
<Blockquote>
<Blockquote>
"Perahu batu ''soa'' pertama sekaligus dengan tingkat yang tertinggi, yang menjadi soa raja, berada terpisah di sebelah kanan, ketika memasuki alun-alun. Kedua perahu batu lainnya berdampingan di sisi yang berlawanan, dengan soa kedua di sebelah kanan dan yang ketiga di sebelah kiri....
"Perahu batu ''soa'' pertama sekaligus dengan tingkat yang tertinggi, yang menjadi soa raja, berada terpisah di sebelah kanan, ketika memasuki alun-alun. Kedua perahu batu lainnya berdampingan di sisi yang berlawanan, dengan soa kedua di sebelah kanan dan yang ketiga di sebelah kiri....
Baris 21: Baris 19:


Batu-batu lainnya yang turut membentuk perahu melambangkan
Batu-batu lainnya yang turut membentuk perahu melambangkan
peringkat masing-masing kelompok. Dengan demikian perahu yang pertama, batu yang di tengah sekaligus yang terbesar, adalah tempat kedudukan raja, Sri Mahu. Batu di belakangnya adalah tempat kedudukan istrinya, Peri Ina. Batu yang ada di haluan perahu, milik ''matarumah'' Huwa'a, yang punya tingkat kepangkatan lebih tinggi daripada ''matarumah'' Pesulima dengan batu di buritan perahu. Raja berasal dari pulau Jawa. Setelah menetap untuk sementara di Lessidi, Huamoal, dia terus berlayar ke pulau Ambon dengan dua [[kora-kora]] (perahu) yang juga memuat anggota matarumah Huwa'a dan Pesulima yang telah bergabung dengan kelompoknya di Lessidi.
peringkat masing-masing kelompok. Dengan demikian perahu yang pertama, batu yang di tengah sekaligus yang terbesar, adalah tempat kedudukan raja, Sri Mahu. Batu di belakangnya adalah tempat kedudukan istrinya, Peri Ina. Batu yang ada di haluan perahu, milik ''matarumah'' Huwa'a, yang punya tingkat kepangkatan lebih tinggi daripada ''matarumah'' Pesulima dengan batu di buritan perahu.
Rajanya berasal dari [[pulau Jawa]]. Setelah menetap untuk sementara di Lessidi, Huamoal, dia terus berlayar ke pulau Ambon dengan dua [[kora-kora]] (perahu) yang juga memuat anggota matarumah Huwa'a dan Pesulima yang telah bergabung dengan kelompoknya di Lessidi.
Pertama-tama mereka mendiami kampung yang disebut Kamuala, berlokasi di antara Hatu dan Laha di sisi Leihitu, Teluk Ambon. Namun akibat epidemi penyakit kulit yang berat, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan membangun tempat baru yang berlokasi di hutan-hutan sagu Honipopu dekat Amantelu, yang merupakan daerah kekuasaan Soya. Akhirnya, Patih Soya mengajak mereka pindah ke Soya di mana Sri Mahu menjadi raja yang memimpin Soya dalam pepan dengan musuh bebuyutannya, kampung tetangga Ema....
Pertama-tama mereka mendiami kampung yang disebut Kamuala, berlokasi di antara Hatu dan Laha di sisi Leihitu, [[Teluk Ambon]]. Namun akibat epidemi penyakit kulit yang berat, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan membangun tempat baru yang berlokasi di hutan-hutan sagu Honipopu dekat Amantelu, yang merupakan daerah kekuasaan Soya. Akhirnya, Patih Soya mengajak mereka pindah ke Soya di mana Sri Mahu menjadi raja yang memimpin Soya dalam pepan dengan musuh bebuyutannya, kampung tetangga Ema....


Demikian pula, soa yang kedua memiliki lima tempat duduk dan soa yang ketiga tiga tempat duduk, semuanya mewakili berbagai mata rumah di dalam masyarakat perahu asli mereka."
Demikian pula, soa yang kedua memiliki lima tempat duduk dan soa yang ketiga tiga tempat duduk, semuanya mewakili berbagai mata rumah di dalam masyarakat perahu asli mereka."
</Blockquote>
</Blockquote>

===Jumlah penduduk===
Dari segi kependudukan, Soya mengalami 'pasang-surut' populasi, sesuai dengan dinamika sejarah dan perkembangan konteks sosial politik, ekonomi, budaya, dan demografis yang dialami oleh negeri Soya.<ref name=";8"/>

Berdasarkan beberapa data
dokumenter tentang sensus penduduk Soya, dapat terlihat
perbandingan laju perkembangan demografis Soya semenjak abad ke-17 hingga 2017. Pendataan inipun terbatas pada beberapa
sumber dokumenter yang tersimpan, yang diperoleh oleh Cooley, ketika melakukan riset disertasinya.<ref name=";8"/>

{| class="wikitable"
|-
! Tahun
! Jumlah penduduk
! Sumber data
|-
| 1691
| 911 jiwa
| rowspan="3"|F.L. Cooley{{efn|Merujuk pada sumber data yang diperoleh Cooley dalam risert disertasinya. Lihat,
Cooley, Mimbar..., hlm. 36-37.}}
|-
| 1855
| 107 jiwa
|-
| 1959
| 712 jiwa
|-
| 1997
| 5.295 jiwa
| Likumahwa{{efn|Merujuk pada sumber data yang diperoleh Likumahwa dalam riset tesisnya. Lihat, Likumahwa, Analisa...., hlm. 71.}}
|-
| 2010
| 3.854 jiwa
| Pieter{{efn|Merujuk pada sumber data yang diperoleh Pieter dalam riset tesisnya. Lihat, Pieter, Mitos...., hlm. 33.}}
|-
| 2017
| 8.679 jiwa
| RPJM{{efn|Merujuk pada sumber data terbaru) yang penulis peroleh dari data statistik negeri Soya (diambil bulan Desember 2017) dan juga digunakan dalam rujukan Pemerintah Negeri
Soya dalam dokumen ''RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Negeri Soya Tahun
2015-2020'', (Tanpa Tempat, Tahun dan Penerbit), hlm. 8.}}
|}

Fenomena 'pasang-surut' populasi negeri Soya tersebut di atas, dapat dimengerti dari beberapa faktor yang turut melatarinya, antara lain, kehadiran kolonialisme yang signifikan turut memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Bahkan, menurut
pencermatan Cooley, justru pada era kolonial itulah terjadi kemerosotan jumlah penduduk, perubahan batas wilayah petuanan negeri yang
diakibatkan dengan hadirnya beberapa kawasan yang terpisah atau "mekar" menjadi negeri baru secara administratif, dampak [[konflik sektarian Maluku]] tahun 1999, yang menyebabkan cukup banyak warga memilih untuk mengungsi ke tempat lainnya. Hal ini patut dimengerti, karena semenjak tahun 1999 hingga memuncak pada tanggal 28 April tahun 2002 (momentum terbakarnya gedung Gereja Tua Soya), fakta-fakta historis tersebut sesungguhnya sangat memengaruhi psikotraumatik masyarakat Soya sendiri, bahkan berdampak pada beberapa tahun kemudian, situasi pasca-konflik yang semakin kondusif dan relatif aman-damai, diikuti dengan geliat pembangunan dan
perkembangan sosial politik dan ekonomi yang kian membaik, turut berdampak pada kehadiran penduduk yang meningkat. Paling sedikit ada dua sebab, yakni kembalinya orang Soya dari pengungsian sementara, dan kesediaan Soya dalam merespon permintaan pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon, untuk mengalokasikan beberapa kawasan di wilayah petuanan negeri Soya sebagai tempat penampungan permanen bagi para pengungsi jemaat-jemaat Kristen dari lokasi lainnya di kota Ambon, yang menjadi korban konflik.<ref name=";8"/>

Dari hasil riset yang dilakukan, diakui bahwa dalam situasi kontemporer saat ini
disinyalir bahwa konfigurasi penduduk asli dan pendatang di Soya saat ini cukup berimbang (hampir 50÷50). Suatu jumlah persentasi konfigurasi yang berubah cukup signifikan dalam 8 dekade ke belakang. Apabila merujuk pada data yang dikonstatir oleh Cooley, terungkap bahwa angka sensus di tahun 1930 menunjukkan bahwa di beberapa wilayah subbagian kota Ambon (menurut penulis, tentunya termasuk wilayah petuanan negeri Soya), terdapat hampir 90%
terdiri dari penduduk asli dan 10% terdiri dari pendatang.<ref name=";8"/>

Berdasarkan dokumen RPJM (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah) pemerintah negeri Soya untuk tahun 2015 – tahun 2020, disebutkan bahwa jumlah penduduk Negeri Soya (rujukan data tahun 2015) sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi laki-laki sebanyak 4.302 jiwa dan perempuan sebanyak 4.377
jiwa. Penduduk Soya tersebut tersebar pada 4 lokasi, yakni pada negeri induk (pusat pemerintahan) sebanyak 823 jiwa/174 KK, dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 KK. dusun Tabea Jou sebanyak 679 jiwa/354 KK, dusun Air Besar sebanyak 1.477 jiwa/376 KK.<ref name=";8"/>

Revisi terkini sejak 13 Mei 2023 11.28

Kerajaan Soya

Kependudukan

[sunting | sunting sumber]

Migrasi orang Alifuru

[sunting | sunting sumber]

Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan kehadiran Soya di masa prasejarah, yang berawal dari cerita migrasi sekelompok orang Alifuru dari pulau Seram. Khususnya bagi kelompok "Soya awal" atau "Soya mula-mula", menurut penuturan lisan para leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi, dituturkan bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri di kawasan Sawai, Seram Utara yang bernama "Soya" juga. Sementara penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara, ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.[1]

Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat, termasuk ke wilayah Kepulauan Lease, dikonstatir bahwa para penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang masih sangat sederhana, yang disebut gosepa atau rakit. Menurut tradisi sejarah lisan, manusia Soya awal, yang termasuk dalam salah satu kelompok migran "manusia perahu" tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini melalui 3 gelombang, lalu menetap di negeri Soya, membentuk klan baru, dan kemudian memilih nama tempat kediamannya yang baru tersebut sama dengan nama tempat asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai 'tanda dan peringatan, tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka datang'.[1]

Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu soa sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi dalam disertasinya tersebut. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama Samurele.[1]

Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut.[1]

"Perahu batu soa pertama sekaligus dengan tingkat yang tertinggi, yang menjadi soa raja, berada terpisah di sebelah kanan, ketika memasuki alun-alun. Kedua perahu batu lainnya berdampingan di sisi yang berlawanan, dengan soa kedua di sebelah kanan dan yang ketiga di sebelah kiri....

Di tempat itu dilakukan dewan musyawarah kampung di mana orang-orang yang berkedudukan tinggi dari setiap soa akan duduk di perahu masing-masing, sementara pejabat dari dua soa rendah menghadapi batu perahu raja....

Batu-batu lainnya yang turut membentuk perahu melambangkan peringkat masing-masing kelompok. Dengan demikian perahu yang pertama, batu yang di tengah sekaligus yang terbesar, adalah tempat kedudukan raja, Sri Mahu. Batu di belakangnya adalah tempat kedudukan istrinya, Peri Ina. Batu yang ada di haluan perahu, milik matarumah Huwa'a, yang punya tingkat kepangkatan lebih tinggi daripada matarumah Pesulima dengan batu di buritan perahu.

Rajanya berasal dari pulau Jawa. Setelah menetap untuk sementara di Lessidi, Huamoal, dia terus berlayar ke pulau Ambon dengan dua kora-kora (perahu) yang juga memuat anggota matarumah Huwa'a dan Pesulima yang telah bergabung dengan kelompoknya di Lessidi.

Pertama-tama mereka mendiami kampung yang disebut Kamuala, berlokasi di antara Hatu dan Laha di sisi Leihitu, Teluk Ambon. Namun akibat epidemi penyakit kulit yang berat, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan membangun tempat baru yang berlokasi di hutan-hutan sagu Honipopu dekat Amantelu, yang merupakan daerah kekuasaan Soya. Akhirnya, Patih Soya mengajak mereka pindah ke Soya di mana Sri Mahu menjadi raja yang memimpin Soya dalam pepan dengan musuh bebuyutannya, kampung tetangga Ema....

Demikian pula, soa yang kedua memiliki lima tempat duduk dan soa yang ketiga tiga tempat duduk, semuanya mewakili berbagai mata rumah di dalam masyarakat perahu asli mereka."

Jumlah penduduk

[sunting | sunting sumber]

Dari segi kependudukan, Soya mengalami 'pasang-surut' populasi, sesuai dengan dinamika sejarah dan perkembangan konteks sosial politik, ekonomi, budaya, dan demografis yang dialami oleh negeri Soya.[1]

Berdasarkan beberapa data dokumenter tentang sensus penduduk Soya, dapat terlihat perbandingan laju perkembangan demografis Soya semenjak abad ke-17 hingga 2017. Pendataan inipun terbatas pada beberapa sumber dokumenter yang tersimpan, yang diperoleh oleh Cooley, ketika melakukan riset disertasinya.[1]

Tahun Jumlah penduduk Sumber data
1691 911 jiwa F.L. Cooley[a]
1855 107 jiwa
1959 712 jiwa
1997 5.295 jiwa Likumahwa[b]
2010 3.854 jiwa Pieter[c]
2017 8.679 jiwa RPJM[d]

Fenomena 'pasang-surut' populasi negeri Soya tersebut di atas, dapat dimengerti dari beberapa faktor yang turut melatarinya, antara lain, kehadiran kolonialisme yang signifikan turut memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Bahkan, menurut pencermatan Cooley, justru pada era kolonial itulah terjadi kemerosotan jumlah penduduk, perubahan batas wilayah petuanan negeri yang diakibatkan dengan hadirnya beberapa kawasan yang terpisah atau "mekar" menjadi negeri baru secara administratif, dampak konflik sektarian Maluku tahun 1999, yang menyebabkan cukup banyak warga memilih untuk mengungsi ke tempat lainnya. Hal ini patut dimengerti, karena semenjak tahun 1999 hingga memuncak pada tanggal 28 April tahun 2002 (momentum terbakarnya gedung Gereja Tua Soya), fakta-fakta historis tersebut sesungguhnya sangat memengaruhi psikotraumatik masyarakat Soya sendiri, bahkan berdampak pada beberapa tahun kemudian, situasi pasca-konflik yang semakin kondusif dan relatif aman-damai, diikuti dengan geliat pembangunan dan perkembangan sosial politik dan ekonomi yang kian membaik, turut berdampak pada kehadiran penduduk yang meningkat. Paling sedikit ada dua sebab, yakni kembalinya orang Soya dari pengungsian sementara, dan kesediaan Soya dalam merespon permintaan pemerintah Provinsi Maluku dan Kota Ambon, untuk mengalokasikan beberapa kawasan di wilayah petuanan negeri Soya sebagai tempat penampungan permanen bagi para pengungsi jemaat-jemaat Kristen dari lokasi lainnya di kota Ambon, yang menjadi korban konflik.[1]

Dari hasil riset yang dilakukan, diakui bahwa dalam situasi kontemporer saat ini disinyalir bahwa konfigurasi penduduk asli dan pendatang di Soya saat ini cukup berimbang (hampir 50÷50). Suatu jumlah persentasi konfigurasi yang berubah cukup signifikan dalam 8 dekade ke belakang. Apabila merujuk pada data yang dikonstatir oleh Cooley, terungkap bahwa angka sensus di tahun 1930 menunjukkan bahwa di beberapa wilayah subbagian kota Ambon (menurut penulis, tentunya termasuk wilayah petuanan negeri Soya), terdapat hampir 90% terdiri dari penduduk asli dan 10% terdiri dari pendatang.[1]

Berdasarkan dokumen RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) pemerintah negeri Soya untuk tahun 2015 – tahun 2020, disebutkan bahwa jumlah penduduk Negeri Soya (rujukan data tahun 2015) sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi laki-laki sebanyak 4.302 jiwa dan perempuan sebanyak 4.377 jiwa. Penduduk Soya tersebut tersebar pada 4 lokasi, yakni pada negeri induk (pusat pemerintahan) sebanyak 823 jiwa/174 KK, dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 KK. dusun Tabea Jou sebanyak 679 jiwa/354 KK, dusun Air Besar sebanyak 1.477 jiwa/376 KK.[1]

  1. ^ a b c d e f g h i [https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/20463/4/D_762014002_BAB%20IV.pdf Penelusuran Konteks: Potret Soya dan Kekristenan]


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan