Nikah mutah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor menghilangkan kategori [ * ]
 
(39 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Nikah mutah''', '''nikah kontrak''' ({{lang-ar|نكاح المتعة|translit=nikāḥ al-mut'ah|lit=pernikahan kesenangan}})<ref>http://www.sensagent.com/dictionnaires/ar-en/متعة/ALEXMN/</ref> atau lebih dikenal dengan istilah '''kawin kontrak''' adalah [[haram]]<ref >https://muslim.okezone.com/read/2021/06/21/330/2428283/fatwa-mui-kawin-kontrak-atau-nikah-mut-ah-haram-pelaku-bisa-diproses-hukum</ref>. [[Pernikahan]] ini dalam tempo masa tertentu. Menurut [[mazhab]] [[Syiah]], nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.
{{user:ariyanto|otheruse|kawin kontrak}}
{{user:ariyanto/fikih}}
'''Nikah mutah''', '''nikah kontrak''' ({{ArB|نكاح المتعة}} nikāḥ al-mut'aṯ, harfiah: ''pernikahan kesenangan<ref>http://www.sensagent.com/dictionnaires/ar-en/متعة/ALEXMN/</ref>''), atau lebih dikenal dengan istilah '''kawin kontrak''' adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu. Menurut [[Mazhab]] [[Syiah]], nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan berkawin dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.


Nikah Al-Mut’ah secara harfiah mempunyai arti dengan pernikahan kesenangan atau lebih dikenal dengan kawin kontrak. Dalam pengertian lainnya Nikah Mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu dengan sesuatu pemberian kepadanya, baik itu berupa harta, pakaian, makanan, atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa perlu ada wali maupun saksi. Kemudian mereka saling membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya dalam kurun waktu 3 hari atau lebih atau bisa juga kurang. Biasanya tidak lebih dari 45 hari dengan ketentuan tidak adanya mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan, dan tidak ada iddah kecuali istibra’ (yaitu satu kali haid bagi wanita yang monopouse, dan dua kali haid bagi wanita biasa, serta empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
==Pandangan Sunni==


Beberapa penyebab kemunculan praktik ini pada masa [[jahiliah]] adalah kehidupan [[nomaden]], perjalanan jauh, dan peperangan. Biasanya, anak-anak hasil perkawinan ini diserahkan kepada ibu.<ref>{{Cite book|last=Ali|first=Jawwad|date=2019|url=http://www.tokoalvabet.com/home/574-sejarah-arab-sebelum-islam-buku-5.html|title=كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام|location=Tangerang Selatan|publisher=PT Pustaka Alvabet|isbn=978-602-6577-28-3|editor-last=Kurnianto|editor-first=Fajar|pages=334|translator-last=Ali|translator-first=Jamaluddin M.|trans-title=Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan|ref={{sfnref|Ali|(2019)}}|author-link=Jawwad Ali|orig-year=1956-1960|translator-last2=Hendiko|translator-first2=Jemmy|url-status=live|access-date=2020-09-27|archive-date=2020-08-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20200808094845/http://www.tokoalvabet.com/home/574-sejarah-arab-sebelum-islam-buku-5.html|dead-url=yes}}</ref>
Menurut pandangan sunni, pernikahan ini hanya diperbolehkan pada masa peralihan dari zaman jahiliah kepada Islam, ketika zina menjadi perkara yang biasa dalam masyarakat.<ref>'Adil Abdul Mun'im Abu Al-'Abbas. 2011. Perkawinan & Rumahtangga: Syurg yang Disegerakan. Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd.</ref> Bagi mazhab [[Sunni]], nikah mutah ini adalah tidak sah dan tidak dibolehkan.


== Tata cara ==
== Pandangan Hukum Islam ==
Menurut Sayyid Sabiq semua ulama madzhab kecuali dari golongan syiah telah sepakat mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah ialah haram dan kalau itu terjadi maka hukumnya batal. Mereka beralasan dikuatkan dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil Aqli. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari beberapa kalangan sahabat Ibn’ Umar dan Ibn’ Abi ‘Umrah Al-Anshari. Tentunya pendapat mereka disertai dengan alasan yang pertama bahwa kawin mut’ah tidak sesuai dengan prinsip dan pernikahan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an serta mencederai pokok-pokok tentang pernikahan seperti tidak adanya talak, kewarisan, dan iddah. Jadi dapat dikatakan bahwa nikah Mut’ah ini adalah batil/fasid. Ayat yang mereka jadikan alasan adalah Firman Allah Swt. didalam Q.S Al-Mukminun (23): 6-7. Didalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki hanya boleh melakukan hubungan badan hanya dengan wanita yang berkedudukan sebagai isteri atau jariyahnya. Sedangkan perempuan yang dikawini secara mut’ah bukanlah isteri maupun jariyah.


Yang kedua, Hadits-hadits yang menunjukan kebolehan Nikah Mut’ah telah dinasakhkan (dibatalkan, atau dihapuskan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri). Ketiga, Umar Ibn Khattab menjadi khalifah ia telah mengharamkan nikah mut’ah ketika ia berpidato di mimbar dan tentunya para sahabat yang lain menyetujuinya juga. Keempat, al-Khaththabi telah menjelaskan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram kecuali sebagian syiah. Kelima, dilihat dari tujuannya nikah mut’ah hanya untuk pelampiasan syahwat saja bukan untuk mendapatkan keturunan dan memlihara anak-anak. Karena itulah tujuan dari pelampiasan tersebut bisa disamakan dengan zina. Selain itu karena nikah mut’ah bersifat sementara maka akan membuat wanita dengan mudah berpindah dari satu leleki ke lelaki yang lainnya. Hal ini juga akan membuat sengsara bagi anak-anaknya.
Mutah boleh terjadi dengan cara;


Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukari dan Imam Muslim dari Ibn Mas’ud yang menurut golongan kaum syiah dihalalkannya kawin mut’ah. ''“Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw. Sedangkan isteri isteri kami tidak ikut bersama kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw. Apakah boleh kami melakukan kebiri? Maka Rasulullah Saw. melarang kami melakukan yang demikian itu dan memberikan rukhsah kepada kami untuk kawin dengan perempuan dengan mas kawinnya baju dalam suatu waktu tertentu.”''
# Tanpa wali, saksi dan perisytiharan.<ref>At Thusi- Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 248 , 249 , 254 , An Nihayah hal. 489</ref>

# Di mana-mana saja di antara seorang lelaki dan seorang perempuan.
== Pandangan Hukum Positif ==
#mengetahui bahwa perempuan itu tidak bersuami .<ref>Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 253, An Nihayah hal. 489</ref>
Didalam hal ini setidaknya dapat dikutip dari 4 peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia, antara lain :Pancasila, tertama sila ke-1, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”,
# Dengan perempuan dalam lingkungan umur minimal 10 tahun.<ref>Al Istibshar j. 3 hal. 461, Al Furu’ Min Al Kafi jil . 5 hal. 463</ref>

# Dengan bayaran mas kawin yang tidak terlalu besar, hanya memadai dengan segenggam gandum atau segenggam makanan atau buah tamar atau satu dirham bahkan kurang lagi dari satu dirham.<ref>Al Furu’ Min Al Kafi jil. 5 hal 457 , Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 260</ref>
* UUD 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2),
# Dengan perempuan tanpa batasan jumlah. Ia tidak terbatas kepada empat orang saja.<ref>Jaafar As Shadiq bahawa dia ada berkata, "Berkawinlah dengan mereka secara mutah walaupun sampai 1000 orang kerana mereka itu termasuk di antara perempuan sewaan" . (Al Istibshar j. 3 hal. 461, Tahzibu Al Ahkam j. 7 hal. 259, Wasaailu As Syiah jil, 14 hal, 446, Al Furu ‘ Min Al .Kafi jil. 5 hal. 452)</ref>
* Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
# Untuk jangka masa tertentu seperti 2 tahun, 2 bulan, sebulan, seminggu atau sehari.<ref>Sekurang-kurang tempoh bagi mutah itu boleh dilakukan mengikut sebagaimana yang tersebut di dalam riwayat ( Syiah ) dari Ali bin Muhammad Al Jawad (Imam yang ke-10 Syiah ) bahawa dia pernah ditanya, "Berapa lamakah sekurang-kurangnya tempoh bagi mutah itu boleh dilakukan? Adakah harus seseorang melakukan mutah dengan syarat sekali persetubuhan?, "Ya, tidak mengapa. Tetapi bila selesai (daripada persetubuhan itu) hendaklah ia memalingkan mukanya dan tidak memandang lagi kepada perempuan itu. (Al Furu’ Min Al Kafi j. 5 hal 460. Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 267)</ref>
* Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaq (an) galiz(an) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dan juga pasal 3 yang menegaskan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinnah, mawaddah, dan rahmah”.
# Dengan seseorang perempuan beberapa kali. Perempuan itu tidak haram kepadaa lelaki yang telah melakukan melakukan mutah dengannya walaupun beberapa pada kali yang ke-3 (talak tiga) bahkan pada kali yang ke-1000 sekalipun.<ref>Ini tersebut di dalam riwayat Syiah dari Aban bahawa ada orang bertanya Jaafar As Shadiq tentang bolehkah seseorang melakukan mutah dengan sesorang perempuan beberapa kali? Jaafar Al Shadiq menjawab, "Tidak mengapa, ia boleh melakukan mutah dengannya seberapa kerap yang dikehendakinya". Al Furu ‘ Min Al Kafi jil . 5 hal. 460, Wasaailu As Syiah jil. 14 hal. 480.</ref>

# Dengan bayaran maskawin secara ansuran dan tidak memberi sebagian daripada maskawin mengikut keadaan hari atau masa keengganan perempuan bergaul dengan lelaki yang mengadakan aqad mutah dengannya. Misalnya mereka mengadakan akad mutah untuk 10 hari dan menentukan maskawinnya sebanyak RM 100.00 tetapi si lelaki bimbang perempuan yang dia lakukan mutah dengannya itu tidak akan memenuhi tempo yang dipersetujui itu maka bolehlah ia mengakad mutah dengan bayaran maskawinnya secara beransur-ansur. Jadi jika perempuan itu hanya memenuhi kepuasan lelaki tersebut selama 5 hari sahaja, maka lelaki itu perlu membayar RM 50.00 saja.<ref>Ini berdasarkan riwayat mereka (Syiah) daripada Umar bin Hanzalah katanya, "Aku bertanya Jaafar As Shadiq; Bolehkah aku mengadakan aqad mutah dengan seorang perempuan selama sebulan dengan tidak memberikan kepada perempuan itu sebahagian daripada maskawinya? Jaafar As Shafiq menjawab, "Ya, boleh. Ambillah daripadanya sekadar masa keengganannya (untuk bergaul denganmu). Jika setengah bulan ambillah separuh, jika sepertiga bulan ambillah satu pertiga."(Al Furu’ Min Al Kafi j.5 hal.461,Wasaailu As Syiah jil.14 hal.481,Biharu Al Anwar jil.100 hal.310)</ref>
Berdasarkan empat hal di atas, sudah semakin jelas bahwa arah kebijakan dan kepentingan pemerintah didalam mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia yaitu dengan membuat seperangkat aturan perUndang-Undangan yang bertujuan untuk melindungi seluruh warga Indonesia, dengan salah satu teori bahwa keluarga yang sejahtera lah yang menjadi stabilitas yang kuat didalam tunjangan suatu negara. Dan hal ini akan sulit terwujud jika, pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan secara mut’ah. Maka dari itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah yang lebih tegas lagi untuk para pelaku nikah mut’ah dan juga oknum oknum yang ikut terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya.

== Pandangan Sunni ==

Menurut pandangan [[Suni]], pernikahan ini hanya diperbolehkan pada masa peralihan dari zaman jahiliah ke masa [[Islam]], ketika [[zina]] menjadi perkara yang biasa dalam [[masyarakat]].<ref>'Adil Abdul Mun'im Abu Al-'Abbas. 2011. Perkawinan & Rumahtangga: Syurg yang Disegerakan. Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd.</ref> Bagi mazhab Suni, nikah mutah ini adalah tidak sah dan tidak dibolehkan karena dilakukan dengan tanpa [[wali]] dan saksi sehingga menjurus pada tindak [[Zina|perzinahan]] bahkan bisa dibilang sebagai tindakan [[pelacuran]] karena memang memerlukan [[biaya]].


== Rujukan ==
== Rujukan ==
<references />
<references />

[[Kategori:Pernikahan|mutah]]
[[Kategori:Hukum Islam|mutah]]
[[Kategori:Fikih|Mutah]]
[[Kategori:Pernikahan dalam Islam]]

Revisi terkini sejak 1 September 2023 10.21

Nikah mutah, nikah kontrak (Arab: نكاح المتعة, translit. nikāḥ al-mut'ah, har. 'pernikahan kesenangan')[1] atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak adalah haram[2]. Pernikahan ini dalam tempo masa tertentu. Menurut mazhab Syiah, nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan perkawinan dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.

Nikah Al-Mut’ah secara harfiah mempunyai arti dengan pernikahan kesenangan atau lebih dikenal dengan kawin kontrak. Dalam pengertian lainnya Nikah Mut’ah adalah seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu dengan sesuatu pemberian kepadanya, baik itu berupa harta, pakaian, makanan, atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa perlu ada wali maupun saksi. Kemudian mereka saling membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya dalam kurun waktu 3 hari atau lebih atau bisa juga kurang. Biasanya tidak lebih dari 45 hari dengan ketentuan tidak adanya mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan, dan tidak ada iddah kecuali istibra’ (yaitu satu kali haid bagi wanita yang monopouse, dan dua kali haid bagi wanita biasa, serta empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.

Beberapa penyebab kemunculan praktik ini pada masa jahiliah adalah kehidupan nomaden, perjalanan jauh, dan peperangan. Biasanya, anak-anak hasil perkawinan ini diserahkan kepada ibu.[3]

Pandangan Hukum Islam[sunting | sunting sumber]

Menurut Sayyid Sabiq semua ulama madzhab kecuali dari golongan syiah telah sepakat mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah ialah haram dan kalau itu terjadi maka hukumnya batal. Mereka beralasan dikuatkan dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil Aqli. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari beberapa kalangan sahabat Ibn’ Umar dan Ibn’ Abi ‘Umrah Al-Anshari. Tentunya pendapat mereka disertai dengan alasan yang pertama bahwa kawin mut’ah tidak sesuai dengan prinsip dan pernikahan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an serta mencederai pokok-pokok tentang pernikahan seperti tidak adanya talak, kewarisan, dan iddah. Jadi dapat dikatakan bahwa nikah Mut’ah ini adalah batil/fasid. Ayat yang mereka jadikan alasan adalah Firman Allah Swt. didalam Q.S Al-Mukminun (23): 6-7. Didalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki hanya boleh melakukan hubungan badan hanya dengan wanita yang berkedudukan sebagai isteri atau jariyahnya. Sedangkan perempuan yang dikawini secara mut’ah bukanlah isteri maupun jariyah.

Yang kedua, Hadits-hadits yang menunjukan kebolehan Nikah Mut’ah telah dinasakhkan (dibatalkan, atau dihapuskan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri). Ketiga, Umar Ibn Khattab menjadi khalifah ia telah mengharamkan nikah mut’ah ketika ia berpidato di mimbar dan tentunya para sahabat yang lain menyetujuinya juga. Keempat, al-Khaththabi telah menjelaskan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram kecuali sebagian syiah. Kelima, dilihat dari tujuannya nikah mut’ah hanya untuk pelampiasan syahwat saja bukan untuk mendapatkan keturunan dan memlihara anak-anak. Karena itulah tujuan dari pelampiasan tersebut bisa disamakan dengan zina. Selain itu karena nikah mut’ah bersifat sementara maka akan membuat wanita dengan mudah berpindah dari satu leleki ke lelaki yang lainnya. Hal ini juga akan membuat sengsara bagi anak-anaknya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukari dan Imam Muslim dari Ibn Mas’ud yang menurut golongan kaum syiah dihalalkannya kawin mut’ah. “Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw. Sedangkan isteri isteri kami tidak ikut bersama kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw. Apakah boleh kami melakukan kebiri? Maka Rasulullah Saw. melarang kami melakukan yang demikian itu dan memberikan rukhsah kepada kami untuk kawin dengan perempuan dengan mas kawinnya baju dalam suatu waktu tertentu.”

Pandangan Hukum Positif[sunting | sunting sumber]

Didalam hal ini setidaknya dapat dikutip dari 4 peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia, antara lain :Pancasila, tertama sila ke-1, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”,

  • UUD 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2),
  • Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
  • Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaq (an) galiz(an) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dan juga pasal 3 yang menegaskan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinnah, mawaddah, dan rahmah”.

Berdasarkan empat hal di atas, sudah semakin jelas bahwa arah kebijakan dan kepentingan pemerintah didalam mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia yaitu dengan membuat seperangkat aturan perUndang-Undangan yang bertujuan untuk melindungi seluruh warga Indonesia, dengan salah satu teori bahwa keluarga yang sejahtera lah yang menjadi stabilitas yang kuat didalam tunjangan suatu negara. Dan hal ini akan sulit terwujud jika, pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan secara mut’ah. Maka dari itu, pemerintah hendaknya mengambil langkah yang lebih tegas lagi untuk para pelaku nikah mut’ah dan juga oknum oknum yang ikut terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya.

Pandangan Sunni[sunting | sunting sumber]

Menurut pandangan Suni, pernikahan ini hanya diperbolehkan pada masa peralihan dari zaman jahiliah ke masa Islam, ketika zina menjadi perkara yang biasa dalam masyarakat.[4] Bagi mazhab Suni, nikah mutah ini adalah tidak sah dan tidak dibolehkan karena dilakukan dengan tanpa wali dan saksi sehingga menjurus pada tindak perzinahan bahkan bisa dibilang sebagai tindakan pelacuran karena memang memerlukan biaya.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ http://www.sensagent.com/dictionnaires/ar-en/متعة/ALEXMN/
  2. ^ https://muslim.okezone.com/read/2021/06/21/330/2428283/fatwa-mui-kawin-kontrak-atau-nikah-mut-ah-haram-pelaku-bisa-diproses-hukum
  3. ^ Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 334. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  4. ^ 'Adil Abdul Mun'im Abu Al-'Abbas. 2011. Perkawinan & Rumahtangga: Syurg yang Disegerakan. Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd.