Wayang Sukuraga: Perbedaan antara revisi
Membuat halaman baru |
k fix |
||
(4 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Orphan|date=Januari 2023}} |
|||
⚫ | |||
⚫ | '''Wayang Sukuraga'''<ref name="Lyesmaya 2019">{{Cite journal|last=Lyesmaya|first=D|last2=Sutisnawati|first2=A|last3=Hamdani|first3=L|last4=Wardana|first4=A|last5=Nurasiah|first5=I|last6=Uswatun|first6=D|last7=Amalia|first7=A|date=2019|title=Integrity Value in Local Wisdom (Wayang Sukuraga): Character Education Media Learning in Elementary School|url=http://dx.doi.org/10.4108/eai.29-8-2019.2289146|journal=Proceedings of the Proceedings of the 2nd International Conference on Local Wisdom, INCOLWIS 2019, August 29-30, 2019, Padang, West Sumatera, Indonesia|publisher=EAI|doi=10.4108/eai.29-8-2019.2289146|isbn=978-1-63190-202-4}}</ref> merupakan kesenian khas [[Kota Sukabumi|Sukabumi]] yang memadukan [[seni rupa]], [[musik]], [[teater]] [[wayang]] dan [[sastra]]. [[Seni]] [[wayang]] ini tidak mengacu pada literasi wayang tradisi [[Ramayana]] dan [[Mahabharata|Mahabarata]]. Melainkan sesuai dengan arti sukuraga yakni memainkan wayang tokoh yang diambil dari nama bagian tubuh manusia seperti mata, hidung, telinga, mulut, tangan, dan kaki. Kesenian ini telah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah [[Kota Sukabumi]] sejak 2016 lalu. Hal ini dituangkan dalam surat keputusan Wali Kota Sukabumi Nomor 55 Tahun 2016 tentang Wayang Sukuraga sebagai Kesenian Asli Daerah [[Kota Sukabumi]]. Pertunjukan wayang Sukuraga pada dasarnya adalah seni pertunjukan sebagai sarana hiburan dan biasanya ditampilkan untuk mengisi acara-acara kedinasan di [[Kota Sukabumi]], atau acara-acara komunitas, namun Sukuraga juga sering mempertunjukan karyanya dalam kegiatan-kegiatan wayang seperti dalam kegiatan Gunungan Internasional Wayang & Pupet Festival 2013 di kota Baru Parahyangan [[Kota Bandung|Bandung]] pada tahun 2013. Wayang Sukuraga biasanya berkisah tentang kehidupan nyata yang terjadi pada masa kini, menyinggung pada masalah sosial, seperti korupsi, gaya hidup masyarakat dan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat sebagai apresiatornya. Durasi pertunjukan wayang sukuraga biasanya berkisar dari satu sampai dua jam, dengan didominasi musik yang kuat dalam pertunjukannya, dalang menjadi sutradara sekaligus pelakon tunggal dalam pertunjukan wayang sukurga seperti dalam pertunjukan wayang kulit atau wayang golek biasanya. |
||
== Sejarah == |
== Sejarah == |
||
Wayang sukuraga diciptakan oleh seorang seniman yang bernama Fendi Sukuraga yang lahir di [[Kota Sukabumi|Sukabumi]], wayang ini sudah dikembangkan sejak tahun 1995, dan mulai di pertunjukan pada khalayak umum sejak tahun 1997. Bermula dari pameran lukisannya di Institut Teknologi Mara Malaysia, lukisannya yang bertema Sukuraga berjudul “Peran-peran” diartikan pelakon oleh apresiastor disana. Semenjak saat |
Wayang sukuraga diciptakan oleh seorang seniman yang bernama Fendi Sukuraga yang lahir di [[Kota Sukabumi|Sukabumi]], wayang ini sudah dikembangkan sejak tahun 1995, dan mulai di pertunjukan pada khalayak umum sejak tahun 1997. Bermula dari pameran lukisannya di Institut Teknologi Mara Malaysia, lukisannya yang bertema Sukuraga berjudul “Peran-peran” diartikan pelakon oleh apresiastor disana. Semenjak saat itu Fendi berpikiran bahwa sukuraga manusia adalah wayang, maka dalam proses kreatifnya Fendi mengalihkan lukisan sukuraganya yang biasa tergambar dalam kanvas ke media kulit dan dibentuk menjadi wayang, wayang-wayang ini bergambarkan anggota tubuh manusia (Sukuraga) seperti kaki, tangan, mata, hidung dan telinga.<ref name="Lyesmaya 2019"/> |
||
== Tokoh Pewayangan Sukuraga == |
== Tokoh Pewayangan Sukuraga == |
||
Nama tokoh pewayangan Sukuraga diambil dari bahasa sunda, Panon berarti mata, Ceuli berarti telinga, Mulutna berarti mulut, Leungka merupakan singkatan dari Leungeun katuhu yang berarti tangan kanan dan Leungke singkatan dari Leungen kenca yang berarti tangan kiri. Tokoh - tokoh dalam wayang Sukuraga adalah bagian dari tubuh manusia seperti hidung, mata, telinga dan kaki di tambah dengan gunungan seperti dalam pertunjukan biasanya. Gunungan ini menjadi penafsiran sang Sukuraga atau Manusia, setiap bagian dalam tubuh adalah cerminan manusia kelak, seperti dalam ajaran agama Islam, suatu hari nanti tangan, mulut, mata, dan kaki akan mempertanggung jawabkan segala tingkahnya, kemana kaki melangkah, apa yang dilakukan tangan, apa yang diucapkan mulut, apa yang dilihat mata, suatu saat nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa setelah manusia meninggal dunia dan rohnya menghadap yang Kuasa.<ref |
Nama tokoh pewayangan Sukuraga diambil dari bahasa sunda, Panon berarti mata, Ceuli berarti telinga, Mulutna berarti mulut, Leungka merupakan singkatan dari Leungeun katuhu yang berarti tangan kanan dan Leungke singkatan dari Leungen kenca yang berarti tangan kiri. Tokoh - tokoh dalam wayang Sukuraga adalah bagian dari tubuh manusia seperti hidung, mata, telinga dan kaki di tambah dengan gunungan seperti dalam pertunjukan biasanya. Gunungan ini menjadi penafsiran sang Sukuraga atau Manusia, setiap bagian dalam tubuh adalah cerminan manusia kelak, seperti dalam ajaran agama Islam, suatu hari nanti tangan, mulut, mata, dan kaki akan mempertanggung jawabkan segala tingkahnya, kemana kaki melangkah, apa yang dilakukan tangan, apa yang diucapkan mulut, apa yang dilihat mata, suatu saat nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa setelah manusia meninggal dunia dan rohnya menghadap yang Kuasa.<ref name="Lyesmaya 2019"/> |
||
== Alat musik == |
|||
⚫ | Dalam pertunjukan wayang Sukuraga diiringi oleh musik tradisi dan modern seperti alat karawitan kendang, saron, suling, karinding dan alat modern seperti gitar, keyboard, drum, biola. Wayang Sukuraga sering menceritakan tentang keadaan hidup masyarakat yang dirasa selalu merasakan kekurangan dalam segi apapun, sehingga sangat jelas bahwa wayang Sukuraga ingin mengutarakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu saja ini sesuai dengan Implementasi Sila ke lima yaitu bersama - sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. |
||
== Referensi == |
|||
== Alat Musik yang digunakan Saat Pertunjukkan == |
|||
{{Reflist}} |
|||
⚫ | Dalam pertunjukan wayang Sukuraga diiringi oleh musik tradisi dan modern seperti alat karawitan kendang, saron, suling, karinding |
||
[[Kategori:Kesenian]] |
|||
{{sedang ditulis}} |
Revisi terkini sejak 12 Juni 2023 07.03
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Januari 2023. |
Wayang Sukuraga[1] merupakan kesenian khas Sukabumi yang memadukan seni rupa, musik, teater wayang dan sastra. Seni wayang ini tidak mengacu pada literasi wayang tradisi Ramayana dan Mahabarata. Melainkan sesuai dengan arti sukuraga yakni memainkan wayang tokoh yang diambil dari nama bagian tubuh manusia seperti mata, hidung, telinga, mulut, tangan, dan kaki. Kesenian ini telah mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Kota Sukabumi sejak 2016 lalu. Hal ini dituangkan dalam surat keputusan Wali Kota Sukabumi Nomor 55 Tahun 2016 tentang Wayang Sukuraga sebagai Kesenian Asli Daerah Kota Sukabumi. Pertunjukan wayang Sukuraga pada dasarnya adalah seni pertunjukan sebagai sarana hiburan dan biasanya ditampilkan untuk mengisi acara-acara kedinasan di Kota Sukabumi, atau acara-acara komunitas, namun Sukuraga juga sering mempertunjukan karyanya dalam kegiatan-kegiatan wayang seperti dalam kegiatan Gunungan Internasional Wayang & Pupet Festival 2013 di kota Baru Parahyangan Bandung pada tahun 2013. Wayang Sukuraga biasanya berkisah tentang kehidupan nyata yang terjadi pada masa kini, menyinggung pada masalah sosial, seperti korupsi, gaya hidup masyarakat dan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat sebagai apresiatornya. Durasi pertunjukan wayang sukuraga biasanya berkisar dari satu sampai dua jam, dengan didominasi musik yang kuat dalam pertunjukannya, dalang menjadi sutradara sekaligus pelakon tunggal dalam pertunjukan wayang sukurga seperti dalam pertunjukan wayang kulit atau wayang golek biasanya.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Wayang sukuraga diciptakan oleh seorang seniman yang bernama Fendi Sukuraga yang lahir di Sukabumi, wayang ini sudah dikembangkan sejak tahun 1995, dan mulai di pertunjukan pada khalayak umum sejak tahun 1997. Bermula dari pameran lukisannya di Institut Teknologi Mara Malaysia, lukisannya yang bertema Sukuraga berjudul “Peran-peran” diartikan pelakon oleh apresiastor disana. Semenjak saat itu Fendi berpikiran bahwa sukuraga manusia adalah wayang, maka dalam proses kreatifnya Fendi mengalihkan lukisan sukuraganya yang biasa tergambar dalam kanvas ke media kulit dan dibentuk menjadi wayang, wayang-wayang ini bergambarkan anggota tubuh manusia (Sukuraga) seperti kaki, tangan, mata, hidung dan telinga.[1]
Tokoh Pewayangan Sukuraga
[sunting | sunting sumber]Nama tokoh pewayangan Sukuraga diambil dari bahasa sunda, Panon berarti mata, Ceuli berarti telinga, Mulutna berarti mulut, Leungka merupakan singkatan dari Leungeun katuhu yang berarti tangan kanan dan Leungke singkatan dari Leungen kenca yang berarti tangan kiri. Tokoh - tokoh dalam wayang Sukuraga adalah bagian dari tubuh manusia seperti hidung, mata, telinga dan kaki di tambah dengan gunungan seperti dalam pertunjukan biasanya. Gunungan ini menjadi penafsiran sang Sukuraga atau Manusia, setiap bagian dalam tubuh adalah cerminan manusia kelak, seperti dalam ajaran agama Islam, suatu hari nanti tangan, mulut, mata, dan kaki akan mempertanggung jawabkan segala tingkahnya, kemana kaki melangkah, apa yang dilakukan tangan, apa yang diucapkan mulut, apa yang dilihat mata, suatu saat nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa setelah manusia meninggal dunia dan rohnya menghadap yang Kuasa.[1]
Alat musik
[sunting | sunting sumber]Dalam pertunjukan wayang Sukuraga diiringi oleh musik tradisi dan modern seperti alat karawitan kendang, saron, suling, karinding dan alat modern seperti gitar, keyboard, drum, biola. Wayang Sukuraga sering menceritakan tentang keadaan hidup masyarakat yang dirasa selalu merasakan kekurangan dalam segi apapun, sehingga sangat jelas bahwa wayang Sukuraga ingin mengutarakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu saja ini sesuai dengan Implementasi Sila ke lima yaitu bersama - sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Lyesmaya, D; Sutisnawati, A; Hamdani, L; Wardana, A; Nurasiah, I; Uswatun, D; Amalia, A (2019). "Integrity Value in Local Wisdom (Wayang Sukuraga): Character Education Media Learning in Elementary School". Proceedings of the Proceedings of the 2nd International Conference on Local Wisdom, INCOLWIS 2019, August 29-30, 2019, Padang, West Sumatera, Indonesia. EAI. doi:10.4108/eai.29-8-2019.2289146. ISBN 978-1-63190-202-4.