Lompat ke isi

Ki Ageng Sela: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Arrifyussufjr (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah tag nowiki VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 19: Baris 19:
}}
}}


'''Ki Ageng Sela''' atau '''Kiyai Ngabdurahman''' adalah tokoh spiritual dari [[Selo, Tawangharjo, Grobogan|Sela]] yang hidup di masa [[Kerajaan Demak]]. Ia dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan petir.
'''Ki Ageng Sela''' atau '''Kiyai Ngabdurahman''' adalah tokoh spiritual dari [[Selo, Tawangharjo, Grobogan|Sela]] yang hidup di masa [[Kerajaan Demak|Kesultanan Demak]]. Ia dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan petir.


== Awal kehidupan ==
== Awal kehidupan ==
Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom, keturunan [[Ki Getas Pandawa]]. Ki Getas Pandawa adalah anak dari Bondan Kejawan (Lembu Peteng) putra dari Brawijaya 5 yang dibuang ke daerah Jipang (sebelah utara Sukowati).
Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom, keturunan [[Ki Getas Pandawa]]. Ia hidup di masa Kesultanan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.


Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kesultanan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Bondan Kejawan dikabarkan menikah dengan Nyai Roro Nawangsih putri dari [[Legenda Jaka Tarub|Ki Ageng Tarub]]. Hal ini memang karena menurut riwayat, Bondan Kejawan di besarkan oleh Ki Ageng Tarub, lalu dinikahkan dengan putrinya, punya anak sulung Ki Getas Pandawa.(belum ada riwqyat sah siapa akhirnya istri Ki Getas Pandawa) dan anaknya kedua Ki Ageng Wonosobo.


Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.
Ki Ageng Selaw hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.

Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.

Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela.

Setelah dewasa, KA Sela menikah denganNyai Roro Bicak (putri Ki Ageng Ngerang 1), dan memiliki putra 9, nomer 7 adalah KA Ngenis. ki Ageng Ngenis ini kemudian memiliki anak Ki Bagus Kacung (Ki Ageng Pemanahan) yang akhirnya melahirkan Sutowijoyo ([[Senapati dari Mataram|Panembahan Senopat]]<nowiki/>i)

Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.


== Menaklukkan petir ==
== Menaklukkan petir ==
Ki Ageng Sela dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Sela membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Sela menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.<ref>Abdul Rakhim, dkk (2019)</ref>
Ki Ageng Sela dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Sela membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Sela menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019">Abdul Rakhim, dkk (2019)</ref>


Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Sela yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Sela berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.<ref>Abdul Rakhim, dkk (2019)</ref>
Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Sela yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Sela berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019"/>


Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.<ref>Abdul Rakhim, dkk (2019)</ref>
Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019"/>


Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Sela dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Sela menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada ''lawang bledheg'' atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.<ref>Abdul Rakhim, dkk (2019)</ref>
Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Sela dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Sela menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada ''lawang bledheg'' atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.<ref name="Abdul Rakhim, dkk 2019"/>


== Papali Ki Ageng Sela ==
== Papali Ki Ageng Sela ==
Ki Ageng Sela merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Ia memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa para santri Ki Ageng Sela mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya. Tulisan-tulisan selanjutnya menjadi pemikiran utama Ki Ageng Sela yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan ''Papali Ki Ageng Sela''.
Ki Ageng Sela merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Ia memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa para santri Ki Ageng Sela mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya. Tulisan-tulisan selanjutnya menjadi pemikiran utama Ki Ageng Sela yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan ''Papali Ki Ageng Sela''.


Papali adalah larangan atau nasihat seorang guru kepada muridnya terkait dengan hal-hal yang dianjurkan untuk dijauhi. Nasihat lisan tersebut ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Papali Ki Ageng Sela tersebut mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya Ki Ageng Sela menggunakan pendekatan filsafat Jawa seperti yang pernah diterapkan oleh para wali sebelumnya.
Papali adalah larangan atau nasihat seorang guru kepada muridnya terkait dengan hal-hal yang dianjurkan untuk dijauhi. Nasihat lisan tersebut ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Papali Ki Ageng Sela tersebut mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya Ki Ageng Sela menggunakan pendekatan filsafat Jawa seperti yang pernah diterapkan oleh para wali sebelumnya.
Baris 72: Baris 64:
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu
* Purwadi. 2007. ''Sejarah Raja-Raja Jawa''. Yogyakarta: Media Ilmu


{{islam-bio-stub}}
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh dari Grobogan]]
[[Kategori:Tokoh dari Grobogan]]

Revisi terkini sejak 15 November 2023 09.19

Ki Ageng
Sela
ꦯꦺꦭ
Makam Ki Ageng Sela di Grobogan
LahirBagus Songgom
Tempat tinggalSela
Nama lainKyai Abdurrahman
ZamanDemak
PendahuluKi Getas Pandawa
PenggantiKi Ageng Enis
Suami/istriNyai Bicak (Nyai Ageng Sela)
Orang tua

Ki Ageng Sela atau Kiyai Ngabdurahman adalah tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Kesultanan Demak. Ia dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan petir.

Awal kehidupan

[sunting | sunting sumber]

Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom, keturunan Ki Getas Pandawa. Ia hidup di masa Kesultanan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.

Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kesultanan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.

Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.

Menaklukkan petir

[sunting | sunting sumber]

Ki Ageng Sela dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Sela membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Sela menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.[1]

Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Sela yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Sela berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.[1]

Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.[1]

Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Sela dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Sela menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.[1]

Papali Ki Ageng Sela

[sunting | sunting sumber]

Ki Ageng Sela merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Ia memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa para santri Ki Ageng Sela mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya. Tulisan-tulisan selanjutnya menjadi pemikiran utama Ki Ageng Sela yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Papali Ki Ageng Sela.

Papali adalah larangan atau nasihat seorang guru kepada muridnya terkait dengan hal-hal yang dianjurkan untuk dijauhi. Nasihat lisan tersebut ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Papali Ki Ageng Sela tersebut mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya Ki Ageng Sela menggunakan pendekatan filsafat Jawa seperti yang pernah diterapkan oleh para wali sebelumnya.

Isi papali

[sunting | sunting sumber]

Papali Ki Ageng Sela ini dituturkan oleh sesepuh di desa Sela yaitu Ki Pariwara mengatakan; hendaknya pesan ini dihargai karena akan membawa berkah bagi yang melaksanakan. Dan juga akan membuat selamat serta segar bugar. Kalau istilah zaman sekarang, sehat sejahtera, jauh dari segala kesulitan.

Eh ta kulup dèn kaparèng ngarsi, kawruhanmu nora endah-endah, ngèlmu kang sun imanakên, amung piwulangipun, eyang Ki Agêng Sela linuwih. Nyatane wus anyata, cihnane linuhung, kang mangkoni tanah Jawa, datan liya têdhake Jêng Kiyai Sela, lah iki piyarsakna. Papali iki ajinên ambêrkahi, tur salamêt sêgêr kawarasan, papali iki mangkene; aja agawe angkuh, aja ladak, aja ajail, aja manah surakah, lan aja calimut, lan aja guru-alêman. aja jail wong jail pan gêlis mati, aja amanah ngiwa, aja saèn dèn wêdi ing isin. Ya wong urip ywa ngagungkên awak, wong urip pinèt baguse, aja lali abagus. Bagus iku dudu mas picis, pan dudu sasandhangan, dudu rupa iku. wong bagus pan ewuh pisan, sapapadha wong urip pan padha asih, pêrak ati warnanya.

Terjemahan:

Ketahuilah engkau, bukan hal yang muluk-muluk, ilmu yang aku percayakan, hanya ajarannya Eyang Ki Ageng Sela yang terpuji. Nyatanya sudah terbukti, tanda luhurnya, yang membimbing tanah Jawa, tidak lain anak turunannya Jeng Kyai Sela, nah ini dengarkanlah. Papali ini hargailah karena memberkati dan juga membuat selamat segar bugar, papali ini seperti ini; jangan berbuat angkuh, jangan ladak, jangan jahil, jangan berhati serakah, dan jangan celimutan, dan jangan memburu pujian, jangan jahil karena orang jahil cepat mati, juga jangan berhati kepada keburukan, jangan tak tahu malu yang takut akan rasa malu, juga orang hidup jangan menganggap besar diri, orang hidup carilah bagusnya, jangan lupa memperbagus (diri), yang disebut bagus bukan karena banyak emas dan uang, sungguh bukan karena pakaian, bukan dalam rupa (penampilan), orang bagus di sini sungguh sulit sekali, sesama orang hidup semua mengasihi, maksudnya semua dekat hatinya.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d Abdul Rakhim, dkk (2019)

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Abdul Rakhim, dkk. 2019. Ki Ageng Selo Sang Penakluk Petir. Grobogan: Hanum Publisher
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu