Lompat ke isi

Gugatan atas peran agama: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 5 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(25 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:FAITH.jpg|al=|jmpl|280x280px|.]]
[[Berkas:FAITH.jpg|al=|jmpl|280x280px|Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109}}).]]
'''Gugatan atas peran agama''' muncul ketika [[pengetahuan]] dan [[filsafat]] menguat. Keduanya dinilai lebih gampang dicerna oleh nalar ketika menjawab persoalan hidup daripada institusi [[agama]] yang justru lebih [[dogmatik]], bahkan kadangkala [[irasional]]. Sikap kritis dan penuh gugatan atas peran agama sebenarnya sudah berkembang sejak masa [[Yunani Kuno]]. Fenomenanya semakin terlihat jelas pada masa [[Renaisans]] atau pembaruan. Wibawa [[gereja]] dan lembaga formal agama ketika itu menurun, serta wacana filosofis tentang agama dan [[Tuhan]] berkembang maju. Hal ini menggeser dominasi wacana [[teologi]] yang sebelumnya berpusat di [[gereja]], apalagi situasi masyarakat beragama saat itu diwarnai pertentangan dan peperangan.
“Tak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kita-terutama bukan bagian yang itu ! Melepaskan agama bukan melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritual seseorang”


== Faktor ==
“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan “lancang” ini keluar dari mulut Andre Comte-Sponville dalam pembukaan karyanya, The Little Book of Atheist Spirituality. The Little sudah diterjemahkan dalam 14 bahasa di 14 negara. Penerbit Pustaka Alvabet di Indonesia memilihkan judul cukup memikat : Spiritualitas Tanpa Tuhan.
“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh [[Andre Comte Sponville|André Comte Sponville]] dalam pembukaan karyanya berjudul ''The Little Book of Atheist Spirituality'' sebagai salah upaya menggugat peran agama. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 14 bahasa di 14 negara. Buku ini di Indonesia sendiri diterbitkan oleh Penerbit Alvabet dengan judul ''Spiritualitas Tanpa Tuhan''.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=107|ps=}} Sponville sendiri lahir di [[Paris]], [[Prancis]] pada Maret 1952. Dia dikenal sebagai pemikir [[ateisme]], tetapi mendukung nilai-nilai [[spiritualisme]]. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut [[Katolik]] ini menyatakan bahwa ketidakpercayaan kepada Tuhan tidak menghalangi manusia memiliki roh, tidak pula harus menggunakannya. Roh manusia terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para [[pendeta]], [[mullah]], atau para spiritualis lainnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}}{{sfnp|Sujarwa|2001||p=45|ps=}}


“Tidak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kitaterutama bukan bagian yang itu! Melepaskan agama bukan berarti melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Sponville.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108|ps=}}
Lahir di Maret 1952 di Paris Prancis, Andre dikenal sebagai pemikir ateis, tapi pendukung nlai-nilai spiritualisme. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut Katolik taat ini menyatakan ketidakpercayaan pada Tuhan tak menghalangi Andre memiliki ruh, tak pula harus melepaskan dari keharusan menggunakannya. Ruh manusia, katanya, terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para pendeta, mullah, atau para spiritualis.


Roh merupakan bagian paling mulia, bahkan menjadi fungsi tertinggi dari diri manusia – sesuatu yang membuat seseorang bukan hanya berbeda dari binatang-binatang lainnya. Makhluk dalam kategori binatang ini lebih hebat dan lebih unggul dari mereka. “Manusia adalah binatang metafisik,” kata filsuf [[Jerman]] bernama [[Arthur Schopenhauer]], seperti dikutip oleh Sponville.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108|ps=}}
“Tak percaya Tuhan bukan alasan megamputasi bagian dari kemanusiaan kita terutama bukan bagian yang itu ! Melepaskan agama bukan melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Andre.


[[Berkas:Official Presidential portrait of Thomas Jefferson (by Rembrandt Peale, 1800)(cropped).jpg|al=|jmpl|234x234px|Thomas Jefferson meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109}}).]]
Ruh bangian termula atau bahkan fungsi tertinggi dari diri kita sesuatu yang membuat kita bukan hanya berbeda dari binatang-binatang lainnya. Makhluk dalam kategori binatang ini lebih hebat dan lebih unggul dari mereka. “Manusia adalah binatang metafisik,” kata filofof Jerman Arthur Achopenhauer seperti dikutip Andre. Manusia, binatang spiritual.
Sponville juga berkeyakinan bahwa manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Lebih lanjut, dia menyatakan jika manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Spiritualitas sebenarnya dapat dipisahkan dari konsep agama dan Tuhan.{{sfnp|Pals|2011||p=107|ps=}} Hal itu tidak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya.{{sfnp|Davies|2012||p=46|ps=}} Namun demikian, mereka yang kritis kepada agama, bahkan mengklaim ateis, tidak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno [[Islam]], [[Kekristenan|Kristen]], dan [[Agama Yahudi|Yahudi]]. Agama-agama ini merupakan salah satu bagian dari warisan manusia. Dengan nilai-nilainya, seseorang dapat mempertanyakan siginifikasinya bagi kebutuhan manusia dan [[alam semesta]] yang berhubungan satu dengan lainnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108|ps=}}


Pandangan Sponville ini dikenal dengan paham [[deisme]]. Deisme berasal dari kata ''deus'' ([[bahasa Latin]] yang berarti "Tuhan"). Menurut paham ini, Tuhan berada jauh dari luar alam, sedangkan ''organized religions'' (agama-agama formal) dinilai hanya menyempitkan universalitas ajaran Tuhan.{{sfnp|Armstrong|2019||p=461|ps=}} Menurut logika deisme, bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah, harus dirobohkan untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan. Salah satu hal yang perlu dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan demikian, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja dan kapan saja.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108–109|ps=}}
Andre juga berkeyakinan manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tapi tak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Dengan lugas dinyatakan, manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas.


Tokoh lain yang dikenal sebagai inisiator gerakan ini adalah [[Thomas Jefferson]] dan [[Albert Einstein]]. Jefferson secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada keesaan Tuhan ([[unitarianisme]]), dan kepada kebenaran universal ([[universalisme]]). Namun, dia merasa tidak perlu mengikat diri kepada salah satu agama formal. Dia meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109|ps=}}
Spiritualitas menurut Andre sebetulnya bisa dipisah dari konsep agama dan Tuhan. Dan itu tak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya. Meski begitu, mereka yang kritis pada agama, bahkan mengklaim ateis, menurut Andre tak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno semisal Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama ini bagian dari warisan kita. Dengan nilai-nilainya seseorang bisa mempertanyakan siginikansinya bagi kebutuhan manusia berhubungan satu dengan lainnya dan alam semesta.


Deisme muncul sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang semakin sekuler, agama dianggap tidak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat.{{sfnp|Fromm|2011||p=18–19|ps=}} Sebaliknya, agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah.{{sfnp|Armstrong|2011||p=350–351|ps=}} Masalah-masalah mendasar manusia masa kini, seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, perdamaian, dan sebagainya dianggap lebih bisa diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tidak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109|ps=}}
Pandangan Andre ini dikenal dengan paham deisme. Asalnya dari kata deus, bahasa latin berarti Tuhan. Menurut paham deisme, Tuhan berada jauh dari luar alam. Bagi penganutnya, agama-agama formal (organized religions) dinilai menyempitkan universalitas ajaran Tuhan. Untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan, menurut logika mereka bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah harus dirobohkan. Yang dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan begitu, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja, di mana saja dan kapan saja.


== Kritik ==
Tokoh lain yang dikenal inisiator gerakan ini adalah Thomas Jefferson, misalnya, secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada kemaha-Esa-an Tuhan (unitarianisme), dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme). Tapi, ia merasa tak merasa perlu mengikat diri pada salah satu agama formal. Jefferson meramalkan pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Dalam dua ratus tahun diyakininya akan menggeser agama-agama formal yang ada.
Pandangan dan keyakinan ini tidak luput pula dari kritik dan penentangan, salah satunya di [[Indonesia]] oleh [[Nurcholish Madjid]]. Pendiri Pusat Studi Islam Paramadina ini menilai bahwa ramalan itu tidak sepenuhnya benar. Sejarah kelahiran dan pengaruh agama-agama formal hingga sekarang tidak menyusut ataupun lenyap. Yahudi, Kristen, dan Islam mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan dunia. Yahudi masih setia dianut oleh orang [[Israel]]. Nasrani masih kuat di Barat ([[Eropa]] dan [[Benua Amerika|Amerika]]), meski pertumbuhan gereja tidak sepesat kurun waktu sebelumnya. Islam sendiri jika dilihat dari perkembangannya mampu melampaui Yahudi dan Kristen. Tidak hanya bertahan di [[Asia]] dan [[Timur Tengah]], Islam juga tumbuh di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan rumah ibadah, musala, dan masjid, semakin mudah dijumpai di negara-negara barat yang sekuler. Tugas berat berada di tokoh dan pemeluk agama-agama formal untuk membantah pandangan kritis deisme dengan bukti. Mereka harus membuktikan ramalan dan keyakinan penganut deisme tidak seluruhnya benar. Mereka harus bekerja keras menampilkan wajah agama yang penuh keramahan dan cinta, bukan sebaliknya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=110|ps=}}


== Lihat pula ==
Deisme lahir sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang kian sekuler, agama dianggap tak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat. Sebaliknya agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, bahkan pertumpahan darah.
{{Portal|Filsafat}}
* [[Estetika, agama, dan dimensi estetis Tuhan]]
* [[Satu Tuhan banyak sebutan]]


== Rujukan ==
Masalah-masalah mendasar manusia masa kini seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, perdamaian dan seterusnya dianggap lebih bisa diselesaikan ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.
{{reflist|1}}


== Daftar pustaka ==
Gugatan atas agama formal muncul dalam dunia di mana pengetahuan dan filsafat menguat. Keduanya dinilai lebih gampang dicerna nalar saat menjawab persoalan hidup. Institusi agama, justru lebih domatis dan kadangkala irasional.
{{refbegin|1}}
'''Buku'''


* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2011|title=Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-979-4335-89-5|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2011}}|url-status=live}}
Sikap kritis tajam, bahkan penuh gugatan atas peran agama sebetulnya sudah berkembang sejak masa Yunani kuno. Fenomenanya makin terlihat jelas di masa renaisans atau pencerahan. Wibawa gereja dan lembaga formal agama ketika itu menurun, wacana filosofis tentang agama dan Tuhan maju amat pesat. Ini benar-benar menggeser dominasi wacana teologis yang sebelumnya berpusat di gereja. Apalagi situasi masyarakat beragama saat itu diwarnai pertentangan dan peperangan.
* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2019|title=Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-602-4410-48-3|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2019}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Davies|date=2012|title=Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9483-87-4|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Davies|2012}}|first=Paul}}
* {{Cite book|last=Fromm|first=Erich|year=2011|title=Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam|location=Yogyakarta|publisher=Jalasutra|isbn=978-602-8252-70-6|page=|ref={{sfnref|Fromm|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad}}
* {{Cite book|last=Pals|first=Daniel L.|year=2011|title=Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif|location=Yogyakarta|publisher=Ircisod|isbn=978-602-9789-08-9|page=|ref={{sfnref|Pals|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Sujarwa|first=|year=2001|title=Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9075-69-7|page=|ref={{sfnref|Sujarwa|2001}}|url-status=live}}
{{refend}}


== Pranala luar ==
Meski begitu, pandangan dan keyakinan ini tak luput pula dari kritik dan penentangan. Di Indonesia, salah satunya Nurcholish Madjid. Pendiri Pusat Studi Islam Paramadina ini menilai ramalan itu tak sepenuhnya benar. Pengaruh agama-agama formal, sejarah kelahirannya hingga sekarang yang menyusut, apalagi lenyap.
{{commons category|Keyakinan}}
* [https://andabertanyaateismenjawab.wordpress.com/2013/08/11/apa-itu-panteisme-apa-itu-deisme/ Apa itu Panteisme? Apa itu Deisme?] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230331190338/https://andabertanyaateismenjawab.wordpress.com/2013/08/11/apa-itu-panteisme-apa-itu-deisme/ |date=2023-03-31 }}
* [https://ichi.pro/id/deisme-teisme-klasik-dan-inersia-eksistensial-45907333268698 Deisme, Teisme Klasik, dan Inersia Eksistensial] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210711085418/https://ichi.pro/id/deisme-teisme-klasik-dan-inersia-eksistensial-45907333268698 |date=2021-07-11 }}
* [https://lsfdiscourse.org/deisme-sebuah-catatan-kecil/ Deisme: Sebuah Catatan Kecil] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230327063701/https://lsfdiscourse.org/deisme-sebuah-catatan-kecil/ |date=2023-03-27 }}
* [https://www.keluargapanda.com/melihat-generasi-muda-turki-yang-semakin-jauh-dari-agama/ Melihat Generasi Muda Turki yang Semakin Jauh dari Agama?] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220813184355/https://www.keluargapanda.com/melihat-generasi-muda-turki-yang-semakin-jauh-dari-agama/ |date=2022-08-13 }}
* [https://www.youtube.com/watch?v=VAlwnC-bj34 Satu Tuhan Banyak Sebutan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210711211600/https://www.youtube.com/watch?v=VAlwnC-bj34 |date=2021-07-11 }}
* [http://hindu-batam.com/sebutan-nama-tuhan-banyak-bukan-tuhan-yang-banyak/ Sebutan Nama Tuhan Banyak, Bukan Tuhan yang Banyak] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20210709183526/http://hindu-batam.com/sebutan-nama-tuhan-banyak-bukan-tuhan-yang-banyak/ |date=2021-07-09 }}


{{Authority control}}
Yahudi Kristen, dan Islam misalnya mampu bertahan, bahkan berkembang di berbagai belahan dunia. Yahudi masih setia dianut orang Israel. Nasrani masih kokoh di Barat (Eropa dan Amerika), meski pertumbuhan gereja tak sepesat kurun-kurun sebelumnya Islam, dilihat dari perkembangannya, bahkan mampu melampaui Yahudi dan Kristen. Tak hanya bertahan kuat di Asia dan Timur Tengah, Islam tumbuh di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan rumah ibadah, musala dan masjid, makin mudah dijumpai di negara-negara barat yang sekuler.


[[Kategori:Diskriminasi]]
Tugas berat dari tokoh dan pemeluk agama-agama formal menekuk pandangan kritis deisme tentu dengan bukti. Mereka harus membuktikan apa yang diramalkan dan diyakini pendukung deisme tak seluruhnya benar. Mereka harus bekerja keras menampilkan wajah agama yang penuh keramahan dan cinta, bukan sebaliknya. Ini tugas berat!.
[[Kategori:Filsafat]]

[[Kategori:Kepercayaan]]
{{sedang ditulis}}
[[Kategori:Sosiologi]]
[[Kategori:Sosiologi agama]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Teologi]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]

Revisi terkini sejak 10 Agustus 2023 09.36

Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat (Nurcholish & Dja'far 2015, hlm. 109).

Gugatan atas peran agama muncul ketika pengetahuan dan filsafat menguat. Keduanya dinilai lebih gampang dicerna oleh nalar ketika menjawab persoalan hidup daripada institusi agama yang justru lebih dogmatik, bahkan kadangkala irasional. Sikap kritis dan penuh gugatan atas peran agama sebenarnya sudah berkembang sejak masa Yunani Kuno. Fenomenanya semakin terlihat jelas pada masa Renaisans atau pembaruan. Wibawa gereja dan lembaga formal agama ketika itu menurun, serta wacana filosofis tentang agama dan Tuhan berkembang maju. Hal ini menggeser dominasi wacana teologi yang sebelumnya berpusat di gereja, apalagi situasi masyarakat beragama saat itu diwarnai pertentangan dan peperangan.

“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh André Comte Sponville dalam pembukaan karyanya berjudul The Little Book of Atheist Spirituality sebagai salah upaya menggugat peran agama. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 14 bahasa di 14 negara. Buku ini di Indonesia sendiri diterbitkan oleh Penerbit Alvabet dengan judul Spiritualitas Tanpa Tuhan.[1] Sponville sendiri lahir di Paris, Prancis pada Maret 1952. Dia dikenal sebagai pemikir ateisme, tetapi mendukung nilai-nilai spiritualisme. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut Katolik ini menyatakan bahwa ketidakpercayaan kepada Tuhan tidak menghalangi manusia memiliki roh, tidak pula harus menggunakannya. Roh manusia terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para pendeta, mullah, atau para spiritualis lainnya.[2][3]

“Tidak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kita – terutama bukan bagian yang itu! Melepaskan agama bukan berarti melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Sponville.[4]

Roh merupakan bagian paling mulia, bahkan menjadi fungsi tertinggi dari diri manusia – sesuatu yang membuat seseorang bukan hanya berbeda dari binatang-binatang lainnya. Makhluk dalam kategori binatang ini lebih hebat dan lebih unggul dari mereka. “Manusia adalah binatang metafisik,” kata filsuf Jerman bernama Arthur Schopenhauer, seperti dikutip oleh Sponville.[4]

Thomas Jefferson meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi (Nurcholish & Dja'far 2015, hlm. 109).

Sponville juga berkeyakinan bahwa manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Lebih lanjut, dia menyatakan jika manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Spiritualitas sebenarnya dapat dipisahkan dari konsep agama dan Tuhan.[5] Hal itu tidak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya.[6] Namun demikian, mereka yang kritis kepada agama, bahkan mengklaim ateis, tidak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama-agama ini merupakan salah satu bagian dari warisan manusia. Dengan nilai-nilainya, seseorang dapat mempertanyakan siginifikasinya bagi kebutuhan manusia dan alam semesta yang berhubungan satu dengan lainnya.[4]

Pandangan Sponville ini dikenal dengan paham deisme. Deisme berasal dari kata deus (bahasa Latin yang berarti "Tuhan"). Menurut paham ini, Tuhan berada jauh dari luar alam, sedangkan organized religions (agama-agama formal) dinilai hanya menyempitkan universalitas ajaran Tuhan.[7] Menurut logika deisme, bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah, harus dirobohkan untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan. Salah satu hal yang perlu dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan demikian, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja dan kapan saja.[8]

Tokoh lain yang dikenal sebagai inisiator gerakan ini adalah Thomas Jefferson dan Albert Einstein. Jefferson secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada keesaan Tuhan (unitarianisme), dan kepada kebenaran universal (universalisme). Namun, dia merasa tidak perlu mengikat diri kepada salah satu agama formal. Dia meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi.[9]

Deisme muncul sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang semakin sekuler, agama dianggap tidak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat.[10] Sebaliknya, agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah.[11] Masalah-masalah mendasar manusia masa kini, seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, perdamaian, dan sebagainya dianggap lebih bisa diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tidak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.[9]

Pandangan dan keyakinan ini tidak luput pula dari kritik dan penentangan, salah satunya di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pendiri Pusat Studi Islam Paramadina ini menilai bahwa ramalan itu tidak sepenuhnya benar. Sejarah kelahiran dan pengaruh agama-agama formal hingga sekarang tidak menyusut ataupun lenyap. Yahudi, Kristen, dan Islam mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan dunia. Yahudi masih setia dianut oleh orang Israel. Nasrani masih kuat di Barat (Eropa dan Amerika), meski pertumbuhan gereja tidak sepesat kurun waktu sebelumnya. Islam sendiri jika dilihat dari perkembangannya mampu melampaui Yahudi dan Kristen. Tidak hanya bertahan di Asia dan Timur Tengah, Islam juga tumbuh di Eropa dan Amerika. Pertumbuhan rumah ibadah, musala, dan masjid, semakin mudah dijumpai di negara-negara barat yang sekuler. Tugas berat berada di tokoh dan pemeluk agama-agama formal untuk membantah pandangan kritis deisme dengan bukti. Mereka harus membuktikan ramalan dan keyakinan penganut deisme tidak seluruhnya benar. Mereka harus bekerja keras menampilkan wajah agama yang penuh keramahan dan cinta, bukan sebaliknya.[12]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 107
  2. ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 69–70
  3. ^ Sujarwa (2001), hlm. 45
  4. ^ a b c Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 108
  5. ^ Pals (2011), hlm. 107
  6. ^ Davies (2012), hlm. 46
  7. ^ Armstrong (2019), hlm. 461
  8. ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 108–109
  9. ^ a b Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 109
  10. ^ Fromm (2011), hlm. 18–19
  11. ^ Armstrong (2011), hlm. 350–351
  12. ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 110

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Armstrong, Karen (2011). Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4335-89-5. 
  • Armstrong, Karen (2019). Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia. Bandung: Mizan. ISBN 978-602-4410-48-3. 
  • Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4. 
  • Fromm, Erich (2011). Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 978-602-8252-70-6. 
  • Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  • Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]