Lompat ke isi

Retensi plasenta: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Xqbot (bicara | kontrib)
k bot Mengubah: en:Retained placenta
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(29 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Penyangkalan-medis}}
'''Retensi plasenta''', atau '''retensi sekundinarum''' atau '''retensi skundinae''' merupakan suatu kegagalan pelepasan [[plasenta]] fetalis ([[vili]] [[kotiledon]]) dan plasenta [[induk]] (kripta karunkula) lebih lama dari 8 –12 [[jam]] setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia, misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada [[sapi]] yaitu pelebaran leher [[rahim]] (serviks) selama 2-6 [[jam]], pengeluaran [[fetus]] 0.5-1 [[jam]] dan pengeluaran [[plasenta]] 4-5 jam. Secara normal [[plasenta]] akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan <ref> Hafez B dan ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7thedition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. </ref>. Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi <ref name="manusia">[http://www.scribd.com/doc/24022851/Landasan-Teori-Retensio-Plasenta Landasan Teori Retensi Plasenta]</ref>
[[Berkas:Plazenta.png|jmpl|300px|ka|Gambar skematis [[plasenta]]]]
'''Retensi plasenta''', atau '''retensi sekundinarum''' atau '''retensi skundinae''' merupakan suatu kegagalan pelepasan [[plasenta fetalis]] ([[vili]] [[kotiledon]]) dan [[plasenta induk]] (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 [[jam]] setelah [[lahir|melahirkan]]. Retensi plasenta dapat terjadi pada [[mamalia]], misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada [[sapi]] yaitu pelebaran [[leher rahim]] (serviks) selama 2-6 [[jam]], pengeluaran [[fetus]] setengah sampai satu jam dan pengeluaran [[plasenta]] 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan.<ref>{{en}} Hafez B dan ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7thedition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.</ref> Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi <ref name="manusia">[http://www.scribd.com/doc/24022851/Landasan-Teori-Retensio-Plasenta Landasan Teori Retensi Plasenta]</ref>


== Faktor Penyebab ==
== Faktor Penyebab ==
Penyebab retensi [[plasenta]] sangat [[kompleks]]. Beberapa penyebab retensi [[plasenta]] yaitu [[infeksi]] yang menyebabkan [[rahim]] lemah untuk berkontraksi, dan [[induk]] kurang gerak sehingga [[otot]] rahim tidak kuat untuk berkontraksi.<ref name="Ratnawati">{{cite book|author=Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L|title=Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong|publisher=Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan|year=2007|url=http://lolitsapi.litbang.deptan.go.id/eng/images/dokumen/gangrep.pdf|format=PDF|location=Pasuruan|language=Indonesia|isbn=|accessdate=2010-04-10|archive-date=2012-09-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20120911191701/http://lolitsapi.litbang.deptan.go.id/eng/images/dokumen/gangrep.pdf|dead-url=yes}}</ref> Retensi plasenta pada ternak dapat terjadi pada kasus [[abortus]] setelah [[bulan]] ke [[lima]], kesulitan melahirkan, [[rahim]] terputar, rahim berisi cairan, kekurangan [[kalsium]], ketuaan, eksitasi waktu melahirkan, kelahiran yang dipaksakan, kegemukan dan [[defisiensi]] [[vitamin]] A, E dan [[selenium]].<ref>Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.</ref>
[[Berkas:Plazenta.png‎|thumb|400px|left|Bagian-bagian [[rahim]], termasuk plasenta]]
Penyebab retensi [[plasenta]] sangat [[kompleks]]. Beberapa penyebab retensi plasenta yaitu [[infeksi]] yang menyebabkan [[rahim]] lemah untuk berkontraksi, dan [[induk]] kurang gerak sehingga [[otot]] [[rahim]] tidak kuat untuk berkontraksi <ref name="Ratnawati">{{cite book |author=Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L |title=Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong|publisher=Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan |year=2007|url=http://lolitsapi.litbang.deptan.go.id/eng/images/dokumen/gangrep.pdf |format=PDF |location=Pasuruan
|language=Indonesia
|isbn= |accessdate=2010-04-10}}</ref>.. Retensi plasenta dapat terjadi pada kasus [[abortus]] setelah [[bulan]] ke lima, kesulitan melahirkan, [[rahim]] terputar, rahim berisi cairan, kekurangan [[kalsium]], ketuaan, eksitasi waktu melahirkan, kelahiran yang dipaksakan, kegemukan dan defisiensi [[vitamin]] A, E dan [[selenium]]. <ref> Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. </ref>


Sesudah [[fetus]] keluar dan tali pusar putus, tidak ada [[darah]] yang mengalir ke vili [[fetus]] dan vili tersebut mengkerut dan mengendor. [[Rahim]] terus berkontraksi dan sejumlah besar [[darah]] yang tadinya mengalir ke [[rahim]] sangat berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai [[darah]] berkurang dan kripta pada karankula berdilatasi. Pada retensi plasenta, pemisahan dan pelepasan vili [[fetus]] dari kripta karankula maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang sudah terlepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa vili [[kronis]]. Sesudah beberapa hari terdapat [[leukosit]] di dalam plasentom, oleh karena itu radang plasenta mudah terjadi <ref> Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. </ref>
Sesudah [[fetus]] keluar dan tali pusar putus, tidak ada [[darah]] yang mengalir ke vili [[fetus]] dan vili tersebut mengkerut dan mengendor. [[Rahim]] terus berkontraksi dan sejumlah besar [[darah]] yang tadinya mengalir ke [[rahim]] sangat berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai [[darah]] berkurang dan kripta pada karankula berdilatasi. Pada retensi plasenta, pemisahan dan pelepasan vili [[fetus]] dari [[kripta]] karankula maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang sudah terlepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa vili [[kronis]]. Sesudah beberapa hari terdapat [[leukosit]] di dalam plasentom, oleh karena itu radang plasenta mudah terjadi <ref>{{id}} Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.</ref>


== Gejala ==
== Gejala ==
[[Berkas:Berbis netieure2.jpg‎|thumb|150px|Salah satu gejala retensi plasenta: selaput fetus keluar dari vulva]]
[[Berkas:Berbis netieure2.jpg|jmpl|150px|Salah satu gejala retensi plasenta: selaput fetus keluar dari vulva]]
Gejala retensi plasenta yang dapat terlihat yaitu selaput [[fetus]] menggantung keluar dari [[vulva]], kadang bibir vulva menjadi bengkak, merah dan kecoklatan. Retensi plasenta tidak selamanya menunjukkan gejala selaput fetus yang menggantung di luar vulva, akan tetapi dapat pula tersembunyi di dalam [[uterus]]. Pada kasus yang baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama dimana sudah ada [[infeksi]] maka kondisi umum akan terganggu dan ada bau spesifik karena [[busuk|pembusukan]], keluar cairan kecoklatan disertai bagian [[plasenta]] yang hancur.
Gejala retensi plasenta yang dapat terlihat yaitu selaput [[fetus]] menggantung keluar dari [[vulva]], kadang bibir vulva menjadi [[bengkak]], [[merah]] dan kecoklatan. Retensi plasenta tidak selamanya menunjukkan [[gejala]] selaput fetus yang menggantung di luar vulva, akan tetapi dapat pula tersembunyi di dalam [[uterus]]. Pada kasus yang baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama dimana sudah ada [[infeksi]] maka kondisi umum akan terganggu dan ada bau spesifik karena [[busuk|pembusukan]], keluar cairan kecoklatan disertai bagian [[plasenta]] yang hancur.


== Terapi ==
== Penanganan ==
=== Penanganan pada sapi ===
Penanganan retensi plasenta yang dapat dilakukan yaitu pelepasan selaput [[fetus]] secara manual, pemberian preparat [[antibiotik]] spektrum luas (Oksitetrasiklin, Klortetrasiklin atau Tetrasiklin) <ref name="Ratnawati"/>, dan terapi [[hormon|hormonal]] (oksitosin dan prostaglandin).<ref>Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elsevier : Saunders.</ref>
Penanganan retensi plasenta yang dapat dilakukan antara lain pelepasan selaput [[fetus]] secara manual, pemberian [[antibiotik]] spektrum luas seperti [[oksitetrasiklin]], [[klortetrasiklin]] atau [[tetrasiklin]],<ref name="Ratnawati"/> serta terapi [[hormon]]al yaitu dengan [[oksitosin]] dan [[prostaglandin]].<ref>Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elsevier: Saunders.</ref>


Pelepasan manual terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan 72 [[jam]] setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10 [[menit]], pelepasan manual harus dihentikan untuk menghindari kerusakan. Kasusnya dilihat lagi dalam 48 jam. Jika upaya kedua gagal, upaya lain dilakukan 48-72 jam kemudian. Setelah pengambilan plasenta disarankan untuk memberikan [[antibiotik]] dalam [[rahim]]. Pelepasan kotiledon dan karunkula ini harus dilakukan oleh orang yang profesional karena beresiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Bahkan, beberapa ahli berpendapat bahwa pelepasan plasenta secara manual ini tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi.
Pelepasan manual terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan 72 [[jam]] setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10 [[menit]], pelepasan manual harus dihentikan untuk menghindari kerusakan. Kasusnya dilihat lagi dalam 48 jam. Jika upaya kedua gagal, upaya lain dilakukan 48-72 jam kemudian. Setelah pengambilan plasenta disarankan untuk memberikan [[antibiotik]] dalam [[rahim]]. Pelepasan kotiledon dan karunkula ini harus dilakukan oleh orang yang [[profesional]] karena berisiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Beberapa ahli berpendapat bahwa pelepasan plasenta secara [[manual]] ini tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi.


Penanganan lain yang juga dapat dilakukan yaitu pemotongan plasenta yang menggantung, sedangkan sisanya dibiarkan tertinggal di dalam uterus kemudian dimasukkan [[antibiotik]] dalam rahim dengan harapan sisa plasenta yang tertinggal dalam rahim akan dihancurkan oleh tubuh induk dan dikeluarkan bersama dengan lokia.
Penanganan lain yang juga dapat dilakukan yaitu pemotongan plasenta yang menggantung, sedangkan sisanya dibiarkan tertinggal di dalam [[uterus]] kemudian dimasukkan [[antibiotik]] dalam rahim dengan harapan sisa plasenta yang tertinggal dalam rahim akan dihancurkan oleh tubuh induk dan dikeluarkan bersama dengan lokia.


Pencegahan retensi plasenta dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan tempat melahirkan, menjaga kondisi [[induk]] agar tidak terjadi eksitasi saat melahirkan, induk hendaknya tidak mengalami kegemukan, memberikan vitamin A selama masa partus, penyuntikan dengan hormon okstosin 0-4 jam sebelum partus, menggunakan alas kandang agar tidak terlalu halus dan berdebu dan menjaga keseimbangan ransum terutama ransum dengan komposisi kalsium dan fosfor yang berimbang <ref> Subronto dan Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. </ref>
Pencegahan retensi plasenta dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan tempat melahirkan, menjaga kondisi [[induk]] agar tidak terjadi eksitasi saat melahirkan, induk hendaknya tidak mengalami kegemukan, memberikan vitamin A selama masa [[partus]], penyuntikan dengan hormon okstosin 0-4 jam sebelum partus, menggunakan alas kandang agar tidak terlalu halus dan berdebu dan menjaga keseimbangan ransum terutama ransum dengan komposisi kalsium dan fosfor yang berimbang <ref>Subronto dan Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.</ref>


== Lihat pula ==
[[Plasenta]]


== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}


==Pranala luar==
== Pranala luar ==
*[http://www.vet-klinik.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138 Retensi plasenta pada sapi perah]
* [http://www.vet-klinik.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138 Retensi plasenta pada sapi perah] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100317131557/http://www.vet-klinik.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=138 |date=2010-03-17 }}
*[http://www.vet-indo.com/Kasus-Medis/Efek-dan-Manipulasi-Retensi-Plasenta-Retensio-Secundinae.html Efek dan Manipulasi Retensi Plasenta (Retensio secundinae)]
* [http://www.vet-indo.com/Kasus-Medis/Efek-dan-Manipulasi-Retensi-Plasenta-Retensio-Secundinae.html Efek dan Manipulasi Retensi Plasenta (Retensio secundinae)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20100406213208/http://www.vet-indo.com/Kasus-Medis/Efek-dan-Manipulasi-Retensi-Plasenta-Retensio-Secundinae.html |date=2010-04-06 }}


[[Kategori:Reproduksi]]
[[Kategori:Reproduksi]]
[[Kategori:Penyakit]]
[[Kategori:Penyakit]]

[[en:Retained placenta]]

Revisi terkini sejak 29 Juni 2023 03.21

Gambar skematis plasenta

Retensi plasenta, atau retensi sekundinarum atau retensi skundinae merupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan plasenta induk (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia, misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada sapi yaitu pelebaran leher rahim (serviks) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus setengah sampai satu jam dan pengeluaran plasenta 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan.[1] Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi [2]

Faktor Penyebab

[sunting | sunting sumber]

Penyebab retensi plasenta sangat kompleks. Beberapa penyebab retensi plasenta yaitu infeksi yang menyebabkan rahim lemah untuk berkontraksi, dan induk kurang gerak sehingga otot rahim tidak kuat untuk berkontraksi.[3] Retensi plasenta pada ternak dapat terjadi pada kasus abortus setelah bulan ke lima, kesulitan melahirkan, rahim terputar, rahim berisi cairan, kekurangan kalsium, ketuaan, eksitasi waktu melahirkan, kelahiran yang dipaksakan, kegemukan dan defisiensi vitamin A, E dan selenium.[4]

Sesudah fetus keluar dan tali pusar putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetus dan vili tersebut mengkerut dan mengendor. Rahim terus berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke rahim sangat berkurang. Karankula maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta pada karankula berdilatasi. Pada retensi plasenta, pemisahan dan pelepasan vili fetus dari kripta karankula maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang sudah terlepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa vili kronis. Sesudah beberapa hari terdapat leukosit di dalam plasentom, oleh karena itu radang plasenta mudah terjadi [5]

Salah satu gejala retensi plasenta: selaput fetus keluar dari vulva

Gejala retensi plasenta yang dapat terlihat yaitu selaput fetus menggantung keluar dari vulva, kadang bibir vulva menjadi bengkak, merah dan kecoklatan. Retensi plasenta tidak selamanya menunjukkan gejala selaput fetus yang menggantung di luar vulva, akan tetapi dapat pula tersembunyi di dalam uterus. Pada kasus yang baru, hewan masih mampu untuk berdiri dan kondisi umum masih baik. Bila kasus terjadinya sudah berlangsung lama dimana sudah ada infeksi maka kondisi umum akan terganggu dan ada bau spesifik karena pembusukan, keluar cairan kecoklatan disertai bagian plasenta yang hancur.

Penanganan

[sunting | sunting sumber]

Penanganan pada sapi

[sunting | sunting sumber]

Penanganan retensi plasenta yang dapat dilakukan antara lain pelepasan selaput fetus secara manual, pemberian antibiotik spektrum luas seperti oksitetrasiklin, klortetrasiklin atau tetrasiklin,[3] serta terapi hormonal yaitu dengan oksitosin dan prostaglandin.[6]

Pelepasan manual terhadap membran fetus yang mengalami retensi sebaiknya diusahakan 72 jam setelah kelahiran. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam 10 menit, pelepasan manual harus dihentikan untuk menghindari kerusakan. Kasusnya dilihat lagi dalam 48 jam. Jika upaya kedua gagal, upaya lain dilakukan 48-72 jam kemudian. Setelah pengambilan plasenta disarankan untuk memberikan antibiotik dalam rahim. Pelepasan kotiledon dan karunkula ini harus dilakukan oleh orang yang profesional karena berisiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Beberapa ahli berpendapat bahwa pelepasan plasenta secara manual ini tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan infeksi.

Penanganan lain yang juga dapat dilakukan yaitu pemotongan plasenta yang menggantung, sedangkan sisanya dibiarkan tertinggal di dalam uterus kemudian dimasukkan antibiotik dalam rahim dengan harapan sisa plasenta yang tertinggal dalam rahim akan dihancurkan oleh tubuh induk dan dikeluarkan bersama dengan lokia.

Pencegahan retensi plasenta dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan tempat melahirkan, menjaga kondisi induk agar tidak terjadi eksitasi saat melahirkan, induk hendaknya tidak mengalami kegemukan, memberikan vitamin A selama masa partus, penyuntikan dengan hormon okstosin 0-4 jam sebelum partus, menggunakan alas kandang agar tidak terlalu halus dan berdebu dan menjaga keseimbangan ransum terutama ransum dengan komposisi kalsium dan fosfor yang berimbang [7]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Plasenta

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Inggris) Hafez B dan ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7thedition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.
  2. ^ Landasan Teori Retensi Plasenta
  3. ^ a b Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L (2007). Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong (PDF) (dalam bahasa Indonesia). Pasuruan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-09-11. Diakses tanggal 2010-04-10. 
  4. ^ Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
  5. ^ (Indonesia) Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
  6. ^ Jackson PGG. 2004. Handbook of Veterinary Obstetric. Elsevier: Saunders.
  7. ^ Subronto dan Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]