Lompat ke isi

Keadilan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(11 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:SARAYE EHSAN24.jpg|jmpl|252x252px|Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam ({{harvnb|Engineer|1999|p=57–58}}).]]
[[Berkas:SARAYE EHSAN24.jpg|jmpl|252x252px|Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam ({{harvnb|Engineer|1999|p=57–58}}).]]
[[Islam]] awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, [[Al-Qur'an|Al-Quran]], sangat menentang [[struktur sosial]] yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi [[Makkah]] waktu itu sebagai tempat asal mula Islam. Agama yang dibawa oleh [[Muhammad]] tersebut lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama [[Agama Yahudi|Yahudi]], tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, [[keadilan]] untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat [[muslim]] untuk berlaku [[adil]] dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep [[ritual]], tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.
'''Keadilan dalam Islam''' tercermin dalam kandungan kitab sucinya, yaitu [[Al-Qur'an]]. Melalui kitab tersebut, Islam menentang [[struktur sosial]] yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi wilayah [[Makkah]] waktu itu sebagai tempat asal mula [[Islam]]. Agama yang dibawa oleh [[Muhammad]] tersebut lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama [[Agama Yahudi|Yahudi]], tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, [[keadilan]] untuk golongan [[masyarakat]] lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat [[muslim]] untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari [[Takwa|ketakwaan]]. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep [[ritual]], tetapi secara integral juga terkait dengan [[keadilan sosial]] dan [[ekonomi]].
<!--
<!--
Pemerintahan Islam sepeninggal [[Muhammad]] bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah ''empty shell'' (kerangka yang kosong). [[Kekhalifahan Umayyah]] dan [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi [[takwa]] menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap [[saleh]] adalah mereka yang mengajarkan [[salat]], membayar [[zakat]], dan menunaikan [[haji]]. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.
Pemerintahan Islam sepeninggal [[Muhammad]] bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah ''empty shell'' (kerangka yang kosong). [[Kekhalifahan Umayyah]] dan [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi [[takwa]] menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap [[saleh]] adalah mereka yang mengajarkan [[salat]], membayar [[zakat]], dan menunaikan [[haji]]. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.
Baris 6: Baris 6:
Selama [[Kekhalifahan Utsmaniyah]], khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi kepada segelintir orang. Seiring hal itu, Islam mulai kehilangan semangat karena para pemimpinnya terlena oleh kemakmuran. Melihat hal ini, seorang sahabat nabi bernama [[Abu Dzar Al-Ghifari]], memprotes kebijakan tersebut. Protesnya yang didasarkan kepada ayat Al-Qur’an secara tegas mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Ayat ini dikenal dengan ''ayah-e-kanz'' (ayat tentang penumpukan harta), yaitu Al-Qur'an [[Surah At-Taubah]] ayat ke-34–35.
Selama [[Kekhalifahan Utsmaniyah]], khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi kepada segelintir orang. Seiring hal itu, Islam mulai kehilangan semangat karena para pemimpinnya terlena oleh kemakmuran. Melihat hal ini, seorang sahabat nabi bernama [[Abu Dzar Al-Ghifari]], memprotes kebijakan tersebut. Protesnya yang didasarkan kepada ayat Al-Qur’an secara tegas mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Ayat ini dikenal dengan ''ayah-e-kanz'' (ayat tentang penumpukan harta), yaitu Al-Qur'an [[Surah At-Taubah]] ayat ke-34–35.
-->
-->

== Etimologi ==
== Konsep ==
{{cquote|''Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Tuhan. Dan, janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa''
{{cquote|''Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Tuhan. Dan, janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa''
––––– Al-Qur'an [[Surah Al-Maidah]] ayat ke-8|}}
––––– Al-Qur'an [[Surah Al-Maidah]] ayat ke-8|}}
[[Berkas:Scale of justice.png|jmpl|194x194px|Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban ({{harvnb|Sujarwa|2001|p=75}}).]]
[[Berkas:Scale of justice.png|jmpl|194x194px|Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban ({{harvnb|Sujarwa|2001|p=75}}).]]
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, mau tidak mau kita wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Hal ini disebabkan karena orang lain juga memiliki hak hidup yang sama pula. Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.{{sfnp|Sujarwa|2001|p=75|ps=}}
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara [[hak]] dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, mau tidak mau kita wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Hal ini disebabkan karena orang lain juga memiliki hak hidup yang sama pula. Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.{{sfnp|Sujarwa|2001|p=75|ps=}}


Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah ''<nowiki/>'adl'' dan ''qist''. ''<nowiki/>'Adl'' dalam [[bahasa Arab]] bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan ''sawiyyat''.{{sfnp|Cowan|1976|p=506|ps=}} Kata itu juga mengandung makna ''equalizing'' (penyamarataan) dan ''levelling'' (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata ''zulm'' dan ''jaur'' ([[Pidana|kejahatan]] dan [[penindasan]]). ''Qist'' mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. ''Taqassata'', salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. ''Qistas'', kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.{{sfnp|Cowan|1976|p=628|ps=}} Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ''‘adl'' dan ''qist'', yang mengandung makna distribusi merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta (dalam kasus tertentu diperbolehkan untuk kepentingan sosial).{{sfnp|Engineer|1999|p=60|ps=}}
Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah ''<nowiki/>'adl'' dan ''qist''. ''<nowiki/>'Adl'' dalam [[bahasa Arab]] bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan ''sawiyyat''.{{sfnp|Cowan|1976|p=506|ps=}} Kata itu juga mengandung makna ''equalizing'' (penyamarataan) dan ''levelling'' (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata ''zulm'' dan ''jaur'' ([[Pidana|kejahatan]] dan [[penindasan]]). ''Qist'' mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. ''Taqassata'', salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. ''Qistas'', kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.{{sfnp|Cowan|1976|p=628|ps=}} Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ''‘adl'' dan ''qist'', yang mengandung makna distribusi merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta (dalam kasus tertentu diperbolehkan untuk kepentingan sosial).{{sfnp|Engineer|1999|p=60|ps=}}
Baris 19: Baris 20:
Islam pun telah mengalami proses pembebasan dari pemikiran masa lampau para ulamanya yang konservatif dan menuju ke gerakan Islam modern.{{sfnp|Fuller|2010|p=156|ps=}} Jika seseorang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, dia akan menjumpai ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an [[Surah An-Najm]] ayat ke-39, manusia tidak akan mendapatkan sesuatu, kecuali yang telah diusahakannya. Berdasarkan ungkapan tersebut, seluruh model [[produksi]] yang kapitalistik tidak berlaku karena yang menjadi pemilik sebenarnya adalah [[produsen]], bukan pemilik alat-alat produksi.{{sfnp|Engineer|1999|p=61|ps=}}
Islam pun telah mengalami proses pembebasan dari pemikiran masa lampau para ulamanya yang konservatif dan menuju ke gerakan Islam modern.{{sfnp|Fuller|2010|p=156|ps=}} Jika seseorang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, dia akan menjumpai ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an [[Surah An-Najm]] ayat ke-39, manusia tidak akan mendapatkan sesuatu, kecuali yang telah diusahakannya. Berdasarkan ungkapan tersebut, seluruh model [[produksi]] yang kapitalistik tidak berlaku karena yang menjadi pemilik sebenarnya adalah [[produsen]], bukan pemilik alat-alat produksi.{{sfnp|Engineer|1999|p=61|ps=}}


Namun demikian, harus diketahui bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, feodal, atau kapitalistik. Kitab tersebut berisikan berbagai ''value-oriented declarations'' (pernyataan berorientasi kepada nilai). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi, sesuatu yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan kepada nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Kitab ini juga tidak membingkai kreativitas manusia. Manusia diperingatkan agar tidak sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.{{sfnp|Engineer|1999|p=61|ps=}}
Namun demikian, harus diketahui bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah [[esai]] tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, [[Feodalisme|feodal]], atau [[Kapitalisme|kapitalistik]]. Kitab tersebut berisikan berbagai ''value-oriented declarations'' (pernyataan berorientasi kepada nilai). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi, sesuatu yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan kepada nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Kitab ini juga tidak membingkai kreativitas manusia. Manusia diperingatkan agar tidak sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.{{sfnp|Engineer|1999|p=61|ps=}}
<!--
<!--
== Keadilan dalam Bidang Agrikultur ==
== Keadilan dalam Bidang Agrikultur ==
Baris 60: Baris 61:
Jika kita mengamati zaman permulaan, sangat mudah dilihat bahwa sesungguhnya Islam terbagi menjadi tiga, yakni kekuasaan, keadilan dan cinta. Ortodoksi Suni memilih kekuasaan, Syi’ah keadilan dan Sufi cinta dan asketisme. Namun demikian, menurut pendapat saya, sulit untuk membuat kategorisasi yang rigid secara tepat. Tidak ada sejarah manusia yang dapat dikategorikan secara sangat ketat. Namun orang bisa saja mengatakan bahwa mosaik sejarah Islam diwarnai dengan perjuangan untuk kekuasaan, keadilan dan cinta, dan polanya selalu didominasi oleh kekuasaan.
Jika kita mengamati zaman permulaan, sangat mudah dilihat bahwa sesungguhnya Islam terbagi menjadi tiga, yakni kekuasaan, keadilan dan cinta. Ortodoksi Suni memilih kekuasaan, Syi’ah keadilan dan Sufi cinta dan asketisme. Namun demikian, menurut pendapat saya, sulit untuk membuat kategorisasi yang rigid secara tepat. Tidak ada sejarah manusia yang dapat dikategorikan secara sangat ketat. Namun orang bisa saja mengatakan bahwa mosaik sejarah Islam diwarnai dengan perjuangan untuk kekuasaan, keadilan dan cinta, dan polanya selalu didominasi oleh kekuasaan.
-->
-->
== Cakupan ==
Keadilan dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan urusan [[akhirat]], melainkan pula urusan [[dunia]]. Keadilan memerlukan adanya sesuatu yang benar dan salah. Selain itu, keadilan juga tidak dapat ditetapkan jika tidak ada kezaliman yang dilakukan.{{Sfn|asy-Sya'rawi|2007|p=27}}

== Hak mengadili ==
Keadilan dalam Islam secara hakiki didasari langsung oleh [[syariat Islam]] yang ditetapkan oleh Allah. Sumber keadilan dalam Islam yang utama tidak berasal dari kehendak [[hakim]] ataupun penguasa. Hal ini karena keadilan yang berdasarkan kepada kehendak hakim atau penguasa tidak menjamin terciptanya suasana yang damai, tenteram, dan membahagiakan bagi masyarakat. Manusia yang beriman di dalam Islam menerapkan prinsip bahwa hanya pedoman dari Allah yang dapat digunakan untuk mengadili manusia. Sedangkan manusia tidak dapat mengadili sesamanya manusia.{{Sfn|asy-Sya'rawi|2007|p=26-27}}

Pengadilan yang dilakukan oleh Allah tidak dapat ditandingi oleh hakim. Hal ini karena keadilan merupakan salah satu sifat dari [[Tauhid Asmaa' dan Sifat|sifat-sifat Allah]]. Tidak seorang pun yang dapat menyamai keadilan dari Allah. Allah dapat memberikan keadilan secara sempurna, sedangkan manusia tidak mampu melakukannya. Isyarat mengenai hal tersebut disebutkan dalam firman Allah pada Surah Ali Imran ayat 182. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak menzalimi para hambaNya. Keadilan Allah juga disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 286. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.{{Sfn|asy-Sya'rawi|2007|p=27}}

Dalam [[Surah An-Nisa’|Surah An-Nisa']] ayat 129, Allah memberikan peringatan kepada manusia mengenai ketidakmampuannya dalam berlaku adil. Ayat ini secara khusus menyatakan ketidakmampuan berlaku adil oleh [[suami]] terhadap [[istri]]-istrinya. Penyebabnya adalah adanya kecenderungan untuk lebih mencintai salah satu di antara istrinya dibandingkan istri yang lainnya. Keadilan Allah dalam hal ini disebutkan di bagian akhir dari ayat tersebut, yaitu perintah kepada suami untuk mengadakan perbaikan dan pemeliharaan dirinya dari ketidak-adilan kepada para istrinya.{{Sfn|asy-Sya'rawi|2007|p=27}}


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==
Baris 68: Baris 78:


== Rujukan ==
== Rujukan ==
<references />


== Daftar pustaka ==
=== Catatan kaki ===
{{reflist|2}}

=== Daftar pustaka ===

* {{Cite book|last=asy-Sya'rawi|first=M. Mutawalli|date=2007|title=Anda Bertanya Islam Menjawab|location=Jakarta|publisher=Gema Insani|isbn=978-602-250-866-3|editor-last=Basyarahil, U., dan Legita, I. R.|translator-last=al-Mansur|translator-first=Abu Abdillah|ref={{sfnref|asy-Sya'rawi|2007}}|url-status=live}}
{{refbegin|1}}
{{refbegin|1}}
* {{Cite book |ref=harv |last=Abu al-Khail |first=Sulaiman Abdullah Hamud |year=2014 |title=Sumber-sumber Agama Islam: Keutamaan dan Keistimewaannya (Inilah Islam) |location=Jakarta |publisher=Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab |translator=Budiansyah dkk.}}
'''Buku'''
* {{Cite book|last=Cowan|first=J. Milton|year=1976|title=A Dictionary of Modern Written Arabic|location=New York|publisher=Otto Harrassowitz Verlag|isbn=978-344-7020-02-2|page=|ref={{sfnref|Cowan|1976}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Cowan|first=J. Milton|year=1976|title=A Dictionary of Modern Written Arabic|location=New York|publisher=Otto Harrassowitz Verlag|isbn=978-344-7020-02-2|page=|ref={{sfnref|Cowan|1976}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Engineer|first=Asghar Ali|year=1999|title=Islam dan Teologi Pembebasan|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9289-01-8|page=|ref={{sfnref|Engineer|1999}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Engineer|first=Asghar Ali|year=1999|title=Islam dan Teologi Pembebasan|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9289-01-8|page=|ref={{sfnref|Engineer|1999}}|url-status=live}}

Revisi terkini sejak 5 Januari 2024 00.44

Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam (Engineer 1999, hlm. 57–58).

Keadilan dalam Islam tercermin dalam kandungan kitab sucinya, yaitu Al-Qur'an. Melalui kitab tersebut, Islam menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi wilayah Makkah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam. Agama yang dibawa oleh Muhammad tersebut lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi, tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat muslim untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.

Konsep[sunting | sunting sumber]

Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban (Sujarwa 2001, hlm. 75).

Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, mau tidak mau kita wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Hal ini disebabkan karena orang lain juga memiliki hak hidup yang sama pula. Keadilan pada dasarnya terletak dalam keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[1]

Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah 'adl dan qist. 'Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat.[2] Kata itu juga mengandung makna equalizing (penyamarataan) dan levelling (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Qistas, kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.[3] Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ‘adl dan qist, yang mengandung makna distribusi merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta (dalam kasus tertentu diperbolehkan untuk kepentingan sosial).[4]

Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya di dalam Al-Qur'an yang mempunyai pengertian sama, yaitu Surah Al-Hasyr ayat ke-7, Surah Al-Baqarah ayat ke-219, dan Surah Al-Isra' ayat ke-16. Islam tidak saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda, dan anak yatim), tetapi juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sedangkan banyak masyarakat miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupakan tindakan jahat dan mengganggu social balance (keseimbangan sosial). Keadilan di dalam Al-Qur’an bukan berarti hanya rule of law (norma hukum) saja, tetapi juga keadilan yang distributif – menurut Sokrates, hukum seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat.[4] Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga apabila social wealth (kekayaan sosial) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak semestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut.[5] Hal itu hanya akan mengarah kepada kehancuran masyarakat secara, sebagaimana telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.[6] Selain itu, wujud cinta kepada sesama – yang juga wujud cinta kepada Tuhan – bisa ditunjukkan melalui keterlibatan dalam pelayanan sosial kemasyarakatan, pengembangabn ekonomi, dan ilmu pengetahuan demi terbentuknya masyarakat yang adil dan sejahtera.[7]

Menurut Al-Qur’an Surah An-Najm ayat ke-39, manusia tidak akan mendapatkan sesuatu, kecuali yang telah diusahakannya. Berdasarkan ungkapan tersebut, seluruh model produksi yang kapitalistik tidak berlaku karena yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi (Engineer 1999, hlm. 61).

Islam pun telah mengalami proses pembebasan dari pemikiran masa lampau para ulamanya yang konservatif dan menuju ke gerakan Islam modern.[8] Jika seseorang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, dia akan menjumpai ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an Surah An-Najm ayat ke-39, manusia tidak akan mendapatkan sesuatu, kecuali yang telah diusahakannya. Berdasarkan ungkapan tersebut, seluruh model produksi yang kapitalistik tidak berlaku karena yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi.[9]

Namun demikian, harus diketahui bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, feodal, atau kapitalistik. Kitab tersebut berisikan berbagai value-oriented declarations (pernyataan berorientasi kepada nilai). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi, sesuatu yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan kepada nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Kitab ini juga tidak membingkai kreativitas manusia. Manusia diperingatkan agar tidak sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.[9]

Cakupan[sunting | sunting sumber]

Keadilan dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan urusan akhirat, melainkan pula urusan dunia. Keadilan memerlukan adanya sesuatu yang benar dan salah. Selain itu, keadilan juga tidak dapat ditetapkan jika tidak ada kezaliman yang dilakukan.[10]

Hak mengadili[sunting | sunting sumber]

Keadilan dalam Islam secara hakiki didasari langsung oleh syariat Islam yang ditetapkan oleh Allah. Sumber keadilan dalam Islam yang utama tidak berasal dari kehendak hakim ataupun penguasa. Hal ini karena keadilan yang berdasarkan kepada kehendak hakim atau penguasa tidak menjamin terciptanya suasana yang damai, tenteram, dan membahagiakan bagi masyarakat. Manusia yang beriman di dalam Islam menerapkan prinsip bahwa hanya pedoman dari Allah yang dapat digunakan untuk mengadili manusia. Sedangkan manusia tidak dapat mengadili sesamanya manusia.[11]

Pengadilan yang dilakukan oleh Allah tidak dapat ditandingi oleh hakim. Hal ini karena keadilan merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah. Tidak seorang pun yang dapat menyamai keadilan dari Allah. Allah dapat memberikan keadilan secara sempurna, sedangkan manusia tidak mampu melakukannya. Isyarat mengenai hal tersebut disebutkan dalam firman Allah pada Surah Ali Imran ayat 182. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak menzalimi para hambaNya. Keadilan Allah juga disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 286. Ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.[10]

Dalam Surah An-Nisa' ayat 129, Allah memberikan peringatan kepada manusia mengenai ketidakmampuannya dalam berlaku adil. Ayat ini secara khusus menyatakan ketidakmampuan berlaku adil oleh suami terhadap istri-istrinya. Penyebabnya adalah adanya kecenderungan untuk lebih mencintai salah satu di antara istrinya dibandingkan istri yang lainnya. Keadilan Allah dalam hal ini disebutkan di bagian akhir dari ayat tersebut, yaitu perintah kepada suami untuk mengadakan perbaikan dan pemeliharaan dirinya dari ketidak-adilan kepada para istrinya.[10]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sujarwa (2001), hlm. 75
  2. ^ Cowan (1976), hlm. 506
  3. ^ Cowan (1976), hlm. 628
  4. ^ a b Engineer (1999), hlm. 60
  5. ^ Situmorang (2013), hlm. 64–65
  6. ^ Engineer (1999), hlm. 60–61
  7. ^ Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. 103
  8. ^ Fuller (2010), hlm. 156
  9. ^ a b Engineer (1999), hlm. 61
  10. ^ a b c asy-Sya'rawi 2007, hlm. 27.
  11. ^ asy-Sya'rawi 2007, hlm. 26-27.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2007). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. ISBN 978-602-250-866-3. 
  • Abu al-Khail, Sulaiman Abdullah Hamud (2014). Sumber-sumber Agama Islam: Keutamaan dan Keistimewaannya (Inilah Islam). Diterjemahkan oleh Budiansyah dkk. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab. 
  • Cowan, J. Milton (1976). A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-344-7020-02-2. 
  • Engineer, Asghar Ali (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9289-01-8. 
  • Fuller, Graham E. (2010). Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? Sebuah Narasi Sejarah Alternatif. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4338-55-1. 
  • Garaudy, Roger, dkk (2008). Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran. Yogyakarta: Citra Griya Aksara Hikmah. ISBN 978-979-2607-15-4. 
  • Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  • Sarbini (2005). Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. ISBN 979-979-3921-23-4. 
  • Situmorang, Abdul Wahib (2013). Gerakan Sosial: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-2292-30-2. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]