Lompat ke isi

Gebug ende: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan kategori [ * ]
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 3 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(8 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Gebug ende''' adalah ritual pemanggilan hujan sekaligus permainan rakyat pada masyarakat [[Seraya Barat, Karangasem, Karangasem|Desa Seraya]], [[Kabupaten Karangasem]]. Ritual ini dilakukan dalam bentuk permainan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak saat [[musim kemarau]] dan setelah berladang. Permainannya menggunakan alat yang disebut ''gebug'' dan ''ende''.<ref name=":0">{{Cite book|last=Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya|first=|date=2018|url=https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/ba/Katalog_Warisan_Budaya_Takbenda_Indonesia_2018_%28Buku_1%29.pdf|title=Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Satu|location=Jakarta|publisher=Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|pages=57|url-status=live|access-date=2020-09-11|archive-date=2022-10-17|archive-url=https://web.archive.org/web/20221017190705/https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/ba/Katalog_Warisan_Budaya_Takbenda_Indonesia_2018_(Buku_1).pdf|dead-url=no}}</ref>
Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata

Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat yang digunakan untuk
== Sejarah ==
menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang
Tradisi Gebug Ende dimulai setelah pertempuran yang terjadi antara [[Kerajaan Karangasem]] dan [[Kerajaan Selaparang]]. Pasukan Kerajaan Karangasem terdiri dari masyarakat Desa Seraya, Desa Angantelu, dan Desa Bubug. Pasukan ini memenangkan pertempuran akibat turunnya hujan lebat, yang kemudian diyakini sebagai pertolongan dari [[Sang Hyang Widhi|Hyang Widhi]]. Mereka kemudian kembali ke desa masing-masing setelah perang berakhir. Desa Seraya saat itu dilanda oleh kekeringan berkepanjangan. Mengingat kemenangan mereka dalam perang, para pasukan ini kemudian melaksanakan upacara memohon hujan kepada Hyang Widhi disertai dengan permainan peperangan. Sejak saat itu, ritual Gebug ende menjadi tradisi masyarakat Desa Seraya.{{Sfn|Sucita|2019|p=55}}
sekitar 1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit

sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran.Dengan demikian dapat disimpulkan
== Perlengkapan ==
bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi
Ritual Gebug ende dilakukan dengan menggunakaan alat pemukul dan alat penangkis. Alat pemukulnya berupa [[rotan]] dengan panjang sekitar 1,5 meter hingga 2 meter yang disebut ''gebug''. Sedangkan alat penangkisnya berupa anyaman kulit sapi kering dengan bentuk melingkar yang disebut dengan ''ende''.<ref name=":0" /> Para pemain menggunakan pakaian tradisional [[Suku Bali|Bali]] yang berwarna merah, kuning, hijau dan keemasan.{{Sfn|Sucita|2019|p=56}}
masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak

yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan
== Pementasan ==
menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.
Ritual Gebug ende dilakukan oleh masyarakat desa Seraya Barat, Kabupaten Karangasem. Ritual ini juga dilakukan oleh masyarakat Desa Seraya Barat yang telah pindah ke [[Patas, Gerokgak, Buleleng|Desa Patas]], [[Kabupaten Buleleng]]. Permainan dilakukan dengan saling menyerang pemain lain dengan pemukul dan bertahan dari serangan menggunakan penangkis.{{Sfn|Sucita|2019|p=54}} Pementasan Gebug ende dilakukan pada tempat yang luas dan datar. Tempat pementasan dibagi dua dan dibatasi menggunakan tali dan bambu. Sebagian untuk pemain dan sebagian untuk penonton.{{Sfn|Sucita|2019|p=56}}
Sejarah Singkat Gebug Ende :

Konon zaman dahulu krama desa Seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang
Ritual Gebug ende dimulai dengan permohonan agar permainan berlangsung dengan lancar dan dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Setelah itu, para pemain dan penonton menerima ucapan selamat datang dan nasihat dari penyelenggara. Permainan dipimpin dan diawasi oleh seorang wasit. Giliran pertama diberikan kepada anak-anak laki-laki, kemudian digantikan oleh laki-laki dewasa. Aturan dalam Gebug Ende adalah pemain hanya dapat memukul bagian dari pinggang hingga ke kepala. Permainan selesai saat salah satu pemain sudah tidak dapat membalas serangan dari lawannya.{{Sfn|Gunarta|2016|p=38}} Pertandingan juga diiringi dengan alat musik ceng-ceng, [[suling]], [[kempul]], [[tawak-tawak]], dan [[gamelan gong kebyar]].{{Sfn|Gunarta|2016|p=39}}
ditugaskan untuk menggempur atau menyerang sebuah kerajaan di Lombok Barat yaitu

Kerajaan Seleparang.Karena pada waktu itu orang” asli Seraya kebal(kuat) sehingga
== Referensi ==
dijadikan benteng oleh raja Karangasem sehingga Kerajaan Seleparang takluk terhadap
<references />
Kerajaan Karangasem.

Belum puas berperang menghadapi musuh dan smangat ksatria masih berkobar maka
== Daftar Pustaka ==
bertarunglah dengan teman-temannya sendiri ,saling menyerang (memukul dan menangkis

dengan alat yang dibawa).Seiring perkembangan zaman maka terciptalah tarian/permainan
* {{cite journal|last=Gunarta|first=I Wayan Adi|date=Juni 2016|title=Gebug Ende: Ritual untuk Memohon Hujan|url=https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/kalangwan/article/view/123/65|journal=Kalangwan|volume=2|issue=1|pages=34–40|doi=|issn=2615-1197|ref={{sfnref|Gunarta|2016}}|url-status=live|access-date=2020-09-14|archive-date=2021-06-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20210614153616/https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/kalangwan/article/view/123/65|dead-url=no}}
Gebug Ende yang secara turun temurun dapat dimainkan dan disaksikan hingga
* {{cite journal|last=Sucita|first=Dewa Nyoman|date=2019|title=Tradisi Gebug Ende Bentuk Ritual Memohon Hujan Pada Masyarakat Seraya Di Desa Patas Kabupaten Buleleng|url=https://jurnal.stkipahsingaraja.ac.id/index.php/wspah/article/download/16/6/24|journal=Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu|volume=2|issue=1|pages=49–61|doi=|ref={{sfnref|Sucita|2019}}|url-status=live}}
kini.Tombak,pedang dan tameng yang digunakan pada zaman dahulu diganti dengan

peralatan rotan dan ende.
[[Kategori:Budaya Bali]]
Selain itu Di Desa Seraya merupakan daerah kering dan disertai dengan musim kemarau yang
tak kunjung berahir.Hujan yang dinanti oleh masyarakat setempat belum juga menunjukkan
tanda-tanda akan turun.Sehingga dari hasil parum desa tercetuslah untuk melaksanakan ritual
memohon turunnya hujan yakni dengan mengadakan Gebug Ende.Menurut Kepercayaan
masyarakat tarian ini dianggap suci atau sakral,lebih-lebih disaat tarian/permainan
berlangsung salah seorang bisa memukul bagian tubuh lawan hingga mengeluarkan darah
maka akan cepat turun hujan.
Cara Memainkan Gebug Ende :
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar.Tidak ada ukuran
yang pasti untuk menentukan tempatnya namun disesuaikan dengan kondisi arealnya
saja.Sementara untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan dapat
diberi pembatas seperti dengan tali ataupun bambu sebagai pagar pembatas.Sebelum
permainan dimulai para juru banten biasanya melaksanakan ritual permohonan berkat agar
permainan Gebug Ende ini dapat berjalan lancar dan memberikan kemakmuran bagi krama
Seraya pada khususnya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainanpun segera dilangsungkan.Pembukaan diawali
dengan ucapan selamat datang untuk para pemain dan penonton.Selain itu terselip pula
pembekalan bagi para pemain untuk selalu mengedepankan kejujuran dan
sportifitas.Tetabuhan gamelan menambah semarak dan khidmatnya permainan .Dua orang
wasit yang disebut saya (baca:saye) berperan sebagai peminpin pertandingan.Mereka inilah
yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.Sebelum permainan mulai
saya(wasit) terlebih dahulu yang memperagakan tarian Gebug Ende tersebut dan
memberitahu uger-uger atau batasan yang harus ditaati oleh para pemain.Uger-uger tersebut
diantaranya :
Pemain hanya boleh memkul diatas pinggang sampai kepala.
Tidak boleh memukul di bawah pinggang sampai kaki.
Permainan dapat usai bilamana satu pemain terdesak.
Ditengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang digunakan
membagi lapangan menjadi 2 bagian.Kali pertama diawali dengan kelompok anakanak.
Tidak tampak ketakutan pada tubuh kecil itu,ende dan rotan pun ditarikan.Betapa
sakitnya apabila bekas cambukan tergores dibadan.Usai kelompok anak-anak,tibalah giliran
pria dewasa.Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan yang ada hanyalah kerasnya
pukulan dan kelihaian menangkis pukulan.
Tujuan Dari Gebug Ende :
Menurut bendesa pakraman seraya,selain melestarikan tradisi yang mesti diwarisi secara
turun temurun Gebug Ende adalah merupakan permainan/tarian sukacita penduduk desa
Seraya bertujuan memohon hujan kepada pencipta alam ini.Unsur olahraga sangat ditekankan
dalam permainan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan serta kelincahan untuk
menangkis.Selain Gebug Ende disakralkan tradisi ini juga diwariskan kepada generasi muda
sebagai tari perang.Sehingga pada tiap tanggal 1 Agustus kerap diselenggarakan untuk
memeriahan HUT RI.
Costum Pemain/Penari :
Ikat kepala (destar) warna merah,merah sebagai simbol keberanian
Kain/Kamben
Saput hitam putih (poleng)
Iringan Tari/Tabuh :
Satu pasang kendang cedugan
Ceng-ceng rincik

Revisi terkini sejak 29 Juli 2023 18.03

Gebug ende adalah ritual pemanggilan hujan sekaligus permainan rakyat pada masyarakat Desa Seraya, Kabupaten Karangasem. Ritual ini dilakukan dalam bentuk permainan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak saat musim kemarau dan setelah berladang. Permainannya menggunakan alat yang disebut gebug dan ende.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Tradisi Gebug Ende dimulai setelah pertempuran yang terjadi antara Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Selaparang. Pasukan Kerajaan Karangasem terdiri dari masyarakat Desa Seraya, Desa Angantelu, dan Desa Bubug. Pasukan ini memenangkan pertempuran akibat turunnya hujan lebat, yang kemudian diyakini sebagai pertolongan dari Hyang Widhi. Mereka kemudian kembali ke desa masing-masing setelah perang berakhir. Desa Seraya saat itu dilanda oleh kekeringan berkepanjangan. Mengingat kemenangan mereka dalam perang, para pasukan ini kemudian melaksanakan upacara memohon hujan kepada Hyang Widhi disertai dengan permainan peperangan. Sejak saat itu, ritual Gebug ende menjadi tradisi masyarakat Desa Seraya.[2]

Perlengkapan[sunting | sunting sumber]

Ritual Gebug ende dilakukan dengan menggunakaan alat pemukul dan alat penangkis. Alat pemukulnya berupa rotan dengan panjang sekitar 1,5 meter hingga 2 meter yang disebut gebug. Sedangkan alat penangkisnya berupa anyaman kulit sapi kering dengan bentuk melingkar yang disebut dengan ende.[1] Para pemain menggunakan pakaian tradisional Bali yang berwarna merah, kuning, hijau dan keemasan.[3]

Pementasan[sunting | sunting sumber]

Ritual Gebug ende dilakukan oleh masyarakat desa Seraya Barat, Kabupaten Karangasem. Ritual ini juga dilakukan oleh masyarakat Desa Seraya Barat yang telah pindah ke Desa Patas, Kabupaten Buleleng. Permainan dilakukan dengan saling menyerang pemain lain dengan pemukul dan bertahan dari serangan menggunakan penangkis.[4] Pementasan Gebug ende dilakukan pada tempat yang luas dan datar. Tempat pementasan dibagi dua dan dibatasi menggunakan tali dan bambu. Sebagian untuk pemain dan sebagian untuk penonton.[3]

Ritual Gebug ende dimulai dengan permohonan agar permainan berlangsung dengan lancar dan dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Setelah itu, para pemain dan penonton menerima ucapan selamat datang dan nasihat dari penyelenggara. Permainan dipimpin dan diawasi oleh seorang wasit. Giliran pertama diberikan kepada anak-anak laki-laki, kemudian digantikan oleh laki-laki dewasa. Aturan dalam Gebug Ende adalah pemain hanya dapat memukul bagian dari pinggang hingga ke kepala. Permainan selesai saat salah satu pemain sudah tidak dapat membalas serangan dari lawannya.[5] Pertandingan juga diiringi dengan alat musik ceng-ceng, suling, kempul, tawak-tawak, dan gamelan gong kebyar.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2018). Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Satu (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 57. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-10-17. Diakses tanggal 2020-09-11. 
  2. ^ Sucita 2019, hlm. 55.
  3. ^ a b Sucita 2019, hlm. 56.
  4. ^ Sucita 2019, hlm. 54.
  5. ^ Gunarta 2016, hlm. 38.
  6. ^ Gunarta 2016, hlm. 39.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]