Lompat ke isi

Pujo Sumarto: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(35 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox officeholder
'''Ki Pujo Sumarto''' adalah seorang seniman pedalangan [[Wayang kulit purwa|wayang kulit purwa]] gaya [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang dilahirkan pada tanggal [[21 Juli]] [[1903]] di [[Kabupaten Klaten|Klaten, Jawa Tengah]]<ref>{{Cite web|url=https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/124572/somokaton-jadi-kawasan-cagar-budaya-seni-wayang|title=Somokaton Jadi Kawasan Cagar Budaya Seni Wayang|last=Kisawa|first=Wisnu|date=|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}</ref> dan meninggal pada tanggal [[9 Desember]] [[1978]] di Makam Desa Gergunung, [[Ketandan, Klaten Utara, Klaten|Kecamatan Ketandan, Kabupaten Klaten]]. Dia merupakan putra dari Kyai Warnodiyoso yang juga seorang seniman [[Dalang|pedalangan]] gaya [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Ki Pujo Sumarto memperoleh pendidikan seni [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]] di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka di bawah asuhan Raden Ngabehi (R. Ng.) Atmocendono, Raden Mas Ngabehi (R.M. Ng.) Dutodilogo, Raden Lurah (R.L.) Mloyosudiro, R.L. Darmoperdonggo, R.L. Darmowiyogo, dan R.L. Jogopradongo. Karirnya sebagai [[dalang]] dimulainya sejak kecil. Pada awalnya, dia mendalang di desanya sendiri kemudian ke tingkat kabupaten dan kota-kota besar lainnya di [[Jawa|Pulau Jawa]].<ref name=":0">{{Cite journal|last=Suhatno|first=|date=Desember 2007|title=Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni Pedalangan|url=|journal=Jantra|volume=Vol. 2, No. 4|issue=|doi=|issn=1907-9605|pmid=|access-date=}}</ref>
| honorific_prefix =
| name = Pujo Sumarto
| native_name = <!--The person's name in their own language, if different.-->
| native_name_lang = <!--ISO 639-1 code, e.g., "fr" for French. If more than one, use {{lang}} in |native_name= instead.-->
| honorific_suffix =
| image =
| image_size = 170px
| image_upright =
| smallimage = <!--If this is specified, "image" should not be.-->
| smallimage_alt =
| alt =
| caption =
| order =
| office = Dalang wayang kulit purwa
| term_start = 19
| term_end = 19
| monarch =
| predecessor = *
| successor = *
| birth_name = Sudirman
| birth_date = 21 Juli 1903
| birth_place = [[Somopuro, Jogonalan, Klaten|Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten]], [[Hindia Belanda]]
| death_date = 9 Desember 1978
| death_place = {{Flagicon|Indonesia}} [[Klaten]], [[Indonesia]]
| death_cause = Kesehatan
| resting_place =
| resting_place_coordinates =
| citizenship =
| nationality =
| spouse =
| partner = <!--For those with a domestic partner and not married-->
| relations =
| children =
| parents = <!-- overrides mother and father parameters -->
| mother = Nama tidak diketahui <!-- may be used (optionally with father parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
| father = Warnodiyoso <!-- may be used (optionally with mother parameter) in place of parents parameter (displays "Parent(s)" as label) -->
| relatives =
| residence =
| education =
| alma_mater =
| profession = * Dalang
| known_for = Dalang wayang kulit purwa
| salary =
| net_worth = <!-- Net worth should be supported with a citation from a reliable source -->
| cabinet =
| committees =
| portfolio =
| awards = <!-- For civilian awards - appears as "Awards" if |mawards= is not set -->
}}
'''Pujo Sumarto''' (21 Juli 1903–9 Desember 1978) adalah seorang [[dalang]] [[wayang kulit purwa]] gaya [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1903 di [[Kabupaten Klaten|Klaten, Jawa Tengah]] dan meninggal pada tanggal 9 Desember 1978 di Makam Desa Gergunung, [[Ketandan, Klaten Utara, Klaten|Kecamatan Ketandan, Kabupaten Klaten]]. Dia merupakan putra dari Kyai Warnodiyoso yang juga seorang seniman pedalangan gaya [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Ki Pujo Sumarto memperoleh pendidikan seni pedalangan dan karawitan di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka di bawah asuhan Raden Ngabehi (R. Ng.) Atmocendono, Raden Mas Ngabehi (R.M. Ng.) Dutodilogo, Raden Lurah (R.L.) Mloyosudiro, R.L. Darmoperdonggo, R.L. Darmowiyogo, dan R.L. Jogopradongo. Kariernya sebagai dalang dimulainya sejak kecil. Pada awalnya, dia mendalang di desanya sendiri kemudian ke tingkat kabupaten dan kota-kota besar lainnya di [[Jawa|Pulau Jawa]].


Ki Dalang Raden Tjioe Bian Djiang atau [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]] ([[dalang]] peranakan [[Republik Rakyat Tiongkok|China]] yang berasal dari [[Kabupaten Nganjuk]]) secara tidak langsung juga belajar pada Ki Pujo Sumarto. Ki Pujo Sumarto merupakan salah satu dalang panutan Widayat Djiang. Dia banyak menyerap ilmu tentang pedalangan dari Ki Pujo Sumarto dengan selalu menyaksikannya saat pentas. Selain memberikan hiburan, Ki Pujo Sumarto mampu mengedukasi penonton dan konsisten menjaga ''pakem''<ref>''Pakem'' dalam pertunjukan seni wayang kulit menjadi hal pokok yang tidak boleh diabaikan oleh para dalang.</ref> (teknis ''pakeliran'')<ref>Di dalam seni pakeliran, wayang berfungsi sebagai gambar pelaku yang dimainkan oleh dalang pada layar putih terbentang di atas batang pisang yang disebut dengan ''kelir''. Lihat: Soekatno, B.A. (1992). hlm. 7.</ref> dalam pertunjukan wayangnya. Kekaguman Widayat Djiang kepada Ki Pujo Sumarto lebih disebabkan karena tingkat keilmuan yang dimiliki oleh Ki Pujo Sumarto. Kemampuannya dalam meramu hiburan dan tuntunan dalam pertunjukan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi Widayat Djiang. Dalam menggali ilmu pedalangan pada Ki Pujo Sumarto, Widayat Djiang tidak hanya berhenti dalam menyaksikan pagelarannya saja, namun juga sering datang ke rumahnya. Widayat Djiang bahkan pernah meminta saran dan dukungan kepada Ki Pujo Sumarto ketika diminta [[Soekarno|Ir. Soekarno]] untuk mengisi acara di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]].
Nama Ki Pujo Sumarto sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat [[Indonesia]], khususnya yang berkecimpung di dalam bidang seni [[Dalang|pedalangan]]. Ketenaran namanya disebabkan oleh pengabdiannya yang begitu tinggi dalam bidang [[Dalang|pedalangan]]. Selain itu, dapat dikatakan bahwa seluruh hidup Ki Pujo Sumarto dipersembahkan pada kesenian tersebut.<ref name=":1" />


== Latar belakang ==
Ki Dalang Raden Tjioe Bian Djiang atau [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]] ([[dalang]] peranakan [[Republik Rakyat Tiongkok|China]] yang berasal dari [[Kabupaten Nganjuk]])<ref>{{Cite news|url=http://arsip.galeri-nasional.or.id/uploads/kliping/4903/_MG_101667.pdf|title=Widayat Djiang: Mendalang dengan Gerakan Kungfu|last=Santosa|first=Iwan|date=25 Januari 2012|work=|type=Kliping|access-date=|via=Kompas}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/biografi-widayat-djiang-sebuah-sketsa-kehidupan-dalang-peranakan-tionghoa/|title=Biografi Widayat Djiang “Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa”|last=Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|first=|date=|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}</ref> secara tidak langsung juga belajar pada Ki Pujo Sumarto.<ref>{{Cite web|url=https://www.tembi.net/2018/06/05/widayat-djiang-dalang-peranakan-tionghoa/|title=Widayat Djiang, Dalang Peranakan Tionghoa|last=Kusalamani|first=|date=|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}</ref> Ki Pujo Sumarto merupakan salah satu [[dalang]] panutan [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]]. Dia banyak menyerap ilmu tentang [[Dalang|pedalangan]] dari Ki Pujo Sumarto dengan selalu menyaksikannya saat pentas. Selain memberikan hiburan, Ki Pujo Sumarto mampu mengedukasi penonton dan konsisten menjaga ''pakem''<ref>''Pakem'' dalam pertunjukan seni wayang kulit menjadi hal pokok yang tidak boleh diabaikan oleh para dalang.</ref> (teknis ''pakeliran'')<ref>Di dalam seni pakeliran, wayang berfungsi sebagai gambar pelaku yang dimainkan oleh dalang pada layar putih terbentang di atas batang pisang yang disebut dengan ''kelir''. Lihat: Soekatno, B.A. (1992). hlm. 7.</ref> dalam pertunjukan wayangnya. Kekaguman [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]] kepada Ki Pujo Sumarto lebih disebabkan karena tingkat keilmuan yang dimiliki oleh Ki Pujo Sumarto. Kemampuannya dalam meramu hiburan dan tuntunan dalam pertunjukan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]]. Dalam menggali ilmu [[Dalang|pedalangan]] pada Ki Pujo Sumarto, [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]] tidak hanya berhenti dalam menyaksikan pagelarannya saja, namun juga sering datang ke rumahnya. [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]] bahkan pernah meminta saran dan dukungan kepada Ki Pujo Sumarto ketika diminta [[Soekarno|Ir. Soekarno]] untuk mengisi acara di [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]].<ref>Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 35.</ref>

== Latar Belakang ==


=== Keluarga ===
=== Keluarga ===
Ki Pujo Sumarto merupakan [[dalang]] anak yang muncul ke publik pertama kali pada tahun [[1910-an]] dengan nama asli Sudirman.<ref name=":1" /> Dia lahir pada hari Selasa Pon tanggal 25 Rabiulakhir 1833 atau tanggal [[21 Juli]] [[1903]] di Dukuh Sawahan, Desa Somopuro, [[Gantiwarno, Klaten|Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten]]. Sudirman merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Adapun keempat anak-anak dari Kyai Warnodiyoso antara lain: Sudirman, Ratri, Darmi (meninggal ketika masih kecil), dan Tuwirat. Menurut silsilahnya, ayah Sudirman merupakan keturunan ketujuh dari [[Amangkurat I|Sunan Amangkurat I]].<ref name=":0" /> Adapun urutannya adalah sebagai berikut:
Pujo adalah putra dari dalang wayang kulit purwa bernama Warnodiyoso. Dia dilahirkan pada 21 Juli 1903 di Dukuh Sawahan, [[Somopuro, Jogonalan, Klaten|Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten]] dengan nama Sudirman. Dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang memiliki adik-adik bernama Ratri, Darmi (meninggal dunia saat masih kecil), dan Tuwirat. Menurut silsilahnya, ayahnya merupakan keturunan ketujuh dari [[Amangkurat IV|Sunan Amangkurat IV]], dengan urutannya, yaitu Sunan Amangkurat IV memiliki putri bernama Raden Ayu Megatsari, Raden Ayu Megatsari memiliki putra bernama K.R.T. Lembusari, K.R.T. Lembusari memiliki putra bernama R. Tirtolesono atau Mertoyoso, Mertoyoso memiliki putra bernama Mentokaryo, Mentokaryo memiliki putra bernama Mentodiryo, dan Mentodiryo memiliki putra bernama Warnodiyoso.

# [[Amangkurat I|Sunan Amangkurat I]] memiliki putri bernama Raden Ayu Megatsari.
# Raden Ayu Megatsari memiliki putra bernama K.R.T. Lembusari.
# K.R.T. Lembusari memiliki putra bernama R. Tirtolesono atau Kyai Mertoyoso.
# Kyai Mertoyoso memiliki putra bernama Kyai Mentokaryo.
# Kyai Mentokaryo memiliki putra bernama Kyai Mentodiryo.
# Kyai Mentodiryo memiliki putra bernama Kyai Warnodiyoso.<ref name=":0" />

=== Pendidikan ===
Setelah berusia delapan tahun, Sudirman dimasukkan ke sekolah ''[[Tweede Inlandsche School]]'' atau ''[[Tweede Inlandsche School|Sekolah Ongko Loro]]'' di desanya, namun dia lebih sering tidak masuk sekolah dan terpaksa keluar sekolah karena selalu ikut ayahnya mendalang. Sudirman selalu diserahi tugas oleh ayahnya sebagai penabuh gendang.<ref name=":0" /> Sejak keluar dari sekolah, Sudirman selalu berusaha menambah pengetahuan seni [[dalang]] dengan belajar sendiri di rumahnya. Pendidikan Sudirman dalam bidang seni [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]] diperolehnya sejak kecil dari ayahnya maupun secara otodidak, sedangkan dalam bidang kebatinan diperolehnya dari tokoh spiritual [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang bernama Eyang Mangkubumen. Hal inilah yang menyebabkan Sudirman sejak kecil sudah dapat mendalang dan memukul [[Gamelan Jawa|gamelan]].

Sudirman akhirnya memutuskan untuk masuk ke sekolah [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]] di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka untuk terus mengasah pendidikannya dalam bidang seni [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]]. Di sekolah tersebut, Sudirman berhasil menyelesaikan pendidikan seni [[Dalang|pedalangan]] dengan mendapatkan diploma [[dalang]] pangkat dua.<ref name=":0" />

== Pernikahan ==
Sudirman menikah pertama kali pada tahun [[1924]] dengan perempuan bernama Suliyem di Desa Plembon, [[Kabupaten Klaten]]. Setelah menikah, namanya kemudian diganti dengan Pujo Sumarto. Suliyem pun tidak lama dalam mendampingi Pujo Sumarto karena pada tahun [[1925]] dia meninggal ketika melahirkan. Pujo Sumarto lantas menikah kembali untuk kedua kalinya pada tahun [[1926]] dengan perempuan bernama Samiyem yang berasal dari Desa Ngingas, [[Kabupaten Klaten]].<ref name=":0" /> Dari hasil pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 10 orang anak, yaitu:


=== Pernikahan ===
# Suyanto, setelah dewasa bernama Ki Hagnyocarito dan menjadi seorang [[dalang]].
Sudirman menikah pertama kali pada tahun 1924 dengan perempuan bernama Suliyem di Desa Plembon, Kabupaten Klaten. Setelah menikah, namanya kemudian diganti dengan Pujo Sumarto. Suliyem pun tidak lama dalam mendampingi Pujo Sumarto karena pada tahun 1925 dia meninggal ketika melahirkan. Pujo Sumarto lantas menikah kembali untuk kedua kalinya pada tahun 1926 dengan perempuan bernama Samiyem yang berasal dari Desa Ngingas, Kabupaten Klaten. Dari hasil pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 11 orang anak, yaitu:
# Suprapti, setelah dewasa menikah dengan seorang [[dalang]] dari Kartasura bernama [[Ki Donocarito]].
# Suyanto, setelah dewasa bernama Ki Hagnyocarito dan menjadi seorang dalang.
# Suprapti, setelah dewasa menikah dengan seorang dalang dari Kartasura bernama [[Ki Donocarito]].
# Waluyo, meninggal saat masih kecil.
# Waluyo, meninggal saat masih kecil.
# Sahadati, bekerja sebagai guru sekolah dasar di Bareng Lor, Klaten.
# Sahadati, bekerja sebagai guru sekolah dasar di Bareng Lor, Klaten.
# Hastuti, meninggal saat masih kecil.
# Hastuti, meninggal saat masih kecil.
# Subagyo, setelah dewasa bernama Ki Pujotaryono dan menjadi seorang dalang serta pegawai di Kantor [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Dinas Pendidikan dan Kebudayaan]] [[Kabupaten Klaten]].
# Subagyo, setelah dewasa bernama Ki Pujotaryono dan menjadi seorang dalang serta pegawai di Kantor [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Dinas Pendidikan dan Kebudayaan]] [[Kabupaten Klaten]].
# Ir. Sri Hartati, bekerja sebagai pegawai pegawai di Kantor [[Kementerian Pertanian Republik Indonesia|Dinas Pertanian]] [[Kabupaten Pati]].
# Ir. Sri Hartati, bekerja sebagai pegawai pegawai di Kantor [[Kementerian Pertanian Republik Indonesia|Dinas Pertanian]] [[Kabupaten Pati]].
# Sri Handayani, S.H., bekerja sebagai pegawai di Kantor [[Kota Malang|Kotamadya Malang]].
# Sri Handayani, S.H., bekerja sebagai pegawai di Kantor [[Kota Malang|Kotamadya Malang]].
# Sri Daruki.
# Sutopo Mulyo Widodo, S.H., setelah dewasa dia ''nunggak semi'' (mengambil nama ayahnya) dan bernama sama, yaitu Ki Pujo Sumarto. Dia bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum [[Universitas Sebelas Maret|Universitas Sebelas Maret Surakarta]] (sekarang bernama [[Universitas Sebelas Maret|Universitas Negeri Surakarta]]).
# Sutopo Mulyo Widodo, S.H., setelah dewasa dia ''nunggak semi'' (mengambil nama ayahnya) dan bernama sama, yaitu Ki Pujo Sumarto. Dia bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum [[Universitas Sebelas Maret|Universitas Sebelas Maret Surakarta]] (sekarang bernama [[Universitas Sebelas Maret|Universitas Negeri Surakarta]]).
# Ir. Yuwono Sri Suwito, setelah dewasa bernama Ki Pujosugrito dan menjadi seorang [[dalang]].<ref name=":0" />
# Ir. Yuwono Sri Suwito, setelah dewasa bernama Ki Pujosugrito dan menjadi seorang [[dalang]].

== Pendidikan ==
Setelah berusia delapan tahun, Sudirman dimasukkan ke sekolah ''[[Tweede Inlandsche School]]'' atau ''[[Tweede Inlandsche School|Sekolah Ongko Loro]]'' di desanya, namun dia lebih sering tidak masuk sekolah dan terpaksa keluar sekolah karena selalu ikut ayahnya mendalang. Sudirman selalu diserahi tugas oleh ayahnya sebagai penabuh gendang. Sejak keluar dari sekolah, Sudirman selalu berusaha menambah pengetahuan seni [[dalang]] dengan belajar sendiri di rumahnya. Pendidikan Sudirman dalam bidang seni [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]] diperolehnya sejak kecil dari ayahnya maupun secara otodidak, sedangkan dalam bidang kebatinan diperolehnya dari tokoh spiritual [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang bernama Eyang Mangkubumen. Hal inilah yang menyebabkan Sudirman sejak kecil sudah dapat mendalang dan memukul [[Gamelan Jawa|gamelan]].

Sudirman akhirnya memutuskan untuk masuk ke sekolah [[Dalang|pedalangan]] dan [[karawitan]] di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka untuk terus mengasah pendidikannya dalam bidang seni pedalangan dan [[karawitan]]. Di sekolah tersebut, Sudirman berhasil menyelesaikan pendidikan seni pedalangan dengan mendapatkan diploma dalang pangkat dua.


== Pengabdian ==
== Pengabdian ==
Ketenaran Sudirman sebagai [[dalang]] [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] dirintisnya dari bawah dengan penuh ''prihatin'' dan ''laku''.<ref>Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 36.</ref> Kehadirannya pada awalnya belum diterima secara penuh oleh sebagian masyarakat, bahkan permainannya pernah dihentikan dengan alasan anak kecil belum sepantasnya mendalang. Hal tersebut tidak membuat kecil hati Sudirman, dirinya tetap bersemangat dan berhasil menjadi [[dalang]] terkenal hingga akhir hayatnya ([[9 Desember]] [[1978]]) dengan nama Ki Pujo Sumarto.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Junaidi|first=|date=November 2014|title=Dalang Anak dalam Pertunjukan Wayang|url=|journal=Jurnal Kajian Seni|volume=Vol. 1, No. 1|issue=|doi=|issn=2356-3001|pmid=|access-date=}}</ref>


Pujo merupakan dalang anak yang muncul ke publik pertama kali pada 1910-an dengan nama asli Sudirman. Ketenaran Sudirman sebagai dalang wayang kulit purwa dirintisnya dari bawah dengan penuh ''prihatin'' dan ''laku''. Kehadirannya pada awalnya belum diterima secara penuh oleh sebagian masyarakat, bahkan permainannya pernah dihentikan dengan alasan anak kecil belum sepantasnya mendalang. Hal tersebut tidak membuat kecil hati Sudirman, dirinya tetap bersemangat dan berhasil menjadi dalang terkenal hingga akhir hayatnya (9 Desember 1978) dengan nama Ki Pujo Sumarto.
Seperti layaknya para [[dalang]] lainnya, Ki Pujo Sumarto juga memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan kecakapan, keahlian, spesialisasi, dan orientasi. Dia mampu mempertunjukkan [[wayang]] dalam perspektif ajaran kesempurnaan hidup<ref>Sastroamidjojo, Seno. (1964). hlm. 90-92.</ref> serta memiliki sikap ''gendhèng'' (menguasai lagu)'', gendhing'' (menguasai gending dari pengetahuan dan garapannya)'', gendheng'' (piawai melucu atau melawak)'', gendhung'' (percaya diri), dan ''gendhang'' (jelas suaranya).<ref>Darsomartono, S. (1978). hlm. 22-23.</ref>


Seperti layaknya para dalang lainnya, Ki Pujo Sumarto juga memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan kecakapan, keahlian, spesialisasi, dan orientasi. Dia mampu mempertunjukkan wayang dalam perspektif ajaran kesempurnaan hidup serta memiliki sikap ''gendhèng'' (menguasai lagu)'', gendhing'' (menguasai gending dari pengetahuan dan garapannya)'', gendheng'' (piawai melucu atau melawak)'', gendhung'' (percaya diri), dan ''gendhang'' (jelas suaranya).
Pada tahun [[1933]], Ki Pujo Sumarto diundang oleh seorang pengusaha perkebunan [[Belanda]] di [[Kabupaten Klaten|Klaten]] untuk mendalang. Adapun tujuan pengusaha perkebunan tersebut mengadakan pentas [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] itu untuk minta hujan. Hal ini disebabkan musim kemarau pada waktu itu terlalu panjang, sehingga daerah pertanian dan perkebunan menjadi kering dan tanaman banyak yang mati. Permintaan pengusaha itu disanggupinya dengan mementaskan pagelaran [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] dengan cerita ''"''Udan Agung Udan Mintoyo". Cerita ini merupakan cerita khusus untuk mendatangkan hujan yang membuat tertarik pengusaha tersebut. Hal inilah yang membuat Ki Pujo Sumarto mendapatkan imbalan dua kali lipat setelah pementasan.<ref name=":0" />


Pada tahun 1933, Ki Pujo Sumarto diundang oleh seorang pengusaha perkebunan [[Belanda]] di Klaten untuk mendalang. Adapun tujuan pengusaha perkebunan tersebut mengadakan pentas wayang kulit purwa itu untuk minta hujan. Hal ini disebabkan musim kemarau pada waktu itu terlalu panjang, sehingga daerah pertanian dan perkebunan menjadi kering dan tanaman banyak yang mati. Permintaan pengusaha itu disanggupinya dengan mementaskan pagelaran wayang kulit purwa dengan cerita ''"''Udan Agung Udan Mintoyo". Cerita ini merupakan cerita khusus untuk mendatangkan hujan yang membuat tertarik pengusaha tersebut. Hal inilah yang membuat Ki Pujo Sumarto mendapatkan imbalan dua kali lipat setelah pementasan.
Ki Pujo Sumarto pernah diperintahkan oleh [[Pakubuwana X|Sri Susuhan Pakubuwono X]] untuk menggelar pementasan [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] di [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Kasunanan Surakarta]]. [[Pakubuwana X|Sri Susuhan Pakubuwono X]] yang terkesan melihat pementasan Ki Pujo Sumarto lantas ingin menganugerahinya pangkat ''penewu'' [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Kasunanan Surakarta]], namun hal tersebut ditolak oleh Ki Pujo Sumarto dengan alasan dirinya ingin lebih memperdalam ilmu [[Dalang|pedalangan]] dan belum pantas mendapatkan anugerah pangkat tersebut.


Ki Pujo Sumarto pernah diperintahkan oleh [[Pakubuwana X|Sri Susuhan Pakubuwono X]] untuk menggelar pementasan wayang kulit purwa di [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Kasunanan Surakarta]]. Sri Susuhan Pakubuwono X yang terkesan melihat pementasan Ki Pujo Sumarto lantas ingin menganugerahinya pangkat ''penewu'' [[Keraton Surakarta Hadiningrat|Keraton Kasunanan Surakarta]], namun hal tersebut ditolak oleh Ki Pujo Sumarto dengan alasan dirinya ingin lebih memperdalam ilmu pedalangan dan belum pantas mendapatkan anugerah pangkat tersebut.
Pada tahun [[1950]], Ki Pujo Sumarto bersama dengan Martosugito mendirikan kursus pedalangan yang diberi nama Kursus Pedalangan Kesenian Klaten. Kursus pedalangan ini diadakan di Jalan Pramuka No. 5 Klaten. Pendirian kursus ini ternyata mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, bahkan Jawatan Penerangan Kabupaten Klaten ikut mendukungnya. Adapun guru-gurunya antara lain: Ki Pujo Sumarto, Pringgosatoto, dan Tiknosudarso, sedangkan asistennya adalah Jayengkarsono dan Wijitanoyo. Para lulusan kursus Pedalangan Kesenian Klaten ini banyak yang berhasil menjadi dalang. Pada tahun [[1955]], kursus pedalangan ini mengadakan pagelaran [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] di rumah Ki Pujo Sumarto. Pagelaran tersebut mendapatlan sambutan yang baik dari masyarakat [[Kabupaten Klaten|Klaten]] dan keluarga Panunggaling Dalang Republik Indonesia (PADRI) Jawa Timur.<ref name=":0" />


Pada tahun 1950, Ki Pujo Sumarto bersama dengan Martosugito mendirikan kursus pedalangan yang diberi nama Kursus Pedalangan Kesenian Klaten. Kursus pedalangan ini diadakan di Jalan Pramuka No. 5 Klaten. Pendirian kursus ini ternyata mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, bahkan Jawatan Penerangan Kabupaten Klaten ikut mendukungnya. Adapun guru-gurunya antara lain: Ki Pujo Sumarto, Pringgosatoto, dan Tiknosudarso, sedangkan asistennya adalah Jayengkarsono dan Wijitanoyo. Para lulusan kursus Pedalangan Kesenian Klaten ini banyak yang berhasil menjadi dalang. Pada 1955, kursus pedalangan ini mengadakan pagelaran wayang kulit purwa di rumah Ki Pujo Sumarto. Pagelaran tersebut mendapatlan sambutan yang baik dari masyarakat Klaten dan keluarga Panunggaling Dalang Republik Indonesia (PADRI) Jawa Timur.
Sebagai seorang seniman, Ki Pujo Sumarto tidak hanya mementaskan pagelaran [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] saja, tetapi juga menciptakan cerita maupun mengubah adegan dengan tidak mengubah atau menyimpang dari ''pakem'' aslinya. Adapun hasil karyanya yang berupa cerita antara lain: Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutoromo, Bimo Pakso, Sudarsono Kethok (wayang madya). Selain itu, Ki Pujo Sumarto juga memiliki hasil karya berupa adegan, yaitu: Adegan Perang Cakil dan Tancep Kayon.<ref name=":0" /> Ki Pujo Sumarto juga menciptakan tokoh wayang [[Arjuna]] dengan memakai ''bokongan sembulihan'' yang terinspirasi dari tokoh [[Arjuna]] yang terdapat dalam perangkat Kanjeng Kyai Kanyut. Tokoh Arjuna dengan ''bokongan sembulihan'' sekarang duplikatnya telah menjadi koleksi Ledjar Subrata, Yogyakarta.<ref>{{Cite thesis|last=Suprojo|first=Aman|title=Tinjauan Tentang Tata Cara Ngisis Wayang Kulit Purwa Keraton Kasunanan Surakarta|date=2018|degree=|publisher=Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta|url=http://repository.isi-ska.ac.id/2798/1/AMAN%20SUPROJO%20fik.pdf|doi=|type=Skripsi}}</ref>


Sebagai seorang seniman, Ki Pujo Sumarto tidak hanya mementaskan pagelaran wayang kulit purwa saja, tetapi juga menciptakan cerita maupun mengubah adegan dengan tidak mengubah atau menyimpang dari ''pakem'' aslinya. Adapun hasil karyanya yang berupa cerita antara lain: Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutoromo, Bimo Pakso, Sudarsono Kethok (wayang madya). Selain itu, Ki Pujo Sumarto juga memiliki hasil karya berupa adegan, yaitu: Adegan Perang Cakil dan Tancep Kayon. Ki Pujo Sumarto juga menciptakan tokoh wayang [[Arjuna]] dengan memakai ''bokongan sembulihan'' yang terinspirasi dari tokoh [[Arjuna]] yang terdapat dalam perangkat Kanjeng Kyai Kanyut. Tokoh Arjuna dengan ''bokongan sembulihan'' sekarang duplikatnya telah menjadi koleksi [[Ledjar Subrata]], Yogyakarta.
== Penghargaan ==
Atas jasa-jasanya yang besar dalam seni pedalangan, maka Ki Pujo Sumarto mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah. Adapun penghargaan tersebut antara lain dari:


== Penghargaan ==
# Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang, pada tanggal [[9 Maret]] [[1963]] atas jasa-jasanya yang telah menggelar [[Wayang purwa|wayang kulit purwa]] dengan cerita "Jono Daru-Dewa Daru" dalam rangka meruwat pagar tembok [[Kabupaten Malang]].
Pujo memperoleh beberapa penghargaan dari pemerintah, yaitu:
#POM Pangdam VII Diponegoro, pada tanggal [[22 Juni]] [[1970]].
#
#[[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]] melalui [[Daftar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia|Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]], pada tanggal [[2 Mei]] [[1977]] ditunjuk sebagai salah saorang tokoh nasional sebagai "Pembina dan Seniman Pedalangan Tradisional Daerah Jawa Tengah" berdasarkan Keputusan [[Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]] No. 1/M/Tahun [[1977]] tanggal [[2 Mei]] [[1977]].<ref name=":0" />


# Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang, pada tanggal 9 Maret 1963 atas jasa-jasanya yang telah menggelar wayang kulit purwa dengan cerita "Jono Daru-Dewa Daru" dalam rangka meruwat pagar tembok [[Kabupaten Malang]].
== Lihat Pula ==
# POM Pangdam VII Diponegoro, pada tanggal 22 Juni 1970.
#[[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]] melalui [[Daftar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia|Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]], pada 2 Mei 1977 ditunjuk sebagai salah saorang tokoh nasional sebagai "Pembina dan Seniman Pedalangan Tradisional Daerah Jawa Tengah" berdasarkan Keputusan [[Menteri Pendidikan dan Kebudayaan]] No. 1/M/Tahun 1977 tanggal 2 Mei 1977.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Suhatno|first=|date=Desember 2007|title=Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni Pedalangan|url=|journal=Jantra|volume=Vol. 2, No. 4|issue=|doi=|issn=1907-9605|pmid=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite thesis|last=Suprojo|first=Aman|title=Tinjauan Tentang Tata Cara Ngisis Wayang Kulit Purwa Keraton Kasunanan Surakarta|date=2018|degree=|publisher=Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta|url=http://repository.isi-ska.ac.id/2798/1/AMAN%20SUPROJO%20fik.pdf|doi=|type=Skripsi}}</ref><ref>Darsomartono, S. (1978). hlm. 22-23.</ref><ref>Sastroamidjojo, Seno. (1964). hlm. 90-92.</ref><ref>Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 35.</ref><ref name=":1">{{Cite journal|last=Junaidi|first=|date=November 2014|title=Dalang Anak dalam Pertunjukan Wayang|url=|journal=Jurnal Kajian Seni|volume=Vol. 1, No. 1|issue=|doi=|issn=2356-3001|pmid=|access-date=}}</ref><ref>{{Cite web|last=Kusalamani|first=|date=|title=Widayat Djiang, Dalang Peranakan Tionghoa|url=https://www.tembi.net/2018/06/05/widayat-djiang-dalang-peranakan-tionghoa/|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}{{Pranala mati|date=Mei 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}</ref><ref>{{Cite news|last=Santosa|first=Iwan|date=25 Januari 2012|via=Kompas|title=Widayat Djiang: Mendalang dengan Gerakan Kungfu|url=http://arsip.galeri-nasional.or.id/uploads/kliping/4903/_MG_101667.pdf|work=|type=Kliping|access-date=}}{{Pranala mati|date=Mei 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}</ref><ref>{{Cite web|last=Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|first=|date=|title=Biografi Widayat Djiang “Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa”|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/biografi-widayat-djiang-sebuah-sketsa-kehidupan-dalang-peranakan-tionghoa/|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}</ref><ref>{{Cite web|last=Kisawa|first=Wisnu|date=|title=Somokaton Jadi Kawasan Cagar Budaya Seni Wayang|url=https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/124572/somokaton-jadi-kawasan-cagar-budaya-seni-wayang|website=|publisher=|access-date=18 Maret 2019}}{{Pranala mati|date=Juli 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}</ref><ref>Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 36.</ref>


== Lihat pula ==
*[[Dalang]].
*[[Daftar dalang Indonesia]].
*[[Wayang kulit]].
*[[Wayang purwa|Wayang kulit purwa]].
*[[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]].


* [[Nartosabdo]]
== Referensi ==
* [[Tjioe Bian Djiang|Widayat Djiang]]


=== Catatan Kaki ===
== Rujukan ==
<references responsive="" />
<references responsive="" />


=== Daftar Pustaka ===
== Daftar pustaka ==


*{{Cite book|title=Tuntunan Pakeliran|last=Darsomartono|first=S.|publisher=Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunegaran|year=1978|isbn=|location=Surakarta|pages=}}
* {{Cite book|title=Tuntunan Pakeliran|last=Darsomartono|first=S.|publisher=Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunegaran|year=1978|isbn=|location=Surakarta|pages=}}
*{{Cite book|title=Biografi Widayat Djiang: Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa|last=Darto Harnoko dan Salamun|first=|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta|year=2016|isbn=|location=Yogyakarta|pages=}}
* {{Cite book|title=Biografi Widayat Djiang: Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa|last=Darto Harnoko dan Salamun|first=|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta|year=2016|isbn=|location=Yogyakarta|pages=}}
*{{Cite book|title=Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit|last=Sastroamidjojo|first=Seno|publisher=Kinta Jakarta|year=1964|isbn=|location=Jakarta|pages=}}
* {{Cite book|title=Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit|last=Sastroamidjojo|first=Seno|publisher=Kinta Jakarta|year=1964|isbn=|location=Jakarta|pages=}}
*{{Cite book|title=Mengenal Wayang Kulit Purwa: Gambar, Klasifikasi, Jenis, Sejarah|last=Soekatno|first=B.A.|publisher=Aneka Ilmu|year=1992|isbn=|location=Semarang|pages=}}
* {{Cite book|title=Mengenal Wayang Kulit Purwa: Gambar, Klasifikasi, Jenis, Sejarah|last=Soekatno|first=B.A.|publisher=Aneka Ilmu|year=1992|isbn=|location=Semarang|pages=}}


== Pranala Luar ==
== Pranala luar ==


* [http://indonesianbatik.id/2018/04/17/dalang-wayang-kulit-purwa-sosok-jenius-dalam-kearifan-dunia-pewayangan/ Dalang Wayang Kulit Purwa, Sosok Jenius dalam Kearifan Dunia Pewayangan].
* [http://indonesianbatik.id/2018/04/17/dalang-wayang-kulit-purwa-sosok-jenius-dalam-kearifan-dunia-pewayangan/ Dalang Wayang Kulit Purwa, Sosok Jenius dalam Kearifan Dunia Pewayangan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190212072910/http://indonesianbatik.id/2018/04/17/dalang-wayang-kulit-purwa-sosok-jenius-dalam-kearifan-dunia-pewayangan/ |date=2019-02-12 }}.
{{Authority control}}


[[Kategori:Seniman Indonesia]]
[[Kategori:Seniman Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Budayawan]]
[[Kategori:Budayawan Indonesia]]
[[Kategori:Budayawan Indonesia]]

Revisi terkini sejak 5 Januari 2024 10.26

Pujo Sumarto
Dalang wayang kulit purwa
Masa jabatan
19–19
Sebelum
Pendahulu
*
Pengganti
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Sudirman

21 Juli 1903
Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Hindia Belanda
Meninggal9 Desember 1978
Indonesia Klaten, Indonesia
Sebab kematianKesehatan
Orang tua
  • Warnodiyoso (ayah)
  • Nama tidak diketahui (ibu)
Profesi
  • Dalang
Dikenal karenaDalang wayang kulit purwa
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pujo Sumarto (21 Juli 1903–9 Desember 1978) adalah seorang dalang wayang kulit purwa gaya Surakarta yang dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1903 di Klaten, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 9 Desember 1978 di Makam Desa Gergunung, Kecamatan Ketandan, Kabupaten Klaten. Dia merupakan putra dari Kyai Warnodiyoso yang juga seorang seniman pedalangan gaya Surakarta. Ki Pujo Sumarto memperoleh pendidikan seni pedalangan dan karawitan di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka di bawah asuhan Raden Ngabehi (R. Ng.) Atmocendono, Raden Mas Ngabehi (R.M. Ng.) Dutodilogo, Raden Lurah (R.L.) Mloyosudiro, R.L. Darmoperdonggo, R.L. Darmowiyogo, dan R.L. Jogopradongo. Kariernya sebagai dalang dimulainya sejak kecil. Pada awalnya, dia mendalang di desanya sendiri kemudian ke tingkat kabupaten dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa.

Ki Dalang Raden Tjioe Bian Djiang atau Widayat Djiang (dalang peranakan China yang berasal dari Kabupaten Nganjuk) secara tidak langsung juga belajar pada Ki Pujo Sumarto. Ki Pujo Sumarto merupakan salah satu dalang panutan Widayat Djiang. Dia banyak menyerap ilmu tentang pedalangan dari Ki Pujo Sumarto dengan selalu menyaksikannya saat pentas. Selain memberikan hiburan, Ki Pujo Sumarto mampu mengedukasi penonton dan konsisten menjaga pakem[1] (teknis pakeliran)[2] dalam pertunjukan wayangnya. Kekaguman Widayat Djiang kepada Ki Pujo Sumarto lebih disebabkan karena tingkat keilmuan yang dimiliki oleh Ki Pujo Sumarto. Kemampuannya dalam meramu hiburan dan tuntunan dalam pertunjukan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi Widayat Djiang. Dalam menggali ilmu pedalangan pada Ki Pujo Sumarto, Widayat Djiang tidak hanya berhenti dalam menyaksikan pagelarannya saja, namun juga sering datang ke rumahnya. Widayat Djiang bahkan pernah meminta saran dan dukungan kepada Ki Pujo Sumarto ketika diminta Ir. Soekarno untuk mengisi acara di Jakarta.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Pujo adalah putra dari dalang wayang kulit purwa bernama Warnodiyoso. Dia dilahirkan pada 21 Juli 1903 di Dukuh Sawahan, Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten dengan nama Sudirman. Dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang memiliki adik-adik bernama Ratri, Darmi (meninggal dunia saat masih kecil), dan Tuwirat. Menurut silsilahnya, ayahnya merupakan keturunan ketujuh dari Sunan Amangkurat IV, dengan urutannya, yaitu Sunan Amangkurat IV memiliki putri bernama Raden Ayu Megatsari, Raden Ayu Megatsari memiliki putra bernama K.R.T. Lembusari, K.R.T. Lembusari memiliki putra bernama R. Tirtolesono atau Mertoyoso, Mertoyoso memiliki putra bernama Mentokaryo, Mentokaryo memiliki putra bernama Mentodiryo, dan Mentodiryo memiliki putra bernama Warnodiyoso.

Pernikahan

[sunting | sunting sumber]

Sudirman menikah pertama kali pada tahun 1924 dengan perempuan bernama Suliyem di Desa Plembon, Kabupaten Klaten. Setelah menikah, namanya kemudian diganti dengan Pujo Sumarto. Suliyem pun tidak lama dalam mendampingi Pujo Sumarto karena pada tahun 1925 dia meninggal ketika melahirkan. Pujo Sumarto lantas menikah kembali untuk kedua kalinya pada tahun 1926 dengan perempuan bernama Samiyem yang berasal dari Desa Ngingas, Kabupaten Klaten. Dari hasil pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 11 orang anak, yaitu:

  1. Suyanto, setelah dewasa bernama Ki Hagnyocarito dan menjadi seorang dalang.
  2. Suprapti, setelah dewasa menikah dengan seorang dalang dari Kartasura bernama Ki Donocarito.
  3. Waluyo, meninggal saat masih kecil.
  4. Sahadati, bekerja sebagai guru sekolah dasar di Bareng Lor, Klaten.
  5. Hastuti, meninggal saat masih kecil.
  6. Subagyo, setelah dewasa bernama Ki Pujotaryono dan menjadi seorang dalang serta pegawai di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten.
  7. Ir. Sri Hartati, bekerja sebagai pegawai pegawai di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Pati.
  8. Sri Handayani, S.H., bekerja sebagai pegawai di Kantor Kotamadya Malang.
  9. Sri Daruki.
  10. Sutopo Mulyo Widodo, S.H., setelah dewasa dia nunggak semi (mengambil nama ayahnya) dan bernama sama, yaitu Ki Pujo Sumarto. Dia bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Surakarta).
  11. Ir. Yuwono Sri Suwito, setelah dewasa bernama Ki Pujosugrito dan menjadi seorang dalang.

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Setelah berusia delapan tahun, Sudirman dimasukkan ke sekolah Tweede Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro di desanya, namun dia lebih sering tidak masuk sekolah dan terpaksa keluar sekolah karena selalu ikut ayahnya mendalang. Sudirman selalu diserahi tugas oleh ayahnya sebagai penabuh gendang. Sejak keluar dari sekolah, Sudirman selalu berusaha menambah pengetahuan seni dalang dengan belajar sendiri di rumahnya. Pendidikan Sudirman dalam bidang seni pedalangan dan karawitan diperolehnya sejak kecil dari ayahnya maupun secara otodidak, sedangkan dalam bidang kebatinan diperolehnya dari tokoh spiritual Surakarta yang bernama Eyang Mangkubumen. Hal inilah yang menyebabkan Sudirman sejak kecil sudah dapat mendalang dan memukul gamelan.

Sudirman akhirnya memutuskan untuk masuk ke sekolah pedalangan dan karawitan di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka untuk terus mengasah pendidikannya dalam bidang seni pedalangan dan karawitan. Di sekolah tersebut, Sudirman berhasil menyelesaikan pendidikan seni pedalangan dengan mendapatkan diploma dalang pangkat dua.

Pengabdian

[sunting | sunting sumber]

Pujo merupakan dalang anak yang muncul ke publik pertama kali pada 1910-an dengan nama asli Sudirman. Ketenaran Sudirman sebagai dalang wayang kulit purwa dirintisnya dari bawah dengan penuh prihatin dan laku. Kehadirannya pada awalnya belum diterima secara penuh oleh sebagian masyarakat, bahkan permainannya pernah dihentikan dengan alasan anak kecil belum sepantasnya mendalang. Hal tersebut tidak membuat kecil hati Sudirman, dirinya tetap bersemangat dan berhasil menjadi dalang terkenal hingga akhir hayatnya (9 Desember 1978) dengan nama Ki Pujo Sumarto.

Seperti layaknya para dalang lainnya, Ki Pujo Sumarto juga memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan kecakapan, keahlian, spesialisasi, dan orientasi. Dia mampu mempertunjukkan wayang dalam perspektif ajaran kesempurnaan hidup serta memiliki sikap gendhèng (menguasai lagu), gendhing (menguasai gending dari pengetahuan dan garapannya), gendheng (piawai melucu atau melawak), gendhung (percaya diri), dan gendhang (jelas suaranya).

Pada tahun 1933, Ki Pujo Sumarto diundang oleh seorang pengusaha perkebunan Belanda di Klaten untuk mendalang. Adapun tujuan pengusaha perkebunan tersebut mengadakan pentas wayang kulit purwa itu untuk minta hujan. Hal ini disebabkan musim kemarau pada waktu itu terlalu panjang, sehingga daerah pertanian dan perkebunan menjadi kering dan tanaman banyak yang mati. Permintaan pengusaha itu disanggupinya dengan mementaskan pagelaran wayang kulit purwa dengan cerita "Udan Agung Udan Mintoyo". Cerita ini merupakan cerita khusus untuk mendatangkan hujan yang membuat tertarik pengusaha tersebut. Hal inilah yang membuat Ki Pujo Sumarto mendapatkan imbalan dua kali lipat setelah pementasan.

Ki Pujo Sumarto pernah diperintahkan oleh Sri Susuhan Pakubuwono X untuk menggelar pementasan wayang kulit purwa di Keraton Kasunanan Surakarta. Sri Susuhan Pakubuwono X yang terkesan melihat pementasan Ki Pujo Sumarto lantas ingin menganugerahinya pangkat penewu Keraton Kasunanan Surakarta, namun hal tersebut ditolak oleh Ki Pujo Sumarto dengan alasan dirinya ingin lebih memperdalam ilmu pedalangan dan belum pantas mendapatkan anugerah pangkat tersebut.

Pada tahun 1950, Ki Pujo Sumarto bersama dengan Martosugito mendirikan kursus pedalangan yang diberi nama Kursus Pedalangan Kesenian Klaten. Kursus pedalangan ini diadakan di Jalan Pramuka No. 5 Klaten. Pendirian kursus ini ternyata mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, bahkan Jawatan Penerangan Kabupaten Klaten ikut mendukungnya. Adapun guru-gurunya antara lain: Ki Pujo Sumarto, Pringgosatoto, dan Tiknosudarso, sedangkan asistennya adalah Jayengkarsono dan Wijitanoyo. Para lulusan kursus Pedalangan Kesenian Klaten ini banyak yang berhasil menjadi dalang. Pada 1955, kursus pedalangan ini mengadakan pagelaran wayang kulit purwa di rumah Ki Pujo Sumarto. Pagelaran tersebut mendapatlan sambutan yang baik dari masyarakat Klaten dan keluarga Panunggaling Dalang Republik Indonesia (PADRI) Jawa Timur.

Sebagai seorang seniman, Ki Pujo Sumarto tidak hanya mementaskan pagelaran wayang kulit purwa saja, tetapi juga menciptakan cerita maupun mengubah adegan dengan tidak mengubah atau menyimpang dari pakem aslinya. Adapun hasil karyanya yang berupa cerita antara lain: Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutoromo, Bimo Pakso, Sudarsono Kethok (wayang madya). Selain itu, Ki Pujo Sumarto juga memiliki hasil karya berupa adegan, yaitu: Adegan Perang Cakil dan Tancep Kayon. Ki Pujo Sumarto juga menciptakan tokoh wayang Arjuna dengan memakai bokongan sembulihan yang terinspirasi dari tokoh Arjuna yang terdapat dalam perangkat Kanjeng Kyai Kanyut. Tokoh Arjuna dengan bokongan sembulihan sekarang duplikatnya telah menjadi koleksi Ledjar Subrata, Yogyakarta.

Penghargaan

[sunting | sunting sumber]

Pujo memperoleh beberapa penghargaan dari pemerintah, yaitu:

  1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang, pada tanggal 9 Maret 1963 atas jasa-jasanya yang telah menggelar wayang kulit purwa dengan cerita "Jono Daru-Dewa Daru" dalam rangka meruwat pagar tembok Kabupaten Malang.
  2. POM Pangdam VII Diponegoro, pada tanggal 22 Juni 1970.
  3. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2 Mei 1977 ditunjuk sebagai salah saorang tokoh nasional sebagai "Pembina dan Seniman Pedalangan Tradisional Daerah Jawa Tengah" berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1/M/Tahun 1977 tanggal 2 Mei 1977.[3][4][5][6][7][8][9][10][11][12][13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Pakem dalam pertunjukan seni wayang kulit menjadi hal pokok yang tidak boleh diabaikan oleh para dalang.
  2. ^ Di dalam seni pakeliran, wayang berfungsi sebagai gambar pelaku yang dimainkan oleh dalang pada layar putih terbentang di atas batang pisang yang disebut dengan kelir. Lihat: Soekatno, B.A. (1992). hlm. 7.
  3. ^ Suhatno (Desember 2007). "Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni Pedalangan". Jantra. Vol. 2, No. 4. ISSN 1907-9605. 
  4. ^ Suprojo, Aman (2018). Tinjauan Tentang Tata Cara Ngisis Wayang Kulit Purwa Keraton Kasunanan Surakarta (Tesis Skripsi). Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. http://repository.isi-ska.ac.id/2798/1/AMAN%20SUPROJO%20fik.pdf. 
  5. ^ Darsomartono, S. (1978). hlm. 22-23.
  6. ^ Sastroamidjojo, Seno. (1964). hlm. 90-92.
  7. ^ Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 35.
  8. ^ Junaidi (November 2014). "Dalang Anak dalam Pertunjukan Wayang". Jurnal Kajian Seni. Vol. 1, No. 1. ISSN 2356-3001. 
  9. ^ Kusalamani. "Widayat Djiang, Dalang Peranakan Tionghoa". Diakses tanggal 18 Maret 2019. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ Santosa, Iwan (25 Januari 2012). "Widayat Djiang: Mendalang dengan Gerakan Kungfu" (PDF) (Kliping) – via Kompas. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. "Biografi Widayat Djiang "Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa"". Diakses tanggal 18 Maret 2019. 
  12. ^ Kisawa, Wisnu. "Somokaton Jadi Kawasan Cagar Budaya Seni Wayang". Diakses tanggal 18 Maret 2019. [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 36.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Darsomartono, S. (1978). Tuntunan Pakeliran. Surakarta: Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunegaran. 
  • Darto Harnoko dan Salamun (2016). Biografi Widayat Djiang: Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. 
  • Sastroamidjojo, Seno (1964). Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta Jakarta. 
  • Soekatno, B.A. (1992). Mengenal Wayang Kulit Purwa: Gambar, Klasifikasi, Jenis, Sejarah. Semarang: Aneka Ilmu. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]