Lompat ke isi

Jasawidagda: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HabibAlfa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Gaung Tebono (bicara | kontrib)
k typo
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
 
(20 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
<br />
'''Jasawidagda''', yang bergelar '''Raden Tumenggung''' (lahir pada tanggal [[1 April]] [[1886]], di Pradan, [[Manisrenggo, Klaten|Manisrengga]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] - meninggal di Klaten, [[Indonesia]], [[7 Februari]] [[1958]] pada usia 76 tahun). Jasawidagda memiliki nama kecil '''Raden Rahardi Jasawidagda''', yang merupakan putra dari Raden Ngabei Mangoenkarjasa, seorang Asisten Wedana di Manisrengga, Klaten. Jasawidagda menikah dengan R. A. Arjaeni dan dikaruniai oleh 4 orang anak. Setelah istrinya meninggal, dirinya lantas menikah lagi dengan istri kedua yang disebut dengan R. A. Jasawidagda dan dikaruniai oleh sebanyak 3 orang anak. Jasawidagda merupakan putra ke-3 dari 9 bersaudara. Dirinya meninggal pada tanggal 7 Februari 1958, saat usianya menginjak 76 tahun di Klaten. Dilihat dari latar belakang keluarganya, Jasawidagda berasal dari keluarga priyayi. Bahkan, dirinya sendiri hidup sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, ia seringkali menolak untuk bergaya hidup seperti tersebut yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan tuntutan di era modern.
{{Infobox person
|honorific_prefix = Raden Tumenggung
|name = Jasawidagda
|image =
|image_size =
|caption =
|birth_name = Raden Rahardi Jasawidagda
|birth_date = 1 April 1886
|birth_place = [[Manisrenggo]], [[Klaten]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{Death date and age|1958|02|07|1886|04|01}}
|death_place = [[Berkas:Flag of Indonesia.svg|tepi|link=Indonesia|17px]] [[Klaten]], [[Indonesia]]
|death_cause =
|body_discovered =
|resting_place =
|resting_place_coordinates = <!-- {{Coord|LAT|LONG|type:landmark|display=inline}} -->
|monuments =
|residence =
|nationality =
|other_names =
|ethnicity = <!-- Ethnicity should be supported with a citation from a reliable source -->
|citizenship = [[Berkas:Flag of Indonesia.svg|tepi|link=Indonesia|17px]] Indonesia
|education =
|alma_mater =
|occupation = Sastrawan
|years_active =
|employer =
|known_for =
|notable_works =
|title =
|term =
|predecessor =
|successor =
|party =
|religion =
|spouse = R. A. Arjaeni<br/>R. A. Jasawidagda
|children =
|parents = Raden Ngabei Mangoenkarjasa <small>(ayah)</small>
|relatives =
}}


'''Jasawidagda''', yang bergelar '''Raden Tumenggung''' ({{lahirmati|Pradan, [[Manisrenggo, Klaten|Manisrenggo]], [[Klaten]]|01|04|1886|[[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Indonesia]]|07|02|1958}}) merupakan seorang Sastrawan Jawa.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedi Sastra Jawa|url=https://archive.org/details/ensiklopedi-sastra-jawa|last=Prabowo|first=D. P.|last2=Widati|first2=Sri|last3=Rahayu|first3=Prapti|publisher=Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta|year=2015|isbn=978-979-185-235-7|location=Yogyakarta|pages=[https://archive.org/details/ensiklopedi-sastra-jawa/page/237 237]-239|url-status=live}}</ref> kelahiran Pradan, [[Manisrenggo, Klaten|Manisrenggo]], [[Klaten]] Jasawidagda memiliki nama kecil '''Raden Rahardi Jasawidagda''', yang merupakan putra dari Raden Ngabei Mangoenkarjasa, seorang Asisten Wedana di [[Manisrenggo, Klaten]]. Jasawidagda menikah dengan R. A. Arjaeni dan dikaruniai 4 orang anak. Setelah istrinya meninggal, dirinya menikah lagi dengan istri kedua yang disebut dengan R. A. Jasawidagda dan dikaruniai 3 orang anak. Jasawidagda merupakan putra ke-3 dari 9 bersaudara. Dirinya meninggal pada tanggal 7 Februari 1958, saat usianya menginjak 76 tahun di Klaten. Dilihat dari latar belakang keluarganya, Jasawidagda berasal dari keluarga priyayi. Bahkan, dirinya sendiri hidup sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, ia sering kali menolak untuk bergaya hidup seperti tersebut yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan tuntutan di era modern.
== Karir ==
Jasawidagda memulai karir pendidikannya di Sekolah Rakyat yang ada di Klaten. Baru beberapa tahun, dirinya pindah ke Surakarta. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, dirinya memilih untuk melanjutkan ke [[Kweekschool]] atau Sekolah Guru yang ada di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tahun 1920 hingga 1925. Setelah itu, dirinya mengabdikan diri untuk menjadi guru di beberapa daerah, sebelum akhirnya dirinya kembali ke [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan bekerja di berbagai posisi di kota tersebut. Berbekal pendidikan guru tersebut sebagai latar belakangnya, Jasawidagda aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial politik, diantaranya menjadi seorang aktivis di organisasi [[Budi Utomo]] dan [[Persatuan Guru Republik Indonesia|Persatuan Guru Indonesia]] yang kala itu bernama Persatuan Guru Hindia-Belanda.


== Karier ==
Sebagai seorang guru, Jasawidagda seringkali berpindah tugas dari daerah satu ke daerah yang lain. Pada awalnya, di tahun 1905, dirinya mengajar di ''Inslandse School Surakarta'' dan selanjutnya di tahun 1907 pindah ke Kabupaten Kendal. 3 tahun selanjutnya, menjadi seorang Kepala Sekolah di [[Ngrambe, Ngawi|Ngrambe]], [[Kabupaten Ngawi|Ngawi]], [[Jawa Timur]]. Semenjak tahun 1912, dirinya diangkat menjadi Guru Kepala di Sekolah Tingkat I Siswa Mangkoenegaran di Surakarta. Di tahun 1914, dirinya diangkat sebagai Kepala ''Normaal School'' di Surakarta. Selanjutnya, di tahun 1915, dirinya menjabat sebagai guru di ''Inslandse Onderwyzer'' atau Sekolah Guru Pribumi. Karena sangat dekat dengan Mangkoenegaran, dirinya diangkat sebagai Kepala Asrama Hapsara, yaitu asrama untuk siswa ''Algemeene Middelbar School'' (AMS) yang setaraf SMA sekarang. Bahkan, berkat kepandaiannya tersebut, dirinya diangkat menjadi Bupati Mandrapura, yaitu Kepala Rumah Tangga Pura Mangkoenegaran Surakarta (1937) dan baru pensiun dari tugas kedinasan di tahun 1939.
Jasawidagda memulai karier pendidikannya di Sekolah Rakyat yang ada di Klaten. Baru beberapa tahun, dirinya pindah ke Surakarta. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, dirinya memilih untuk melanjutkan ke [[Kweekschool]] atau Sekolah Guru yang ada di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tahun 1920 hingga 1925. Setelah itu, dirinya mengabdikan diri untuk menjadi guru di beberapa daerah, sebelum akhirnya dirinya kembali ke [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan bekerja di berbagai posisi di kota tersebut. Berbekal pendidikan guru sebagai latar belakangnya, Jasawidagda aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial politik, diantaranya menjadi seorang aktivis di organisasi [[Budi Utomo]] dan [[Persatuan Guru Republik Indonesia|Persatuan Guru Indonesia]] yang kala itu bernama Persatuan Guru Hindia-Belanda.


Sebagai seorang guru, Jasawidagda sering kali berpindah tugas dari daerah satu ke daerah yang lain. Pada awalnya, pada tahun 1905, dirinya mengajar di ''Inslandse School Surakarta'' dan selanjutnya pada tahun 1907 pindah ke [[Kabupaten Kendal]]. 3 tahun selanjutnya, menjadi seorang Kepala Sekolah di [[Ngrambe, Ngawi|Ngrambe]], [[Kabupaten Ngawi|Ngawi]]. Semenjak tahun 1912, dirinya diangkat menjadi Guru Kepala di Sekolah Tingkat I Siswa Mangkoenegaran di Surakarta. Pada tahun 1914, dirinya diangkat sebagai Kepala ''Normaal School'' di Surakarta. Selanjutnya, pada tahun 1915, dirinya menjabat sebagai guru di ''Inslandse Onderwyzer'' atau Sekolah Guru Pribumi. Karena sangat dekat dengan Mangkoenegaran, dirinya diangkat sebagai Kepala Asrama Hapsara, yaitu asrama untuk siswa [[Algemeene Middelbare School|''Algemeene Middelbare School'' (AMS)]] yang setaraf SMA sekarang. Bahkan, berkat kepandaiannya tersebut, dirinya diangkat menjadi Bupati Mandrapura, yaitu Kepala Rumah Tangga Pura Mangkoenegaran Surakarta (1937) dan baru pensiun dari tugas kedinasan pada tahun 1939.
Di samping sarat dengan tugas kedinasan di bidang pendidikan, Jasawidagda sendiri aktif di berbagai macam kegiatan sosial politik. Dirinya terlibat dan terjun dalam organisasi Budi Utomo, Perserikatan Guru Hindia-Belanda, Ketua Kwartir Besar Kepanduan di Mangkoenegaran, dan pernah menjabat sebagai Ketua Perpustakaan Sanapustaka Mangkoenegaraan Surakarta. Di samping itu, dirinya juga ikut aktif dalam dunia pers atau surat kabar. Berdasarkan dari ketekunan dan pengabdiannya, dirinya diberikan anugerah ''Bintang Perak'' dari Gubernur Jenderal Pemerintah Belanda (1936). Beliau sendiri juga pernah memperoleh penghargaan dari Lembaga Bahasa Cabang Yogyakarta dalam lomba esai Bahasa Jawa di tahun 1957. Di bulan Agustus 1939, dirinya berhasil memperoleh anugerah ''Bintang Emas'' dari Pemerintah Hindia Belanda.


=== Aktif dalam Organisasi ===
Di samping sarat dengan tugas kedinasan di bidang pendidikan, Jasawidagda sendiri aktif di berbagai macam kegiatan sosial politik. Dirinya terlibat dan terjun dalam organisasi [[Budi Utomo]], Perserikatan Guru Hindia-Belanda, Ketua Kwartir Besar Kepanduan di Mangkoenegaran, dan pernah menjabat sebagai Ketua Perpustakaan Sanapustaka Mangkoenegaraan Surakarta. Di samping itu, dirinya juga ikut aktif dalam dunia pers atau surat kabar. Berdasarkan dari ketekunan dan pengabdiannya, dirinya diberikan anugerah ''Bintang Perak'' dari Gubernur Jenderal Pemerintah Belanda (1936). Beliau sendiri juga pernah memperoleh penghargaan dari Lembaga Bahasa Cabang Yogyakarta dalam lomba esai Bahasa Jawa pada tahun 1957. Di bulan Agustus 1939, dirinya berhasil memperoleh anugerah ''Bintang Emas'' dari Pemerintah Hindia Belanda.

=== Aktif dalam Dunia Kepengarangan ===
Pendidikan guru yang ditekuni olehnya menjadikannya lebih akrab terhadap bacaan atau cerita-cerita, baik itu berbahasa Jawa, Melayu, atau bahasa lain melalui Taman Pustaka. Di samping gemar membaca, keterlibatan aktif dirinya dalam dunia penerbitan juga berhasil membawanya untuk menekuni dunia kepengarangan dengan harapan bisa memberikan pendidikan kepada para pembaca. Hal tersebut ditunjukkan oleh Jasawidagda yang juga pernah bekerja menjadi seorang redaksi kalawarti ''Pustaka Jawi''. Kecintaannya terhadap bahasa dan sastra Jawa, tak pernah membuatnya menjadi surut, hingga memasuki masa pensiun. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah artikelnya di majalah Medan Bahasa Basa Jawi. Dengan melihat karya dan keterlibatan di dunia bahasa dan sastra Jawa, Jasawidagda tak lagi diragukan akan sumbangannya terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa.
Pendidikan guru yang ditekuni olehnya menjadikannya lebih akrab terhadap bacaan atau cerita-cerita, baik itu berbahasa Jawa, Melayu, atau bahasa lain melalui Taman Pustaka. Di samping gemar membaca, keterlibatan aktif dirinya dalam dunia penerbitan juga berhasil membawanya untuk menekuni dunia kepengarangan dengan harapan bisa memberikan pendidikan kepada para pembaca. Hal tersebut ditunjukkan oleh Jasawidagda yang juga pernah bekerja menjadi seorang redaksi kalawarti ''Pustaka Jawi''. Kecintaannya terhadap bahasa dan sastra Jawa, tak pernah membuatnya menjadi surut, hingga memasuki masa pensiun. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah artikelnya di majalah Medan Bahasa Basa Jawi. Dengan melihat karya dan keterlibatan di dunia bahasa dan sastra Jawa, Jasawidagda tak lagi diragukan akan sumbangannya terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa.


Jasawidagda termasuk ke dalam sosok pengarang Jawa yang produktif. Selama masa kepengarangannya tersebut, dirinya berhasil menghasilkan sebanyak 15 karya, baik itu novel ataupun buku pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Dirinya mulai menulis sejak tahun 1913 hingga Indonesia merdeka. Sebagian besar novelnya tersebut diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]]. Karya-karya yang dihasilkan olehnya cenderung berlatar tradisional, misalnya terlihat dalam ''Mitradarma'', ''Jarot'' (Jilid I dan Jilid II), ''Keraton Powan'', ''Purasani'', ''Bocah Mangkoenegaran'', ''Pethi Wasiat'', dan ''Cariyos Lelampahanipun Peksi Glathik''.
Jasawidagda termasuk ke dalam sosok pengarang Jawa yang produktif. Selama masa kepengarangannya tersebut, dirinya berhasil menghasilkan sebanyak 15 karya, baik itu novel ataupun buku pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Dirinya mulai menulis sejak tahun 1913 hingga Indonesia merdeka. Sebagian besar novelnya tersebut diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]]. Karya-karya yang dihasilkan olehnya cenderung berlatar tradisional, misalnya terlihat dalam ''Mitradarma'', ''Jarot'' (Jilid I dan Jilid II), ''Keraton Powan'', ''Purasani'', ''Bocah Mangkoenegaran'', ''Pethi Wasiat'', dan ''Cariyos Lelampahanipun Peksi Glathik''.


Selain itu, profesinya sebagai guru juga telah membawa dirinya berhasil memberikan pencerahan pemikiran terhadap generasi bangsanya. Dirinya seringkali mendobrak budaya tradisional yang tak sejalan dengan pemikiran modern. Dirinya tidak sependapat dengan orientasi masyarakat Jawa terhadap dunia priyayi. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel berjudul ''Kirti Njunjung Drajat'' (1924) yang mengangkat pertentangan pandangan yang terjadi antara generasi muda yang diwakili oleh Darba dan generasi tua yang merupakan kelompok priyayi tradisional yang diwakili oleh orang tua Darba. Dalam novel ''Ni Wungkuk ing Bendha Growong'' (Balai Pustaka), Jasawidagda berhasil mengemukakan penolakannya terhadap budaya kawin paksa yang lazim dilakukan oleh kalangan priyayi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, dirinya juga mengangkat kisah petualangan atau pengembaraan seorang pemuda bernama Jarot dalam novel berjudul ''Jarot'' (Balai Pustaka, 1992).
Selain itu, profesinya sebagai guru juga telah membawa dirinya berhasil memberikan pencerahan pemikiran terhadap generasi bangsanya. Dirinya sering kali mendobrak budaya tradisional yang tak sejalan dengan pemikiran modern. Dirinya tidak sependapat dengan orientasi masyarakat Jawa terhadap dunia priyayi. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel berjudul ''Kirti Njunjung Drajat'' (1924) yang mengangkat pertentangan pandangan yang terjadi antara generasi muda yang diwakili oleh Darba dan generasi tua yang merupakan kelompok priyayi tradisional yang diwakili oleh orang tua Darba. Dalam novel ''Ni Wungkuk ing Bendha Growong'' (Balai Pustaka), Jasawidagda berhasil mengemukakan penolakannya terhadap budaya kawin paksa yang lazim dilakukan oleh kalangan priyayi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, dirinya juga mengangkat kisah petualangan atau pengembaraan seorang pemuda bernama Jarot dalam novel berjudul ''Jarot'' (Balai Pustaka, 1992).


Sebagai seorang guru yang juga aktif dalam dunia penerbitan atau jurnalistik, Jasawidagda juga menulis cerita dengan gaya jurnalistik, seperti dalam ''Bocah Mangkoenegaran'' (1930). Dalam novel tersebut, dirinya kuat dalam mengangkat dunia jurnalistik, sehingga orang-orang cenderung melihat dirinya sebagai kumpulan karya jurnalistik. Sebagai lulusan sekolah guru, dirinya tidak mampu meninggalkan hal yang menjadi kewajiban, yakni sebagai seorang pendidik. Maka dari itu, dirinya tidak pernah ketinggalan untuk menyelipkan nasihat-nasihat didaktis dalam setiap karyanya.
Sebagai seorang guru yang juga aktif dalam dunia penerbitan atau jurnalistik, Jasawidagda juga menulis cerita dengan gaya jurnalistik, seperti dalam ''Bocah Mangkoenegaran'' (1930). Dalam novel tersebut, dirinya kuat dalam mengangkat dunia jurnalistik, sehingga orang-orang cenderung melihat dirinya sebagai kumpulan karya jurnalistik. Sebagai lulusan sekolah guru, dirinya tidak mampu meninggalkan hal yang menjadi kewajiban, yakni sebagai seorang pendidik. Maka dari itu, dirinya tidak pernah ketinggalan untuk menyelipkan nasihat-nasihat didaktis dalam setiap karyanya.

== Rujukan ==
<references />

[[Kategori:Guru Indonesia]]
[[Kategori:Sastrawan]]
[[Kategori:Sastrawan]]
[[Kategori:Sastrawan Jawa]]
[[Kategori:Sastrawan Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Ngawi]]
[[Kategori:Tokoh dari Klaten]]
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Ngrambe]]

Revisi terkini sejak 5 November 2023 19.45


Raden Tumenggung
Jasawidagda
LahirRaden Rahardi Jasawidagda
1 April 1886
Manisrenggo, Klaten, Hindia Belanda
Meninggal7 Februari 1958(1958-02-07) (umur 71)
Klaten, Indonesia
Warga negara Indonesia
PekerjaanSastrawan
Suami/istriR. A. Arjaeni
R. A. Jasawidagda
Orang tuaRaden Ngabei Mangoenkarjasa (ayah)

Jasawidagda, yang bergelar Raden Tumenggung (01 April 1886 – 07 Februari 1958) merupakan seorang Sastrawan Jawa.[1] kelahiran Pradan, Manisrenggo, Klaten Jasawidagda memiliki nama kecil Raden Rahardi Jasawidagda, yang merupakan putra dari Raden Ngabei Mangoenkarjasa, seorang Asisten Wedana di Manisrenggo, Klaten. Jasawidagda menikah dengan R. A. Arjaeni dan dikaruniai 4 orang anak. Setelah istrinya meninggal, dirinya menikah lagi dengan istri kedua yang disebut dengan R. A. Jasawidagda dan dikaruniai 3 orang anak. Jasawidagda merupakan putra ke-3 dari 9 bersaudara. Dirinya meninggal pada tanggal 7 Februari 1958, saat usianya menginjak 76 tahun di Klaten. Dilihat dari latar belakang keluarganya, Jasawidagda berasal dari keluarga priyayi. Bahkan, dirinya sendiri hidup sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, ia sering kali menolak untuk bergaya hidup seperti tersebut yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan tuntutan di era modern.

Jasawidagda memulai karier pendidikannya di Sekolah Rakyat yang ada di Klaten. Baru beberapa tahun, dirinya pindah ke Surakarta. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, dirinya memilih untuk melanjutkan ke Kweekschool atau Sekolah Guru yang ada di Yogyakarta pada tahun 1920 hingga 1925. Setelah itu, dirinya mengabdikan diri untuk menjadi guru di beberapa daerah, sebelum akhirnya dirinya kembali ke Surakarta dan bekerja di berbagai posisi di kota tersebut. Berbekal pendidikan guru sebagai latar belakangnya, Jasawidagda aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial politik, diantaranya menjadi seorang aktivis di organisasi Budi Utomo dan Persatuan Guru Indonesia yang kala itu bernama Persatuan Guru Hindia-Belanda.

Sebagai seorang guru, Jasawidagda sering kali berpindah tugas dari daerah satu ke daerah yang lain. Pada awalnya, pada tahun 1905, dirinya mengajar di Inslandse School Surakarta dan selanjutnya pada tahun 1907 pindah ke Kabupaten Kendal. 3 tahun selanjutnya, menjadi seorang Kepala Sekolah di Ngrambe, Ngawi. Semenjak tahun 1912, dirinya diangkat menjadi Guru Kepala di Sekolah Tingkat I Siswa Mangkoenegaran di Surakarta. Pada tahun 1914, dirinya diangkat sebagai Kepala Normaal School di Surakarta. Selanjutnya, pada tahun 1915, dirinya menjabat sebagai guru di Inslandse Onderwyzer atau Sekolah Guru Pribumi. Karena sangat dekat dengan Mangkoenegaran, dirinya diangkat sebagai Kepala Asrama Hapsara, yaitu asrama untuk siswa Algemeene Middelbare School (AMS) yang setaraf SMA sekarang. Bahkan, berkat kepandaiannya tersebut, dirinya diangkat menjadi Bupati Mandrapura, yaitu Kepala Rumah Tangga Pura Mangkoenegaran Surakarta (1937) dan baru pensiun dari tugas kedinasan pada tahun 1939.

Aktif dalam Organisasi

[sunting | sunting sumber]

Di samping sarat dengan tugas kedinasan di bidang pendidikan, Jasawidagda sendiri aktif di berbagai macam kegiatan sosial politik. Dirinya terlibat dan terjun dalam organisasi Budi Utomo, Perserikatan Guru Hindia-Belanda, Ketua Kwartir Besar Kepanduan di Mangkoenegaran, dan pernah menjabat sebagai Ketua Perpustakaan Sanapustaka Mangkoenegaraan Surakarta. Di samping itu, dirinya juga ikut aktif dalam dunia pers atau surat kabar. Berdasarkan dari ketekunan dan pengabdiannya, dirinya diberikan anugerah Bintang Perak dari Gubernur Jenderal Pemerintah Belanda (1936). Beliau sendiri juga pernah memperoleh penghargaan dari Lembaga Bahasa Cabang Yogyakarta dalam lomba esai Bahasa Jawa pada tahun 1957. Di bulan Agustus 1939, dirinya berhasil memperoleh anugerah Bintang Emas dari Pemerintah Hindia Belanda.

Aktif dalam Dunia Kepengarangan

[sunting | sunting sumber]

Pendidikan guru yang ditekuni olehnya menjadikannya lebih akrab terhadap bacaan atau cerita-cerita, baik itu berbahasa Jawa, Melayu, atau bahasa lain melalui Taman Pustaka. Di samping gemar membaca, keterlibatan aktif dirinya dalam dunia penerbitan juga berhasil membawanya untuk menekuni dunia kepengarangan dengan harapan bisa memberikan pendidikan kepada para pembaca. Hal tersebut ditunjukkan oleh Jasawidagda yang juga pernah bekerja menjadi seorang redaksi kalawarti Pustaka Jawi. Kecintaannya terhadap bahasa dan sastra Jawa, tak pernah membuatnya menjadi surut, hingga memasuki masa pensiun. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah artikelnya di majalah Medan Bahasa Basa Jawi. Dengan melihat karya dan keterlibatan di dunia bahasa dan sastra Jawa, Jasawidagda tak lagi diragukan akan sumbangannya terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Jasawidagda termasuk ke dalam sosok pengarang Jawa yang produktif. Selama masa kepengarangannya tersebut, dirinya berhasil menghasilkan sebanyak 15 karya, baik itu novel ataupun buku pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Dirinya mulai menulis sejak tahun 1913 hingga Indonesia merdeka. Sebagian besar novelnya tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Karya-karya yang dihasilkan olehnya cenderung berlatar tradisional, misalnya terlihat dalam Mitradarma, Jarot (Jilid I dan Jilid II), Keraton Powan, Purasani, Bocah Mangkoenegaran, Pethi Wasiat, dan Cariyos Lelampahanipun Peksi Glathik.

Selain itu, profesinya sebagai guru juga telah membawa dirinya berhasil memberikan pencerahan pemikiran terhadap generasi bangsanya. Dirinya sering kali mendobrak budaya tradisional yang tak sejalan dengan pemikiran modern. Dirinya tidak sependapat dengan orientasi masyarakat Jawa terhadap dunia priyayi. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel berjudul Kirti Njunjung Drajat (1924) yang mengangkat pertentangan pandangan yang terjadi antara generasi muda yang diwakili oleh Darba dan generasi tua yang merupakan kelompok priyayi tradisional yang diwakili oleh orang tua Darba. Dalam novel Ni Wungkuk ing Bendha Growong (Balai Pustaka), Jasawidagda berhasil mengemukakan penolakannya terhadap budaya kawin paksa yang lazim dilakukan oleh kalangan priyayi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, dirinya juga mengangkat kisah petualangan atau pengembaraan seorang pemuda bernama Jarot dalam novel berjudul Jarot (Balai Pustaka, 1992).

Sebagai seorang guru yang juga aktif dalam dunia penerbitan atau jurnalistik, Jasawidagda juga menulis cerita dengan gaya jurnalistik, seperti dalam Bocah Mangkoenegaran (1930). Dalam novel tersebut, dirinya kuat dalam mengangkat dunia jurnalistik, sehingga orang-orang cenderung melihat dirinya sebagai kumpulan karya jurnalistik. Sebagai lulusan sekolah guru, dirinya tidak mampu meninggalkan hal yang menjadi kewajiban, yakni sebagai seorang pendidik. Maka dari itu, dirinya tidak pernah ketinggalan untuk menyelipkan nasihat-nasihat didaktis dalam setiap karyanya.

  1. ^ Prabowo, D. P.; Widati, Sri; Rahayu, Prapti (2015). Ensiklopedi Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 237-239. ISBN 978-979-185-235-7.