Lompat ke isi

Lampu minyak tanah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambahkan pranala dalam
menambahkan gambar dan takarir
 
(12 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Lantern_Lamp_RPG_Item_Large.png|jmpl|[[Ilustrasi]] lampu minyak tanah secara umum.]]
'''Lampu minyak tanah''' atau '''lampu parafin''' adalah [[lampu]] yang menggunakan [[bahan bakar]] berupa [[minyak tanah]] untuk [[penerangan]]. Penggunaan lampu minyak tanah telah dimulai sejak abad ke-10 di [[Kordoba, Spanyol|Kordoba]] akibat penemuan metode penyulingan minyak tanah oleh [[Muhammad bin Zakariya ar-Razi|Ar-Razi]] (864–925 M). Komponen utama lampu minyak tanah ialah sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Penerangan diperoleh melalui penyerapan minyak tanah ke sumbu yang kemudian terbakar dan menghasilkan [[cahaya]] dari [[api]].
'''Lampu minyak tanah''' atau '''lampu parafin''' adalah [[lampu]] yang menggunakan [[bahan bakar]] berupa [[minyak tanah]] untuk [[penerangan]]. Penggunaan lampu minyak tanah telah dimulai sejak abad ke-10 di [[Kordoba, Spanyol|Kordoba]] akibat penemuan metode penyulingan minyak tanah oleh [[Muhammad bin Zakariya ar-Razi|Ar-Razi]] (864–925 M). Komponen utama lampu minyak tanah ialah sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Penerangan diperoleh melalui penyerapan minyak tanah ke sumbu yang kemudian terbakar dan menghasilkan [[cahaya]] dari [[api]].


Baris 4: Baris 5:


== Sejarah ==
== Sejarah ==
[[Berkas:Candiles_-_Museo_Arqueológico_de_Córdoba.jpg|jmpl|Model lampu minyak tanah yang digunakan di [[Kekhalifahan Kordoba]] pada abad ke-10 Masehi. ]]
[[Manusia]] awalnya memperoleh penerangan dari bahan [[kayu bakar]]. Setelahnya, terjadi perkembangan teknologi penerangan yang mengurangi pemakaian energi pada alat penerangan dengan penggunaan lilin dan minyak paus. Setelah itu, lampu minyak tanah digunakan sebagai bagian dari penemuan baru dalam teknologi penerangan.{{Sfn|Flavin dan Lenssen|1995|p=76-77}}
[[Manusia]] awalnya memperoleh penerangan dari bahan [[kayu bakar]]. Setelahnya, terjadi perkembangan teknologi penerangan yang mengurangi pemakaian energi pada alat penerangan dengan penggunaan lilin dan minyak paus. Setelah itu, lampu minyak tanah digunakan sebagai bagian dari penemuan baru dalam teknologi penerangan.{{Sfn|Flavin dan Lenssen|1995|p=76-77}}


Lampu minyak tanah telah digunakan sebagai alat penerangan sejak abad ke-10 Masehi. Penggunaannya diawali dengan penemuan dua metode penyulingan untuk menghasilkan minyak tanah oleh [[Muhammad bin Zakariya ar-Razi|Ar-Razi]] (864–925) pada abad ke-9 Masehi. Ar-Razi awalnya menemukan metode penyulingan minyak tanah menggunakan tanah liat. Kemudian ia menemukan lagi satu metode penyulingan minyak tanah menggunakan amonium klorida. Melalui penyulingan secara berulang, dihasilkan minyak tanah yang murni dan aman untuk digunakan sebagai penerangan.<ref name=":0">{{Cite book|last=Laksana|first=Puji|date=2008|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ensiklopedia_Bahan_Bakar_Minyak/ATP-DwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA54&printsec=frontcover|title=Ensiklopedia Bahan Bakar Minyak|location=Semarang|publisher=ALPRIN|isbn=978-979-021-455-2|pages=54|url-status=live}}</ref>
Lampu minyak tanah telah digunakan sebagai alat penerangan sejak abad ke-10 Masehi. Penggunaannya diawali dengan penemuan dua metode penyulingan untuk menghasilkan minyak tanah oleh [[Muhammad bin Zakariya ar-Razi|Ar-Razi]] (864–925 M) pada abad ke-9 Masehi. Ar-Razi awalnya menemukan metode penyulingan minyak tanah menggunakan tanah liat. Kemudian ia menemukan lagi satu metode penyulingan minyak tanah menggunakan [[amonium klorida]]. Melalui penyulingan secara berulang, dihasilkan minyak tanah yang murni dan aman untuk digunakan sebagai penerangan.<ref name=":0">{{Cite book|last=Laksana|first=Puji|date=2008|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ensiklopedia_Bahan_Bakar_Minyak/ATP-DwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA54&printsec=frontcover|title=Ensiklopedia Bahan Bakar Minyak|location=Semarang|publisher=ALPRIN|isbn=978-979-021-455-2|pages=54|url-status=live}}</ref>


== Komponen ==
== Komponen ==
[[Berkas:"kerosene_lamp_flame.jpg|jmpl|[[Api]] yang dihasikan oleh lampu minyak tanah dengan [[cahaya]] redup.]]
Lampu minyak tanah terdiri dari tiga komponen, yaitu sumbu, penampung minyak tanah dan [[semprong]]. Bagian sumbu terhubung langsung dengan minyak tanah. Sumbu terbuat dari bahan yang mampu menyerap minyak tanah dari penampungan. Fungsi sumbu sebagai penyala [[api]] melalui penyerapan minyak tanah secara perlahan. Sementara semprong merupakan bagian penutup lampu yang memiliki lubang di bagian atasnya.<ref>{{Cite book|last=Mustopa|date=2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ramadhan_Menyapa_Penduduk_Bumi_Menaiki_T/xzQhEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA80&printsec=frontcover|title=Ramadhan Menyapa Penduduk Bumi, Menaiki Tangga Langit|location=Sleman|publisher=Penerbit Deepublish|isbn=978-623-02-2484-3|pages=80|url-status=live}}</ref>
Lampu minyak tanah terdiri dari tiga komponen, yaitu sumbu, penampung minyak tanah dan [[semprong]]. Bagian sumbu terhubung langsung dengan minyak tanah. Sumbu terbuat dari bahan yang mampu menyerap minyak tanah dari penampungan. Fungsi sumbu sebagai penyala [[api]] melalui penyerapan minyak tanah secara perlahan. Sementara semprong merupakan bagian penutup lampu yang memiliki lubang di bagian atasnya.<ref>{{Cite book|last=Mustopa|date=2021|url=https://www.google.co.id/books/edition/Ramadhan_Menyapa_Penduduk_Bumi_Menaiki_T/xzQhEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA80&printsec=frontcover|title=Ramadhan Menyapa Penduduk Bumi, Menaiki Tangga Langit|location=Sleman|publisher=Penerbit Deepublish|isbn=978-623-02-2484-3|pages=80|url-status=live}}</ref>


Baris 15: Baris 18:


== Efisiensi energi ==
== Efisiensi energi ==
[[Efisiensi energi]] pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan harga energi yang tergolong mahal.{{Sfn|de Vries, dkk.|2011|p=4}} Lampu minyak tanah hanya menghasilkan [[daya guna]] sebesar 0,8 lumen per [[Watt]]. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah lebih redup dibandingkan dengan cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison pada tahun 1879. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison bernilai lima kali lipat dari lampu minyak tanah pada tiap satuan Watt.{{Sfn|Flavin dan Lenssen|1995|p=77}} Selain itu, lampu minyak tanah menurunkan kualitas udara di sekitarnya.{{Sfn|de Vries, dkk.|2011|p=56}}
[[Efisiensi energi]] pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan harga energi yang tergolong mahal.{{Sfn|de Vries, dkk.|2011|p=4}} Lampu minyak tanah hanya menghasilkan [[daya guna]] sebesar 0,8 lumen per [[Watt]]. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah lebih redup dibandingkan dengan cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan [[Thomas Edison]] pada tahun 1879. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison bernilai lima kali lipat dari lampu minyak tanah pada tiap satuan Watt.{{Sfn|Flavin dan Lenssen|1995|p=77}} Selain itu, lampu minyak tanah menurunkan kualitas udara di sekitarnya.{{Sfn|de Vries, dkk.|2011|p=56}}


== Pemanfaatan ==
== Pemanfaatan ==
Baris 22: Baris 25:


==== Sumber penerangan ====
==== Sumber penerangan ====
Sebanyak 4.700 lampu telah menerangi [[masjid]]-masjid di Kordoba pada abad ke-10 Masehi. Minyak tanah seberat 11 ton digunakan untuk menyalakan lampu-lampu tersebut tiap tahunnya.<ref name=":0" /> Pemanfaatan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan mulai berkurang sejak ditemukannya lampu listrik. Pemakaian lampu minyak tanah juga mulai digantikan dengan lampu lilin ketika terjadi pemadaman listrik.<ref>{{Cite book|last=Martaatmaja|first=S.|date=2008|url=https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Tentang_Alat_Penenrangan/IgkBEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA19&printsec=frontcover|title=Sejarah tentang Alat Penerangan|location=Semarang|publisher=ALPRIN|isbn=978-602-8094-61-0|pages=25|url-status=live}}</ref>
Sebanyak 4.700 lampu telah menerangi [[masjid]]-masjid di [[Kordoba, Spanyol|Kordoba]] pada abad ke-10 Masehi. Minyak tanah seberat 11 ton digunakan untuk menyalakan lampu-lampu tersebut tiap tahunnya.<ref name=":0" /> Pemanfaatan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan mulai berkurang sejak ditemukannya lampu listrik. Pemakaian lampu minyak tanah juga mulai digantikan dengan lampu lilin ketika terjadi pemadaman listrik.<ref>{{Cite book|last=Martaatmaja|first=S.|date=2008|url=https://www.google.co.id/books/edition/Sejarah_Tentang_Alat_Penenrangan/IgkBEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA19&printsec=frontcover|title=Sejarah tentang Alat Penerangan|location=Semarang|publisher=ALPRIN|isbn=978-602-8094-61-0|pages=25|url-status=live}}</ref>


==== Sumber panas pada mesin tetas ====
==== Sumber panas pada mesin penetas telur ====
Lampu minyak tanah merupakan sumber panas paling sederhana untuk [[mesin tetas]] untuk penetasan [[telur]]. Pemakaian lampu minyak dapat pada mesin tetas tradisional maupun mesin tetas modern. Keberhasilan penetasan menggunakan lampu minyak tanah dapat mencapai 80%.{{Sfn|Wakhid|2016|p=26}} Area pemanasan tiap unit lampu minyak  maksimal seluas 80 × 60 cm baik pada mesin tetas tradisional maupun semi-modern. Sebanyak dua unit lampu minyak diperlukan untuk masa awal pemeliharaan telur yang mencapai lima hari.{{Sfn|Wakhid|2016|p=27}}
Lampu minyak tanah merupakan sumber panas paling sederhana untuk [[mesin penetas telur]]. Pemakaian lampu minyak dapat pada mesin tetas tradisional maupun mesin penetas telur modern. Keberhasilan penetasan telur menggunakan lampu minyak tanah dapat mencapai 80%.{{Sfn|Wakhid|2016|p=26}} Area pemanasan tiap unit lampu minyak maksimal seluas 80 × 60 cm baik pada mesin penetas telur tradisional maupun semi-modern. Sebanyak dua unit lampu minyak diperlukan untuk masa awal pemeliharaan telur yang mencapai lima hari.{{Sfn|Wakhid|2016|p=27}}


Pada mesin tetas tradisional, lampu minyak tanah ditempatkan di rak bawah yang terpisah dari telur. Dua unit lampu minyak tanah yang diletakkan pada lantai dasar mesin tetas dapat memanaskan telur sebanyak 300 butir pada satu rak.{{Sfn|Mito dan Johan|2011|p=109}} Penetasan telur sebanyak 300 butir menggunakan lampu minyak tanah pada mesin tetas memerlukan minyak tanah sebanyak 9–10 [[liter]].{{Sfn|Mito dan Johan|2011|p=110}}
Pada mesin penetas telur tradisional, lampu minyak tanah ditempatkan di rak bawah yang terpisah dari telur. Dua unit lampu minyak tanah yang diletakkan pada lantai dasar mesin penetas telur dapat memanaskan telur sebanyak 300 butir pada satu rak.{{Sfn|Mito dan Johan|2011|p=109}} Penetasan telur sebanyak 300 butir menggunakan lampu minyak tanah pada mesin penetas telur memerlukan minyak tanah sebanyak 9–10 [[liter]].{{Sfn|Mito dan Johan|2011|p=110}}


Pemakaian lampu minyak tanah pada mesin tetas terhubung dengan termoregulator. Bentuk termoregulator yang dihubungkan ke lampu minyak tanah ialah kapsul yang memiliki [[eter]] yang dapat mengembang dan mengempis. Termoregulator dihubungkan dengan lampu minyak tanah menggunakan jarum. Fungsi jarum ialah mendorong atau menurunkan tongkat yang dipakai untuk membuka atau menutup penutup lampu minyak tanah.<ref>{{Cite book|last=Suharno|first=Bambang|date=1996|url=https://www.google.co.id/books/edition/Beternak_Itik_Secara_Intensif/r5RA6ArIR0AC?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA45&printsec=frontcover|title=Beternak Itik Secara Intensif|publisher=Niaga Swadaya|isbn=978-979-4893-43-2|pages=46|url-status=live}}</ref>
Pemakaian lampu minyak tanah pada mesin penetas telur terhubung dengan termoregulator. Bentuk termoregulator yang dihubungkan ke lampu minyak tanah ialah kapsul yang memiliki [[eter]] yang dapat mengembang dan mengempis. Termoregulator dihubungkan dengan lampu minyak tanah menggunakan jarum. Fungsi jarum ialah mendorong atau menurunkan tongkat yang dipakai untuk membuka atau menutup penutup lampu minyak tanah.<ref>{{Cite book|last=Suharno|first=Bambang|date=1996|url=https://www.google.co.id/books/edition/Beternak_Itik_Secara_Intensif/r5RA6ArIR0AC?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA45&printsec=frontcover|title=Beternak Itik Secara Intensif|publisher=Niaga Swadaya|isbn=978-979-4893-43-2|pages=46|url-status=live}}</ref> Kelemahan penggunaan lampu minyak tanah untuk penetasan telur ialah tingginya [[risiko]] kebakaran pada kondisi pengawasan dan kehati-hatian yang rendah selama penggunaannya.{{Sfn|Wakhid|2016|p=26}}

Kelemahan penggunaan lampu minyak tanah untuk penetasan telur ialah tingginya [[risiko]] kebakaran pada kondisi pengawasan dan kehati-hatian yang rendah selama penggunaannya.{{Sfn|Wakhid|2016|p=26}}


==== Pematangan buah ====
==== Pematangan buah ====
Baris 37: Baris 38:


=== Pemanfaatan kebudayaan ===
=== Pemanfaatan kebudayaan ===
[[Berkas:Alikusu_Tumbilo_Tohe.jpg|jmpl|Festival [[Tumbilo tohe|Tumbilo Tohe]]]]


==== Tumbilotohe ====
==== Festival Tumbilo Tohe ====
Lampu minyak tanah digunakan dalam salah satu tradisi [[Suku Gorontalo]] yang disebut Festival Tumbilotohe. Festival Tumbilotohe merupakan tradisi pemasangan lampu pada tiga malam terakhir bulan [[Ramadan]]. Tumbilotohe dalam [[bahasa Gorontalo]] berasal dari kata ''tumbilo'' dan ''hote'' yang berarti pasang lampu. Lampu minyak tanah yang digunakan dibuat dari botol atau kaleng bekas yang sumbunya terbuat dari sumbu kompor minyak. Sumbu dipasang pada bagian penutup lampu minyak tanah. Tradisi Tumbilotohe telah dimulai sejak abad ke-15 dengan bahan bakar sebelum memakai minyak tanah berupa damar lalu minyak kelapa. Lampu minyak tanah dipasang di pagar, tepi jalan dan di depan rumah.<ref>{{Cite book|last=Yusuf dan Toet|date=2012|url=https://www.google.co.id/books/edition/Indonesia_Punya_Cerita/e3-sCAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA95&printsec=frontcover|title=Indonesia Punya Cerita|location=Jakarta Timur|publisher=Cerdas Interaktif|isbn=978-979-788-346-1|pages=95|url-status=live}}</ref>   
Lampu minyak tanah digunakan dalam salah satu tradisi [[Suku Gorontalo]] yang disebut Festival Tumbilo Tohe. Festival Tumbilo Tohe merupakan tradisi pemasangan lampu pada tiga malam terakhir bulan [[Ramadan]]. Tumbilo Tohe dalam [[bahasa Gorontalo]] berasal dari kata ''tumbilo'' dan ''tohe'' yang berarti pasang lampu. Lampu minyak tanah yang digunakan dibuat dari botol atau kaleng bekas yang sumbunya terbuat dari sumbu kompor minyak. Sumbu dipasang pada bagian penutup lampu minyak tanah. Tradisi Tumbilo Tohe telah dimulai sejak abad ke-15 dengan bahan bakar sebelum memakai minyak tanah berupa [[damar]] lalu [[minyak kelapa]]. Lampu minyak tanah dipasang di pagar, tepi jalan dan di depan rumah.<ref>{{Cite book|last=Yusuf dan Toet|date=2012|url=https://www.google.co.id/books/edition/Indonesia_Punya_Cerita/e3-sCAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Lampu+minyak+tanah&pg=PA95&printsec=frontcover|title=Indonesia Punya Cerita|location=Jakarta Timur|publisher=Cerdas Interaktif|isbn=978-979-788-346-1|pages=95|url-status=live}}</ref>   


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi terkini sejak 23 November 2023 00.15

Ilustrasi lampu minyak tanah secara umum.

Lampu minyak tanah atau lampu parafin adalah lampu yang menggunakan bahan bakar berupa minyak tanah untuk penerangan. Penggunaan lampu minyak tanah telah dimulai sejak abad ke-10 di Kordoba akibat penemuan metode penyulingan minyak tanah oleh Ar-Razi (864–925 M). Komponen utama lampu minyak tanah ialah sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Penerangan diperoleh melalui penyerapan minyak tanah ke sumbu yang kemudian terbakar dan menghasilkan cahaya dari api.

Efisiensi energi pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan daya guna sebesar 0,8 lumen per Watt. Sejak penemuan lampu listrik, lampu minyak tanah mulai berkurang penggunaannya. Namun lampu minyak tanah masih dimanfaatkan untuk pematangan buah jeruk dan pemanasan pada mesin tetas telur. Lampu minyak tanah juga digunakan dalam Festival Tumbilotohe oleh suku Gorontalo.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Model lampu minyak tanah yang digunakan di Kekhalifahan Kordoba pada abad ke-10 Masehi.

Manusia awalnya memperoleh penerangan dari bahan kayu bakar. Setelahnya, terjadi perkembangan teknologi penerangan yang mengurangi pemakaian energi pada alat penerangan dengan penggunaan lilin dan minyak paus. Setelah itu, lampu minyak tanah digunakan sebagai bagian dari penemuan baru dalam teknologi penerangan.[1]

Lampu minyak tanah telah digunakan sebagai alat penerangan sejak abad ke-10 Masehi. Penggunaannya diawali dengan penemuan dua metode penyulingan untuk menghasilkan minyak tanah oleh Ar-Razi (864–925 M) pada abad ke-9 Masehi. Ar-Razi awalnya menemukan metode penyulingan minyak tanah menggunakan tanah liat. Kemudian ia menemukan lagi satu metode penyulingan minyak tanah menggunakan amonium klorida. Melalui penyulingan secara berulang, dihasilkan minyak tanah yang murni dan aman untuk digunakan sebagai penerangan.[2]

Komponen[sunting | sunting sumber]

Api yang dihasikan oleh lampu minyak tanah dengan cahaya redup.

Lampu minyak tanah terdiri dari tiga komponen, yaitu sumbu, penampung minyak tanah dan semprong. Bagian sumbu terhubung langsung dengan minyak tanah. Sumbu terbuat dari bahan yang mampu menyerap minyak tanah dari penampungan. Fungsi sumbu sebagai penyala api melalui penyerapan minyak tanah secara perlahan. Sementara semprong merupakan bagian penutup lampu yang memiliki lubang di bagian atasnya.[3]

Cara pakai[sunting | sunting sumber]

Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah dapat diatur menggunakan sumbu yang dapat dinaikkan dan diturunkan posisinya. Sumbu berperan sebagai penyerap bahan bakar berupa minyak tanah atau parafin secara perlahan-lahan. Hanya sedikit bagian pada sumbu yang terbakar habis. Panas yang dihasilkan pada sumbu membuat parafin berubah menjadi gas saat terbakar di sekitar sumbu. Perubahan parafin menjadi gas kemudian menghasilkan cahaya yang terang.[4]

Efisiensi energi[sunting | sunting sumber]

Efisiensi energi pada lampu minyak tanah tergolong rendah dengan harga energi yang tergolong mahal.[5] Lampu minyak tanah hanya menghasilkan daya guna sebesar 0,8 lumen per Watt. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu minyak tanah lebih redup dibandingkan dengan cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison pada tahun 1879. Cahaya yang dihasilkan oleh lampu pijar buatan Thomas Edison bernilai lima kali lipat dari lampu minyak tanah pada tiap satuan Watt.[6] Selain itu, lampu minyak tanah menurunkan kualitas udara di sekitarnya.[7]

Pemanfaatan[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan praktis[sunting | sunting sumber]

Sumber penerangan[sunting | sunting sumber]

Sebanyak 4.700 lampu telah menerangi masjid-masjid di Kordoba pada abad ke-10 Masehi. Minyak tanah seberat 11 ton digunakan untuk menyalakan lampu-lampu tersebut tiap tahunnya.[2] Pemanfaatan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan mulai berkurang sejak ditemukannya lampu listrik. Pemakaian lampu minyak tanah juga mulai digantikan dengan lampu lilin ketika terjadi pemadaman listrik.[8]

Sumber panas pada mesin penetas telur[sunting | sunting sumber]

Lampu minyak tanah merupakan sumber panas paling sederhana untuk mesin penetas telur. Pemakaian lampu minyak dapat pada mesin tetas tradisional maupun mesin penetas telur modern. Keberhasilan penetasan telur menggunakan lampu minyak tanah dapat mencapai 80%.[9] Area pemanasan tiap unit lampu minyak maksimal seluas 80 × 60 cm baik pada mesin penetas telur tradisional maupun semi-modern. Sebanyak dua unit lampu minyak diperlukan untuk masa awal pemeliharaan telur yang mencapai lima hari.[10]

Pada mesin penetas telur tradisional, lampu minyak tanah ditempatkan di rak bawah yang terpisah dari telur. Dua unit lampu minyak tanah yang diletakkan pada lantai dasar mesin penetas telur dapat memanaskan telur sebanyak 300 butir pada satu rak.[11] Penetasan telur sebanyak 300 butir menggunakan lampu minyak tanah pada mesin penetas telur memerlukan minyak tanah sebanyak 9–10 liter.[12]

Pemakaian lampu minyak tanah pada mesin penetas telur terhubung dengan termoregulator. Bentuk termoregulator yang dihubungkan ke lampu minyak tanah ialah kapsul yang memiliki eter yang dapat mengembang dan mengempis. Termoregulator dihubungkan dengan lampu minyak tanah menggunakan jarum. Fungsi jarum ialah mendorong atau menurunkan tongkat yang dipakai untuk membuka atau menutup penutup lampu minyak tanah.[13] Kelemahan penggunaan lampu minyak tanah untuk penetasan telur ialah tingginya risiko kebakaran pada kondisi pengawasan dan kehati-hatian yang rendah selama penggunaannya.[9]

Pematangan buah[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1900, petani di Amerika Serikat memiliki kebiasaan mematangkan buah jeruk menggunakan lampu minyak tanah. Buah jeruk dipetik ketika masih berwarna hijau dan dimatangkan dalam ruangan tertutup menggunakan lampu minyak tanah. Proses pematangan ditandai dengan perubahan warna jeruk dari hijau menjadi kuning. Perubahan ini dapat terjadi karena hasil pembakaran minyak tanah pada lampu minyak tanah menghasilkan gas etilen. Keberadaan gas etilen berperan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan buah.[14]

Pemanfaatan kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Festival Tumbilo Tohe

Festival Tumbilo Tohe[sunting | sunting sumber]

Lampu minyak tanah digunakan dalam salah satu tradisi Suku Gorontalo yang disebut Festival Tumbilo Tohe. Festival Tumbilo Tohe merupakan tradisi pemasangan lampu pada tiga malam terakhir bulan Ramadan. Tumbilo Tohe dalam bahasa Gorontalo berasal dari kata tumbilo dan tohe yang berarti pasang lampu. Lampu minyak tanah yang digunakan dibuat dari botol atau kaleng bekas yang sumbunya terbuat dari sumbu kompor minyak. Sumbu dipasang pada bagian penutup lampu minyak tanah. Tradisi Tumbilo Tohe telah dimulai sejak abad ke-15 dengan bahan bakar sebelum memakai minyak tanah berupa damar lalu minyak kelapa. Lampu minyak tanah dipasang di pagar, tepi jalan dan di depan rumah.[15]   

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Flavin dan Lenssen 1995, hlm. 76-77.
  2. ^ a b Laksana, Puji (2008). Ensiklopedia Bahan Bakar Minyak. Semarang: ALPRIN. hlm. 54. ISBN 978-979-021-455-2. 
  3. ^ Mustopa (2021). Ramadhan Menyapa Penduduk Bumi, Menaiki Tangga Langit. Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 80. ISBN 978-623-02-2484-3. 
  4. ^ Challoner, Jack (2000). Harahap, Ayu B., ed. Jendela IPTEK: Energi. Diterjemahkan oleh Mujiyanto, Januarius. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 34. ISBN 979-666-113-6. 
  5. ^ de Vries, dkk. 2011, hlm. 4.
  6. ^ Flavin dan Lenssen 1995, hlm. 77.
  7. ^ de Vries, dkk. 2011, hlm. 56.
  8. ^ Martaatmaja, S. (2008). Sejarah tentang Alat Penerangan. Semarang: ALPRIN. hlm. 25. ISBN 978-602-8094-61-0. 
  9. ^ a b Wakhid 2016, hlm. 26.
  10. ^ Wakhid 2016, hlm. 27.
  11. ^ Mito dan Johan 2011, hlm. 109.
  12. ^ Mito dan Johan 2011, hlm. 110.
  13. ^ Suharno, Bambang (1996). Beternak Itik Secara Intensif. Niaga Swadaya. hlm. 46. ISBN 978-979-4893-43-2. 
  14. ^ Hayati, Rita (2022). Sulaiman, Ismail, ed. Teknologi Pascapanen Hasil Pertanian. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. hlm. 52. ISBN 978-623-264-765-7. 
  15. ^ Yusuf dan Toet (2012). Indonesia Punya Cerita. Jakarta Timur: Cerdas Interaktif. hlm. 95. ISBN 978-979-788-346-1. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Flavin, C., dan Lenssen, N. (1995). Gelombang Revolusi Energi [Power Surge: Guide to the Coming Energy Revolution]. Diterjemahkan oleh Hasibuan, N,, dan Maimoen, S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-222-7.