Lompat ke isi

Kepublikan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Amerderra (bicara | kontrib)
membuat artikel baru
Tag: tanpa kategori [ * ] VisualEditor
 
Losstreak (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(7 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
'''Kepublikan''' (''Publicness'': dalam bahasa Inggris), merujuk pada terwujudnya nilai-nilai yang berorientasi pada upaya mengedepankan kepentingan, kemanfaatan, dan kebutuhan publik (Dwiyanto, 2011: 203). Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam mengelola publicness masyarakat, sehingga segala kebijakan yang diformulasikan pemerintah akan senada dengan kebutuhan publik. Meski demikian, kenyataannya saat ini isu publicness tidak hanya sebatas pada pengelolaan ''public goods'' dan ''public interest'' oleh organisasi publik saja, melainkan sudah mulai terbaca melalui pengelolaan barang publik oleh organisasi non-publik (swasta/pasar) (Margono dkk, 2014: 11). Dengan demikian, organisasi sosial/kelompok masyarakat pun kini memiliki peranan penting dalam menunjang terwujudnya isu ''publicness'' di masyarakat. <ref name=":0">{{Cite web|title=BAB I PENDAHULUAN. Publik, yang berasal dari bahasa Inggris public, bermakna khalayak - PDF Free Download|url=https://adoc.pub/bab-i-pendahuluan-publik-yang-berasal-dari-bahasa-inggris-pu.html|website=adoc.pub|language=en|access-date=2023-02-25}}</ref>
'''Kepublikan''' (''Publicness'': dalam bahasa Inggris), merujuk pada terwujudnya nilai-nilai yang berorientasi pada upaya mengedepankan kepentingan, kemanfaatan, dan kebutuhan publik (Dwiyanto, 2011: 203). Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam mengelola publicness [[masyarakat]], sehingga segala kebijakan yang diformulasikan pemerintah akan senada dengan kebutuhan publik. Meski demikian, kenyataannya saat ini isu publicness tidak hanya sebatas pada pengelolaan ''public goods'' dan ''public interest'' oleh organisasi publik saja, melainkan sudah mulai terbaca melalui pengelolaan barang publik oleh organisasi non-publik (swasta/pasar) (Margono dkk, 2014: 11). Dengan demikian, organisasi sosial/kelompok masyarakat pun kini memiliki peranan penting dalam menunjang terwujudnya [[isu]] ''publicness'' di masyarakat.<ref name=":0">{{Cite web|title=BAB I PENDAHULUAN. Publik, yang berasal dari bahasa Inggris public, bermakna khalayak - PDF Free Download|url=https://adoc.pub/bab-i-pendahuluan-publik-yang-berasal-dari-bahasa-inggris-pu.html|website=adoc.pub|language=en|access-date=2023-02-25}}</ref>


Sejak beberapa dekade ini, banyak para ahli yang tertarik membahas tentang kepublikan atau ''publicness''. Menurut Bozeman dan Moulton (2011), Kepublikan mengacu pada suatu tingkatan dimana suatu organisasi dipengaruhi oleh otoritas politik. Istilah kata ''publicness'' pada awalnya tidak pernah benar-benar digunakan oleh para ilmuwan Ilmu Administrasi Publik pada awal abad ke-20, namun mereka memiliki suatu kerangka berpikir yang jelas bahwa organisasi haruslah digambarkan dalam kerangka perpaduan antara pengaruh politik dan ekonomi. Hal itu ditegaskan oleh Wamsley dan Zald (1970) dan juga Lindblom (1977). <ref>{{Cite journal|last=Reza|first=Izzul Fatchu|date=2016|title=Redefinisi Publicness Dalam Ruang Lingkup Administrasi Publik di Indonesia|url=https://journal.uny.ac.id/index.php/natapraja/article/download/12626/8911|journal=Kajian Ilmu Administrasi Negara|volume=4|issue=2}}</ref>
Sejak beberapa dekade ini, banyak para ahli yang tertarik membahas tentang kepublikan atau ''publicness''. Menurut Bozeman dan Moulton (2011), Kepublikan mengacu pada suatu tingkatan dimana suatu organisasi dipengaruhi oleh otoritas politik. Istilah kata ''publicness'' pada awalnya tidak pernah benar-benar digunakan oleh para ilmuwan Ilmu Administrasi Publik pada awal abad ke-20, namun mereka memiliki suatu kerangka berpikir yang jelas bahwa organisasi haruslah digambarkan dalam kerangka perpaduan antara pengaruh politik dan ekonomi. Hal itu ditegaskan oleh Wamsley dan Zald (1970) dan juga Lindblom (1977).<ref name=":1">{{Cite journal|last=Reza|first=Izzul Fatchu|date=2016|title=Redefinisi Publicness Dalam Ruang Lingkup Administrasi Publik di Indonesia|url=https://journal.uny.ac.id/index.php/natapraja/article/download/12626/8911|journal=Kajian Ilmu Administrasi Negara|volume=4|issue=2}}</ref>


Konsep kepublikan harus melembaga dan membudaya sebagai orientasi dan nilai yang harus ditransformasikan oleh institusi publik, swasta, dan juga masyarakat dengan mengedepankan kepedulian dan engagement mereka pada urusan dan domain publik. <ref>{{Cite news|last=Ilmu Sosial dan Ilmu Politik|first=Fakultas|date=26 Agustus 2021|title=Konsep Kebijakan Harus Melembaga dan Membudaya|url=https://uhn.ac.id/isipol/content.php?ref=be0c&idref=9_210826085810|access-date=25 Februari 2023}}</ref>
Konsep kepublikan harus melembaga dan membudaya sebagai orientasi dan nilai yang harus ditransformasikan oleh institusi publik, swasta, dan juga masyarakat dengan mengedepankan kepedulian dan engagement mereka pada urusan dan domain publik.<ref>{{Cite news|last=Ilmu Sosial dan Ilmu Politik|first=Fakultas|date=26 Agustus 2021|title=Konsep Kebijakan Harus Melembaga dan Membudaya|url=https://uhn.ac.id/isipol/content.php?ref=be0c&idref=9_210826085810|access-date=25 Februari 2023}}</ref>


Ada beberapa literatur Indonesia yang menyinggung tentang kepublikan dari segi pelayanan, seperti Islamy dalam Putra (2003:19). Ia mengatakan bahwa pengambil kebijakan harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh harapan yang cukup besar kepada administrator publiknya, yaitu dengan harapan agar administrator publik dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik. Dengan demikian, administrator publik perlu memiliki semangat kepublikan (''the spirit of publicness''). <ref name=":0" />
Ada beberapa [[literatur]] Indonesia yang menyinggung tentang kepublikan dari segi pelayanan, seperti Islamy dalam Putra (2003:19). Ia mengatakan bahwa pengambil kebijakan harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh harapan yang cukup besar kepada administrator publiknya, yaitu dengan harapan agar administrator publik dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik. Dengan demikian, administrator publik perlu memiliki semangat kepublikan (''the spirit of publicness'').<ref name=":1" />

== Jenis Kepublikan ==
Menurut salah satu ahli yaitu Bozeman dan Moulton (2010) ia membagi ''publicness'' menjadi [[kepublikan empiris]] dan [[kepublikan normatif]]. [[Kepublikan empiris]] merujuk pada usaha untuk menjelaskan organisasi dan manajemennya, dengan memadukan pengaruh politik dan ekonomi pada suatu organisasi. Sedangkan [[kepublikan normatif]] didefinisikan sebagai sebuah pendekatan pada analisis nilai-nilai dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan mengenai otoritas ekonomi dan politik dari suatu [[institusi]] dan kebijakan-kebijakan lain adalah sebuah syarat dalam memahami potensi atas suatu institusi dan kebijakan dalam memenuhi nilai-nilai publik dan dalam rangka bekerja menuju idealisme kepentingan publik.<ref name=":1" />


== Pendekatan Kepublikan ==
== Pendekatan Kepublikan ==
Menurut pendapat Pesch (2009), ia mengkonstruksikan 5 pendekatan kepublikan yang berbeda, yaitu: <ref name=":0" />
Menurut pendapat Pesch (2009), ia mengkonstruksikan 5 pendekatan kepublikan yang berbeda, yaitu:<ref name=":1" />


# Pendekatan Umum (general), merupakan asumsi bahwa organisasi publik dan privat itu tidak terlalu banyak memiliki perberbedaan.
# Pendekatan Umum (general), merupakan asumsi bahwa organisasi publik dan privat itu tidak terlalu banyak memiliki perberbedaan.
# Pendekatan Inti Ekonomi, merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai pada organisasi publik. Cara pandang pendekatan ini didasarkan pada sebuah perbedaan diantara negara dan pasar, yang digambarkan sebagai suatu bidang-bidang kehidupan dimana barang-barang publik diproduksi.
# Pendekatan Inti Ekonomi, merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai pada organisasi publik. Cara pandang pendekatan ini didasarkan pada sebuah perbedaan diantara negara dan pasar, yang digambarkan sebagai suatu bidang-bidang kehidupan dimana barang-barang publik diproduksi.
# Pendekatan Inti Politik, yaitu mengklaim bahwa organisasi publik memiliki sebuah pengaruh politik dan oleh karena itu, ia harus diposisikan sebagai sebuah entitas politik.
# Pendekatan Inti [[Politik]], yaitu mengklaim bahwa organisasi publik memiliki sebuah pengaruh politik dan oleh karena itu, ia harus diposisikan sebagai sebuah entitas politik.
# Pendekatan Normatif, merupakan kepanjangan tangan dari pendekatan inti politik. Tidak seperti pendekatan politik, pendekatan normatif tidak melihat secara netral peran politis dari suatu organisasi publik, namun lebih menekankan pada perannya dan dan bagaimana ia dapat memenuhi kepentingan publik.
# Pendekatan Normatif, merupakan kepanjangan tangan dari pendekatan inti politik. Tidak seperti pendekatan politik, pendekatan normatif tidak melihat secara netral peran politis dari suatu organisasi publik, namun lebih menekankan pada perannya dan dan bagaimana ia dapat memenuhi kepentingan publik.
# Pendekatan Dimensional, yaitu penggabungan antara pendekatan ekonomi dan pendekatan politik.
# Pendekatan Dimensional, yaitu penggabungan antara pendekatan ekonomi dan pendekatan politik.
Baris 18: Baris 21:
== Referensi ==
== Referensi ==
<references />
<references />

[[Kategori:Administrasi publik]]
[[Kategori:Pemerintahan]]
[[Kategori:Kebijakan publik]]

Revisi terkini sejak 6 Desember 2023 14.18

Kepublikan (Publicness: dalam bahasa Inggris), merujuk pada terwujudnya nilai-nilai yang berorientasi pada upaya mengedepankan kepentingan, kemanfaatan, dan kebutuhan publik (Dwiyanto, 2011: 203). Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam mengelola publicness masyarakat, sehingga segala kebijakan yang diformulasikan pemerintah akan senada dengan kebutuhan publik. Meski demikian, kenyataannya saat ini isu publicness tidak hanya sebatas pada pengelolaan public goods dan public interest oleh organisasi publik saja, melainkan sudah mulai terbaca melalui pengelolaan barang publik oleh organisasi non-publik (swasta/pasar) (Margono dkk, 2014: 11). Dengan demikian, organisasi sosial/kelompok masyarakat pun kini memiliki peranan penting dalam menunjang terwujudnya isu publicness di masyarakat.[1]

Sejak beberapa dekade ini, banyak para ahli yang tertarik membahas tentang kepublikan atau publicness. Menurut Bozeman dan Moulton (2011), Kepublikan mengacu pada suatu tingkatan dimana suatu organisasi dipengaruhi oleh otoritas politik. Istilah kata publicness pada awalnya tidak pernah benar-benar digunakan oleh para ilmuwan Ilmu Administrasi Publik pada awal abad ke-20, namun mereka memiliki suatu kerangka berpikir yang jelas bahwa organisasi haruslah digambarkan dalam kerangka perpaduan antara pengaruh politik dan ekonomi. Hal itu ditegaskan oleh Wamsley dan Zald (1970) dan juga Lindblom (1977).[2]

Konsep kepublikan harus melembaga dan membudaya sebagai orientasi dan nilai yang harus ditransformasikan oleh institusi publik, swasta, dan juga masyarakat dengan mengedepankan kepedulian dan engagement mereka pada urusan dan domain publik.[3]

Ada beberapa literatur Indonesia yang menyinggung tentang kepublikan dari segi pelayanan, seperti Islamy dalam Putra (2003:19). Ia mengatakan bahwa pengambil kebijakan harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh harapan yang cukup besar kepada administrator publiknya, yaitu dengan harapan agar administrator publik dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik. Dengan demikian, administrator publik perlu memiliki semangat kepublikan (the spirit of publicness).[2]

Jenis Kepublikan

[sunting | sunting sumber]

Menurut salah satu ahli yaitu Bozeman dan Moulton (2010) ia membagi publicness menjadi kepublikan empiris dan kepublikan normatif. Kepublikan empiris merujuk pada usaha untuk menjelaskan organisasi dan manajemennya, dengan memadukan pengaruh politik dan ekonomi pada suatu organisasi. Sedangkan kepublikan normatif didefinisikan sebagai sebuah pendekatan pada analisis nilai-nilai dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan mengenai otoritas ekonomi dan politik dari suatu institusi dan kebijakan-kebijakan lain adalah sebuah syarat dalam memahami potensi atas suatu institusi dan kebijakan dalam memenuhi nilai-nilai publik dan dalam rangka bekerja menuju idealisme kepentingan publik.[2]

Pendekatan Kepublikan

[sunting | sunting sumber]

Menurut pendapat Pesch (2009), ia mengkonstruksikan 5 pendekatan kepublikan yang berbeda, yaitu:[2]

  1. Pendekatan Umum (general), merupakan asumsi bahwa organisasi publik dan privat itu tidak terlalu banyak memiliki perberbedaan.
  2. Pendekatan Inti Ekonomi, merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai pada organisasi publik. Cara pandang pendekatan ini didasarkan pada sebuah perbedaan diantara negara dan pasar, yang digambarkan sebagai suatu bidang-bidang kehidupan dimana barang-barang publik diproduksi.
  3. Pendekatan Inti Politik, yaitu mengklaim bahwa organisasi publik memiliki sebuah pengaruh politik dan oleh karena itu, ia harus diposisikan sebagai sebuah entitas politik.
  4. Pendekatan Normatif, merupakan kepanjangan tangan dari pendekatan inti politik. Tidak seperti pendekatan politik, pendekatan normatif tidak melihat secara netral peran politis dari suatu organisasi publik, namun lebih menekankan pada perannya dan dan bagaimana ia dapat memenuhi kepentingan publik.
  5. Pendekatan Dimensional, yaitu penggabungan antara pendekatan ekonomi dan pendekatan politik.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "BAB I PENDAHULUAN. Publik, yang berasal dari bahasa Inggris public, bermakna khalayak - PDF Free Download". adoc.pub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-02-25. 
  2. ^ a b c d Reza, Izzul Fatchu (2016). "Redefinisi Publicness Dalam Ruang Lingkup Administrasi Publik di Indonesia". Kajian Ilmu Administrasi Negara. 4 (2). 
  3. ^ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas (26 Agustus 2021). "Konsep Kebijakan Harus Melembaga dan Membudaya". Diakses tanggal 25 Februari 2023.